Bunga di batu karang II bag 2

Bunga di batu karang II Bag 2

Rudira menggeram. Tetapi ia tidak begitu saja mempercayainya. Karena itu, ia berteriak, “Hancurkan orang itu lebih, dahulu”
Kini para pengiringnya memandang petani itu dengan penuh keragu-raguan. Tetapi apabila Raden Rudira memerintahkan, mereka pun harus melakukannya. Berkelahi dengan petani yang dengan sekilas telah menunjukkan kelebihan yang hampir tidak masuk akal.
“Cepat” teriak Rudira, “Orang itu harus kalian selesaikan dahulu, sebelum cucurut-cucurut kecil itu”
Para pengiring Rudira pun mulai bergerak, betapapun dada mereka diguncang oleh keragu-raguan. Apapun yang akan mereka alami, namun mereka tidak akan dapat menolak perintah Raden Rudira. Tetapi langkah mereka terhenti, ketika mereka melihat Juwiring dan Buntal pun mulai bergerak pula. Dengan nada yang dalam Juwiring dan Buntal pun mulai bergerak pula. Dengan nada yang dalam Juwiring berkata, “Terima kasih atas pertolonganmu, petani dari Sukawati. Dan kini sudah barang tentu bahwa aku tidak akan membiarkan orang-orang itu mengerubutmu beramai-ramai. Aku dan adikku akan turut campur dalam setiap pertengkaran dengan kau apapun alasannya. Apalagi karena kau telah menolong aku dan adikku”
“Terima kasih. Kita akan berkelahi bersama-sama melawan mereka” jawab petani dari Sukawati itu.
Ternyata hal itu telah mengguncangkan jantung Rudira. Sejenak ia memandang Juwiring, kemudian Buntal dan yang terakhir petani dari Sukawati itu.
Namun tiba-tiba saja ia menyadari keadaannya. Para pengiringnya tidak akan dapat melawan mereka bertiga. Orang yang bertubuh tinggi kekar itu memiliki kemampuan yang tidak terduga-duga. Kalau ia memaksakan perkelahian, maka ia pasti akan menderita malu jauh lebih banyak lagi. Sehingga karena itu, maka Rudira yang masih sempat menilai keadaan itu tiba-tiba saja berkata lantang, “Gila, semuanya sudah gila. Dan kita tidak akan terseret ke dalam kegilaan ini. Marilah kita tinggalkan orang-orang gila yang tidak berharga ini. Kita akan pergi berburu. Lebih baik menghunjamkan anak panah kita ke tubuh seekor kancil daripada harus dikotori dengan darah orang-orang yang tidak tahu adat ini. Tetapi ingat, bahwa keluarga Ranakusuma tidak akan tinggal diam. Kami akan mengambil tindakan yang pantas bagi kalian. Pada saatnya kami akan pergi juga ke Sukawati untuk menemukan seorang petani yang sombong macam kau”
Petani itu menengadahkan wajahnya. Jawabnya, “Aku akan menunggu tuan. Dan aku akan mengucapkan banyak terima kasih atas kunjungan tuan di Sukawati”
“Persetan. Kau akan menyesal” lalu ia berteriak kepada para pengiringnya, “tinggalkan cucurut-cucurut ini. Tangan kita jangan dikotori oleh lumpur yang melekat di tubuh mereka”
Keputusan itu terasa seperti embun yang menitik di hati para pengiringnya yang kering. Perintah itu tidak perlu diulang lagi. Ketika Rudira kemudian pergi ke kudanya dan langsung meloncat naik ke punggungnya, maka para pengiringnya pun segera berbuat serupa.
Sejenak kemudian maka kaki-kaki kuda itu berderap diatas tanah yang berbatu padas, melontarkan debu putih yang mengepul di udara. Beberapa pasang mata mengikutinya dengan debar jantung yang terasa semakin cepat.
Juwiring memandang debu yang semakin lama menjadi semakin tipis, dan yang kemudian lenyap disapu angin, seperti kuda-kuda yang berderap itu hilang di kejauhan.
Sambil menarik nafas ia berpaling kepada petani yang mengaku dari Sukawati itu. Kemudian dengan mantap ia berkata, “sekali lagi aku mengucapkan terima kasih Ki Sanak”
Petani itu menarik nafas dalam-dalam pula, seakan-akan ia ingin berebut menghirup udara dengan Juwiring. Katanya, “Kita sekedar saling tolong menolong” lalu sambil memandang kepada Buntal ia berkata, “Bukankah kau tidak apa-apa”
Buntal menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Aku tidak apa-apa”
“Syukurlah. Ternyata bahwa mereka, maksudku Putera Pangeran Ranakusuma beserta pengiringnya bukan orang-orang yang kuat lahir dan batinnya. Sebenarnya pertengkaran semacam ini tidak perlu terjadi”
Juwiring akan menyahut. Tetapi suaranya terputus ketika ia melihat seorang tua yang berlari-lari langsung mendapatkan Arum sambil berkata, “Kenapa kau Arum, kenapa?” Arum mengerutkan keningnya. Dilihatnya ayahnya dengan nafas tersengal-sengal mendatanginya dengan wajah yang tegang.
“Aku tidak apa-apa ayah”
“Syukurlah. Sokurlah. Aku dengar Raden Rudira lewat di jalan ini dan kebetulan sekali berpapasan dengan kau”
“Ya ayah. Untunglah ada kakang Juwiring dan Buntal” Arum berhenti sejenak, dipandanginya petani dari Sukawati itu sambil berkata, “selebihnya orang itulah yang telah menolong kami”
Kiai Danatirta memandang petani dari Sukawati itu dengan seksama. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Terima kasih Ki Sanak atas semua pertolonganmu. Tetapi apakah dengan demikian kau sendiri tidak terancam oleh bencana karena tingkah laku Raden Rudira itu. Aku datang dengan tergesa-gesa ke tempat ini setelah seseorang memberitahukan kepadaku, apa yang terjadi. Aku masih melihat perkelahian yang berlangsung, dari kejauhan”
Petani itu mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Mereka tidak akan menemukan aku Kiai”
“Siapakah Ki Sanak sebenarnya?”
“Aku seorang petani dari Sukawati”
Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Ia melangkah semakin dekat dengan orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu. Tetapi sebelum ia dekat benar, petani itu berkata, “Sudahlah Kiai. Aku akan meneruskan perjalananku kembali ke Sukawati. Aku baru saja menempuh perjalanan jauh mengunjungi sanakku”
“Tunggu” cegah Kiai Danatirta, “Aku masih ingin bertanya”
Petani itu tertegun. Tetapi katanya, “Sudahlah. Tidak ada yang dapat aku terangkan lagi”
“Kenapa Ki Sanak membantu anak-anakku? Apakah Ki Sanak sudah mengenal mereka?”
“Belum Kiai. Tetapi mereka adalah harapan di masa datang. Karena itu aku merasa sayang apabila benih yang baru tumbuh itu akan dipatahkan” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Sudahlah Kiai. Aku akan pergi"

