Bunga di batu karang II bag 3
Bunga di batu karang II Bag 3
“Tidak” jawab Pangeran Ranakusuma, “Adimas Pangeran Mangkubumi bukan orang terasing. Ia dekat sekali dengan para Bangsawan yang sependirian. Terutama menghadapi kedatangan orang-orang asing itu di Surakarta.
“Ah. Itu hanyalah sekedar bayangan di dalam kegelapan. Sebentar lagi ia harus menyesuaikan diri dengan keadaan” Sahut Raden Ayu Sontrang.
Pangeran Ranakusuma tidak menjawab lagi. Ia kembali duduk memandang kekejauhan.
“Pergilah” berkata Raden Ayu Sontrang kemudian kepada puteranya, “siapkan keperluanmu itu. Tetapi hati-hati1ah. Petani itu pasti bukan petani yang tidak mengerti menanggapi keadaan yang dihadapinya”
“Baik ibu” sahut Raden Rudira sambil bergeser meninggalkan ruang itu.
Sepeninggal Raden Rudira, Raden Ayu Sontrang maju perlahan-lahan mendekati suaminya dan berdiri di belakangnya. Kemudan sambil memijit pundaknya ia berkata, “Kangmas terlampau hati-hati. Sudahlah, jangan dirisaukan lagi adimas Pangeran Mangkubumi”
Pangeran Ranakusuma tidak menyahut. Namun setiap kali, sentuhan tangan isterinya itu seolah-olah telah meluluhkan segala akalnya, sehingga apapun yang dikatakannya tidak dapat dibantahnya lagi.
Di hari berikutnya. Raden Rudira sudah siap dengan para pengiringnya. Ia benar-benar akan mencari petani yang sudah membuatnya terlampau sakit hati. Jika petani yang demikian itu tidak dihukum, maka akibatnya akan dapat membahayakan kedudukan para Bangsawan. Petani itu akan membuat orang-orang kecil yang lain berani pula melawan.
“Kalau Ramanda Pangeran Mangkubumi ada, aku akan mohon ijin. Tetapi jika tidak diijinkan, atas nama ayahanda Pangeran Ranakusuma aku akan bertindak. Ayahanda Ranakusuma adalah saudara tua Ramanda Mangkubumi, sehingga wewenangnya pasti lebih besar dari yang muda” berkata Raden Rudira di dalam hatinya. Meskipun ia tidak terlalu sering bertemu, tetapi ia pernah beberapa kali bertemu dan bahkan pernah berbicara satu kali di halaman Masjid Agung.
“Ramanda Pangeran Mangkubumi mudah dikenal” berkata Rudira di dalam hatinya pula, “wajahnya yang agung dan tatapan matanya yang tajam. Ia seorang pendiam dan penuh dengan wibawa”
Namun ternyata hatinya tiba-tiba saja berkeriput. Kalau benar Pangeran Mangkubumi ada di Sukawati, apakah ia akan berani berbuat sesuatu?.
“Tetapi Ramanda Pangeran Mangkubumi pun pasti akan membantu. Petani itu harus dihukum. Ramanda Pangeran Mangkubumi pun pasti tidak akan senang mendengar ceritera tentang seorang petani yang berani melawan seorang Bangsawan” Rudira mencoba menenteramkan hatinya sendiri.
Demikianlah, setelah semuanya siap, dan setelah minta diri kepada ayah dan ibunya, Raden Rudira pun meninggalkan rumahnya diiringi oleh beberapa orang. Agar perjalanannya tidak menimbulkan pertanyaan, maka mereka pun telah membawa pula kelengkapan berburu. Seakan-akan mereka adalah iring-iringan beberapa orang yang pergi ke hutan perburuan.
Tetapi perjalanan yang mereka tempuh kali ini adalah perjalanan yang agak jauh. Lewat tengah hari mereka baru akan sampai di tempat yang mereka tuju. Tetapi kadang-kadang mereka pasti harus berhenti dan beristirahat. Kalau bukan kuda-kuda mereka yang haus, maka mereka sendirilah yang haus di bawah terik matahari sehingga baru di sore hari mereka akan sampai ke daerah Sukawati.
“Ramanda Pangeran Mangkubumi pasti tidak ada disana. Meskipun jarang berada di lingkungan para bangsawan, tetapi Pangeran Mangkubumi pasti berada di kota. Mungkin hanya sebulan sekali atau bahkan tiga bulan sekali, ia pergi ke Sukawati yang sepi itu”
Rudira berusaha menenangkan kegelisahannya sendiri. Namun demikian kadang-kadang hatinya masih juga menjadi berdebar-debar.
Tetapi perjalanan itu sendiri adalah perjalanan yang menyenangkan. Kadang-kadang mereka masih harus menyusup di antara hutan rindang dan lewat di Padukuhan-padukuhan kecil. Para petani yang melihat iring-iringan itu menjadi ketakutan, dan mereka pun segera berjongkok di pinggir jalan, karena mereka tidak dapat segera membedakan, apakah yang lewat itu seorang bangsawan dari tingkat pertama, atau tingkat berikutnya. Namun kuda yang tegar, pakaian yang gemerlapan dan pengiring yang banyak, membuat para petani dan orang-orang kecil lainnya berdebar-debar.
Demikianlah maka perjalanan Rudira tidak menjumpai rintangan apapun di perjalanan. Sekali-sekali mereka berhenti, memberi kesempatan kepada kudanya untuk minum seteguk dan beristirahat sejenak Dalam pada itu Rudira sempat juga memandang daerah yang terbentang di hadapannya. Daerah yang hijau segar. Sawah yang luas, dibatasi oleh padukuhan dan pategalan. Sungai yang berliku liku menyusup di antara perbukitan padas yang rendah.
Tetapi semakin dekat iring-iringan itu dengan Sukawati, maka hati Rudira pun rasa-rasanya menjadi semakin gelisah. Bukan saja Rudira, tetapi para pengiringnya pun menjadi gelisah pula, meskipun di antara mereka terdapat lima orang pengawal dan beberapa orang pengiring Rudira di bawah pimpinan Sura.
“Apakah orang-orang Sukawati akan membiarkan kami mengambil salah seorang warga pedukuhan mereka?” pertanyaan itu yang selalu menyelinap di dalam hati, “Jika mereka berkeberatan, dan Raden Rudira berkeras hati, maka akibatnya akan dapat menimbulkan pertengkaran. Bahkan mungkin pertumpahan darah. Jika demikian, persoalan ini tidak akan berhenti sampai sekian. Pasti masih ada persoalan-persoalan berikutnya.
