Bunga di batu karang I bag 3

Bunga di batu karang I Bag 3

“Nah, biarlah aku menentukan siapakah yang paling tua di antara kalian, di antara saudara sekandung di dalam penyadapan ilmu ini” berkata Kiai Danatirta kemudian, “Bukan berdasarkan waktu kehadirannya di padepokan ini. Jika seandainya demikian, maka Arum lah yang akan menjadi paling tua. Tetapi berdasarkan umur, Raden Juwiring akan menjadi saudara tertua. Buntal akan menjadi anak kedua dan yang bungsu adalah Arum. Sudah tentu sejak sekarang, kalian tidak akan memanggil dengan istilah lain dari istilah persaudaraan ini, dan kalian akan memanggil aku ayah. Memang agak berbeda dengan sebutan perguruan, tetapi aku memang tidak ingin menunjukkan kepada tetangga-tetangga kita, bahwa kita telah mendirikan suatu perguruan kanuragan”

Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. Sejenak mereka terpukau oleh kata-kata Kiai Danatirta.

“Apakah kalian tidak berkeberatan?” bertanya Kiai Danatirta kemudian, “terutama Raden Juwiring, yang berasal dari keluarga yang agak berbeda dengan kami disini. Dengan Buntal dan dengan Arum”

“Ah” Juwiring berdesah, “Apakah bedanya?”

“Jadi kau tidak berkeberatan?” bertanya Kiai Danatirta.

Juwiring menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak berkeberatan sama sekali. Aku merasa menemukan saudara sekandung yang dapat aku hayati daripada saudaraku yang sebenarnya. Disini aku menemukan kedamaian hati yang sebenarnya. Di istana ayahanda aku merasa tersiksa. Meskipun aku tinggal rumah yang mewah dan besar, tetapi setiap saat selalu dibayangi oleh kedengkian dan iri”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk pula.

“Baiklah kau memang tidak berkeberatan. Untuk seterusnya aku hanya akan memanggil nama kalian masing-masing, karena kalian adalah anak-anakku. Tetapi aku sama sekali tidak berhasrat untuk merubah nama itu”

Ketiga anak-anak muda itu tidak menyahut.

“Nah, dengan demikian maka kita mempunyai keluarga baru yang besar sekarang. Tetapi jangan menunjukkan perubahan apapun kepada orang lain. Kepada tetangga-tetangga dan kawan-kawan kalian di padukuhan ini. Kalian harus tetap seperti kemarin. Juga Juwiring masih tetap seperti Raden Juwiring, karena setiap orang mengetahui bahwa kau adalah seorang bangsawan yang dititipkan kepadaku, untuk mendapatkan tuntunan olah kajiwan. Bukan olah kanuragan”

Juwiring mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut Sesaat terbayang kehidupan yang telah ditinggalkannya. Terbayang sebuah istana yang megah dari seorang bangsawan yang kaya. Tetapi justru karena ayahnya seorang yang kaya, dan tidak hanya mempunyai seorang isteri, maka rumah yang megah itu telah menjadi sarang kedengkian dan iri. Setiap orang selalu curiga kepada orang lain. Kebencian tidak lagi dapat dihindarkan lagi.

Sehingga akhirnya ia terlempar ke padukuhan kecil itu karena bermacam-macam alasan yang sebagian terbesar tidak benar sama sekali. Ia sadar, bahwa ia sekedar disingkirkan dari lingkungannya yang sedang bergulat berebut kesempatan untuk mendapatkan warisan terbesar.

“Hem” Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Terbayang pula wajah adik seayah tetapi tidak seibu yang umurnya hampir bersamaan dengan umurnya, “Rudira”

Juwiring terkejut ketika ia mendengar Kiai Danatirta berkata, “Sudahlah. Aku tidak mempunyai persoalan lagi kini. Kalian dapat meninggalkan ruangan ini. Besok kita akan mulai dengan ilmu kanuragan dari padepokan ini yang sebenarnya. Selama ini, kalian sekedar mendapat dasar-dasar olah kanuragan pada umumnya. Meskipun waktu yang aku tetapkan sebagai waktu percobaan dan pendadaran belum habis, tetapi aku percaya kepada kalian, bahwa kalian akan selalu melakukan semua petunjukku sebaik-baiknya”

Demikianlah maka ketiga anak-anak muda itu meninggalkan bilik tempat mereka berlatih. Terasa sesuatu yang lain di dalam diri mereka. Kini mereka harus menganggap yang satu dengan yang lain sebagai saudara. Saudara sekandung.

Dihari-hari berikutnya, seperti yang dikatakan oleh Kiai Danatirta, ketiganya mulai mendapatkan latihan-latihan khusus. Mereka mulai mempelajari unsur-unsur gerak yang agak lain dari unsur-unsur gerak yang selama ini mereka pelajari.

Sedangkan Arum telah mendapat waktu tersendiri di dalam latihan-latihan yang memang hanya diperuntukkan baginya. Tetapi di dalam tata gerak dasar, mereka kadang-kadang juga berlatih bersama.

Ternyata mereka tidak mengecewakan hati Kiai Danatirta. Mereka bertiga berlatih bersungguh-sungguh. Kadang-kadang diluar dugaan, bahwa mereka mampu melakukan latihan-latihan yang berat untuk waktu yang melampaui waktu yang sudah ditentukan oleh gurunya.

“Mereka benar-benar telah melakukan dengan sepenuh hati” berkata Kiai Danatirta di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, darah keturunan Juwiring masih tetap menjadi teka-teki bagi Buntal. Ia sama sekali tidak berani bertanya, darimanakah sebenarnya ia datang. Dan putera siapakah ia sebenarnya.

“Apakah ia putera seorang pengeran yang lahir dari seorang selir?” pertanyaan itulah yang selalu melonjak di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, meskipun Juwiring telah menjadi anak angkat yang sekaligus murid Kiai Danatirta, namun pengaruhnya bagi orang-orang di sekitarnya masih tidak berubah. Bagaimanapun juga ujud lahiriahnya adalah seorang bangsawan yang memang lain dari orang-orang kebanyakan. Bagi tetangga-tetangga Kiai Danatirta, kehadiran seorang bangsawan di padepokan itu mempunyai pengaruh tersendiri. Sikap mereka yang sangat hormat dan segan kepada Juwiring sama sekali tidak berubah, meskipun mereka tahu bahwa sesuatu telah terjadi, sehingga Juwiring harus berada di padepokan Kiai Danatirta untuk menuntut ilmu kajiwan. Mempelajari kesusasteraan dan tata kesopanan. Tetapi diluar dugaan mereka, bahwa di samping itu semua, Juwiring juga mempelajari ilmu kanuragan.

Demikianlah dari waktu ke waktu, ketiga anak-anak muda di padepokan Kiai Danatirta itu berkembang dengan pesatnya, sesuai dengan idaman orang tua itu. Bukan saja dalam olah kanuragan. Tetapi tabiat dan sifat mereka pun menunjukkan ketulusan hati mereka.