“Tunggu, tunggu” Kiai Danatirta menjadi semakin dekat. Dipandanginya wajah orang itu dengan saksama, seakan-akan ada yang dicarinya pada wajah orang itu.
Tiba-tiba saja, semua orang yang melihatnya terperanjat bukan buatan. Dengan serta-merta Kiai Danatirta berjongkok di hadapannya sambil menyembah, “Ampun Pangeran. Anak-anak itu tidak tahu, siapakah sebenarnya yang telah menolongnya”
Tetapi dengan cepatnya orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu pun menangkap lengannya dan menariknya berdiri, “Jangan berjongkok. Kalau kau mengenal aku, jangan kau beritahukan hal itu kepada siapapun”
Tetapi Juwiring dan Buntal telah melihat sikap yang aneh pada gurunya. Demikian juga agaknya Arum, sehingga hampir berbareng mereka melangkah maju dengan penuh keragu-raguan.
Kiai Danatirta tidak lagi berjongkok di hadapan petani dari Sukawati itu. Tetapi sikapnya menjadi berlainan sekali. Bahkan sambil menyembah ia berkata, “Ampun. Pangeran. Kami tidak menyangka bahwa tuan akan datang ke tempat ini”
Ternyata panggilan itu telah mengguncangkan dada anak-anak muda yang sudah semakin dekat, dan dapat menangkap kata-kata itu. Sejenak mereka berdiri tegak sambil saling berpandangan.
“Anak-anakku” berkata Kiai Danatirta, “Kemarilah. Kau pasti belum mengenalnya. Juwiring yang sudah lama tinggal di Ranakusuman pun pasti belum mengenalnya dengan baik, karena Pangeran ini jarang berada di antara kaum bangsawan. Bahkan Raden Rudira pun tidak.”
Juwiring memandang petani dari Sukawati itu dengan dada yang berdebar-debar. Baru kini ia melihat sinar yang tajam memancar dari sepasang mata orang itu. Sementara Buntal yang sudah sejak semula melihat kelainan di wajah petani itu menjadi semakin gelisah. Ia adalah orang yang pertama-tama berdiri paling dekat dengan orang itu, ketika ia terbanting jatuh dan berguling beberapa kali, Hampir saja menyentuh sepasang kakinya yang kuat. Dan sejak ia melihat wajah itu dari jarak yang sangat dekat, ia sudah melihat kelainan itu.
Arum yang seakan-akan tanpa menyadarinya bertanya perlahan-lahan, “Siapakah orang itu ayah?”
“Petani dari Sukawati” jawab orang itu.
Tetapi Kiai Danatirta berkata, “Perkenankanlah anak-anak ini mengenal siapakah tuan”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam.
“Bukankah tuan tidak berkeberatan?”
“Baiklah Kiai. Tetapi hanya anak-anakmu, meskipun aku tahu, bahwa mereka bukan anakmu sendiri”
“Terima kasih tuan” Kiai Danatirta pun kemudian berpaling kepada anak-anaknya, katanya, “Inilah yang bergelar Pangeran Mangkubumi”
“Pangeran Mangkubumi?” desis Juwiring. Hampir saja ia berlutut di hadapan orang itu, seandainya orang yang ternyata adalah Pangeran Mangkubumi itu tidak berkata, “Jangan membuat kesan yang aneh di tengah sawah ini. Aku adalah petani dari Sukawati. Lihat, masih banyak orang berada di sekitar tempat ini meskipun agak jauh. Tetapi jika mereka melihat sikap kalian, maka mereka pasti akan bertanya-tanya”
“Tetapi, tetapi…” suara Juwiring menjadi bergetar, “tuan adalah Pangeran Mangkubumi”
“Ya. Apakah salahnya kalau aku Mangkubumi” Pangeran Mangkubumi berhenti sejenak, lalu, “Kau pun pasti bukan anak Kiai Danatirta. Meskipun belum terlalu rapat, aku sudah berkenalan dengan orang yang menjadi ayahmu ini, sehingga ia berhasil mengenali aku dalam pakaianku ini. Bahkan aku sudah mengotori wajahmu dengan debu. Tetapi siapa kau sebenarnya?”
“Namanya Juwiring” Kiai Danatirta lah yang menjawab, “Ia adalah juga putera Pangeran Ranakusuma”
“O” Pangeran Mangkubumi mengangguk-anggukkan kepalanya, “jadi kau adalah putera Kangmas Ranakusuma? Jadi apamu kah yang berkuda itu?”

