Bunga di batu karang I bag 2

Bunga di batu karang I Bag 2

Demikianlah, maka semua yang telah terjadi itu, menjadi sebab, bahwa Buntal untuk seterusnya diminta tinggal di rumah Kiai Danatirta. Sebuah padepokan kecil di sebuah padukuhan yang subur. Padepokan yang dinamainya Padepokan Jati Aking didekat padukuhan Jatisari.

“Bukankah kau tidak mempunyai orang tua lagi?” bertanya Kiai Danatirta setelah Buntal dapat berjalan-jalan lagi meskipun kekuatannya belum pulih kembali.

“Ya Kiai. Aku sudah yatim piatu”

“Jika demikian, kau tidak akan menolak seandainya aku minta kau tinggal untuk seterusnya di padepokan ini”

Terasa sesuatu melonjak di hati Buntal. Ia tidak menyangka bahwa ia akan terdampar pada suatu tempat yang terlampau baik buat dirinya, meskipun ia sadar, bahwa untuk seterusnya ia tidak akan diperlakukan seperti pada saat-saat ia masih belum dapat bangkit dan berjalan sendiri. Namun apapun yang akan dilakukan, tinggal di padepokan yang bersih dan sejuk ini pasti akan sangat menyenangkan.

“Aku sudah biasa bekerja keras. Seandainya aku disini harus bekerja keras, maka aku tidak akan berkeberatan. Tetapi padepokan ini rasa-rasanya memiliki kesejukan yang tenang” Buntal bergumam di dalam hatinya.

“Bagaimana menurut pendapatmu?”

Buntal menundukkan kepalanya. Namun terdengar ia menjawab lirih, “Aku senang sekali Kiai, apabila aku diperkenankan tinggal disini. Aku memang tidak mempunyai lagi tempat untuk menompangkan diri”

Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Jadi, kemanakah sebenarnya tujuanmu ketika kau bermalam di gubug itu sehingga kau mengalami nasib kurang baik?”

“Aku memang tidak mempunyai tujuan Kiai. Aku berjalan saja menurut langkah kakiku”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk pula. Kemudian dimintanya Buntal berceritera tentang dirinya.

Dengan singkat Buntal mengisahkan riwayatnya. Tetapi ia masih tetap melampaui nama-nama paman dan bibinya. Ia tidak ingin menyangkutkan kedua orang itu bersama anak-anaknya pada persoalan apapun juga agar mereka tidak semakin terlibat dalam kesulitan.

“Jadi ayah dan ibumu menjadi abdi Katumenggungan?”

“Ya Kiai, Tumenggung Gagak Barong”

“Tumenggung Gagak Barong. Aku pernah mengenal nama itu. Tetapi apakah ia sekarang berhubungan dengan orang-orang asing yang mulai banyak berkeliaran di Surakarta?”

Buntal mengangguk lemah.

Kiai Danatirta memandang Buntal dengan tatapan mata iba. Seandainya anak itu tidak mendapatkan tempat yang baik, maka hari depannya pasti akan menjadi sangat suram. Banyak sekali didengarnya ceritera tentang anak-anak yang tersesat masuk ke dalam lingkungan orang-orang jahat. Anak yang sebenarnya mempunyai bekal yang baik jasmaniah dan rohaniah, namun karena ia berada di lingkungan yang hitam, akhirnya hati mereka pun menjadi hitam pula.

Dan kini, selain para penjahat yang berhati kelam, maka Surakarta menghadapi persoalan baru. Persoalan orang-orang yang berhati hitam tetapi berkulit putih. Orang-orang yang bukan saja membentuk kelompok-kelompok kecil yang merampok orang-orang kaya, tetapi orang berhati hitam dan berkulit putih itu telah membentuk suatu kelompok raksasa yang merampok bukan saja orang-orang kaya, tetapi juga orang-orang miskin.

“Buntal” berkata Kiai Danatirta kemudian, “Kalau kau memang tidak berkeberatan, baiklah. Tetapi kau harus menyesuaikan dirimu dengan keadaan disini. Setiap orang di padepokan ini harus bekerja sesuai dengan tugas masing-masing. Semua harus bekerja keras. Hanya dengan bekerja keras kita dapat mencukupi kebutuhan kita”

“Ya Kiai. Aku akan berusaha bekerja apa saja yang harus aku kerjakan”

“Bagus. Kalau kau memang sudah berbekal tekad di hatimu, maka kau pasti akan dapat melakukannya. Kau akan menjadi kawan Raden Juwiring”

Buntal mengangguk-angguk kecil. Sejak ia melihat untuk pertama kalinya, ia agak tertarik pada bentuk dan ujud jasmaniah Raden Juwiring yang agak berbeda dengan ujud anak-anak padesan. Tetapi ia tidak berani menanyakannya hal itu kepada Kiai Danatirta.

Tetapi agaknya orang tua itu mengerti pertanyaan yang tersimpan di hati Buntal, sehingga ia pun kemudian berkata, “Buntal, Raden Juwiring tidak berasal dari padepokan ini atau padukuhan di sekitar padepokan ini. Ia berasal dari kota, dan bahkan ia adalah anak seorang bangsawan.

“Bangsawan?” bertanya Buntal. Tiba-tiba saja wajahnya menegang, sehingga Kiai Danatirta melihat perubahan itu dengan jelas. Karena itu Kiai Danatirta melihat pula sesuatu yang tersirat di dalam hati Buntal.

“Apakah kesanmu tentang seorang bangsawan, Buntal?”

Buntal menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut.

“Coba katakan, apa kesanmu tentang seorang bangsawan. Katakan seperti yang sebenarnya tersimpan di dalam hatimu. Raden Juwiring tidak duduk bersama kita sekarang, dan aku tidak akan mengatakan apapun kepadanya, apakah kesanmu baik atau buruk”

Buntal masih menundukkan kepalanya.

“Katakan Kau pasti sudah mengenal Tumenggung Gagak Barong. Kau pasti mengenal keluarganya dan kalau ada, anak-anaknya. Apakah kau mempunyai kesan khusus atau kau menganggapnya bahwa seorang bangsawan tidak ada bedanya dengan orang kebanyakan?”