Di siang hari mereka bekerja seperti kebanyakan anak-anak padukuhan itu. Mereka pergi ke sawah. Membawa alat-alat pertanian dan pupuk. Sedang Arum pergi ke sungai mencuci pakaian dan berbelanja ke pasar. Kemudian ikut menanjak nasi dan masak di dapur seperti kebanyakan gadis-gadis padesan.

Demikianlah kehidupan yang tenang itu berjalan terus, sehingga pada suatu saat, seekor kuda yang tegar berlari memasuki halaman padepokan itu. Seorang laki-laki setengah umur yang kemudian menarik kekang kuda itu, segera meloncat turun.

Kiai Danatirta yang berada di pringgitan, bergegas menjengukkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia berlari-lari kecil menyongsong orang berkuda itu sambil menyapanya, “O, kau Dipanala”

Orang yang kini telah berdiri di halaman itu menganggukkan kepalanya, jawabnya, “Ya kakang”

“Kemarilah. Sudah lama kau tidak datang”

Dipanala pun kemudian naik ke pendapa dan dipersilahkan masuk ke pringgitan.

Keduanya pun kemudian duduk berhadapan diatas sehelai tikar pandan. Sejenak mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing setelah agak lama mereka tidak bertemu.

“Sudah lama sebenarnya aku ingin datang ke padukuhan ini. Tetapi aku masih terlampau sibuk”

“Apa kerjamu sebenarnya? Bukankah kau hanya harus menghadap setiap Kliwon dan duduk di regol dalam?”

“Ya, tetapi aku mempunyai pekerjaan juga di Dalem Kapangeranan”

“Apa kerjamu?” bertanya Kiai Danatirta.

Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Memang tidak ada. Tetapi rasa-rasanya aku menjadi sangat sibuk. Semakin lama rumah itu menjadi semakin gersang”

“Kenapa? Bukankah di dalamnya tersimpan harta benda yang tidak ternilai jumlahnya”

“Justru itulah sebabnya. Sekarang Raden Ayu Manik sudah tidak ada lagi di Dalem Kapangeranan”

“Raden Ayu Manik? Bagaimana mungkin?”

“Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di Istana Pangeran Ranakusuma. Tidak seorang pun akan menyangka bahwa pada suatu saat Raden Ayu Manik keluar dari istana itu dan kembali ke ayahandanya”

“Bagaimana sikap Pangeran Reksanegara ketika puterinya. dikembalikan kepadanya?”

“Betapa panas hati Pangeran tua itu. Tetapi ia tidak dapat, berbuat banyak. Ia tidak lagi dapat menantang perang tanding, karena tata kehidupan kebangsawanan sudah bergeser. Kini di Istana Pangeran Ranakusuma sering terjadi semacam bujana makan dan minum untuk menghormat tamu-tamunya”

“Siapakah tamu-tamu itu?”

Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah yang sangat mencemaskan. Tamunya adalah orang-orang asing”

“Kumpeni maksudmu?”

Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya.

Kiai Danatirta berdesah sambil mengusap dadanya. Terbayang kini di rongga matanya, tata cara yang asing itu mulai merayap masuk ke dalam tata kehidupan para bangsawan dan pembesar di pusat pemerintahan. Meskipun Kiai Danatirta menyadari bahwa tidak semua adat dan tata cara orang asing itu jelek, karena menurut anggapan lahiriah mereka pun orang-orang beradab, tetapi kadang-kadang ada yang terasa seperti duri di dalam daging sendiri.

“Jadi siapakah yang sekarang berkuasa di istana Pangeran Ranakusuma?”

“Raden Ayu Sontrang, “

“Raden Ayu Sontrang?”

“Ya, nama panggilan dari Raden Ayu Galihwarit, puteri Pangeran yang agak kurang waras itu”

“Pangeran Sindurata?”

“Ya”

Kiai Danatirta hanya dapat mengelus dadanya. Meskipun sepengetahuan orang banyak ia bukan seorang bangsawan yang mempunyai lingkungan hidup setaraf dengan mereka menurut bentuk lahiriah, tetapi yang terjadi itu membuat hatinya terlampau pedih. Sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Jadi bagaimana dengan Raden Juwiring?”

Ki Dipanala mengedarkan tatapan matanya ke seputarannya. Seakan-akan ia sedang mencari seseorang di ruangan itu.

“Raden Juwiring tidak ada di rumah. Ia pergi ke sawah dengan Buntal”

“Siapakah Buntal itu?”

“Seorang anak pedesaan, sekedar untuk mengawani Raden Juwiring disini. Tetapi nanti aku ceriterakan tentang anak itu”

“Jadi anak itu tidak ada?”

“Tidak”

“Kakang Danatirta” berkata Dipanala kemudian, “nasib anak muda itu memang kurang baik. Selama ini, sepeninggal ibunya, nasibnya seakan-akan tergantung dari belas kasihan Raden Ayu Manik, karena meskipun ia anak tirinya, Raden Ayu Manik sendiri tidak mempunyai anak. Tetapi sekarang Raden Ayu Manik tidak ada lagi di istana itu. Hidupnya akan menjadi semakin terasing dari keluarganya, sehingga pada suatu saat ia akan dilupakan. Apalagi derajat ibunya tidak setingkat dengan Raden Ayu Manik dan Raden Ayu Sontrang”

Danatirta menundukkan kepalanya. Desisnya, “Ya, Rara Putih memang tidak setingkat dengan Raden Ayu keduanya. Tetapi aku meletakkan harapan kepada Raden Ayu Manik, bahwa ia akan berhasil membawa Raden Juwiring kembali ke istana itu meskipun untuk waktu yang lama. Tetapi harapan itu akan menjadi semakin suram”

“Ya kakang. Yang sekarang hampir tidak dapat dikendalikan adalah Raden Rudira dan adiknya Raden Ajeng Warih. Mereka merasa lebih berkuasa dari ayahanda Pangeran Ranakusuma”

“Aku sudah menyangka. Karena kedua anak-anak itulah agaknya Raden Ayu Sontrang sampai hati menyingkirkan saudara sepupunya sendiri dari istana” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Tetapi sebenarnya Raden Ayu Galihwarit yang disebut Sontrang itu tidak usah berusaha mengusir puteri itu, karena ia tidak berputera. Raden Ayu Manik tidak akan memerlukan pembagian kekayaan suaminya, karena ia tidak mempunyai anak keturunan”

“Bukan anak keturunannya sendiri. Raden Ayu Manik selalu berbicara tentang Raden Juwiring yang kini ada di padepokan ini. Itulah sebabnya Jika demikian, maka hak Raden Juwiring akan menjadi sama dengan hak Raden Rudira. Itulah yang membuat Raden Ayu Sontrang berusaha menyingkirkan Raden Ayu Manik”

Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Apakah kau mengetahui cara yang dipergunakan untuk mengusir Raden Ayu Manik?”