“Ia Putera Pangeran Ranakusuma yang muda tuan. Tetapi keduanya berlainan ibu. Raden Juwiring putera yang lahir dari seorang ibu dari rakyat jelata, atau katakanlah seorang bangsawan yang telah agak jauh dari lingkungan istana, sedang Raden Rudira, adiknya itu adalah putera yang lahir dari ibunda Raden Ayu Sontrang”
“Jadi yang berkuda itu anak Sontrang yang terkenal itu?”
“Ya tuan”
“Pantas sekali. Aku memang sudah mendengar serba sedikit apa yang terjadi di Ranakusuman. Tetapi aku tidak pernah datang berkunjung kehadapan kangmas Ranakusuma. Aku muak melihat bekas alas kaki orang asing yang tidak dilepas yang mengotori pendapa rumahnya yang pernah terasa keagungannya. Jadi anak inilah yang lahir dari seorang perempuan yang bernama Rara Putih?”
“Ya tuan”
“Dan Rudira itu anak Sontrang yang telah berhasil menyisihkan Diajeng Manik, puteri paman Reksanegara?”
“Ya tuan”
Pangeran Mangkubumi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku tahu betapa tamaknya perempuan itu. Ia mewarisi sikap ayahnya, pamanda Sindurata. Sikap yang sangat bertentangan dengan pamanda Reksanegara. Agaknya kumpeni telah ikut campur pula di dalam persoalan ini, sehingga mempercepat tersisihnya putera pamanda Reksanegara dari Ranakusuman”
Buntal mendengarkan keterangan itu dengan heran. Ternyata bagaimanapun juga ia tidak dapat mengerti, bahwa orang-orang yang masih terikat di dalam hubungan keluarga, bahkan masih terlalu dekat, dapat juga saling memfitnah, saling mendesak dan yang satu mengorbankan yang lain”
“Mereka adalah saudara sepupu” katanya di dalam hati, “bahkan Raden Rudira dan Raden Juwiring adalah saudara seayah”

REPORT THIS AD

Terbayang sekilas paman dan bibinya yang miskin. Mereka sama sekali tidak mempunyai kelebihan apapun juga dari pendapatan mereka sehari-hari. Bahkan untuk makan mereka pun masih belum memenuhi. Tetapi mereka mau juga memeliharanya. Mau juga memberinya tempat di antara keluarganya yang miskin itu.
“Aku tidak tahu” katanya pula di dalam hatinya, “Apakah justru orang-orang besar itulah yang kadang-kadang tidak lagi saling mengasihi di antara sesama. Mereka hidup berpegangan kepada kepentingan diri sendiri. Mereka sama sekali tidak lagi merasa terikat hubungan seorang dengan yang lain. Bahkan kalau perlu yang seorang berdiri beralaskan sesamanya tanpa menghiraukan sakit dan pedihnya”
Terkilas diangan-angan Buntal nasehat Kiai Danatirta, “Kita hidup bumi yang sama. Tuhan yang Satu walaupun Ia mempunyai sembilan puluh sembilan nama dan kita pun diciptakan dari tanah yang sama. Itulah sebabnya maka kita harus saling sayang menyayangi. Saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam kesabaran”
Dalam pada itu, Buntal seakan-akan tersadar dari mimpinya ketika ia mendengar Pangeran Mangkubumi itu bertanya, “Lalu siapakah anak muda ini”
“Aku menemukannya di bulak ini tuan. Menurut pengakuannya ayahnya seorang abdi dari Katumenggungan Gagak Barong”
“O. Tumenggung itu lagi” desis Pangeran Mangkubumi, “Bagaimana ia sampai disini”
“Ia menjadi yatim piatu, sehingga ia harus pergi meninggalkan Katumenggungan itu”
“Itu lebih bagus baginya” Pangeran itu mengangguk-angguk, lalu, “gadis itu?”
“Itu adalah anakku tuan.”
“Anakmu?”
Kiai Danatirta menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi karena Arum ada di dekatnya, maka ia pun mengangguk sambil menjawab, “Ya tuan. Ia adalah anakku”