Buntal masih juga ragu-ragu. Tetapi Kiai Danatirta berkata lebih lanjut, “Wajahmu menunjukkan kesan yang lain, Buntal”

Buntal tidak dapat ingkar lagi. Karena itu maka jawabnya, “Ya Kiai. Aku memang terpengaruh sekali oleh keadaanku selagi aku masih tinggal di Tumenggungan. Pada umumnya seorang bangsawan adalah orang yang keras hati dan menganggap kami, orang-orang kebanyakan, sama sekali tidak berarti di dalam tata kehidupan. Mereka dapat berbuat apa saja atas kami. Dan mereka selalu menganggap kami bersalah”

Kiai Danatirta mengangguk. Buntal berusaha untuk mengatakannya dengan hati-hati sekali.

“Jadi, apakah kau diperlakukan seperti itu di Katumeng-gungan, Buntal?”

Buntal menganggukkan kepalanya.

“Juga ayahmu?”

Sekali lagi Buntal mengangguk. Namun diantara nafasnya yang memburu ia berkata terbata-bata, “Terlebih-lebih di saat terakhir”

“Dan kau diusirnya?”

“Ya Kiai”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ditepuknya bahu Buntal yang menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Memang Buntal. Ada bangsawan yang bersikap demikian. Yang merasa dirinya lebih tinggi derajadnya dari kebanyakan orang. Mereka merasa diri mereka keturunan raja-raja yang berkuasa” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Tetapi seperti manusia kebanyakan, dimanapun juga dan di dalam lingkungan apapun juga, ada beberapa perkecualian. Diantaranya adalah Juwiring. Raden Juwiring”

Buntal mengangkat wajahnya sejenak, namun wajah itu pun kemudian tertunduk kembali.

“Raden Juwiring adalah seorang anak muda yang baik. Buntal, meskipun ia lahir dari tetesan darah seorang bangsawan. Dan demikianlah agaknya, bahwa kita dilahirkan dalam lingkungan yang berbeda, tetapi tiada berbeda. Sifat-sifat yang kemudian melekat pada diri kita masing-masing itulah yang membuat kita menemukan bentuk pribadi kita. Dan sifat-sifat itu dipengaruhi oleh, banyak hal diluar diri kita sendiri, dikehendaki atau tidak dikehendaki”

Buntal mengerutkan keningnya. Dengan susah payah ia mencoba menangkap maksud Kiai Danatirta. Namun perlahan-lahan ia melihat juga, meskipun samar-samar, maksud dari kata-kata itu.

“Karena itu Buntal” berkata Kiai Danatirta selanjutnya, “Cobalah untuk mengenal Juwiring sebaik-baiknya tanpa prasangka”

Buntal menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Maaf Kiai. Mungkin aku terdorong perasaan dan mempunyai penilaian yang salah terhadap seseorang. Tetapi aku baru saja mengetahui bahwa Raden Juwiring adalah seorang bangsawan”

“Dan kau sudah mempunyai bekal anggapan tentang seorang bangsawan, meskipun ia bukan Juwiring. Anggapan itulah yang harus kau nilai. Mungkin kau tidak hanya melihat Tumenggung Gagak Barong saja. Mungkin kau mendengar dari kawan-kawanmu, mungkin dari orang lain tentang sifat seorang bangsawan. Dan semuanya itu membuat bayangan-bayangan yang kelam di dalam hatimu. Namun cobalah, untuk memandang dengan cara lain atas Raden Juwiring yang kebetulan juga seorang bangsawan”

Sekali lagi Buntal mengangguk-angguk. Jawabnya lirih, “Ya Kiai. Aku akan mencoba untuk memandangnya sebagai Raden Juwiring itu sendiri, tanpa pengaruh prasangka yang sudah membekas di dalam hati”

Kian Danatirta tersenyum. Ternyata Buntal bukan anak yang terlampau dungu meskipun ia hanya anak seorang abdi. Tetapi seperti yang dikatakannya sendiri, semua unsur manusiawi dapat ditemuinya di setiap kelahiran, di dalam lingkungan yang berbeda tetapi tidak berbeda itu.

“Kau sudah berpijak pada alas yang benar Buntal. Raden Juwiring hanya kebetulan saja lahir disela-sela lingkungan bangsawan. Kau harus menilainya sebagai unsur badaniah. Tetapi tidak sebagai unsur rohaniah”

Buntal menjadi agak bingung. Namun Kiai Danatirta berkata, “Kenang sajalah kata-kataku. Kalau kau masih belum jelas sekarang, pada suatu saat kau akan dapat menilainya. Dalam pada itu, sikapmu sendiri pun sudah menjadi semakin matang”

“Ya Kiai” sahut Buntal. Kepalanya masih tertunduk dan seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, sebagian dari persoalan itu baru dapat diingatnya saja di dalam kepalanya. Tetapi ia masih belum dapat memecahkannya.

“Nah, sejak sekarang kau dapat berbuat sesuatu sebagai seorang kawan yang paling dekat dengan Raden Juwiring, karena di padepokan ini tidak ada orang lain kecuali kalian berdua, anakku Arum, dan beberapa orang pembantu yang agaknya dunianya sudah tidak sesuai lagi dengan Raden Juwiring, karena mereka pada umumnya sudah berumur jauh lebih tua”

Buntal menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Terima kasih atas kesempatan ini Kiai”

“Cobalah menyesuaikan diri, hidup dipadepokan kecil yang sepi ini”

Tetapi suasana di padepokan kecil itu ternyata sangat menarik bagi Buntal. Ia merasa jemu hidup di dalam kebisingan rumah Tumenggung Gagak Barong. Derap kuda dan kereta yang hilir mudik. Bentakan-bentakan yang keras dan menyakitkan hati. Kesibukan yang tidak pernah selesai, di dapur, di halaman dan dimana saja. Sejak matahari terbit sampai matahari terbenam setiap orang harus berbuat sesuatu dalam hiruk pikuk yang menjemukan. Menggosok tiang-tiang pendapa yang berukir dan bersungging halus, membersihkan lantai yang sudah bersih. Menjatuhkan diri dan duduk bersila dimanapun juga mereka berpapasan dengan Raden Tumenggung. Dan segala macam pekerjaan yang gelisah.

Berbeda dengan keadaan di padepokan ini. Bukan berarti bahwa setiap orang di padepokan ini hanya sekedar bermalas-malasan. Tetapi kerja yang dilakukan justru membawa ketenteraman di hati. Bekerja di antara dedaunan yang hijau segar. Di dalam silirnya angin dan desir ranting-ranting yang bergerak lembut. Di kejauhan terdengar suara tembang yang ngelangut dibarengi dengan suara seruling gembala di rerumputan.