“Seperti yang dilakukan buat mengusir Raden Juwiring. Adalah kebetulan sekali bahwa Pangeran Reksanegara, ayah Raden Ayu Manik, sangat membenci kepada kumpeni. Dan kebencian itu dapat dimanfaatkan dengan baik sekali oleh Raden Ayu Sontrang. Ia minta bantuan kumpeni untuk mendesak Pangeran Ranakusuma, agar Raden Ayu Manik, puteri seorang yang memberi kumpeni itu dikembalikan kepada ayahnya. Kalau tidak, kumpeni tidak akan mau berhubungan dengan Pangeran Ranakusuma di dalam segala hal”

“Gila. Benar-benar perbuatan yang sangat licik. Alangkah bodohnya orang-orang asing itu. Mereka telah diperalat untuk kepentingan pribadi dan nafsu ketamakan”

“Tidak kakang. Bukan suatu kebodohan. Orang-orang asing itu juga orang-orang tamak. Mereka adalah orang-orang yang selalu kehausan apapun juga”

“Tetapi apakah yang mereka dapatkan dari Pangeran Ranakusuma?”

“Kumpeni ingin mendapatkan dukungan yang kuat dari kalangan istana Surakarta untuk dapat memberikan tekanan-tekanan lebih berat lagi bagi Kangjeng Sunan. Kalau para Pangeran sudah berhasil dipengaruhinya, dengan segala macam cara, sebagian dengan janji-janji dan sebagian lagi dengan harta benda, maka kedudukan Kangjeng Sunan akan menjadi semakin lemah. Dengan demikian maka semua persetujuan yang dipaksakan oleh kumpeni tidak akan dapat ditolaknya lagi” Dipanala berhenti sejenak, lalu, “Tetapi secara pribadi kumpeni itu juga mendapat imbalan dari persoalan pribadi Raden Ayu Sontrang dan Raden Ayu Manik”

“Apa yang mereka dapatkan?”

Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Kiai Danatirta sejenak. Namun kemudian ia hanya menelan ludahnya saja -sambil menundukkan kepalanya.

“Apakah yang mereka dapatkan secara pribadi?” desak Kiai Danatirta”

“Maaf kakang. Sebenarnya aku tidak sampai hati untuk mengatakannya. Tetapi apaboleh buat. Kau memang perlu mendapat gambaran seluruhnya” Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu, “berat sekali untuk mengatakannya, justru menyangkut nama baik seorang puteri bangsawan”

Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Ketajaman perasaannya segera menangkap persoalan yang belum dapat dikatakan oleh Ki Dipanala. Karena itu justru Kiai Danatirta lah yang kemudian berkata, “Dipanala. Aku mengerti. Bukankah kau bermaksud mengatakan bahwa kumpeni-kumpeni itu mendapat imbalan secara pribadi juga? Aku tahu bahwa Raden Ayu Galihwarit, meskipun sudah berputera sebesar Raden Rudira, namun nampaknya masih muda dan cantik. Menilik sifat-sifatnya yang licik, maka memang mungkin sekali terjadi, bahwa ia telah mengorbankan kehormatannya sebagai seorang puteri bangsawan untuk mendapat jalan, mengusir Raden Ayu Manik”

Ki Dipanala menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menyahut, “Dugaan itu tepat kakang. Ia bahkan mendapatkan segala-galanya. Bukan sekedar bantuan mengusir Raden Ayu Manik, tetapi ia memang memerlukannya. Bukankah kau tahu, bahwa Pangeran Ranakusuma tidak lagi dapat berbuat apa-apa untuknya?”

“Hem” Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam, “benar-benar suatu perbuatan yang memalukan. Memalukan bukan saja bagi para bangsawan, tetapi juga bagi kita seluruhnya. Bagi orang berkulit sawo matang ini”

Ki Dipanala mengangguk-angguk. Tetapi kata-katanya terputus ketika Arum melangkah masuk ke pringgitan sambil menjinjing mangkuk minuman.

“Arum” desis Ki Dipanala, “Kau sudah prigel menghidangkan suguhan buat tamu-tamu ayahmu”

“Ah paman” Arum berdesah, “Tetapi marilah paman. Sekedar air untuk menghilangkan haus”

“Terima kasih Arum. Berapa pekan paman tidak datang kemari. Kau tampaknya cepat tumbuh dan sekarang kau benar-benar seorang gadis dewasa. He, berapa umurmu?”

Arum tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya.

“Ia pantaran dengan anakku yang bungsu. Bukankah begitu kakang?”

Kiai Danatirta menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya. Hanya berselisih dua pekan”

Ki Dipanala mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian, “Sering datanglah ke rumah paman. Kau akan banyak melihat”

“Terima kasih paman. Lain kali kalau ayah mengijinkannya, “Ki Dipanala tersenyum. Dipandanginya Arum yang bergeser surut kemudian meninggalkan pringgitan.

“Anakmu cepat menjadi besar kakang” Kiai Danatirta mengangguk”

“Tampaknya jauh lebih dewasa dari anakku yang masih senang bermain pasaran di halaman”

Kiai Danatirta tertawa.

“Ia akan menjadi gadis yang tinggi besar seperti ibunya” berkata Ki Dipanala kemudian.

Kiai Danatirta tidak menyahut. Tetapi tiba-tiba saja wajahnya menjadi suram.

Terasa sesuatu berdesir di dada Ki Dipanala. Ia menyesal bahwa ia telah menyebut ibu Arum yang sudah tidak ada lagi itu. Karena itu, maka dengan serta merta ia berusaha mengalihkan pembicaraan

“Kapan Raden Juwiring kembali dari sawah?”

“Biasanya setelah tengah hari” jawab Kiai Danatirta, “Apakah kau akan menemuinya?”

Dipanala merenung sejenak, lalu, “Tetapi aku kali ini tidak membawa apapun buat Raden Juwiring. Aku sama sekali tidak berhasil mendapat sekedar belanja buat anak muda yang malang itu. Apalagi sepotong pakaian”

“Ah, jangan kau pikir lagi tentang belanja dan pakaian. Ia sudah berhasil menyesuaikan diri dengan kehidupan di padepokan ini. Jangan kau rusakkan lagi dengan kebiasaan yang cengeng di istana Kapangeranan itu”

Dipanala mengangguk-angguk.

“Kalau kau ingin bertemu dengan Raden Juwiring, jangan kau katakan apa yang terjadi di rumah itu. Ia akan menjadi semakin prihatin. Kalau perasaan mudanya tidak dapat dikendalikannya, maka pada suatu saat akan meledak dengan dahsyatnya. Padahal ia tidak mempunyai kekuatan apapun di belakangnya, sehingga ledakan itu pasti hanya akan menghancurkan dirinya sendiri”

“Ya kakang. Tetapi sebaiknya ia mengetahui, bahwa kadang-kadang Raden Rudira menyebut namanya. Bahkan anak itu ingin melihat dimana Raden Juwiring tinggal”

“Buat apa ia melihat tempat ini?”