“Agaknya anakmu itulah yang telah menarik perhatian Rudira. Bukankah begitu?”
“Ya tuan”
“Lalu, Juwiring mencoba melindunginya. Apakah Juwiring ada di padepokanmu?”
“Ya tuan. Ia terusir dari istana Ranakusuman. Bahkan sebelum Raden Ayu Manik”
“Bagus. Tinggallah pada Kiai Danatirta. Aku akan sering berkunjung ke padepokan itu. Aku sering melakukan perjalanan semacam ini untuk melihat kenyataan. Bukan sekedar mendengar berita dari tembang rawat-rawat. Aku sendiri ingin melihat kebenaran. Apalagi setelah kumpeni mulai berpengaruh di Surakarta. Sebenarnya itu sangat menyakitkan hati. Tetapi tidak mudah untuk menolak pengaruh itu. Justru semakin lama agaknya malahan menjadi semakin kuat.
Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia juga menyadari kebenaran kata-kata Pangeran Mangkubumi. Kata-kata itu bukan sekedar meloncat karena dorongan perasaan yang sedang meluap. Tetapi agaknya Pangeran Mangkubumi sudah memikirkannya masak-masak.
Dalam pada itu, maka Pangeran Mangkubumi pun berkata kepada Kiai Danatirta, “Sudahlah. Aku akan meneruskan perjalanan. Aku sedang menjelajahi daerah Surakarta dari ujung Selatan”
“Apakah tuan tidak singgah barang sebentar di padepokan kami agar tuan dapat beristirahat”
“Terima kasih. Aku adalah pejalan yang tidak mengenal lelah. Aku memang membiasakan diri berjalan tanpa berhenti dari matahari terbit sampai matahari terbenam”
Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia percaya kepada keterangan itu. Pangeran Mangkubumi memang sering berjalan dari matahari terbit sampai matahari terbenam, atau sebaliknya dari matahari terbenam sampai matahari terbit. Bahkan kadang-kadang Pangeran Mangkubumi sengaja tidak berbicara sama sekali selama perjalanannya.

Demikianlah maka petani dari Sukawati itu pun minta diri kepada Kiai Danatirta dan ketiga anak-anak angkatnya. Namun baginya, padepokan Jati Aking telah menarik perhatiannya.
Sepeninggal Pangeran Mangkubumi, Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak tahu sama sekali, bahwa orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu adalah Ramanda Pangeran Mangkubumi”
“Aneh sekali” desis Buntal, “Bukankah tidak terlalu banyak jumlah Pangeran di Surakarta?”
“Tetapi Pangeran Mangkubumi jarang sekali ada di kota. Apalagi jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah berhubungan dengan ayahanda Pangeran Ranakusuma, sehingga aku hampir tidak mengenalnya lagi. Memang sekali dua kali aku pernah melihatnya sepintas. Tetapi dengan mengotori wajahnya dan dengan pakaian yang kumal, aku tidak mengenalnya sama sekali, dan apalagi aku tidak menyangka bahwa Pangeran Mangkubumi akan menyamar diri serupa itu. Tentu adimas Rudira tidak mengenalnya pula. Untunglah, bahwa adimas Rudira segera meninggalkan tempat ini, sebelum Ramanda Mangkubumi bertindak lebih jauh.”
“Ternyata bahwa Pangeran Mangkubumi benar-benar bertindak atas suatu sikap. Bukan kebetulan saja ia berbuat sesuatu disini” berkata Kiai Danatirta.
“Aku dengar sikap Ramanda Pangeran Mangkubumi terhadap Kumpeni agak keras” berkata Juwiring.
“Ya. Itulah sebabnya Pangeran Mangkubumi tidak pernah berhubungan dengan Pangeran Ranakusuma, karena Pangeran Mangkubumi tahu, bahwa Pangeran Ranakusuma agak dekat dengan orang-orang asing itu”
Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan tatapan mata yang tajam dipandanginya petani dari Sukawati yang semakin lama menjadi semakin hilang ditelan kejauhan.
Ketika Pangeran Mangkubumi itu sudah tidak tampak lagi, Kiai Danatirta beserta anak-anaknya seolah-olah telah tersadar dari angan-angannya. Tiba-tiba saja orang tua itu berkata, “Kita masih berada di tengah-tengah bulak. Marilah, lanjutkan kerja kalian”