Demikianlah maka Buntal merasa kerasan tinggal di padepokan itu. Dari hari ke hari ia mulai mengenal Juwiring lebih dalam. Selain itu juga Arum. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, sebenarnyalah bahwa Juwiring mempunyai sifat dan ciri-ciri yang berbeda dari kebanyakan bangsawan yang pernah dikenalnya.

Raden Juwiring ternyata tidak memandang orang lain jauh lebih rendah dari dirinya. Ia menganggap setiap orang saudaranya.

Sedangkan Arum adalah seorang gadis yang berhati lembut. Kadang-kadang masih terucapkan olehnya, penyesalan yang dalam, justru karena ia berteriak di saat-saat mereka bertemu untuk pertama kali.

“Kau tidak sengaja mencelakakan aku” berkata Buntal.

“Aku hanya terkejut sekali waktu itu. Aku tidak menyangka bahwa ada orang lain diatas gubug sepagi itu”

Buntal tersenyum. Bahkan kemudian ia berkata, “Jika tidak demikian, maka aku tidak akan mendapat kesempatan tinggal di padepokan ini”

Arum pun tersenyum pula. Katanya, “Alangkah senangnya kalau kau datang ke rumah ini tanpa biru pengap seperti itu”

“Alangkah senangnya. Tetapi itulah yang terjadi”

Keduanya tertawa. Tawa yang segar di padepokan yang tenteram.

Namun demikian ada sebuah teka-teki bagi Buntal yang masih belum terjawab. Tetapi ia tidak dapat menanyakannya kepada siapapun karena keseganannya.

“Kenapa Raden Juwiring itu berada di padepokan ini?” Tetapi Buntal selalu menggelengkan kepalanya sambil bergumam kepada diri sendiri, “Ah, itu bukan persoalanku. Ia sudah berada disini. Dan ia bersikap baik kepadaku”

Dengan demikian maka anak muda yang berada di padepokan itu berhasil menyesuaikan diri mereka masing-masing. Bukan saja Buntal dan Juwiring yang sedikit lebih tua daripadanya, tetapi juga Arum.

Tetapi ternyata bahwa mereka tidak saja harus bekerja keras di sawah dan ladang setiap hari. Ada sesuatu yang baru bagi Buntal. Di padepokan itu Raden Juwiring tidak saja hidup sederhana seperti kehidupan orang kebanyakan, tetapi ia juga mempelajari sesuatu dari Kiai Danatirta.

Mula-mula Buntal hanya diperkenankan menyaksikan. Di tempat yang tertutup Raden Juwiring mempelajari ilmu olah kanuragan. Ilmu ketangkasan badaniah dan tata bela diri.

“Menarik sekali” berkata Buntal di dalam hatinya. Tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada siapapun. Namun setiap kesempatan yang didapatnya untuk menyaksikan latihan-latihan olah kanuragan. Buntal merasa beruntung sekali.

Agaknya Kiai Danatirta melihat minat yang begitu besar tersirat di wajah Buntal yang sengaja diperkenankannya melihat latihan-latihan itu. Bahkan, pada suatu saat, tanpa disadari oleh Buntal, Kiai Danatirta melihat anak itu menirukan gerak-gerak yang dilihatnya pada latihan-latihan Di tempat tertutup itu.

“Buntal” berkata Kiai Danatirta kepada Buntal yang dipanggilnya menghadap, “Apakah kau tidak jemu melihat latihan-latihan bagi Raden Juwiring itu?”

Buntal mengangkat wajahnya. Tampak sesuatu tersirat di wajah itu. Namun kemudian wajah itu tertunduk.

Perlahan-lahan terdengar Buntal menjawab, “Tidak Kiai. Aku senang sekali melihatnya”

“Raden Juwiring telah agak lambat mulai dengan penyadapan ilmu olah kanuragan. Tetapi aku masih berpengharapan, bahwa ia akan segera maju dan menguasai ilmu yang aku berikan kepadanya”

Buntal hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

“Buntal” suara Kiai Danatirta menjadi dalam, “Apakah kau juga berminat untuk ikut mempelajari ilmu semacam itu?”

Sekali lagi Buntal mengangkat wajahnya. Dari sorot matanya, Kiai Danatirta melihat gejolak di dada anak muda itu.

“Apakah kau juga ingin?” ulang Kiai Danatirta.

“Sebenarnyalah Kiai. Tetapi aku tidak berani mengatakannya”

Kiai Danatirta tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku memang sudah menduga. Dan aku tidak berkeberatan apabila kau tidak saja mengawani Raden Juwiring setiap hari, tetapi juga mengawaninya menyadap ilmu kanuragan itu”

“Terima kasih Kiai. Apabila aku diperkenankan, aku berterima kasih sekali”

Kiai Danatirta menepuk bahu Buntal. Kalanya, “Tetapi olah kanuragan bukan sekedar suatu permainan, Buntal. Bukan seperti permainan jirak, sembunyi-sembunyian di bulan terang. Juga tidak serupa dengan binten dan bantingan di pasir tepian sungai. Meskipun binten dan bantingan juga memerlukan ketangkasan, tetapi itu sekedar permainan. Tidak ada cara lain yang pernah dipergunakan dalam binten selain cara-cara yang sampai sekarang berlaku. Juga bantingan. Siapa yang berada di bawah dalam hitungan tertentu la akan kalah. Tidak boleh menggigit, tidak boleh menggelitik dan menarik rambut”

Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi ilmu olah kanuragan memerlukan waktu untuk mengerti dan apalagi mendalaminya” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Apakah kau dapat mengira-ngirakan, berapa waktu yang kau perlukan untuk mempelajari ilmu itu?”

Buntal tidak menyahut.

“Kau memerlukan waktu bertahun-tahun Buntal. Ya, bertahun-tahun.

Tetapi kau dapat melakukannya bertahap. Setapak demi setapak. Dan setiap langkah, merupakan kebulatan-kebulatan tertentu” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Apakah kau sanggup?”

Buntal memandang Kiai Danatirta sejenak, lalu, “Ya Kiai. Aku sanggup”

“Apakah kau sudah berpikir baik-baik”

“Sudah Kiai”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa sebenarnya Buntal memang ingin sekali melakukannya. Tetapi seperti yang dikatakan, ia tidak berani mengemukakannya kepada siapapun.