“Itulah yang mencemaskan. Aku kira ia masih belum puas bahwa Raden Juwiring hanya sekedar tersisih. Ia pasti mempunyai tujuan yang lain yang barangkali tidak akan dapat kita bayangkan, hati apakah yang sudah bermukim di dadanya”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Terbayanglah tatapan mata yang tajam seorang bangsawan muda yang bernama Rudira itu. Bangsawan muda yang berhati hitam seperti hati ibunya, Raden Ayu Galihwarit yang juga disebut Raden Ayu Sontrang. Seorang perempuan bangsawan yang bertubuh tinggi besar, berkulit kuning langsat. Wajahnya yang bulat seperti bulan purnama dihiasi dengan sepasang mata yang berkilat-kilat. Tetapi di dalam dadanya yang mendebarkan jantung itu, tersembunyi hati yang hitam lekam. Dan kehitaman hatinya itu telah menurun kepada kedua anak-anaknya. Raden Rudira dan adiknya.

“Kalau hal itu kau anggap perlu Dipanala, katakanlah. Tetapi hati-hati, jangan menimbulkan kecemasan yang berlebih-lebihan di hatinya.

Dipanala mengangguk sambil menjawab, “Aku mengerti kakang”

“Tunggulah sambil minum. Ia akan segera datang”

Keduanya pun kemudian meneguk air panas yang disuguhkan oleh Arum. Seteguk demi seteguk. Namun angan-angan mereka masih saja terlambat pada persoalan keluarga Pangeran Ranakusuma. Keluarga seorang bangsawan yang kaya raya. Tetapi tidak memiliki kemantapan berkeluarga karena seisi rumah yang selalu curiga-mencurigai dan saling membenci.

Sejenak kemudian, ternyata Juwiring dan Buntal telah pulang dari sawah. Mereka langsung menuju ke ruang belakang. Mereka sudah menduga, bahwa ayah angkat mereka, pasti sedang menerima seorang tamu karena seekor kuda tertambat di halaman. Tetapi mereka tidak mengetahui, siapakah tamu ayahnya itu.

Baru ketika Juwiring meletakkan cangkulnya, Arum mendekatinya sambil berbisik, “Paman Dipanala, kakang Juwiring”

“He, Dipanala? Eh, maksudku paman Dipanala?”

“Ya”

Juwiring mengangguk-angguk. Dipandanginya Buntal yang termangu-mangu itu sekilas. Namun kemudian dilontarkannya pandangan matanya jauh-jauh.

“Sudah agak lama ia tidak datang. Kabar apakah yang dibawanya?”

“Aku tidak tahu. Paman Dipanala sedang berbincang dengan ayah. Agaknya memang ada sesuatu yang penting”

Tetapi anak-anak muda itu terkejut ketika terdengar suara di pintu, “Tidak. Tidak ada yang penting. Dipanala hanya sekedar menengok keselamatan Juwiring”

Ternyata Kiai Danatirta telah berdiri di belakang mereka. Sambil tersenyum ia berkata, “Marilah Juwiring. Kalau kau sudah membersihkan diri, temuilah paman Dipanala sejenak. Ia ingin bertemu setelah sekian lama ia tidak datang”

Arum menundukkan kepalanya. Tanpa diketahuinya ayahnya mendengar kata-katanya. Sedang Juwiring memandang Kiai Danatirta dengan pertanyaan-pertanyaan yang membayang disorot matanya.

Tetapi pertanyaan-pertanyaan itu tidak terucapkan. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Baiklah ayah. Aku akan membersihkan diri lebih dahulu”

Demikianlah Juwiring segera pergi ke pakiwan. Setelah berganti pakaian, ia segera pergi ke pringgitan untuk menemui Dipanala yang datang dari kota setelah agak lama ia tidak berkunjung.

Sepeninggal Juwiring, tinggallah Buntal bersama Arum yang berdiri termangu-mangu. Sejenak mereka saling berpandangan, namun sejenak kemudian, setelah Juwiring berada di pringgitan, dan setelah Buntal berhasil mengatasi keragu-raguannya, ia pun mendekati Arum. Perlahan-lahan ia berbisik, “Siapakah yang datang?”

“Paman Dipanala”

“Siapakah paman Dipanala?”

“Ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan ayah”

“Dengan Kiai Danatirta, eh, ayah atau dengan Juwiring”

“Dengan ayah. Tetapi ia tinggal di Dalem Kapangeranan. Pangeran Ranakusuma”

Buntal mengerutkan keningnya. Ia berusaha untuk mengusir keragu-raguannya sama sekali. Ia benar-benar ingin mengetahui, siapakah sebenarnya Raden Juwiring itu. Dan kali ini agaknya ada kesempatan baginya. Kesempatan yang tidak menimbulkan kecurigaan apapun juga.

“Siapakah Pangeran Ranakusuma?” bertanya Buntal.

“Ayah Raden Juwiring”

“O, jadi ayahnya seorang Pangeran?” Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Juwiring benar-benar seorang bangsawan yang masih terhitung dekat dengan istana. Ia adalah keturunan kedua dari Kangjeng Sunan.

“Jadi” Buntal melanjutkan, “Apakah hubungan Juwiring dengan paman Dipanala?”

“Hubungan keluarga yang sudah agak jauh, atau katakanlah tidak ada hubungan apa-apa, selain paman Dipanala tinggal di Dalem Kapangeranan itu”

“Benar-benar tidak ada hubungan keluarga?”

Arum tidak segera menjawab. Sejenak dipandanginya pintu ruang belakang itu. Tetapi ia hanya menarik nafas panjang.

Buntal tidak mendesaknya. Meskipun ia sudah dianggap sebagai saudara kandung oleh Arum, tetapi ia tidak dapat mendesaknya untuk menceriterakan sesuatu yang agaknya tidak ingin diceriterakannya.

Namun dengan demikian Buntal kini mendapat sedikit gambaran tentang Juwiring. Meskipun ia sadar, bahwa keterangan yang didengarnya dari Arum itu baru sebagian kecil dari keseluruhan Juwiring seutuhnya, namun ia sudah mendapat alas untuk mengetahui keadaan lebih lanjut.

Dalam pada itu, Juwiring telah berada di pringgitan bersama dengan Kiai Danatirta dan Dipanala. Dengar ragu-ragu Dipanala menceriterakan apa yang telah terjadi di istana Kepangeranan. Meskipun tidak seluruhnya dikatakannya agar anak muda itu tidak menjadi semakin berkecil hati, namun Juwiring yang berotak cerah itu dapat membuat gambaran sendiri, apa yang telah terjadi, berdasarkan pengenalannya selagi ia masih tinggal di rumah itu.