Sura menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah orang yang paling kasar di antara para pengiring Rudira. Tetapi setiap kali terbayang olehnya, orang-orang berkulit putih itu ikut campur di dalam persoalan orang-orang Surakarta, hatinya menggelonjak.
Tetapi apabila persoalan petani dari Sukawati itu akan berkepanjangan, maka mau tidak mau, Raden Rudira lewat ibunya pasti akan menyeret beberapa orang kulit pulih ikut serta di dalam persoalan ini, karena Pangeran Ranakusuma tidak akan dapat menggali kekuatan dari rakyat di Tanah Kelenggahannya.
Demikianlah maka menjelang sore hari, iring-iringan itu benar-benar telah mendekati Sukawati. Dari kejauhan mereka. sudah melihat padukuhan yang hijau subur. Beberapa padukuhan yang terpencar itu terikat di dalam satu wilayah Kademangan di bawah perlindungan Pangeran Mangkubumi, karena daerah itu merupakan Tanah Kalenggahannya.
Tanpa sesadarnya, semakin dekat dengan daerah Sukawati, Rudira berpacu semakin lambat. Bahkan akhirnya ia pun berhenti berapa ratus tonggak dari induk padukuhan di Sukawati.
“Dimanakah rumah Demang di Sukawati?” Ia bertanya.
Tidak seorang pun yang segera menjawab.
“Dimana” Raden Rudira hampir berteriak, “Sura, apakah kau sudah tuli”
“O, maksud Raden, rumah Demang Sukawati?”
“Ya, rumah Ki Demang. Apakah kau pernah melihat”
“Pernah Raden. Aku memang pernah pergi ke Sukawati. Aku pernah singgah di rumah Demang Sukawati”
“Kau sudah mengenalnya?”
“Sudah. Aku sudah mengenalnya”
“Baik. Bawa aku kepadanya. Aku akan bertanya kepadanya tentang petani gila itu” Ia harus dapat menemukannya dan membawa kepadaku”
Sura akan berbicara beberapa patah kata. Tetapi kata-katanya tersangkut di kerongkongan. sehingga karena itu, ia hanya sekedar menelan ludahnya saja”
“Marilah, tunjukkan aku rumah Ki Demang itu”
Sura mengangguk-angguk kecil. Jawabnya terbata-bata, “Baik, baik Raden”
“He, kenapa kau menggigil seperti orang kedinginan? Kau takut he?”
“Tidak. Tidak” jawab Sura.
Namun demikian Sura sendiri melihat, wajah Raden Rudira menjadi pucat.
Baik Rudira maupun Sura dan para pengiring yang lain, tidak tahu, apakah sebabnya sehingga mereka merasa cemas dan tegang. Bagi mereka, seorang rakyat kecil tidak akan banyak berarti. Apa saja yang dikehendaki atas mereka, biasanya tidak pernah urung.
Demikianlah, Raden Rudira dan pengiringnya mencoba menenteramkan hati mereka yang bergolak ketika mereka sudah berada di mulut lorong tanah Sukawati Para pengawal yang merupakan orang-orang khusus di Dalem Kapangeranan itu pun merasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya mereka tidak sekedar akan bertindak terhadap seorang petani betapapun tinggi kemampuan tempurnya.
Tidak ada seorang petani pun yang dengan tergesa-gesa berjongkok apalagi sambil menyembah. Mereka tetap pada pekerjaan mereka. Satu dua di antara mereka berpaling, namun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Sura yang ada didekatnya, “Gila” Raden Rudira menggeram. Sura yang didekatnya memang ikut merasakan suasana yang lain di padukuhan Sukawati.
“Agaknya kita terpengaruh oleh Ramanda Pangeran Mangkubumi memiliki daerah Sukawati itu” berkata Raden Rudira dengan suara menghentak, seolah-olah ingin melepaskan tekanan yang terasa memberati dadanya, “Tetapi Ramanda Pangeran Mangkubumi pasti tidak akan mencegah kita, karena kita tidak akan mengganggu Tanah Sukawati. Kita hanya akan mengambil seseorang yang telah berani menentang para bangsawan di Surakarta. Sudah tentu Ramanda Pangeran akan justru membantu menemukan orang itu apabila ia berada di Sukawati. Kalau tidak, kita akan dapat berbuat lebih leluasa”
Tidak ada seorang pun yang menyahut. Tetapi setiap orang merasa, betapa getaran suara Raden Rudira mengandung kecemasan yang sangat, seperti kecemasan yang ada di dalam hati mereka masing-masing.
“Begini besar perbawa Pangeran Mangkubumi” desis Sura di dalam hatinya, “Pangeran Ranakusuma dengan tanpa ragu-ragu telah mengembalikan puteri Pangeran Reksanegara. Pangeran yang sebenarnya pernah mempunyai pengaruh yang besar sebelum kedatangan orang asing yang semakin banyak di bumi Surakarta. Tetapi kini, kami menjadi menggigil ketakutan sebelum kami memasuki wilayah Sukawati untuk mengambil hanya seorang rakyat yang telah memberontak. Apakah sebenarnya yang membuat Pangeran Mangkubumi rasa-rasanya lebih berwibawa dari Pangeran Reksanegara dan Pangeran yang lain?”
Tetapi Sura tidak mengucapkan kegelisahan itu, betapapun hai itu benar-benar telah memberati perasaannya. Semakin dekat, semakin menekan di dalam dada.
Ketika mereka mendekati pintu gerbang padukuhan induk di Sukawati, mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka masih melihat beberapa orang petani di sawah masing-masing. Tetapi para petani itu agaknya acuh tidak acuh saja atas kedatangan mereka. Sama sekali tidak seperti para petani di sepanjang jalan yang mereka lalui. Tidak ada seorang petani pun yang dengan tergesa-gesa berjongkok, apalagi sambil menyembah. Mereka tetap pada pekerjaan mereka. Satu dua di antara mereka berpaling, namun kemudian tidak menghiraukannya lagi.
“Gila” Raden Rudira menggeram. Sura yang ada di dekatnya memang ikut merasakan suasana yang lain di padukuhan Sukawati.
“Kita langsung ke rumah Demang di Tanah Sukawati ini” geram Raden Rudira.
“Apakah Raden tidak datang ke pasanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi?” bertanya Sura dengan suara yang patah-patah.