“O” Juwiring dan Buntal pun segera memungut alat-alat mereka sambil memandang Arum yang masih berdiri di pematang.
“Kau juga” berkata Juwiring.
Arum mengangguk. Diambilnya selendangnya, dan digendongnya pula bakul yang berisi makanan buat Juwiring dan Buntal yang kemudian kembali turun ke sawah.
“Aku akan kembali ke padepokan” berkata Kiai Danatirta, “hari ini aku tidak ikut bekerja bersama kalian. Tetapi hati-hati. Jangan kau katakan kepada siapapun, bahwa petani dari Sukawati itu adalah Pangeran Mangkubumi”
Demikianlah, ketika Juwiring dan Buntal sudah berada di sawahnya kembali, maka beberapa orang dengan ragu-ragu telah mendekatinya. Bagaimanapun juga mereka ingin juga mendengar, apakah yang sebenarnya terjadi, dan siapa sajakah yang telah terlibat di dalam persoalan itu.
“Raden” berkata seseorang, “Kami menjadi berdebar-debar menyaksikan apa yang telah terjadi. Untunglah bahwa semuanya telah selamat”
“Ya paman” sahut Juwiring, “Tidak ada apa-apa lagi”
“Tetapi siapakah anak muda yang berkuda diikuti oleh para pengiring itu? Apakah ia juga seorang Pangeran?”
“Ia putera seorang Pangeran”
“O” Orang-orang yang mendengar jawaban itu mengangguk-angguk. Itulah agaknya mengapa Raden Juwiring berani menentang kehendaknya, karena orang-orang itu pun tahu, bahwa Raden Juwiring adalah seorang bangsawan pula meskipun bukan seorang Pangeran.
“Tetapi, tetapi…” bertanya seseorang, “Apakah anak muda itu tidak akan mendendam dan di kesempatan lain berbuat sesuatu di luar dugaan?”
Juwiring menarik nafas. Jawabnya, “Memang mungkin. Tetapi apaboleh buat”

“Apakah Raden belum mengenalnya sebelum ini?” bertanya yang lain.
Juwiring menjadi termangu-mangu. Tetapi ia tidak mengatakan bahwa anak muda itulah yang bernama Raden Rudira, adiknya seayah.
“Aku sudah mengenalnya” jawab Juwiring, lalu, “Apakah kau tidak mendengar percakapan kami dan mendengar ia menyebut namanya?”
Orang-orang itu menggelengkan kepalanya. Salah seorang menjawab, “Kami tidak berani mendekat. Dan kami menjadi semakin berdebar-debar melihat seorang dari lingkungan kami ikut campur. Apakah orang itu tidak tahu, bahwa yang lagi bertengkar adalah para bangsawan”
Juwiring mengerutkan keningnya. Ketika tanpa sesadarnya ia berpaling kepada Buntal, dilihatnya anak muda itu menundukkan kepalanya.
Namun Juwiring pun kemudian menjawab, “Tidak seorang pun yang mengenal petani itu. Ia sadar, bahwa tidak mudah untuk menemukannya, sehingga karena itu ia berani menolong kami”
“Tetapi bukankah para bangsawan mempunyai banyak abdi yang dapat mencari dan menemukannya?”
“Berapapun banyaknya, tetapi pasti sangat sulit untuk mencari seorang petani di seluruh daerah Surakarta ini”
Orang yang kemudian telah berkerumun di sekitar anak-anak muda anak angkat Kiai Danatirta itu mengangguk-angguk. Alasan itu memang masuk akal. Adalah sulit sekali untuk menemukan seseorang di seluruh wilayah Surakarta yang luas ini.
“Tetapi” berkata salah seorang dari mereka, “Apakah Raden sendiri dengan demikian tidak merasa terancam?”
Juwiring menggelengkan kepalanya, “Tidak” jawabnya, “asal aku tidak memusuhi seseorang, maka aku pasti tidak akan mengalami apapun juga. Apa yang aku kerjakan adalah, membela diri dan melindungi saudaraku”

Orang itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Sekilas mereka memandang Buntal yang sudah mulai sibuk dengan cangkulnya.
Satu dua orang yang menyaksikan perkelahian itu dari kejauhan menjadi heran. Ternyata Buntal adalah seorang anak muda yang bersikap keras. Ia langsung menyerang lawannya tanpa menunggu apapun juga Raksasa itu dapat dijatuhkannya. Jika tidak ada orang lain yang harus dilayani, maka raksasa itu pasti tidak akan sempat bangun.
“Tetapi ia tidak berbuat apapun juga ketika karena salah paham anak itu dipukuli di bulak ini” berkata beberapa orang di dalam hatinya, “ternyata ia mampu berkelahi. Jika saat itu ia melawan dan apalagi mendapatkan sepucuk senjata jenis apapun, maka ia akan sangat berbahaya dan barangkali, kami akan lari tunggang langgang. Tetapi saat itu ia tidak melawan sama sekali sehingga kami dapat memukulinya sepuas-puas kami”
Tetapi orang-orang itu sama sekali tidak mengerti, bahwa Buntal menemukan kemampuannya justru sesudah ia berada di padepokan Jati Aking.
Dalam pada itu, Rudira yang marah memacu kudanya secepat-cepatnya. Di sepanjang jalan ia mengumpat tidak habis-habisnya. Bahkan kemudian ia berteriak memanggil, “Sura, Sura. Kemari”
Sura mencoba mempercepat derap kudanya, agar ia dapat menyusul Raden Rudira. Tetapi kuda Raden Rudira terlampau cepat, sehingga Sura tidak juga berhasil mendekatinya.
“Sura cepat kemari, “ Rudira berteriak, “Apakah kau sudah tuli”
“Ya, ya Raden. Aku sedang berusaha”
Jawaban itulah yang membuat Rudira sadar, bahwa derap kudanya ternyata terlampau cepat, sehingga Sura tidak segera berhasil menyusulnya. Karena itu, sambil berpaling ia memperlambat lari kudanya.
“Kau sekarang sudah gila” bentak Rudira.