“Kalau begitu baiklah. Aku memberi kesempatan kepadamu untuk berlatih olah kanuragan. Tetapi kau harus bersungguh-sungguh. Di dalam tiga bulan, aku akan melihat kemajuanmu. Kalau kau tidak berhasil mencapai taraf yang sewajarnya, maka sayang sekali, kau tidak akan dapat meneruskannya”

Buntal memandang Kiai Danatirta sejenak. Kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil. Namun demikian terbayang di wajahnya, tekad yang mantap untuk ikut serta berlatih diri, menyadap ilmu olah kanuragan itu.

“Kau masih belum jauh ketinggalan dari Raden Juwiring” berkata Kiai Danatirta selanjutnya, “Aku akan mencoba menyesuaikan ilmu yang bersama-sama akan kalian pelajari”

“Ya Kiai” jawab Buntal. Terasa sesuatu melonjak di dadanya. Ia sama sekali tidak bermimpi bahwa ia akan mendapat kesempatan yang baik itu.

“Tetapi Buntal. Ada beberapa pantangan dan kewajiban yang harus kau lakukan dengan tertib, apabila kau mulai mempelajari ilmu olah kanuragan” berkata Kiai Danatirta selanjutnya, “Apakah kau akan bersedia melakukannya”

Buntal menganggukkan kepalanya.

“Buntal. Kalau sekali kau mencecap ilmu dari padepokan ini maka untuk seterusnya kau tidak akan pernah dapat melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban dan pantangan-pantangan itu. Seumur hidupmu. Kau mengerti arti dari tanggung jawab itu?”

Buntal menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya. Katanya, “Aku mengerti Kiai”

“Baiklah. Aku akan mencobanya. Tetapi seandainya kau gagal setelah tiga bulan, namun pantangan dan kuwajiban itu masih akan tetap berlaku bagimu sepanjang hidupmu, kecuali apabila kemudian kau berniat melepaskan diri dari keluarga kami untuk seterusnya pula, serta menanggung segala akibatnya”

Buntal masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Dengarlah baik-baik” berkata Kiai Danatirta kemudian, “pantangan lahiriah yang dapat aku beritahukan sebagai salah satu contoh adalah, kau harus merahasiakan bahwa di padepokan ini telah dilakukan penurunan ilmu olah kanuragan, sehingga dengan demikian kau tidak boleh menunjukkan kemampuanmu dimanapun juga apabila kau tidak terpaksa sekali. Dan kau harus menghindarkan kesan, bahwa ilmu yang kau miliki itu kau dapat dari padepokan ini”

Buntal menganggukkan kepala.

“Kemudian, sebenarnyalah bahwa semua kemungkinan itu sumbernya adalah Tunggal. Kau harus berjanji, bahwa ilmu yang kau dapat itu, sejauh-jauh mungkin kau pergunakan sepanjang jalan yang dikehendaki Yang Tunggal itu?”

Buntal termangu-mangu sejenak.

“Maksudku, bahwa dengan ilmu itu kelak, kau harus berusaha berjalan dalam kebenaran”

“O” Buntal mengangguk-angguk, “Ayahku dahulu juga berkata begitu. Aku harus pasrah diri kepada Tuhan”

Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Katanya, “Jadi ayahmu juga berkata begitu?”

“Ya Kiai”

Kiai Danatirta pun mengangguk. Ternyata meskipun ayah Buntal sekedar seorang pelayan, tetapi ia memperhatikan sekali kepada anaknya, bukan saja hidup jasmaniahnya, tetapi juga hidup rohaniahnya. Tentu saja sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya.

Demikianlah, maka kesempatan yang diberikan kepada Buntal itu sangat menggembirakan Raden Juwiring. Mempelajari olah kanuragan seorang diri, terasa kurang menggairahkan. Tetapi berdua, agaknya suasananya akan menjadi lebih hidup. Keduanya dapat saling mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada diri masing-masing. Sedangkan Kiai Danatirta sendiri akan mendapat bahan pertimbangan dari perkembangan kedua murid-muridnya itu.

Namun demikian, tidak seorang pun yang mengetahui bahwa di padepokan kecil itu dua orang anak-anak muda sedang menerima ilmu olah kanuragan. Karena tidak seorang pun yang tinggal di padukuhan itu yang mengetahui, bahwa Kiai Danatirta adalah seorang yang mumpuni. Mereka hanya mengenalnya sebagai seorang tua yang baik, yang mempunyai pengetahuan yang luas dan menjadi tempat untuk mendapatkan nasehat dan petunjuk-petunjuk apabila di dalam perjalanan hidup seseorang dijumpai kesulitan. Namun tidak seorang pun yang menyangka, bahwa dibalik wadagnya yang tampaknya lemah, Kiai Danatirta memiliki ilmu yang tinggi dalam olah kanuragan.

Seperti yang dijanjikan kepada diri sendiri, ilmu itu hanya akan diberikan kepada mereka yang sesuai di hatinya. Dan yang sesuai baginya adalah anak-anak muda yang lembah manah. Anak-anak muda yang rendah hati dan jujur. Terlebih-lebih adalah anak-anak muda yang mengenal dirinya sendiri sesuai dengan tempatnya di dalam alam semesta, serta hubungan yang akrab antara alam yang besar dan alam kecil di dalam putaran waktu dan kejadian, dalam ikatan sebab dan akibat, yang berporos pada suatu sumber gerak yang Maha Mengetahui.

Dan pilihan Kiai Danatirta pertama-tama jatuh pada seorang keturunan bangsawan yang sedang berprihatin. Raden Juwiring. Namun kemudian ia melihat sesuatu yang tidak kalah bobotnya yang terdapat di dalam diri anak muda yang sederhana, yang diketemukannya dengan cara yang aneh. Buntal.

Meskipun demikian Kiai Danatirta cukup berhati-hati la tidak segera menuangkan pokok-pokok ilmu yang sebenarnya dari ilmunya. Yang sebenarnya diberikan dalam bulan-bulan pertama sampai ketiga adalah sekedar olah kanuragan yang pada umumnya dikuasai oleh anak-anak muda dan apalagi prajurit-prajurit, yang tidak mempunyai kekhususan sama sekali.