“Tidak” Raden Rudira hampir berteriak tidak sesadarnya. Tetapi kemudian ia berkata, “Ramanda tidak ada di Sukawati. Pasti. Dan aku akan membawa Demang Sukawati menghadap ke pesanggrahan untuk memastikannya”
Sura tidak bertanya lagi. Diikutinya saja kuda Raden Rudira yang menjadi semakin lambat.
Di belakang Raden Rudira dan Sura, para pengawal pun menjadi berdebar-debar. Tugas mereka kali ini rasanya begitu berat, sehingga dada mereka menjadi tegang.
Setiap orang di dalam iring-iringan itu terkejut ketika mereka melihat, di dalam regol di mulut lorong yang memasuki Tanah Sukawati itu, beberapa orang berdiri di sebelah menyebelah jalan. Mereka berdiri saja seakan-akan tidak menghiraukan derap kuda yang sudah berada di gerbang padukuhan mereka. Dengan tangan bersilang di dada mereka memandang Raden Rudira yang berada di paling depan. Namun mereka sama sekali tidak bertanya apapun.
Raden Rudira lah yang kemudian menarik kekang kudanya, sehingga kuda Itu berhenti. Sejenak ia memandang beberapa orang yang berdiri diam seperti patung itu. Wajah-wajah mereka bagaikan wajah-wajah yang kosong tanpa perasaan apapun melihat kehadiran Raden Rudira dan pengiringnya.
Sejenak Raden Rudira menjadi bimbang, Orang-orang itu benar-benar membuatnya kebingungan. Menilik pakaian mereka, mereka adalah petani-petani. Tetapi mereka sama sekali tidak bersikap sebagai seorang petani yang melihat hadirnya seorang bangsawan di padukuhan mereka yang terletak agak jauh dari kota. Padukuhan-padukuhan yang jauh ini pada umumnya, menjadi gempar apabila seorang bangsawan memasuki wilayahnya. Bahkan ada di antara mereka yang berlari-lari bersembunyi, ada yang dengan tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di pinggir jalan. Jika bebahu padukuhan itu melihatnya, maka ia akan menyongsong sambil terbungkuk-bungkuk dan kemudian berjalan sambil berjongkok mendekatinya.
Tetapi petani-petani di Sukawati itu berdiri saja sambil menyilangkan tangannya di dada, seakan-akan mereka telah berjanji yang satu dengan yang lain untuk berbuat demikian. Sedang wajah-wajah yang beku itu sama sekali tidak membayangkan kesan apapun yang ada di dalam hati mereka.
“He, bukankah kalian orang-orang Sukawati?” Raden Rudira berteriak untuk mengatasi gejolak di dalam dadanya.
Petani yang berdiri di paling ujung berpaling memandanginya. Kemudian ia pun menjawab, “Benar Raden. Kami adalah orang-orang Sukawati”
“Kenapa kalian berkumpul disini he?”
“Kami akan pergi ke sawah. Tetapi ketika kami melihat iring-iringan kuda menuju ke padukuhan ini, kami pun menunggu sampai Raden lewat. Silahkanlah kalau Raden akan lewat. Kami akan pergi ke sawah”
“Persetan. Apakah kalian tidak tahu siapa aku?”
“Kami hanya tahu bahwa tuan adalah seorang bangsawan. Tetapi kami tidak tahu, siapakah tuan” “Aku adalah Raden Rudira. putera Pangeran Ranakusuma”
Tanggapan dari para petani itu pun benar-benar mengejutkan. Mereka sama sekali tidak tertarik pada nama itu. Meskipun mereka mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sikap yang beku itu sama sekali tidak berubah.
“He, apakah kalian dengar, bahwa aku putera Pangeran Ranakusuma?”
“Ya, kami dengar tuan”
“Jadi, begitukah kalian bersikap terhadap seorang bangsawan?”
Para petani itu menjadi heran mendengar pertanyaan Raden Rudira. Petani yang berdiri di paling ujung itu pun bertanya, “Jadi apakah sikap kami keliru?”
“Kalian tidak sopan. Kalian berhadapan dengan putera seorang Pangeran. Siapakah yang mengajar kalian bersikap deksura itu he?”
“O, jadi kami bersikap deksura?” petani di paling ujung itu terdiam sejenak, lalu, “Tetapi maaf Raden. Kami memang diajar bersikap demikian”
“Ya, aku sudah menduga. Siapa yang mengajarmu?”
“Pangeran Mangkubumi”
“He?” mata Raden Rudira terbelalak mendengar jawaban itu. Demikian juga para pengiringnya. Namun dengan demikian dada mereka serasa telah berguncang.
Sejenak Raden Rudira termangu-mangu. Namun kemudian dengan suara yang gemetar ia bertanya, “Jadi Ramanda Pangeran Mangkubumi mengajarmu bersikap demikian?”
“Ya tuan. Kamipun sebenarnya tahu, bahwa kami harus berjongkok apabila seorang bangsawan lewat di jalan yang kebetulan kami lalui juga. Tetapi hanya bagi para Pangeran. Bukan kepada setiap bangsawan. Biasanya kami hanya mengenal seorang bangsawan pada sikap dan pakaiannya serta para pengiringnya. Dan kami semuanya menganggap mereka seorang Pangeran, sehingga kami langsung berjongkok di pinggir jalan. Tetapi bagi kami, orang-orang di daerah Sukawati mendapat kekhususan dari Pangeran Mangkubumi. Jangankah bangsawan di tingkat berikutnya, sedangkan terhadap Pangeran Mangkubumi sendiri, yang menguasai Tanah Sukawati dan seorang bangsawan tertinggi, kami tidak diharuskan berjongkok”
“O, itu salah, salah sekali. Itu akan merusak sendi-sendi tata kesopanan rakyat Surakarta”
“Kami berpegangan kepada perintah Pangeran Mangkubumi”
“Persetan. Tunjukkan kepada kami. dimana rumah Demangmu”
Sejenak para petani itu termangu-mangu. Sedang Sura yang berada di sebelah Raden Rudira berbisik. “Aku sudah tahu tempat itu Raden”
“Aku akan bertanya kepada mereka” sahut Raden Rudira.
Sura menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia memandangi para petani itu seorang demi seorang. Mereka sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, sedang tangan mereka masih tetap bersilang di dadanya.
“Coba katakan, kemana aku harus pergi?”