“Tidak aneh bagi ibunda Galihwarit apabila ia sampai hati menyingkirkan ibunda Manik dari rumah itu” berkata Juwiring sambil menahan perasaannya yang hendak bergolak, “Aku sudah menduga sejak dahulu, bahwa pada suatu saat hal itu akan terjadi”

“Ya. Dan sekarang Raden Ayu Sontrang lah yang paling berkuasa di rumah itu bersama kedua puteranya”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Biarlah paman. Aku tidak mempunyai sangkut paut lagi dengan rumah itu. Aku merasa diriku lebih baik di padepokan ini. Aku tidak akan Bermimpi lagi memiliki apapun dari istana itu, meskipun hanya selembar kain atau sepotong perhiasan. Biarlah aku hidup seperti sekarang ini. Ayahku sekarang adalah Kiai Danatirta dan aku sudah mempunyai dua orang saudara. Bukan Rudira dan Warih, tetapi Buntal dan Arum. Dan itu sudah cukup bagiku”

Dipanala menundukkan kepalanya. Suaranya hampir tidak dapat meluncur dari sela-sela bibirnya, “Itu suatu sikap terpuji Raden. Aku adalah pemomong Raden sejak kecil. Resmi atau tidak resmi. Sebenarnya ada juga sakit hatiku melihat nasib yang Raden alami. Tetapi agaknya hati Raden telah mengendap. Dan itu adalah kurnia Tuhan yang tidak ada nilainya Tentu akan jauh lebih berharga dari harta benda itu sendiri. Dengan pasrah diri Raden akan menemukan ketenteraman. Tetapi tidak demikian agaknya dengan harta benda itu, yang justru menimbulkan kegelisahan, dengki dan kebencian”

“Karena itu paman, namaku jangan dihubungkan lagi dengan istana Ranakusuman. Aku sekarang adalah anak padepokan Jati Aking di padukuhan Jati Sari. Aku mempunyai banyak kawan disini. Aku dapat hidup seperti cara hidup mereka. Dan aku senang menjalaninya. Itulah yang penting. Keikhlasan hati”

Tanpa sesadarnya Dipanala memandang wajah Kiai Danatirta. Agaknya Kiai Danatirta lah yang mengajari Juwiring untuk berbicara tentang keikhlasan hati dan penyesuaian diri, sumber dari kedamaian hati yang diketemukannya disini.

Namun karena itulah, maka Dipanala tidak sampai hati untuk mengusik ketenteraman itu dengan mengatakan rencana Rudira untuk masih membuat persoalan yang dapat menumbuhkan ketegangan-ketegangan baru dengan kakaknya.

“Kalau Raden Rudira mengetahui, bahwa Juwiring tidak lagi mempunyai nafsu untuk mendapatkan bagiannya dari warisan itu, aku rasa, ia tidak akan berbuat apa-apa lagi, karena warisan itulah pusar dari peristiwa yang berurutan terjadi di istana Ranakusuman” berkata Dipanala di dalam hati, sehingga dengan demikian niatnya untuk mengatakan sesuatu tentang Raden Rudira telah dibatalkan.

“Dipanala” yang berbicara kemudian adalah Kiai Danatirta, “Agaknya pendirian Juwiring sudah jelas. Kau tidak usah bersusah payah mengusahakan apapun dari istana Ranakusuman. Kami disini mengucapkan terima kasih atas usahamu itu. Tetapi untuk seterusnya, seandainya kau sajalah yang datang tanpa membawa apapun, sudah cukup membuat hati kami gembira”

Dipanala mengangguk-angguk. Katanya, “Kadang-kadang hati ini yang tidak dapat aku tahankan”

Tetapi Kiai Danatirta tersenyum, “Anakmas Juwiring yang mengalaminya langsung telah berhasil mengendapkan perasaannya. Tentu kau juga dapat mengendapkan perasaan itu”

“Ya kakang. Aku akan mencoba. Tetapi ada beberapa soal yang selalu mengungkat perasaan ini. Kami, yang sudah tinggal bertahun-tahun di Dalem Kapangeranan, masih selalu merunduk-runduk apabila kami naik ke pendapa, apalagi apabila Pangeran Ranakusuma atau salah satu dari isteri-isterinya ada di pendapa. Kami selalu berjalan sambil berjongkok, kemudian duduk bersila sambil menundukkan kepala dalam-dalam setelah menyembah. Tetapi kini, orang-orang asing itu dengan tanpa ragu-ragu lagi naik ke pendapa masih juga memakai alas kakinya yang kotor. Duduk tanpa menghiraukan adat dan kebiasaan kami. Bahkan kadang-kadang mereka berkelakar tanpa batas. Tertawa berkepanjangan sehingga terdengar sampai ke seluruh kota”

Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Ketika tanpa sesadarnya ia memandang wajah Juwiring, terasa sesuatu bergolak di dada anak muda itu. Wajah anak muda itu menjadi merah padam. Dengan susah payah Juwiring berusaha untuk menahan perasaannya. Ditundukkan wajahnya dalam-dalam untuk menyembunyikan kesan yang melonjak. Namun kesan itu tertangkap pula bukan saja oleh Kiai Danatirta, tetapi juga oleh Ki Dipanala.

Bahkan akhirnya Juwiring tidak dapat bertahan lagi, dan meluncurlah pertanyaannya yang tertahan-tahan, “Sampai kapan hal itu akan terus terjadi?”

Ki Dipanala menggelengkan kepalanya.

“Rumah kami sudah menjadi kandang sampah yang paling kotor. Orang-orang asing itu telah menodai rumah itu dengan segala macam kejahatan dan kemaksiatan. Agaknya ayahanda Pangeran adalah seorang laki-laki yang lemah hati. Yang silau oleh kilatan benda-benda duniawi. Termasuk harta benda dan perempuan”

“Sudahlah anakmas Juwiring” berkata Danatirta, “Jangan hiraukan lagi apa yang terjadi. Bukankah kau sudah memutuskan di dalam hatimu untuk tidak mengaitkan diri lagi dengan rumah itu?”

“Ya ayah. Aku sudah memutuskan. Tetapi apakah aku dapat melepaskan diri dari gangguan perasaanku, bukan oleh harta warisan, tetapi oleh kesamaan warna kulit dan rambut ini? Bahwa ada di antara kita yang telah menjual harga dirinya kepada orang-orang asing itu untuk sekedar mendapatkan harta dan benda? Apalagi orang-orang yang telah berbuat demikian itu adalah orang-orang yang bersangkut paut dengan aku. Orang-orang yang berhubungan darah dengan aku. Aku dapat memutuskan segala ikatan lahiriah. Tetapi siapa yang dapat memutuskan hubunganku dengan ayahanda, hubungan antara ayah dan anak?”

Ki Dipanala hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sebenarnya hatinya sendiri juga terbakar setiap kali ia melihat orang-orang asing yang berkeliaran di pendapa Kapangeranan tanpa menghiraukan tata kesopanan dan adat. Siang maupun malam”

Tetapi Kiai Danatirta lah yang selalu berusaha menekan perasaan yang bergolak itu. Katanya, “Sudahlah. Persoalan itu bukan persoalan kecil Bukan sekedar persoalan kita. Persoalanku, persoalanmu dan persoalan istana Ranakusuman. Tetapi persoalan itu adalah persoalan Surakarta. Kita harus menemukan saluran yang tepat, apabila kita ingin ikut berbicara tentang orang-orang asing itu”

Juwiring menundukkan kepalanya semakin dalam. Dadanya serasa terbakar. Tetapi ia masih berusaha untuk mendinginkan darahnya. Ia sadar, bahwa Kiai Danatirta berkata sebenarnya. Persoalan itu bukan persoalan satu dua orang. Tetapi persoalan itu adalah persoalan Surakarta. Sehingga karena itu, ia tidak akan dapat berbuat apa-apa seorang diri. Atau katakanlah dengan kelompok yang kecil. Mungkin ia akan dapat berbuat sesuatu di rumahnya. Tetapi itu bukan penyelesaian bagi orang-orang asing. Itu hanya sekedar penyelesaian masalahnya sendirinya. Masalah pribadinya.