Namun demikian, murid-muridnya itu seakan-akan sudah harus bekerja berat dan berlatih mati-matian. Sehingga dengan demikian Kiai Danatirta dapat menilai, apakah ia akan dapat melanjutkan atau harus diambil keputusan lain.

Kiai Danatirta tidak mau mengulangi kesalahannya lagi. Bagaimanapun juga, sebagai manusia ia pernah khilaf. Orang yang mula-mula dapat menumbuhkan kepercayaannya, ternyata telah menimbulkan banyak kesulitan padanya, sehingga ia harus meninggalkan padepokannya yang lama dan tinggal di padepokannya yang baru ini. Orang yang pertama kali berhasil memasuki perguruannya ternyata bukanlah orang yang diharapkannya.

Kiai Danatirta selalu menghela nafas dalam-dalam apabila ia terkenang masa-masa lampau yang pahit itu.

Tetapi seluruh kesalahan itu tidak dapat aku timpakan padanya desisnya setiap kali, “Anakku juga ikut bersalah”

Dan terbayang kembali hubungan yang sangat akrab antara muridnya itu dengan anak puterinya. Dan saat itu, Kiai Danatirta yang masih mempergunakan nama lain, sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan ia mengharap bahwa muridnya itu kelak akan menjadi pewaris ilmunya, sekaligus menantunya.

Tetapi ternyata harapan itu sama sekali tidak dapat terwujud. Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Malapetaka.

Ternyata puterinya sama sekali tidak bermaksud hidup bersama muridnya. Hubungan yang akrab itu adalah sekedar hubungan antara orang serumah. Sejauh-jauhnya hubungan antara kakak beradik. Ternyata puterinya telah menjatuhkan pilihan atas cintanya kepada orang lain. Kepada anak muda yang lain.

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Peristiwa itu selalu mengingatkannya, bahwa ia adalah seorang manusia biasa. Seorang manusia yang lemah, jasmaniah dan rohaniah.

“Tuhan telah menegur aku dengan cara yang sangat keras, “ keluh Danatirta, “Aku waktu itu memang terlampau bangga atas kelebihanku dari orang-orang kebanyakan. Tetapi Tuhan telah menunjukkan kelemahanku. Kelemahan yang tidak dipunyai oleh orang lain yang aku anggap jauh lebih lemah daripadaku” Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam, dan ia melanjutkannya di dalam hati, “ternyata yang lemah itu memiliki kekuatan, dan yang kuat itu memiliki kelemahan. Mungkin aku dapat menunjukkan kelebihanku dalam olah kanuragan, tetapi tidak dalam menuntun anak. Orang yang paling lemah di dalam olah kanuragan dapat menuntun anaknya sampai ke puncak kemampuan untuk sesuatu bidang unsur hidup manusiawi. Tetapi aku tidak”

Orang tua itu mengelus dadanya dengan telapak tangannya, seakan-akan ingin menekan gejolak yang meronta-ronta di dalam dadanya itu.

Terbayang kembali betapa anak perempuannya itu menolak segala nasehatnya, dan atas kehendaknya sendiri, ia telah dilarikan oleh laki-laki yang dicintainya.

Namun itu bukan peristiwa yang terakhir. Muridnya yang menjadi panas tanpa setahunya telah mencari kedua anak-anak muda itu. Betapa pahitnya ketika ia kemudian mengetahui bahwa kedua laki-laki muda itu mati sampyuh di dalam satu perkelahian yang jantan. Keduanya mempergunakan keris dengan warangan yang kuat, dan kedua-duanya ternyata telah tergores oleh keris itu, sehingga jiwa mereka tidak tertolong lagi.

Dengan demikian, maka tidak ada yang dapat dilakukan sebagai seorang ayah untuk mengambil anaknya kembali, anaknya yang justru telah mengandung.

Hidup yang pahit itu harus ditanggungkannya. Ketika cucunya lahir, maka ibu yang selalu dibebani oleh perasaan bersalah itu tidak dapat tertahan hidup lebih lama lagi. Anak perempuan Kiai Danatirta yang melahirkan anak perempuan itu pun kemudian meninggal.

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Cucunya itulah yang kini bernama Arum. Tetapi tidak seorang pun yang mengetahui bahwa Arum adalah cucunya. Di tempatnya yang baru itu. Sejak ia membuka padepokan kecil yang dinamainya seperti hatinya yang kering, padepokan Jati Aking, di sebelah padukuhan Jatisari, ia sudah menganggap Arum sebagai pengganti anaknya yang telah hilang dari hatinya itu.

Dengan sepenuh hati Kiai Danatirta mendidik cucunya itu, agar ia dapat menebus kelengahannya selagi ia momong anaknya perempuan, sehingga terjadi peristiwa yang sangar membekas di hatinya.

Namun tiba-tiba Kiai Danatirta itu bagaikan terlonjak di tempat duduknya. Dengan suara gemetar ia berkata kepada diri sendiri, “Sekarang aku telah menyediakan minyak itu didekat api. O, alangkah bodohnya aku ini. Di padepokan ini sekarang ada dua orang anak muda. Aku sendirilah yang menempatkan mereka disini. Di padepokan ini, bersama-sama dengar Arum”

Kesadaran itu ternyata telah mencemaskan hati Kiai Danatirta. Sekali-sekali terbayang wajah Raden Juwiring yang selalu dihiasi dengan senyum yang menawan. Kemudian wajah Buntal yang sederhana tetapi bersungguh-sungguh penuh pengertian atas alas keprihatinan.

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Keduanya telah terlanjur berada di padepokannya. Dan keduanya baginya adalah anak muda yang baik.

“Suatu masa pendadaran bagiku” berkata Kiai Danatirta, lalu, “sampai umurku setua ini, aku masih harus menjalani ujian yang berat. Mudah-mudahan kali ini aku dapat mengatasinya. Dan mudah-mudahan kedua anak-anak muda ini mempunyai perhatian yang berbeda dari muridku yang dahulu. Atau tergantung kepadaku, bagaimana caraku mengarahkan hubungan mereka bertiga”

Namun kesadaran itu telah membuat Kiai Danatirta menjadi berhati-hati. Dan ia merasa bersyukur atas kenangan yang selalu membayang, sehingga seakan-akan ia selalu dihadapkan pada sebuah cermin untuk selalu melihat cacat di wajahnya.

Dan setiap kali Kiai Danatirta selalu berkata, bukan saja kepada diri sendiri, tetapi juga kepada murid-muridnya, “Di dalam kekuatan terdapat kelemahan, dan di dalam kelemahan terdapat kekuatan.”