“Tuan sudah mengambil jalan yang benar. Tuan dapat berjalan terus lewat lorong ini. Sekali tuan berbelok ke kiri di tengah-tengah padukuhan ini, di tikungan di bawah pohon preh yang besar”
Raden Rudira mengerutkan keningnya. Sambil berpaling kepada Sura ia bertanya, “Benar begitu?”
Sura menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya tuan. Benar begitu”
Raden Rudira termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata kepada para pengiringnya, “Kita pergi ke rumah Demang di Sukawati”
Tanpa minta diri kepada para petani yang masih saja berdiri tegak dengan tangan bersilang itu, Raden Rudira melanjutkan perjalanannya, menyusuri jalan di tengah-tengah padukuhan, sambil memperhatikan rumah-rumah yang ada di sebelah menyebelah jalan. Meskipun letak rumah-rumah itu masih cukup jarang, tetapi terasa bahwa Tanah Sukawati akan segera menjadi ramai. Lewat diatas pagar batu di setiap halaman, Raden Rudira dan pengiringnya melihat rumah-rumah yang bersih dan teratur. Halaman yang rapi dan kebun yang penuh dengan tanaman palawija, garut dan ganyong. Beberapa batang ubi dan gadung merambat pada pohon metir, merayap sampai ke puncaknya. Tiba-tiba saja Raden Rudira berkata, “Pangeran Mangkubumi telah merusak adat di Surakarta. Sikap itu pasti akan mempengaruhi sikap para petani kecil di sekitar Tanah Sukawati. Lambat atau cepat”
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Sura masih saja termangu-mangu sambil menundukkan kepalanya.
Sejenak kemudian mereka pun telah sampai di tikungan. Tetapi sekali lagi dada mereka berdesir, ketika mereka melihat beberapa orang laki-laki yang sedang berdiri pula di sebelah menyebelah jalan tikungan itu. Seperti orang-orang yang berdiri di mulut lorong, maka orang -orang itu pun berdiri dengan wajah membeku sambil menyilangkan tangannya di dadanya.
Melihat sikap yang bagaikan patung-patung batu itu, terasa bulu-bulu tengkuk Raden Rudira meremang. Tetapi ia harus mengatasi goncangan perasaannya, sehingga karena itu, ia pun juga berhenti di hadapan orang-orang itu.
Sekali lagi ia bertanya dengan lantang, “He, apakah kalian diajari untuk menjadi patung? Atau memang demikianlah adat Sukawati untuk menghormat seorang bangsawan?”
Orang-orang itu memandang Raden Rudira hanya dengan sudut matanya. Kemudian orang yang paling pendek di antara mereka menjawab, “Kami diajari untuk bersikap sopan terhadap siapapun. Juga terhadap para bangsawan”
“He” jawaban itu benar-benar mengejutkannya, “Coba ulangi”
“Tuan” jawab petani yang pendek itu, “Kami diajari untuk bersikap sopan kepada siapapun. Juga kepada para bangsawan”
“Kenapa juga kepada para bangsawan? Kenapa justru tidak kepada para bangsawan baru kepada yang lain?”
Petani pendek itu mengerutkan keningnya. Tetapi wajahnya kemudian seakan-akan telah membeku kembali. Katanya, “Kami tidak melihat perbedaan itu. Tetapi kami memang mengenal tingkat tata penghormatan. Namun pada dasarnya, kami menghormati siapa saja”
“Siapa yang mengajarimu?”
“Pangeran Mangkubumi”
“Cukup, cukup” Raden Rudira berteriak. Nama itu rasa-rasanya seperti sebutan hantu yang paling menakutkan baginya. Karena itu tanpa berkata sepatah katapun lagi ia meneruskan perjalanannya menuju ke rumah Ki Demang di Tanah Sukawati.
Namun di jalan yang semakin pendek itu, Raden Rudira dan pengiringnya masih juga menjumpai satu dua orang yang berdiri acuh tidak acuh saja melihat kehadirannya. Bahkan mereka yang kebetulan berada di halaman pun hanya sekedar berpaling tanpa menghentikan kerjanya. Anak-anak yang sedang berlari-larian berhenti sejenak, lalu berlari lagi masuk ke dalam rumah masing-masing.
Perasaan Raden Rudira semakin lama menjadi semakin terguncang-guncang. Rasa-rasanya ia telah memasuki suatu daerah asing yang belum pernah dijajaginya. Bahkan rasa-rasanya seperti di daerah mimpi yang mengawang di antara bumi dan langit.
“Sura” berkata Raden Rudira kemudian, “Apakah memang begini sikap orang Sukawati? Bukankah kau pernah datang kemari dahulu?”
“Tidak tuan. Sikap orang-orang Sukawati tidak seganjil ini. Aku tidak mengerti, perubahan apa yang telah terjadi disini”
Raden Rudira menjadi semakin berdebar-debar. Setiap kali ia melihat seseorang yang berdiri tegak di pinggir jalan dengan tangan bersilang di dada, jantungnya berdetak semakin cepat, sehingga hampir saja ia tidak tahan.
“Aku ingin memukul kepalanya” geramnya.
Tetapi dengan mengerahkan keberaniannya Sura mencegahnya, katanya, “Maaf tuan. Jangan melakukan hal itu. Lebih baik kita menemukan orang yang kita cari tanpa membuat persoalan dengan orang lain”
Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia dapat mengerti nasehat Sura itu, sehingga ia pun tidak berbuat apapun juga. Namun dengan demikian hatinya serasa semakin lama menjadi semakin berkeriput kecil sekali.
REPORT THIS AD
“Raden” berkata Sura kemudian, “gerbang yang tampak itu adalah gerbang Kademangan”
Raden Rudira mengerutkan keningnya. Gerbang itu. termasuk sebuah pintu gerbang yang bagus bagi sebuah Kademangan. Namun dengan demikian gerbang itu pun telah membuat detak jantungnya semakin berdentangan.
Tetapi Raden Rudira tidak mau melangkah surut. Ia telah benar-benar merasa terhina karena tindakan petani yang menyebut dirinya berasal dari Sukawati itu. Karena itu maka ia harus berhasil menemukannya dan menghukumnya, sebagai seorang rakyat kecil yang berani menentang para bangsawan.
Karena itu, betapa hatinya berdebaran, Rudira tetap maju mendekati pintu gerbang itu.
Ketika kudanya sudah berada di depan pintu, dilihatnya dua orang mendatanginya. Dua orang dalam pakaian yang agak lain dari pakaian para petani.