Namun demikian, orang-orang asing itu masih tetap menjadi persoalan di dalam hatinya. Sekilas ia teringat kepada ceritera Buntal, bahwa di rumah Tumenggung Gagak Barong pun orang-orang asing itu berbuat sesuka hatinya. Tentu juga seperti yang dilakukan di rumah Ranakusuman.

“Semakin banyak orang yang kehilangan pribadinya” berkata Juwiring di dalam hati.

Namun dalam pada itu Juwiring mengangkat wajahnya ketika Kiai Danatirta berkata, “Sudahlah Juwiring. Kalau kau ingin beristirahat, beristirahatlah. Pamanmu akan bermalam disini malam nanti” Kiai Danatirta berhenti sejenak sambil memandang wajah Dipanala, lalu, “Bukankah begitu?”

Dipanala mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum, “Baiklah kalau kakang menghendaki. Aku memang sedang mendapat waktu istirahat. Bahkan semakin sering aku minta waktu untuk beristirahat, orang-orang di istana Ranakusuman akan menjadi semakin senang. Mereka dapat berbuat apa saja tanpa ada yang mengganggunya”

“Jadi sebagian besar dari orang-orang di rumah itu sudah dimabukkan oleh kepuasan lahiriah?” bertanya Juwiring.

Dipanala mengangguk. Namun cepat-cepat ia berkata, “Tetapi sudahlah. Aku akan bermalam disini. Nanti malam kita akan dapat berbicara panjang”

Juwiring pun mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Silahkan paman duduk. Aku akan beristirahat di belakang”

“Silahkan, silahkan” Dipanala pun mengangguk-angguk pula. Juwiring pun segera meninggalkan pringgitan. Sementara Kiai Danatirta dan Ki Dipanala masih berbicara tentang berbagai macam persoalan.

“Dipanala” yang berbicara kemudian adalah Kiai Danatirta

“Agaknya pendirian Juwiring sudah jelas. Kau tidak usah bersusah payah mengusahakan apapun dari istana Ranakusuman. Kami disini mengucapkan terima kasih atas usahamu itu. Tetapi untuk seterusnya, seandainya kau sajalah yang datang tanpa membawa apapun, sudah cukup membuat hati kami gembira”

“Aku tidak sampai hati merusak kedamaian hatinya kakang” berkata Ki Dipanala, “peristiwa yang terjadi di istana Rana-kusuman sudah membuatnya gelisah. Tetapi aku kira ia akan segera dapat meletakkan masalah itu pada tempat dan keadaan yang wajar. Tetapi yang menyangkut langsung dirinya sendiri benar-benar tidak dapat tertuang sama sekali”

“Maksudmu?”

“Niat Raden Rudira. Aku tidak tahu pasti, apakah sebabnya Raden Rudira masih saja ingin menemui kakaknya yang sudah terasing itu” Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu, “Aku tidak mau membuatnya selalu dalam kecemasan”

“Biarlah aku yang akan mengatakannya kelak” berkata Kiai Danatirta, “Tetapi aku harus mempertimbangkan waktu”

Demikianlah keduanya masih terus berbicara dari satu soal ke soal yang lain. Sedang sementara itu, Juwiring telah berada di ruang belakang. Betapa ia mencoba menyembunyikan perasaannya, namun Buntal dan Arum dapat menangkap, bahwa sesuatu sedang bergolak di hatinya”

Tetapi baik Buntal maupun Arum tidak segera bertanya kepadanya. Dibiarkannya Juwiring mendekati mereka dan duduk diatas amben bambu yang panjang.

Arum dan Buntal hanya saling berpandangan sejenak. Namun mereka pun kemudian menundukkan kepala mereka pula.

Juwiring menarik nafas. Dan tiba-tiba saja ialah yang pertama-tama berbicara, “Memang ada hal yang penting, Arum”

Arum mengangkat wajahnya. Demikian juga Buntal.

“Jadi persoalan itu memang ada?” bertanya Arum.

“Ya. Persoalan itu membuat hatiku menjadi pepat. Aku ingin mengurangi beban itu sedikit. Apakah aku dapat mengatakannya kepada kalian meskipun persoalannya tidak menyangkut kalian sama sekali?”

“Tentu menyangkut. Persoalan yang menyangkut salah seorang dari kita, akan menyangkut kita semua”

Juwiring mengangguk-angguk. Tetapi suaranya yang datar meluncur dan sela-sela bibirnya, “Ya, begitulah, Tetapi persoalan ini adalah persoalan keluargaku yang sebenarnya sudah ingin aku lupakan”

“O” desis Buntal, “Tetapi kalau kau tidak berkeberatan, ceriterakanlah”

Dengan singkat Juwiring berceritera tentang keadaan rumah yang ditinggalkannya. Tetapi ceriteranya ditekankannya kepada kehadiran orang-orang asing yang seakan-akan lebih berkuasa dari orang-orang yang sudah bertahun-tahun menghuni rumah itu.

“Jadi orang-orang asing itu juga yang membuat ayahanda Pangeran Ranakusuma semakin gelap hati” berkata Juwiring, “Agaknya mereka telah menyusup ke setiap sudut kota Surakarta. Kalau orang-orang di istana. Susuhunan lengah, maka akhirnya istana itu pun akan segera dikuasainya”

Buntal mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Demikian juga di istana Tumenggung Gagak Barong. Aku juga melihat hal yang serupa”

“Tentu tidak hanya di istana Tumenggung Gagak Barong dini istana ayahanda Ranakusuma. Tentu di rumah-rumah Kapangeranan yang lain. Di rumah Bupati Nayaka, di rumah setiap bangsawan di Surakarta”

Buntal tidak menyahut. Pengetahuannya tentang para bangsawan memang sangat terbatas. Tetapi karena ia pernah tinggal di rumah seorang bangsawan, maka ia dapat membayangkan apa yang. sudah terjadi di rumah-rumah yang besar dan megah itu.

Makan minum, gelak tertawa yang tidak tertahankan, mabuk dan akhirnya mereka terkapar tidur setelah muntah-muntah. Tetapi itu adalah peristiwa-peristiwa sesaat. Yang lebih mengerikan, apakah yang telah terjadi di balik peristiwa-peristiwa sesaat itu.

Tetapi seperti kata-kata Kiai Danatirta, Juwiring pun berkata, “Namun demikian, itu bukan persoalan kita seorang demi seorang. Itu adalah persoalan Surakarta. Karena itu, kita harus mendapatkan saluran untuk menyatakan hati kita”

“Saluran?” bertanya Buntal.