Sura yang kemudian berada sedikit di belakangnya hanya menundukkan kepalanya saja.
“Kemari, cepat”
Sura tidak dapat membantah, sehingga karena itu ia berpacu di sisi Rudira yang marah.
“Kenapa kau tidak dapat berbuat apa-apa terhadap petani gila itu, he? Kenapa kau tidak dapat berbuat garang seperti biasanya?”
Sura tidak segera menjawab.
“Kenapa?” Rudira berteriak.
Sura menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia merasa tidak perlu ingkar lagi. Jawabnya kemudian, “Raden, orang itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Tangannya seperti besi, sehingga tidak akan ada kekuatan yang dapat mengimbanginya”
“O, jadi kau sekarang sudah bukan raksasa Ranakusuman lagi ya? Kau sekarang tidak ada bedanya dengan tikus-tikus piti yang berkeliaran di kandang kuda, itu? Bagaimana mungkin kau telah kehilangan kekuatan yang selama ini kau banggakan?” Raden Rudira berhenti sejenak, lalu, “mula-mula kau hampir saja dibunuh oleh anak itu. Untunglah Juwiring telah mencegahnya. Kemudian kau sama sekali tidak berdaya menghadapi petani dari Sukawati itu. Kalau saja ia mau membunuhmu, ia pasti dapat melakukannya”
Sura tidak dapat segera menjawab. Nafasnya terasa semakin cepat mengalir lewat lubang hidungnya.
“Tetapi kita tidak akan diam. Kita akan mencarinya di Sukawati. Kalau ia memberikan keterangan palsu, kita akan mencarinya di seluruh Surakarta, sampai kita dapat menemukannya dan memberinya sedikit peringatan, bahwa apa yang dilakukan itu tidak berkenan di hariku, putera Pangeran Ranakusuma. Aku dapat mengajak kawanku. Orang kulit putih itu”
Sura mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja diberanikan dirinya untuk berkata, “Jangan Raden. Jangan membawa orang asing itu”

“Kenapa? Kau sama sekali sudah tidak berguna lagi bagiku”
“Tetapi orang asing itu akan berbuat terlampau kasar. Aku adalah orang yang paling kasar. Tetapi masih juga terasa sesuatu yang kurang mapan di dalam hati apabila orang asing itu memperlakukan keluarga kita dengan semena-mena”
“Apa katamu? Sejak kapan kau menjadi guruku he?” bentak Rudira hampir berteriak, “Apakah kau takut kehilangan kedudukanmu jika aku mendapat orang baru untuk memaksakan kehendakku?”
Sura menundukkan kepalanya.
“Kita akan melihat, apa yang akan kita lakukan kelak. Tetapi aku ingin menemukan orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu. Aku harus dapat membalas sakit hatiku. Ia akan mendapat hukuman yang jauh lebih berat dari kangmas Juwiring sendiri”
Sura tidak berani menyahut lagi. Ditundukkannya saja kepalanya dalam-dalam, meskipun dadanya masih tetap bergolak. Bagaimanapun juga ia lebih senang bertindak sendiri dengan kekasaran yang tidak tanggung-tanggung daripada melihat orang asing itulah yang berbuat kasar kepada orang-orang Surakarta.
Demikianlah iring-iringan itu berpacu semakin cepat. Untuk beberapa lamanya mereka tidak berbicara apapun juga. Wajah Raden Rudira tampak gelap seperti mendung yang mengambang di langit. Kegagalannya menyentuh seorang gadis manis dari padepokan Jati Aking membuat hatinya kelam. Bukan karena gadis itu sendiri, karena ia masih akan dapat mencari gadis yang lebih cantik dari Arum, tetapi justru karena Juwiring lah yang merintanginya. Apalagi tiba-tiba saja muncul seorang petani yang bodoh sekali, yang berusaha membantu Juwiring dan anak gila yang hampir saja membuat Sura pingsan.
Pikiran-pikiran itulah yang membelit perasaannya selama ia berada di punggung kudanya. Perburuan yang dilakukan kali ini benar-benar tidak menggembirakannya.

Meskipun demikian Rudira sampai juga di hutan perburuan. Setelah beristirahat sejenak, maka ia pun mulai memasuki hutan yang tidak begitu lebat, untuk mencari binatang-binatang buruan yang memang banyak berkeliaran di antara semak-semak.
Tetapi karena hatinya yang sedang pepat, maka adalah kebetulan sekali, ia tidak menemukan seekor kelinci pun. Binatang-binatang hutan itu seolah-olah telah mengetahui kehadiran beberapa orang pemburu, sehingga mereka pun bersembunyi jauh ke dalam daerah yang lebih rapat.
“Gila” Rudira mengumpat-umpat, “Kemana binatang-binatang ini bersembunyi”
Pengiringnya tidak ada yang berani menyahut. Tetapi mereka berpendapat di dalam hati, “Tentu tidak akan mendapat seekor binatang pun, jika cara berburu ini dilakukan seperti sekelompok orang-orang menebas hutan, sehingga binatang di seluruh hutan ini pasti akan berlari-larian”
Akhirnya Rudira menjadi lelah. Keringatnya membasahi seluruh pakaiannya. Namun belum seekor binatang pun yang didapatkannya.
“Kita berhenti” teriak Rudira kemudian, “nanti malam kita ulangi. Kita akan mendapatkan harimau yang paling besar di hutan ini, atau rusa jantan yang bertanduk sepanjang badan kita”
Maka perburuan itu pun dihentikannya. Mereka kemudian mencari tempat untuk beristirahat dan menunggu matahari terbenam di Barat. Memang di malam hari kadang-kadang mereka dapat mengintai harimau yang keluar dari sarangnya mencari mangsa. Dari atas pepohonan mereka dapat membidik dan melepaskan anak panah tepat mengenai pangkal kaki depannya. Biasanya harimau itu tidak akan dapat lari terlampau jauh. Dengan demikian maka beramai-ramai mereka akan dapat membunuhnya, kalau mungkin tanpa membuat luka-luka di tubuh harimau itu.
Semakin sedikit luka-luka pada kulit harimau itu, maka belulang yang didapatnya akan menjadi semakin berharga.