“Itulah bebahu Kademangan Sukawati” desis Raden Rudira, “Ia harus tahu bahwa rakyatnya telah bertindak tidak sopan. Dan itu tidak dapat dibiarkannya. Tentu bukan Ramanda Pangeran Mangkubumi yang mengajarinya. Tentu orang-orang yang ingin mengeruhkan tata kehidupan Surakarta yang selama ini tenang dan tenteram”
Di depan pintu, di dalam halaman, kedua orang itu berhenti sambil menganggukkan kepala mereka. Ternyata mereka memang lebih hormat dari sikap para petani di sepanjang jalan yang mereka lalui.
Dengan sopan salah seorang dari mereka berdua bertanya, “Apakah kami dapat berbuat sesuatu untuk tuan?”
“Aku akan bertemu dengan Demang di Sukawati” sahut Raden Rudira langsung, “Apakah ia ada di rumah?”
“O” orang itu mengangguk-angguk, “ada tuan. Marilah tuan kami persilahkan masuk”
Tanpa turun dari kudanya Raden Rudira memasuki halaman Kademangan. Ternyata halaman itu adalah halaman yang luas dan bersih. Beberapa batang pohon tanjung berada di pinggir, sedang sepasang pohon sawo kecik berada tepat di depan pendapa.
“Mana Ki Demang?” bertanya Raden Rudira.
“Marilah, kami persilahkan tuan naik ke pendapa”
“Di mana Ki Demang he?”
“Nanti kami akan memanggilnya”
“Panggil ia kemari”
“Tuan, kami telah mempersilahkan tuan duduk. Kami akan segera memanggilnya” orang itu berhenti sejenak, lalu, “Silahkan tuan turun dari kuda”
“Tidak, aku akan menunggu Ki Demang disini. Aku memerlukannya. Ia harus mengantar aku ke pesanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi apabila Ramanda ada disana”
“Tuan, kami persilahkan tuan turun”
“Aku tidak mau turun. Kau tidak tahu siapa aku he? Aku adalah Putera Pangeran Ranakusuma”
“Tetapi ada semacam ketentuan, siapapun dipersilahkan turun apabila berada di kuncung pendapa ini.
“Aku seorang Putera Pangeran”
“Bahkan seorang Pangeran pun bersedia untuk turun dari kudanya apabila ia berada di bawah kuncung ini”
“Aku tidak peduli. Tetapi aku tidak mau turun. Hanya seorang Pangeran yang tidak tahu akan harga dirinya sajalah yang bersedia turun dari kudanya, meskipun di kuncung pendapa sekalipun, justru hanya pendapa seorang Demang”
“Tetapi justru kami sangat hormat kepadanya”
“Siapa?”
“Pangeran Mangkubumi”
“Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi. Apapun yang kalian bicarakan kalian menyebut Pangeran Mangkubumi” Rudira hampir berteriak.
“Kedua bebahu itu menjadi terheran-heran melihat sikap Raden Rudira. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Raden, kami tetap mempersilahkan tuan turun. Kecuali kalau tuan tidak berada di bawah kuncung pendapa, meskipun di halaman”
“Aku tidak mau. Aku adalah putera Pangeran Ranakusuma Aku bukan Pangeran Mangkubumi. Ayahanda Pangeran Ranakusuma pasti tidak akan turun pula meskipun kudanya naik ke pendapa sekalipun”
Kedua bebahu Kademangan itu saling berpandangan sejenak. Kemudian salah seorang berkata, “Jika demikian, kami tidak akan memanggil Ki Demang”
“Apa, kalian tidak akan memanggil Ki Demang?”
“Ya. Jika tuan tidak bersedia turun”
“Gila. Kau berani menentang aku he? Aku datang untuk mencari seseorang yang berani menentang seorang bangsawan. Kini kau akan menentang aku pula. Apakah kau tahu akibatnya?”
“Kami sekali-kali tidak akan menentang tuan. Tetapi kami hanya mematuhi ketentuan yang berlaku di Kademangan ini. Sebenarnyalah bahwa kami takut sekali kepada Raden, apalagi setelah kami tahu bahwa Raden adalah putera Pangeran Ranakusuma. Tetapi apaboleh buat. Ketentuan yang berlaku harus tetap berlaku”
“Tidak. Aku tidak mau. Dan kalian harus tetap memanggil Ki Demang di Sukawati. Jika kalian tidak bersedia, maka aku akan menghukum kalian”
“Raden” berkata salah seorang dari keduanya, “Tanah Sukawati mempunyai kekhususan. Yang langsung membimbing pemerintahan Kademangan Sukawati adalah Pangeran Mangkubumi sendiri, karena tanah ini adalah tanah kalenggahan”
“Aku tidak peduli. Aku yakin bahwa Ramanda Pangeran Mangkubumi akan membenarkan sikapku dan berpihak kepadaku. Panggil Demang itu, cepat”
“Sebelum tuan turun dari kuda, kami tidak akan memanggil. Kami tidak berkeberatan atas mereka yang masih tetap berada di punggung kuda di halaman, tetapi tidak di bawah kuncung pendapa”
“Persetan. Apakah aku harus mencarinya sendiri dan memaksanya menghadap aku kemari?”
REPORT THIS AD
“Jika tuan berkenan di hati, kami akan mempersilahkannya dengan senang hati”
“Tuan” jawab salah seorang dari mereka sambil berpaling, “kami tidak bertanggung jawab lagi apa yang dapat terjadi dengan tuan, karena tuan tidak mematuhi peraturan yang berlaku di Kademangan Sukawati”
“Kalian sudah gila. Aku adalah putera seorang Pangeran. Dengar perintahku. Seperti kau lihat, aku sudah membawa beberapa orang pengiring”
“Tuan akan berburu. Tuan membawa kelengkapan sekelompok pemburu yang akan berburu rusa di hutan rindang”
“Kami sudah melampaui beberapa daerah perburuan. Tetapi kami memang akan pergi ke Sukawati. Karena itu jangan mengganggu kami sehingga dapat menimbulkan kemarahan kami”
Hampir berbareng keduanya mengangguk dalam-dalam. Salah seorang di antaranya berkata, “Baiklah. Kami tidak akan berbuat apa-apa”
Dan tiba-tiba saja keduanya melangkah surut. Kemudian di luar kuncung, di depan tangga terakhir yang mengelilingi pendapa Kademangan keduanya berdiri sambil menyilangkan tangannya di dada. Sikap mereka pun telah berubah, mirip dengan orang-orang yang ditemuinya di sepanjang jalan.