“Ya. Tentu saluran. Bukan kita berbuat sendiri-sendiri. Itu tidak akan berguna dan hanya akan membuang waktu dan tenaga, bahkan mungkin jiwa kita”

Buntal mengangguk-angguk. Memang tidak mungkin untuk berbuat sendiri-sendiri. Tetapi kalau mereka harus mencari saluran, dimanakah mereka akan mendapat?

Tetapi Buntal tidak bertanya. Ia kadang-kadang lebih senang berteka-teki kepada diri sendiri daripada melepaskan pertanyaan. Rasa-rasanya sangat berat untuk bertanya sesuatu. Ia masih merasa dirinya terlalu bodoh, sehingga mungkin pertanyaannya justru salah.

Demikianlah, di malam harinya, Dipanala benar-benar bermalam di padepokan itu. Mereka, seisi rumah itu, sempat duduk dan berbicara panjang lebar dengan Ki Dipanala. Bukan saja Juwiring, tetapi juga Arum dan Buntal yang mendapat kesempatan memperkenalkan dirinya. Tetapi mereka tidak membicarakan masalah-masalah yang dapat menegangkan perasaan. Mereka berbicara tentang keadaan mereka sehari-hari, tentang sawah dan ladang, air dan ternak.

Di pagi harinya Ki Dipanala minta diri kepada keluarga Jati Aking. Ia masih tetap tidak dapat mengatakan sesuatu tentang Rudira yang agaknya masih belum puas melihat kakaknya tersingkir sampai ke padukuhan Jati Sari.

Sepeninggal Ki Dipanala, maka. Kiai Danatirta lah yang memberikan banyak petunjuk kepada Juwiring dan Buntal. Seperti yang disanggupkan, ia akan memberi tahukan, meskipun samar-samar, bahwa ia harus tetap berhati-hati terhadap adik seayahnya, Raden Rudira.

“Juwiring” berkata Kiai Danatirta, “sebenarnya pamanmu Dipanala tidak ingin mengatakan apa yang terjadi di Dalem Ranakusuman. Tetapi kadang-kadang perasaannya yang ingin mendapatkan saluran itu tidak tertahankan lagi. Tanpa disadarinya masalah-masalah yang semula akan tetap disimpannya di dalam hati. agar hatimu tidak menjadi semakin sakit itu, sedikit demi sedikit telah terloncat keluar. Apalagi tanggapanmu yang tajam telah memancing semua persoalan. Tetapi ingat, jangan cepat berbuat sesuatu. Masalah yang kau hadapi adalah satu segi dari rangkaian masalah yang besar”

Juwiring yang memang sudah menyadari keadaan sepenuhnya itu pun menganggukkan kepalanya. Sementara Kiai Danatirta berkata seterusnya, “Namun ada juga sangkut pautnya dengan masalahmu sendiri. Kau harus tetap berhati-hati. Raden Rudira adalah adikmu. Tetapi di dalam persoalan ini, ia berdiri berseberangan dengan kita semua. Ia bergaul rapat dengan orang-orang asing, dan ia adalah putera dari Raden Ayu Galihwarit”

“Aku mengerti ayah” jawab Juwiring.

“Syukurlah. Tetapi tanggapanmu jangan berlebih-lebihan. Mungkin hatinya tidak sejahat yang kita sangka”

Juwiring hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Ia masih belum dapat membayangkan, betapa warna ini dada adiknya itu yang sebenarnya.

Namun semuanya itu telah mendorong Juwiring untuk berbuat lebih banyak. Bersama-sama dengan Buntal dan Arum mereka telah menempa diri sejauh-jauh dapat mereka lakukan. Ketiga anak-anak muda itu berkeputusan, bahwa apapun yang akan mereka lakukan, namun mereka harus mengumpulkan bekal sebaik-baiknya. Dan bekal yang paling baik menurut pertimbangan mereka adalah olah kanuragan.

Demikianlah kemelutnya hati anak-anak muda itu membuat mereka semakin cepat maju. Rasa-rasanya dari hari demi hari, hati mereka menjadi semakin panas seperti panasnya udara Surakarta, sejak orang kulit putih semakin berpengaruh. Beberapa orang bangsawan benar-benar telah terbius oleh kesenangan lahiriah yang dibawa oleh orang-orang asing itu, sehingga lambat laun, semakin tipislah kesetiaannya kepada tanah tempat mereka dilahirkan. Hubungan yang akrab membuat mereka melupakan batas yang ada di antara para bangsawan itu dengan orang-orang asing.

“Apa salahnya kita saling berhubungan” berkata seorang bangsawan kepada seorang pelayannya, “manusia di dunia mempunyai ikatan hakekat yang sama. Merekapun mengatakan bahwa bagi mereka tidak ada lagi batas-batas di antara manusia sedunia. Mereka datang dengan hikmah persaudaraan”

Pelayan-pelayannya hanya mengangguk-angguk, saja, karena mereka sama sekali tidak mengetahui, apakah sebenarnya yang telah terjadi. Tetapi karena mereka ikut pula menikmati kesenangan duniawi yang melimpah ruah, maka mereka pun mengiakannya dengan sepenuh hati.

Tetapi para bangsawan yang tinggal di batas-batas dinding yang tinggi, di halaman yang luas dan bersih, yang semakin lama menjadi semakin cerah karena mereka mendapatkan hadiah-hadiah yang merupakan barang-barang baru bagi rumah-rumah dan istana-istana mereka, sama sekali tidak melihat apa yang telah terjadi di padesan dan di padukuhan kecil. Rakyat yang merasakan langsung penghisapan yang mulai terjadi diatas tanah kelahiran ini.

Ternyata mereka yang mengatakan, bahwa kedatangan mereka adalah atas dorongan persaudaraan manusia yang tanpa batas itu. sebenarnya mempunyai kepentingan yang besar bagi mereka. Bagi satu pihak dari yang dikatakannya tanpa batas itu. Dan merekalah yang mendapatkan keuntungan terbesar dari suasana yang mereka kembangkan suasana tanpa ada batas, suasana tanpa jarak. Karena apa yang mereka katakan itu bukan kata nurani mereka yang sebenarnya, sehingga sikap orang-orang asing di Surakarta itu sama sekali bukan suatu sikap yang jujur.

Untunglah, bahwa tidak semua bangsawan terbius oleh keadaan itu. Ada juga bangsawan yang menyadari keadaan yang sebenarnya. Yang merasakan betapa janggalnya keadaan Surakarta pada saat itu.

Ternyata bahwa perpindahan istana dari Kartasura ke Surakarta sama sekali tidak membawa hikmah apapun juga. Bahkan sinar yang memancar dari keagungan Susuhunan Paku Buwana, semakin lama menjadi semakin suram.

Salah seorang yang memandang keadaan itu dengan tajam adalah seorang Pangeran yang berhati bening. Pangeran Mangkubumi.

Kepadanyalah beberapa bangsawan yang tidak dapat menerima keadaan yang berkembang itu meletakkan harapan. Kepadanyalah mereka berharap, agar pada suatu saat, lahir suatu sikap yang dapat menyelamatkan Surakarta.