Namun tidak seperti biasanya Raden Rudira selalu gelisah. Ia sama sekali tidak menerima keadaan yang baru saja dialami. Petani dari Sukawati itu memang pantas untuk dihukum seberat-beratnya.
Tiba-tiba saja Rudira tidak berhasil menahan perasaannya lagi. Dengan serta-merta ia berteriak, “Kita kembali ke Ranakusuman. Kita membawa beberapa orang lagi. Kita pergi ke Sukawati. Baru setelah itu aku dapat dengan tenang berburu”
Sura menjadi termangu-mangu. Tetapi seperti kawan-kawannya yang lain ia sama sekali tidak berani mencegahnya. Karena itu, ketika Raden Rudira menyiapkan kudanya, yang lain pun berbuat serupa pula.
Ternyata mereka meninggalkan daerah perburuan itu. Kuda-kuda itu berpacu secepat-cepatnya kembali ke Surakarta melalui jalan lain. Mereka tidak mau lagi berjumpa dengan petani dari Sukawati sebelum membawa kawan lebih banyak lagi. Atau bertemu dengan Juwiring dan kawan-kawannya di tengah-tengah bulak.
Kedatangan mereka di istana Ranakusuman menjelang sore hari telah mengejutkan beberapa orang pelayan. Biasanya Rudira berada di daerah perburuan dua sampai tiga hari. Tetapi baru pagi tadi ia berangkat, kini ia telah datang kembali dengan wajah yang buram.
Setelah meloncat dari punggung kudanya, ia langsung berlari-lari masuk ke ruang belakang mencari ibunya yang sedang duduk dihadap oleh para pelayan.
“Ibu” Rudira hampir berteriak.
Raden Ayu Galihwarit terkejut. Dengan serta-merta ia berdiri menyongsong puteranya yang manja itu.
“Kau sudah kembali?”
“Ada orang-orang gila yang menghalangi perjalananku”
“Siapa? Ada juga orang yang berani berbuat demikian? Apakah karena mereka tidak tahu bahwa kau adalah putera Pangeran Ranakusuma atau mereka dengan sengaja ingin menentang ayahandamu?”

“Yang kedua. Orang itu tahu benar siapa aku”
“Benar begitu? Siapakah orang itu?”
“Kakang Juwiring”
“Juwiring. Juwiring anak dungu itu?”
“Ya bunda”
“Dimana kau bertemu dengan Juwiring?”
“Di tengah-tengah bulak, ia sekarang tidak ubahnya seperti seorang petani biasa. Bekerja di sawah penuh dengan noda-noda lumpur di pakaiannya yang kotor. Tetapi ia masih berani menghalang-halangi aku”
“Apa yang dilakukannya? Apakah ia menghentikan perjalananmu atau dengan sengaja mengganggumu tanpa sebab?”
Rudira terdiam sejenak. Diedarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya, seakan-akan ada yang sedang dicarinya.
“Dimana ayahanda?” Ia bertanya.
“Kenapa?”
“Apakah ayahanda pergi ke istana menghadap Kangjeng Susuhunan”
Ibunya menggelengkan kepalanya.
“Ayahandamu ada di rumah”
“Aku akan menghadap. Aku memerlukan beberapa orang”
“Untuk apa? Apakah kau berselisih dengan Juwiring? Jika demikian bukankah kau sudah membawa Sura dan beberapa orang lagi?”
Rudira tidak segera menyahut.
“Apakah Sura tidak dapat mematahkan lehernya, kalau anak-itu memang berani menentangmu Kau bukan anak-anak sederajatnya Derajatmu lebih tinggi, meskipun kau adalah saudara seayah”