Ternyata sikap itu telah membuat seluruh tubuh Raden Rudira meremang. Bahkan pengiringnya pun menjadi gelisah, sehingga untuk sesaat mereka bagaikan telah terpukau oleh sikap itu, sehingga mereka sama sekali tidak bergerak.
Untuk mengatasi hatinya yang kecut, maka Raden Rudira itu pun telah memaksa dirinya untuk berkata lantang, “He, apakah kalian telah menjadi patung?”
“Tuan” jawab salah seorang dari mereka sambil berpaling, “Kami tidak bertanggung jawab lagi apa yang dapat terjadi dengan tuan karena tuan tidak mematuhi peraturan yang berlaku di Kademangan Sukawati” ia berhenti sejenak, lalu, “Dan Ki Demang pun tidak akan bersedia mengantar tuan pergi ke pasanggrahan Pangeran Mangkubumi. Memang tuan dapat memaksanya dengar kekerasan. Tetapi kami kira tuan tidak akan berhasil. Bukan karena Ki Demang mempunyai sepasukan pengawal yang dapat melindunginya. Tetapi karena kekerasan hatinya, ia akan memilih akibat yang bagaimanapun beratnya dari pada ia melihat peraturan yang dibuatnya tidak ditaati”
REPORT THIS AD
“Gila, permainan apakah sebenarnya yang telah kalian lakukan? Apakah kalian sedang diamuk oleh suatu kepercayaan takhayul yang membuat kalian, orang-orang Sukawati menjadi seperti orang-orang gila”
“Tuan keliru” jawab salah seorang dari kedua pengawal, “sikap kami adalah sikap yang mewujudkan kediaman kami menghadapi keadaan dewasa ini, dimana kita merasa berdiri di atas bara justru di kampung halaman sendiri”
Jawaban itu benar-benar tidak diduga, sehingga Raden Rudira terdiam untuk beberapa saat. Namun wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang.
Tetapi ternyata Raden Rudira tidak mau surut. Meskipun hatinya bergejolak dahsyat sekali, namun ia mencoba mengatasinya dengan berteriak sekali lagi, “Panggil Ki Demang di Sukawati”
Betapapun ia berteriak, tetapi kedua bebahu Kademangan Sukawati itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
Kemarahan Raden Rudira hampir tidak terkekang lagi, Namun ketika dadanya bagaikan akan meledak, Sura, pengiringnya yang selama ini paling dibanggakan itu telah meloncat turun dari kudanya. Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Raden, kami persilahkan Raden turun dari kuda. Bukan suatu sikap merendahkan diri, tetapi barangkali demikianlah yang dikehendaki oleh Ramanda Pangeran Mangkubumi”
“Persetan” Raden Rudira berteriak, “Kau juga sudah menjadi pengecut?”
“Bukan Raden. Bukan soalnya, berani menentang ketentuan itu atau tidak. Tetapi kita ingin mendapat bantuan dari Ki Demang di Sukawati. Bukankah tujuan kita untuk mendapatkan petani yang telah menghina Raden di tengah bulak itu? Karena itu, sebaiknya kita tidak membuat persoalan-persoalan baru disini”
Darah Raden Rudira bagaikan mendidih karenanya. Namun perlahan-lahan ia mulai menyadari kata-kata Sura. Kalau ia bertindak kasar, maka ia hanya akan menambah kesulitan diri sendiri tanpa mendapatkan hasil apapun dari kepergiannya ke Sukawati. Dan lebih daripada itu, sebenarnyalah di dalam sudut hatinya tersirat kecemasan yang sangat melihat sikap orang-orang Sukawati itu.
REPORT THIS AD
Namun sudah barang tentu Raden Rudira tidak membiarkan dirinya terlempar surut tanpa pembelaan. Dengan lantang ia berkata kepada kedua bebahu itu, “Baiklah. Aku akan turun. Bukan karena aku takut menghadapi sikap kalian yang gila itu. Tetapi aku secepatnya ingin menangkap petani yang telah berani menghinakan aku di tengah bulak”
Raden Rudira pun segera meloncat dari punggung kudanya sambil berteriak, “Aku sudah turun. Panggil Ki Demang di Sukawati”
Tetapi Raden Rudira terkejut, ketika sebelum kedua orang itu beranjak, telah terdengar suara dari balik pintu pringgitan di pendapa, “Aku sudah disini tuan”
Darah Raden Rudira tersirap. Di tengah-tengah pintu yang kemudian terbuka ia melihat seorang laki-laki yang bertubuh sedang, berkumis tipis, yang kemudian berjalan melintas pendapa mendekatinya.
“Kau disitu sejak tadi?”
“Ya. Aku sudah berada di balik pintu sejak tuan datang. Tetapi aku menunggu tuan turun dari kuda. Maaf. Itu sudah menjadi ketentuan kami. Sekali kami melanggar ketentuan itu, maka untuk selanjutnya ketentuan itu tidak akan berarti, karena pelanggaran yang serupa akan terjadi lagi. Sekali lagi dan sekali lagi, sehingga ketentuan itu tidak berarti apa-apa lagi. Baik bagi kami maupun bagi setiap orang yang datang ke padukuhan ini”
“Persetan” jawab Raden Rudira, “Aku tidak perlu sesorahmu. Aku memerlukan kau”
“O” Ki Demang yang kemudian turun dari pendapa rumahnya mengangguk hormat, “Kami akan membantu tuan. Apakah yang harus kami lakukan?”
Raden Rudira memandang Demang Sukawati itu dengan herannya. Ia tidak mengerti, apakah yang sebenarnya tersirat di dalam hatinya. Setelah ia memaksanya turun dari kudanya, maka ia pun kemudian bersikap sopan dan ramah.
Tetapi Raden Rudira tidak mempedulikannya lagi. Dengan kasar ia berkata, “Aku sedang mencari seseorang”
“O. Siapa?”
“Aku tidak tahu namanya. Ia menyebut dirinya petani dari Sukawati”
Tampak Ki Demang mengerutkan keningnya sejenak. Tetapi ia pun kemudian berusaha untuk melenyapkan kesan itu. Bahkan kemudian ia bertanya, “Kenapa Raden mencarinya? Apakah petani dari Sukawati itu telah menjual sesuatu kepada Raden dan Raden akan membayarnya sekarang, atau persoalan apapun yang pernah terjadi dengan petani itu?”
“Ia menghina aku di tengah-tengah bulak Jati Sari”
“O” Ki Demang dari Sukawati terkejut, “di Jati Sari?”