Tetapi pada pekan-pekan pertama ia mulai memberikan latihan kepada muridnya itu, telah timbul suatu persoalan baru bagi Kiai Danatirta. Anaknya, Arum minta kepadanya dengan sepenuh hati, bahkan sambil merengek, agar ia diperkenankan ikut mempelajari olah kanuragan.

“Kau seorang gadis” berkata ayahnya, “Tidak menjadi kebiasaan seorang gadis mempelajari olah kanuragan”

“Tetapi aku ingin sekali ayah. Biarlah orang lain tidak. Kalau ayah mau menurunkan ilmu itu kepada orang lain, kenapa tidak kepadaku? Kepada anaknya, meskipun aku seorang perempuan?”

“Arum. Mempelajari ilmu kanuragan bukanlah sekedar menjadi seorang yang tangguh. Tetapi sesuai dengan wadag seorang Laki-laki, ia pantas pergi dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mengamalkan ilmunya. Tetapi tidak bagi seorang gadis. Tidak pantas sama sekali, dan bahayanya jauh lebih dahsyat dari seorang laki-laki”

“Apakah seorang laki-laki tidak dapat menjumpai bahaya? Apakah seorang laki-laki tidak akan pernah menjumpai lawan yang melampauinya, tetapi selalu demikian bagi perempuan? Dan perempuan selalu tidak akan dapat melepaskan diri dari bahaya?”

“Bukan begitu Arum. Bahaya yang paling besar bagi seorang laki-laki adalah maut. Tetapi tidak bagi perempuan. Kau mengerti? Masih ada bencana yang lebih dahsyat dari maut, justru karena ia terlepas dari maut itu”

Arum menundukkan kepalanya, ia mengerti maksud ayahnya. Perempuan memang mempunyai kelemahannya sendiri. Mungkin dalam sebuah perjalanan ia bertemu dengan orang yang tidak dapat dikalahkannya. Tetapi orang itu tidak membunuhnya. Dan karena justru ia tidak dibunuh itulah ia akan jatuh ke dalam neraka yang lebih jahat dari mati.

Tetapi tiba-tiba saja Arum mengangkat wajahnya sambil menyahut dengan serta merta, “Aku akan membunuh diri di dalam keadaan yang demikian”

“Arum” suara Kiai Danatirta merendah, “bunuh diri bukannya penyelesaian yang baik. Justru seorang yang bunuh diri akan menjumpai persoalan tanpa selesai, karena persoalannya beralih menjadi persoalan dan pertanggungan jawab kepada Tuhan Yang Maha Penyayang. Jelasnya bunuh diri apapun alasannya adalah perbuatan dosa”

“Baiklah, aku tidak akan membunuh diri. Tetapi aku akan memilih melawan sampai mati seperti laki-laki, apabila kebetulan saja aku mengalami peristiwa yang pahit itu”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Hati anak perempuannya itu memang keras, sekeras hati ibunya. Dengan demikian maka kecemasan mulai merayapi dada orang tua itu. Kalau pada suatu saat anaknya ini tergelincir, maka ia akan mengeraskan hatinya di dalam kesehatannya itu seperti ibunya.

Karena Kiai Danatirta tidak segera menjawab, maka Arum mendesaknya, “Kenapa ayah diam saja?”

“Baiklah aku memikirkannya Arum”

“Kenapa harus dipikirkan?”

“Tunggulah sehari dua hari. Aku akan menimbang baik dan buruknya” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kenapa kau tiba-tiba saja ingin ikut serta mempelajari olah kanuragan? Kenapa tidak sebelum ini?”

“Aku tidak tahu ayah. tetapi memang tiba-tiba saja aku ingin mempelajarinya”

“Baiklah. Baiklah. Aku akan mempertimbangkannya”

“Apa yang harus dipertimbangkan? Aku menyatakan keinginanku mempelajarinya. Bukan untuk dipertimbangkan. Akulah yang bermaksud berbuat dan aku akan berbuat”
Dada Kiai Danatirta berdesir mendengar jawaban itu. Jawaban itu mirip benar dengan jawaban ibunya ketika ia mencoba mencegahnya berhubungan dengan seorang Laki-laki diluar padepokannya. Ibu Arum itu menjawab, “Ayah tidak perlu mempersoalkannya. Akulah yang akan kawin. Bukan ayah. Karena itulah, akulah yang memutuskannya”

Pada saat itu. hampir saja ia menampar mulut anaknya. Untunglah bahwa ia masih dapat mengendalikan dirinya, meskipun saat itu ia mengancam, “Kalau laki-laki itu masih datang lagi kepadamu, aku bunuh dia”

Tetapi yang terjadi justru anaknya dibawa lari, Dan muridnya lah yang membunuh laki-laki itu sampyuh dengan kematian sendiri. Dua jiwa telah menjadi korban.

Sejenak Kiai Danatirta merenung. Namun karena ayahnya tiba-tiba saja memandang kekejauhan, dan bahkan terbayang perasaan yang pedih di matanya tanpa diketahui sebab yang sebenarnya, Arum menjadi berdebar-debar. Ia menyangka, bahwa kata-katanya lelah menyakiti hati ayahnya. Sama sekali tidak terbayang di kepalanya, bahwa ayahnya yang sebenarnya adalah kakeknya itu sedang membayangkan suatu masa lampau yang panjang.

“Ayah” tiba-tiba Arum berjongkok di hadapan ayahnya yang duduk di bibir amben, “Kenapa ayah merenung?”

“O” Kiai Danatirta terkejut. Kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Tidak apa-apa Arum”

“Apakah kata-kataku melukai hati ayah?”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam. Jawabnya, “Tidak Arum. Tetapi ayah ingin anaknya menuruti kata-katanya. Tentu saja, ayah tidak selalu benar. Tetapi kadang-kadang seorang tua, betapapun bodohnya, mempunyai firasat tentang anak-anaknya”

“Maafkan aku ayah” suara Arum merendah, “Aku tidak akan memaksa ayah. Aku akan menurut segala nasehat ayah. Aku hanya sekedar menyatakan keinginan hatiku. Tetapi terserahlah kepada ayah”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Inilah bedanya Arum dengan ibunya. Ternyata Arum mempunyai kelembutan di samping kekerasan hatinya.