Tetapi Pangeran Mangkubumi bukan seorang yang berhati panas. Ia masih mampu menilai keadaan dengan tenang. Setiap tindakan diperhitungkannya sebaik-baiknya, agar ia tidak terjerumus ke dalam suatu tindakan dan pengorbanan yang sia-sia.

Karena itulah, maka tidak jarang Pangeran Mangkubumi itu berusaha melihat dengan mata kepala sendiri, kehidupan yang sebenarnya dari rakyat Surakarta, yang lambat laun mengalami masa surut yang parah.

Berlawanan dengan Pangeran Mangkubumi, maka beberapa orang bangsawan berusaha menikmati hidup mereka sebaik-baiknya tanpa menghiraukan nasib siapapun. Seandainya mereka pergi keluar kota, mereka, sama sekali tidak ingin melihat dan tidak mau melihat kehidupan rakyat yang sebenarnya.

Adalah menjadi kebiasaan mereka pergi berburu. Mereka sengaja membiarkan beberapa bagian dari hutan yang dibuka menjadi tanah garapan. Hutan-hutan itu mereka pergunakan sebagai daerah perburuan yang mengasikkan.

Demikianlah, ketika orang-orang Jati Sari sibuk dengan kerja mereka di sawah dan ladang, mereka dikejutkan oleh derap beberapa ekor kuda yang berlari-lari di jalan persawahan menyusuri bulak yang panjang. Namun orang-orang Jati Sari itu pun kemudian tidak menghiraukannya lagi, karena mereka telah mengenal, bahwa iring-iringan orang berkuda itu adalah iring-iringan beberapa orang yang pergi berburu. Dan salah seorang atau dua orang dari mereka adalah bangsawan.

Hanya beberapa orang sajalah yang masih sempat melihat seorang anak muda yang gagah berkuda di paling depan, dan di belakangnya beberapa orang pengawalnya mengiringnya.

Arum yang kebetulan berjalan di lorong itu pula membawa makanan untuk Juwiring dan Buntal yang sedang bekerja di sawah, dengan tergesa-gesa menepi. Namun dengan demikian, sejenak ia tegak berdiri memandang anak muda yang berkuda di paling depan.

Dadanya berdesir ketika ia melihat wajah anak muda itu. Begitu mirip dengan wajah Juwiring. Namun Arum pun segera memalingkan wajahnya. Tidak seorang pun yang berani memandang wajah seorang bangsawan apalagi ia sedang memandang pula.

Tetapi Arum terperanjat ketika ia sadar, bahwa kuda yang paling depan itu tiba-tiba saja berhenti. Dengan demikian, kuda-kuda yang berada di belakangnya pun berhenti pula dengan tiba-tiba, sehingga beberapa di antaranya meringkik dan berdiri diatas dua Kaki belakangnya, karena kendali yang terasa menjerat leher.

Sejenak Arum mengangkat wajahnya. Tetapi ketika matanya bertatapan dengan sorot mata anak muda yang berada diatas punggung kuda itu, kepalanya pun segera tertunduk.

“He, siapa kau anak manis?” terdengar suara anak muda yang berada di punggung kuda itu.

Arum bingung sejenak. Ia tidak pernah berhubungan dengan orang-orang yang masih asing baginya. Sehari-hari ia hanya berada di rumahnya, di padepokan Jati Aking atau di sawah. Sekali-sekali ia pergi ke pasar. Tetapi jarang sekali seorang Laki-laki langsung menegurnya.

“Kenapa kau malu? Angkatlah wajahmu. Pandang aku. Dan jawablah pertanyaanku. Siapa namamu?”

Kata-kata yang mengalir itu seolah-olah merupakan pesona yang tidak dapat dielakkan, sehingga hampir tanpa disadari ia menjawab, “Namaku Arum”

“Arum” ulang anak muda yang berkuda itu, “nama yang bagus sekali. Dimana rumahmu he?”

Arum tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya sajalah yang kini justru tertunduk dalam.

“Dimana rumahmu?” Arum masih tetap diam saja.

Namun terasa bulunya berdiri ketika anak muda itu tiba-tiba saja meloncat turun dari kudanya.

Arum sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Bahkan ia beringsut mundur beberapa jengkal, sehingga hampir saja ia terjatuh ke dalam parit.

Karena iring-iringan itu berhenti di tengah bulak, maka kini seluruh perhatian orang-orang yang ada di sawah itu pun tertuju kepada anak muda yang kemudian sudah berdiri dimuka Arum.

“Kau belum menjawab pertanyaanku” berkata anak muda itu.

Tetapi Arum tetap diam. Hatinya menjadi semakin kecut ketika ia menyadari, bahwa orang-orang yang lain pun telah turun pula dari kuda mereka.

“Jangan takut dan jangan malu. Aku tidak apa-apa. Aku hanya terpesona oleh kecantikanmu. Memang gadis-gadis padesan justru mempunyai paras yang cantik, yang jarang diketemukan pada wajah-wajah gadis bangsawan. Ciri-ciri yang lain, menumbuhkan perhatian yang lain pula pada gadis-gadis padesan seperti kau. He, dimana rumahmu?”

Arum menjadi gemetar ketika anak muda itu berdiri semakin dekat. Di dalam keadaan itu, sama sekali tidak terlintas di dalam angan-angannya untuk melawan. Untuk mempergunakan ilmu kanuragan yang telah dipelajarinya, karena pada pendapatnya, tidak seorang pun yang dapat melawan seorang bangsawan. Bahkan ia pernah, mendengar ceritera, tentang gadis-gadis desa. yang terpaksa menjadi selir di istana-istana Pangeran dan bahkan bangsawan-bangsawan di dalam urutan derajat yang lebih rendah. Seorang cucu Susuhunan misalnya. Karena itu maka hatinya pun menjadi semakin kecut.

Tetapi ketika tangan anak muda itu meraba pipinya, dengan, gerak naluriah, Arum meloncat mundur. Meskipun ia berdiri membelakangi parit, tetapi tanpa disadarinya, kemampuan olah kanuragannya lelah mendorongnya melompati parit itu tanpa berpaling.

“He” anak muda itu tiba-tiba terpekik. Wajahnya menjadi cerah seperti anak-anak mendapat mainan. Dengan nada tinggi ia berkata, “Lucu sekali. Kau dapat meloncati parit ini tanpa memutar tubuhmu. Bukan main. Hampir tidak masuk akal bagi seorang gadis desa seperti kau. Coba ulangi sekali lagi. Aku senang sekali melihat. Ternyata selain cantik, kau adalah seorang gadis yang sangat lincah. Seandainya kau seekor burung, kau tidak selembut burung perkutut. Tetapi kau selincah burung branjangan. Dan aku memang lebih senang burung branjangan dari burung perkutut yang seperti mengantuk sepanjang hari”

Tetapi dada Arum menjadi semakin berdebar-debar. Ia menjadi semakin bingung, apakah yang akan dilakukannya.

“Jangan takut. Aku tidak akan marah”

Wajah Arum menjadi semakin pucat. Hampir saja ia terduduk lemas.



 Bersambung ke Jilid II bag 1

Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/

Komentar

Postingan Populer