“Ya”
“Begitu jauh dari Sukawati”
“Ya. Orang itu mengaku petani dari Sukawati. Ia tentu seorang petualang. Nah, tunjukkan kepadaku, siapakah yang sering bertualang disini”
Ki Demang tidak segera menjawab. Dengan sudut matanya ia memandang kedua pembantunya yang kini berdiri termangu-mangu pula.
“He, apakah kau tidak dapat mengenal orang-orangmu?”
“Maaf tuan. Aku tidak dapat mengingat semua orang di Kademangan Sukawati. Mungkin aku mengenal mereka, tetapi tentu tidak akan dapat mengerti kebiasaan mereka sehari-hari dengan pasti”
“Tetapi bertualang bukan kebiasaan yang wajar bagi seorang petani. Karena itu, seharusnya kau dapat segera mengetahui orang yang aku maksudkan”
Tetapi Ki Demang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Maaf. Aku tidak dapat segera mengatakan, siapakah yang Raden maksud itu”
“Kalau begitu, antarkan aku menjelajahi Kademangan ini. Aku akan mencarinya sendiri”
“Tuan akan menjelajahi Kademangan Sukawati?”
REPORT THIS AD
“Ya”
Ki Demang menjadi termangu-mangu. Sekali lagi ia memandang kedua kawan-kawannya. Kini keduanya pun menunjukkan kegelisahannya.
“Tuan” berkata Ki Demang, “tanah Sukawati adalah tanah kalenggahan”
“Aku mengerti” Rudira memotong, “maksudmu, kau akan menyebut nama Ramanda Pangeran Mangkubumi?”
“Ya tuan”
“Antarkan aku ke pasanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi. Aku akan menghadap dan mohon ijinnya. Tentu Ramanda akan memberikan ijin itu, bahkan akan membantuku mencari orang-orang yang deksura dan berani menentang para bangsawan”
Ki Demang di Sukawati mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi Pangeran Mangkubumi tidak sedang berada di Sukawati. Apakah Raden tidak menjumpainya di istana Kapangeranan di kota?”
Sesuatu terasa bergetar di dalam dada Rudira. Seolah-olah ia terlepas dari tekanan kecemasan yang menghimpit dadanya, sehingga tanpa sesadarnya ia menarik nafas dalam-dalam.
“Jadi Ramanda Pangeran tidak ada di Sukawati?”
Ki Demang menggelengkan kepalanya, “Tidak tuan. Tidak”
Tetapi tiba-tiba saja Rudira membentak, “Bohong. Kalian pasti mencoba berbohong, karena kalian, orang-orang Sukawati adalah orang-orang yang deksura. Kalian takut juga bahwa aku akan mengatakan kepada Ramanda Pangeran Mangkubumi tentang kalian. Tentang petani-petani yang berdiri membeku di regol padukuhan dan mereka yang seperti patung mati di tikungan. He, kenapa orang-orangmu kau ajari deksura terhadap para bangsawan? Dan sekarang kau takut membawa aku menghadap Ramanda Pangeran”
Ki Demang menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Aku minta maaf tuan. Orang-orangku adalah orang-orang padesan yang jauh dari kota. Kami sama sekali tidak berniat untuk berlaku kurang baik dan apalagi tidak sopan. Tetapi kami, orang-orang padesan memang kurang mengerti tata-krama. Kadang-kadang kami kehilangan akal, apa yang harus kami lakukan untuk menunjukkan hormat kami. Demikian juga para petani di Sukawati, dan barangkali juga petani yang tuan sebut, berjumpa dengan tuan di bulak Jati Sari”
“Tidak. Ia tidak sekedar kurang tata-krama. Tetapi ia benar-menentang aku” Rudira berhenti sejenak, lalu, “antarkan aku ke pasanggrahan Ramanda Pangeran”
Ki Demang menarik nafas. Lalu, “Baiklah. Marilah Raden aku antarkan ke pesanggrahan itu. Tetapi aku sudah mengatakan bahwa Pangeran Mangkubumi tidak ada di pesanggrahan itu”
Rudira seolah-olah tidak menghiraukannya Meskipun hal itu baginya adalah suatu kebetulan. Namun di hadapan Ki Demang ia bersikap seakan-akan ia kecewa bahwa Pangeran Mangkubumi tidak ada di pasanggrahannya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, maka Raden Rudira pun segera meloncat ke punggung kudanya. Dengan tatapan mata aneh Ki Demang memandanginya. Tetapi Raden Rudira tidak menghiraukannya. Ia duduk diatas punggung kudanya, meskipun kudanya masih berada di kuncung pendapa Kademangan.
“Berjalanlah di depan” berkata Rudira kemudian, “Aku akan mengikutimu”
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Kemudian ia bertanya, “Apakah kami harus berjalan kaki saja?”
“Ya. Kalian berjalan kaki saja. Kalian tidak perlu berkuda seperti kami”
“Tetapi pesanggrahan itu terletak di padukuhan lain, meskipun tidak begitu jauh. Nanti perjalanan ini akan memakan waktu apabila kami hanya sekedar berjalan kaki”
“Aku tidak peduli Adalah pantas sekali, kalau kau berjalan kaki, dan kami naik diatas punggung kuda. Dengan demikian perbedaan derajad kita akan tampak dengan jelas”
Wajah Ki Demang berkerut sejenak. Tetapi ia pun kemudian tersenyum dan berkata, “Baiklah tuan. Kami akan mengantarkan Raden ke pesanggrahan itu dengan berjalan kaki. Tetapi sudah kami katakan, bahwa perjalanan ini akan memakan waktu. Sebentar lagi malam akan segera turun. Apalagi Pangeran Mangkubumi tidak ada di pesanggrahan”
REPORT THIS AD
“Aku tidak peduli”
“Tetapi bagaimana kalau tuan kemalaman?”
“Aku akan bermalam di pasanggrahan?”
“Di pesanggrahan? Selagi Pangeran Mangkubumi tidak ada?”
Rudira mengerutkan keningnya. Ia berpaling kepada Sura yang masih berdiri di samping kudanya. Tetapi Sura menggeleng kecil tanpa sesadarnya.
“Sekarang, jangan banyak bicara” bentak Rudira kemudian, “berjalanlah. Kita harus segera sampai ke pesanggrahan itu”
“Baiklah tuan” jawab Ki Demang.