“Ya. Aku tahu. Yang penting bagiku bukan kakang Juwiring. Tetapi seorang petani dari Sukawati”
“Seorang petani?”
“Ya. Ia lah yang membantu kakang Juwiring sehingga aku. gagal memaksakan kehendakku atasnya”
“Seorang petani kau bilang?”
“Ya ia seorang petani dari Sukawati. Ia berani melawan aku meskipun aku sudah mengatakan bahwa aku adalah putera Pangeran Ranakusuma. Ia mungkin menganggap, bahwa aku tidak akan dapat menemukannya. Tetapi aku benar-benar akan mencarinya ke Sukawati.
Raden Ayu Galihwarit yang juga disebut Raden Ayu Sontrang termenung sejenak. Tetapi kemudian katanya, “Menghadaplah. Ayahandamu ada di ruang dalam”
“Ayahanda” desis Rudira.
Pangeran Ranakusuma berpaling. Dilihatnya Rudira berdiri sambil menundukkan kepalanya.
“Apa?” pertanyaan ayahnya terlampau singkat.
“Aku memerlukan sesuatu ayahanda”
“Apa?
“Perkenankan aku membawa lima orang pengawal ayahanda selain Sura dan pengiringku sendiri” Rudira berhenti sejenak, lalu, “bahkan apabila ayahanda berkenan, aku akan mengajak kawan ayahanda”
“Kumpeni maksudmu?”
“Ya. Mereka mempunyai jenis senjata yang menakjubkan”
“Ada apa sebenarnya”
“Seorang petani telah berani menghina aku, ayahanda. Aku akan mencarinya ke rumahnya. Ia mengaku petani dari Sukawati. Selebihnya aku juga akan membuat perhitungan dengan kakang Juwiring”
Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Ia masih duduk di tempatnya. Tatapan matanya sudah kembali menerobos pintu-pintu yang membatasi ruangan-ruangan di dalam rumah itu langsung menikam cahaya matahari di halaman.

“Kenapa kau selalu membuat keributan Rudira” pertanyaan itu sama sekali tidak diduganya, sehingga karena itu, sejenak ia terbungkam. Bahkan dadanya menjadi berdebar-debar dan kakinya bergetar.
“Juwiring sudah jauh dari istana ini. Kau masih juga menyusulnya sekedar membuat persoalan. Apakah sebenarnya yang kau kehendaki? Dan apalagi dengan seorang petani dari Sukawati. Buat apa kau minta kumpeni melibatkan diri dalam persoalan itu. Mungkin karena merasa tidak dapat menang atas petani itu atau atas Juwiring, maka kau ingin mematahkan lawanmu dengan senjata api itu. Bukankah dengan demikian kau berarti telah membunuhnya dengan meminjam tangan orang asing?”
Rudira masih berdiam diri.
“Katakan apa yang sudah terjadi”
Rudira tidak dapat ingkar. Maka diceriterakan apa yang sudah terjadi. Ketika ia tiba-tiba saja tertarik pada seorang gadis desa yang berada di tengah-tengah bulak. Ternyata gadis itu adalah anak Kiai Danatirta.
“Kau yang salah” desis Pangeran Ranakusuma, “seharusnya seorang putera Pangeran tidak berlaku demikian”
Sekali lagi Rudira terkejut. Ia banyak mendengar ceritera tentang bangsawan yang manapun yang ia sukai. Kemudian apabila perempuan itu mengandung, maka perempuan itu diberikan saja sebagai triman kepada pelayan-pelayannya atau kepada bebahu padesan. Mereka akan merasa mendapat kehormatan besar menerima triman seorang perempuan yang sudah mengandung. Karena anak yang akan lahir memiliki aliran darah seorang bangsawan.
Tetapi ayahnya berkata selanjutnya, “Juwiring adalah kakakmu. Bagaimanapun juga ia adalah anakku pula” Rudira tidak menyahut.
“Lalu bagaimana dengan petani itu”
“Ia telah membantu kakang Juwiring meskipun aku sudah mengatakan bahwa aku adalah Putera Pangeran Ranakusuma?”
Pangeran Ranakusuma tidak segera menyahut. Ia merenung sejenak, lalu, “Biarkan saja mereka. Suatu pelajaran buatmu, agar kau tidak berbuat sewenang-wenang. Sekali lagi aku beritahukan kepadamu, bahwa kaulah yang bersalah. Bukan Juwiring. Sedang petani itu adalah seorang yang ingin berdiri diatas kebenaran. Mungkin ia mengetahui, bahwa kau dan Juwiring adalah kakak beradik. Karena itu ia berani ikut campur”
Rudira menjadi semakin tunduk. Ia tidak lagi berharap bahwa ayahandanya akan membantunya menebus malu yang tercoreng di kening.
“Kangmas Ranakusuma” tiba-tiba terdengar suara melengking sehingga Pangeran Ranakusuma berpaling. Dilihatnya isterinya yang muda, Raden Ayu Sontrang berdiri di samping anaknya, “Kenapa kangmas sekarang berpendirian lain? Sebaiknya kangmas membesarkan hati Rudira, bukan sebaliknya. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mempercayainya. Bersama Rudira beberapa orang pengiring akan dapat memberikan keterangan”
“O” Pangeran Ranakusuma mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita memang tidak perlu menghukum Juwiring. Tetapi Setidak-tidaknya Juwiring perlu mendapat peringatan agar ia tidak selalu mengganggu Rudira”
Pangeran Ranakusuma mengangguk, “Ya. ya. Ia memang perlu mendapat peringatan”
“Dan sudah barang tentu, kita tidak akan dapat tinggal diam apabila seorang petani telah berani melawan Rudira. Petani dari. Sukawati itu”
“Ya. ya. Memang petani itu adalah seorang yang deksura sekali”

Bersambung ke Bagian 3

Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/

Komentar

Postingan Populer