Karena Kiai Danatirta tidak segera menjawab, maka Arum pun berkata pula, “Apakah ayah marah kepadaku?”

“O, tidak. Tidak Arum. Aku tidak marah”

“Tetapi ayah diam saja, “

“Aku sedang berpikir”

“Ayah tidak usah memaksa diri untuk mengambil keputusan sekarang. Aku akan menunggu”

Kiai Danatirta memandang Arum sejenak. Kemudian sekali lagi ia tersenyum, “Ya. Kau memang harus menunggu”

Meskipun Arum kemudian meninggalkan Kiai Danatirta, namun Kiai Danatirta masih tetap dibebani oleh persoalan itu. Dicobanya untuk menilai untung ruginya. Permintaan Arum baginya merupakan suatu persoalan yang memang baru. Ibunya dulu sama sekali tidak tertarik pada olah kanuragan. Bahkan sebagian hidupnya telah dihabiskannya bekerja di sawah dan di dapur. Dan sebagian yang lain untuk dengan diam-diam menemui laki-laki yang kemudian melarikannya.

“Apakah ada baiknya aku memberi kesempatan kepada Arum untuk mempelajari olah kanuragan?” pertanyaan itu mulai merayap di hatinya, “Ia akan mempunyai suatu perhatian khusus di dalam hidupnya”

Namun demikian, Kiai Danatirta masih selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Ia memang pernah mendengar atau membaca di dalam kitab-kitab, bahwa pernah ada raja-raja perempuan di Tanah Jawa ini. Pahlawan-pahlawan perempuan di ceritera pewayangan dan prajurit-prajurit perempuan. Tetapi lingkungan-nya sendiri belum pernah melahirkan seorang perempuan yang mumpuni di dalam olah kanuragan.

“Aku akan melihat kemungkinan-kemungkinannya” berkata Kiai Danatirta kemudian kepada diri sendiri.

Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang masak, maka Kiai Danatirta mampu menilai setiap unsur gerak dari ilmunya dari beberapa segi. Dan itulah sebabnya, maka sejak ia mulai mempertimbangkan kemungkinan memberikan ilmu kanuragan kepada Arum. Kiai Danatirta mulai melakukan penilaian lebih saksama lagi atas ilmunya. Di malam hari, ketika seisi padepokan itu sudah tidur, maka masuklah ia ke dalam bilik tertutupnya. Diamatinya kembali setiap tata gerak dari yang paling sederhana sampai kepada yang paling sulit.

Tiba-tiba Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menemukan beberapa unsur gerak yang dapat disesuaikan dengan kemampuan kodrati seorang perempuan.

Tetapi Kiai Danatirta masih belum puas dengan penemuannya yang hanya sekedar unsur-unsur gerak yang terselip di dalam keseluruhan tata gerak, sehingga tidak merupakan suatu kebulatan yang utuh. Namun justru karena itu, maka Kiai Danatirta ternyata telah memulai dengan suatu kerja yang baru. Menyusun ilmu kanuragan khusus untuk seorang perempuan, namun yang tidak kalah dahsyatnya dari ilmu yang diperuntukkannya bagi seorang laki-laki berdasarkan perbedaan wadagnya.

Setiap kali Kiai Danatirta bertemu dengan Arum, tampaklah pertanyaan tersirat di wajah anak itu. Tetapi Kiai Danatirta masih belum memberikan jawaban. Dan betapapun gelisahnya dada gadis itu, namun Arum juga tidak bertanya kepada ayahnya.

Dalam pada itu. Raden Juwiring dan Buntal masih terus melakukan latihan-latihan di bawah tuntunan Kiai Danatirta. Meskipun masih merupakan gerak-gerak dasar dan bersifat umum, tetapi kedua anak-anak muda itu merasa bahwa mereka harus bekerja keras dan dengan penuh kesungguhan.

Ternyata kedua anak-anak muda itu memberikan kepuasan kepada Kiai Danatirta. Keduanya adalah anak-anak yang baik. Dan keduanya mempunyai tubuh yang memungkinkan bagi mereka untuk melakukan latihan-latihan yang berat seperti yang dikehendaki oleh Kiai Danatirta.

Namun di malam hari, apabila padepokan itu sudah sepi, Kiai Danatirta masih berada di bilik tertutup itu sendiri. Dengan tekun ia mematangkan bentuk baru dari ilmunya, meskipun isinya tidak berbeda.

Pada suatu malam yang sepi, Arum terkejut ketika ia mendengar pintu biliknya bergerit. Dengan serta merta ia bangkit dan duduk di pembaringannya.

Namun gadis itu menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat ayahnya berdiri dimuka pintu.

“Apakah kau sudah tidur Arum?”

Arum menggelengkan kepalanya, “Belum ayah. Udara panas sekali sehingga aku tidak dapat tidur”

Ayahnya mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kalau kau masih belum ingin tidur, kemarilah Marilah kita duduk diluar sejenak, untuk menyegarkan badan”

Arum mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. ia pun segera bangkit berdiri dan membenahi pakaiannya. Kemudian diikutinya ayahnya melangkah keluar melalui pintu pringgitan melintasi pendapa.

Arum menarik nafas. Ayahnya itu pun kemudian duduk di tangga pendapa.

“Disini tidak begitu panas” berkata ayahnya.

“Ya ayah”

“Duduklah disini”

Arum pun kemudian duduk di samping ayahnya.

“Arum” suara ayahnya menjadi dalam, “Apakah kau masih tetap pada keinginanmu?”

“Apa ayah?” bertanya Arum.

“Olah kanuragan?”

“O. Ya ayah. Aku hampir tidak sabar menunggu jawaban ayah. Aku kira ayah sudah melupakannya, atau sengaja membiarkan saja persoalan itu”

“Kenapa kalau begitu?”

“Aku tidak mau ayah. Aku harus mendapatkan ilmu seperti orang lain di padepokan ini, meskipun aku perempuan”

“Bagaimana kalau ayah berpendirian lain?”

“Tidak. Ayah tidak akan berpendirian lain. Aku memerlu-kannya. Kalau aku tidak minta kepada ayah, lalu kepada siapa?” Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Inilah sifat Arum yang sebenarnya. Sekeras sifat ibunya. Namun Kiai Danatirta pun kemudian berkata, “Jadi kau telah mencabut pendirianmu itu?”

“Pendirian yang mana? Aku tidak pernah mencabut sikap yang telah aku tentukan”

“Arum” berkata ayahnya, “Bukankah kau mengatakan waktu itu kepada ayah, bahwa kau menyerahkan semuanya kepadaku. Apakah aku akan mengijinkan atau tidak? Bukankah kau tidak akan memaksa ayah dan menurut segala nasehat ayah”

“O” kepala gadis itu pun tertunduk. Perlahan-lahan ia berdesis, “Maafkan ayah. Aku memang tidak akan memaksa ayah dan aku akan menurut segala kehendak ayah”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Di samping sifat-sifatnya, Arum telah berhasil menguasai dirinya sendiri meskipun kadang-kadang terlepas. Tetapi untuk seterusnya, ia harus berhati-hati, agar Arum tetap dapat memelihara keseimbangan itu. Bahkan agar ia semakin dekat dengan penguasaan diri tanpa memanjakan perasaannya. Dan inilah kelebihan Arum dari ibunya.

Melihat Arum menundukkan kepalanya dalam-dalam dengan penuh kecewa Kiai Danatirta menjadi iba. Karena itu maka katanya, “Bagus Arum. Kau adalah anak yang baik. Kau akan tetap menurut nasehat ayah dan tidak akan memaksa. Bukankah begitu?”

“Ya ayah” suara Arum dalam sekali. Bahkan hampir tidak terdengar, karena Arum sedang berusaha untuk menahan air matanya yang telah memanasi pelupuknya.

Tetapi tiba-tiba ia terperanjat ketika ayahnya berkata, “Arum. Tetapi bukankah aku belum mengatakan keputusanku tentang permintaanmu?”

Arum mengangkat wajahnya. Sepercik harapan membayang di wajahnya. Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Jadi maksud ayah?”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berkata, “Arum. Sebenarnya memang kurang lajim seorang gadis mempelajari olah kanuragan. Namun karena kau adalah anakku, maka aku telah mencoba untuk menyingkirkan kejanggalan itu dari hatiku”

Sebelum Kiai Danatirta melanjutkan kata-katanya, Arum telah melonjak dan berlutut di hadapan ayahnya sambil berkata, “Terima kasih ayah. Terima kasih”

Sebuah senyum yang cerah membayang di bibirnya, meskipun di matanya secercah air telah membasahi pelupuknya.

Namun sebenarnya Kiai Danatirta mempunyai kepentingan yang lain pula. Ia ingin mempergunakan keinginan Arum untuk mempelajari ilmu kanuragan itu sebagai cara untuk menghindar-kan kemungkinan-kemungkinan yang tidak dikehendaki, justru karena di padepokan itu sudah terlanjur terdapat dua orang anak-anak muda.

Demikianlah, maka Arum merasa bahwa dadanya menjadi terlampau lapang. Keinginannya akan terwujud. Bukan saja laki-laki yang boleh menyadap ilmu kanuragan, tetapi ayahnya kini sudah memperkenankannya untuk ikut serta.

“Tetapi” berkata ayahnya, “Kau harus tetap seorang gadis Arum. Kau harus tetap berlaku sebagai seorang gadis. Dan kau harus tetap menunjukkan sifat-sifatmu di antara kawan-kawanmu. Kau tidak boleh menunjukkan perubahan apapun yang terjadi pada dirimu, seandainya kelak kau berhasil menguasai ilmu kanuragan ini”

“Aku berjanji ayah”

“Dan kau tidak pernah ingkar janji?”

Arum tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut.

Dalam pada itu, maka Arum tidak sabar lagi menunggu hari-hari berikutnya. Ia ingin segera mulai. Ia ingin segera mempelajari ilmu yang selama ini hanya dapat dilihatnya.

Tetapi ayahnya masih belum memulainya, meskipun beberapa hari telah lewat.

“Apakah ayah hanya sekedar menyenangkan hatiku saja” berkata Arum di dalam hatinya, “Tetapi untuk seterusnya ilmu itu tidak pernah diberikannya?”

Namun pada suatu senja, Arum telah dipanggil ayahnya di bangsal latihan. Ketika ia masuk, ternyata di dalam bilik yang agak luas itu telah menunggu Raden Juwiring dan Buntal.

“Apakah kalian akan berlatih” bertanya Arum.

Hampir berbareng keduanya menggeleng. Juwiring lah yang kemudian menjawab, “Kami telah dipanggil oleh Kiai Danatirta di luar saat-saat berlatih”

Arum mengerutkan keningnya. Agaknya ayahnyalah yang masih belum ada di ruang itu.

Tetapi Arum tidak menunggu terlalu lama. Sebentar kemudian maka Kiai Danatirta pun telah datang pula ke dalam ruangan itu.

“Anak-anakku” berkata orang tua itu sejenak kemudian, “aku memang memanggil kalian bersama-sama. Ada sesuatu yang harus aku beritahukan kepada kalian”

Ketiga anak-anak muda itu menjadi berdebar-debar.

“Pertama-tama, aku memberitahukan kepada Raden Juwiring dan Buntal, bahwa Arum ternyata menyatakan keinginannya untuk mempelajari olah kanuragan. Suatu hal yang janggal bagi seorang gadis. Tetapi itu adalah keinginannya. Dan aku pun tidak berkeberatan” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sudah barang tentu, bahwa meskipun ilmu kalian bersumber pada sifat dan watak yang sama, namun pasti ada perbedaannya di dalam ungkapan, karena bagi seorang laki-laki tentu ada bedanya dari seorang perempuan”

Ketiga anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Terbayang sebuah senyum di bibir Arum. Sedang Juwiring dan Buntal mengangguk-angguk tanpa sesadarnya.

Tetapi terlebih-lebih lagi, aku akan memberitahukan kepada kalian, hubungan yang harus kalian mengerti setelah kalian berguru bersama-sama” Kiai Danatirta berhenti sejenak. Dipandanginya wajah ketiga anak-anak muda itu satu demi satu. Lalu, “ Setelah kalian menjadi murid dari satu perguruan, maka kalian akan menjadi tiga orang bersaudara. Tidak ada bedanya dengan saudara sekandung. Akulah yang menjadi ayah kalian dan ilmu yang akan kalian serap itu adalah pengikat dari persaudaraan kalian”

Ketiga anak-anak muda itu pun menundukkan wajahnya.

Bersambung ke Bagian 3

Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/


Komentar

Postingan Populer