Dengan isyarat, maka kedua kawannya itu pun diajaknya, sehingga mereka berjalan bertiga di depan kuda Raden Rudira. Sedang Sura masih menuntun kudanya sejenak. Baru ketika mereka sudah keluar dari halaman, maka ia pun segera meloncat naik. Demikian pula para pengiring yang lain, yang telah turun pula dari kudanya.
Perlahan-lahan iring-iringan itu berjalan meninggalkan regol Kademangan. Namun betapa hati Raden Rudira dan para pengiringnya menjadi berdebar-debar. Tanpa mereka ketahui darimana datangnya, mereka melihat beberapa orang anak-anak muda yang berdiri di sebelah menyebelah jalan di luar regol dengan sikap yang mendebarkan itu. Mereka berdiri tegak sambil menyilangkan tangan di dadanya.
Sekali-sekali Raden Rudira memandang wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang seakan-akan membeku. Mereka sama sekali tidak memandang orang-orang yang lewat. Mereka seakan-akan berdiri asal saja berdiri di pinggir jalan.
Namun Ki Demang lah yang kemudian menegur salah seorang dari mereka, “Kalian sudah pulang dari sawah?”
Seorang anak muda yang tinggi kekurus-kurusan lah yang menjawab mewakili kawan-kawannya, “Sudah Ki Demang”
“Baiklah. Dan sekarang ketahuilah, yang berkuda di paling depan ini adalah Raden Rudira, putera Pangeran Ranakusuma di Surakarta”
“O” hanya itulah yang terloncat dari mulut anak muda itu.
Tidak ada bayangan kekaguman, heran atau takut sedikitpun juga. Ia masih tetap berdiri seperti sediakala dengan menyilang-kan tangannya di dadanya.
“Persetan” Rudira bergumam di dalam dadanya.
Ketika mereka sudah melampaui anak-anak muda yang berdiri di sebelah menyebelah jalan itu, Raden Rudira yang marah segera bertanya kepada Ki Demang, “Ki Demang, kenapa anak-anak mudamu tidak kau ajari sopan santun”
“Maksud Raden?” bertanya Ki Demang.
“Mereka harus tahu, bagaimana caranya menghormati seorang bangsawan. Seorang putera Pangeran”
“Apakah sikap mereka salah?”
“Tentu. Mereka sama sekali tidak sopan. Mereka harus berjongkok atau membungkukkan kepala mereka dalam-dalam”
“O” Ki Demang mengangguk-angguk, “begitukah yang benar?”
“Ya”
“Kalau begitu selama ini kami telah membuat kesalahan Kami tidak pernah berbuat begitu. Itulah agaknya tuan tidak senang terhadap rakyat kami. Tetapi sekali lagi agar tuan ketahui, rakyat kami adalah rakyat yang jauh dari kehidupan para bangsawan sehingga barangkali kami tidak mengenal keharusan yang berlaku di kota, untuk menghormat para bangsawan. Sebenarnyalah bahwa di padukuhan yang terpencil ini kami hanya mengenal seorang bangsawan, Daripadanya lah kami mengenal tata-krama. Tetapi agaknya tata-krama yang kami anggap sudah cukup baik itu masih kurang dalam pandangan tuan”
“Tentu. Dan siapakah yang telah mengajar kalian dengan cara yang salah itu?”
Bersambung ke Bunga di batu karang III
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
“Tidak” jawab Pangeran Ranakusuma, “Adimas Pangeran Mangkubumi bukan orang terasing. Ia dekat sekali dengan para Bangsawan yang sependirian. Terutama menghadapi kedatangan orang-orang asing itu di Surakarta.
“Ah. Itu hanyalah sekedar bayangan di dalam kegelapan. Sebentar lagi ia harus menyesuaikan diri dengan keadaan” Sahut Raden Ayu Sontrang.
Pangeran Ranakusuma tidak menjawab lagi. Ia kembali duduk memandang kekejauhan.
“Pergilah” berkata Raden Ayu Sontrang kemudian kepada puteranya, “siapkan keperluanmu itu. Tetapi hati-hati1ah. Petani itu pasti bukan petani yang tidak mengerti menanggapi keadaan yang dihadapinya”
“Baik ibu” sahut Raden Rudira sambil bergeser meninggalkan ruang itu.
Sepeninggal Raden Rudira, Raden Ayu Sontrang maju perlahan-lahan mendekati suaminya dan berdiri di belakangnya. Kemudan sambil memijit pundaknya ia berkata, “Kangmas terlampau hati-hati. Sudahlah, jangan dirisaukan lagi adimas Pangeran Mangkubumi”
Pangeran Ranakusuma tidak menyahut. Namun setiap kali, sentuhan tangan isterinya itu seolah-olah telah meluluhkan segala akalnya, sehingga apapun yang dikatakannya tidak dapat dibantahnya lagi.
Di hari berikutnya. Raden Rudira sudah siap dengan para pengiringnya. Ia benar-benar akan mencari petani yang sudah membuatnya terlampau sakit hati. Jika petani yang demikian itu tidak dihukum, maka akibatnya akan dapat membahayakan kedudukan para Bangsawan. Petani itu akan membuat orang-orang kecil yang lain berani pula melawan.
“Kalau Ramanda Pangeran Mangkubumi ada, aku akan mohon ijin. Tetapi jika tidak diijinkan, atas nama ayahanda Pangeran Ranakusuma aku akan bertindak. Ayahanda Ranakusuma adalah saudara tua Ramanda Mangkubumi, sehingga wewenangnya pasti lebih besar dari yang muda” berkata Raden Rudira di dalam hatinya. Meskipun ia tidak terlalu sering bertemu, tetapi ia pernah beberapa kali bertemu dan bahkan pernah berbicara satu kali di halaman Masjid Agung.
“Ramanda Pangeran Mangkubumi mudah dikenal” berkata Rudira di dalam hatinya pula, “wajahnya yang agung dan tatapan matanya yang tajam. Ia seorang pendiam dan penuh dengan wibawa”
Namun ternyata hatinya tiba-tiba saja berkeriput. Kalau benar Pangeran Mangkubumi ada di Sukawati, apakah ia akan berani berbuat sesuatu?.
“Tetapi Ramanda Pangeran Mangkubumi pun pasti akan membantu. Petani itu harus dihukum. Ramanda Pangeran Mangkubumi pun pasti tidak akan senang mendengar ceritera tentang seorang petani yang berani melawan seorang Bangsawan” Rudira mencoba menenteramkan hatinya sendiri.
Demikianlah, setelah semuanya siap, dan setelah minta diri kepada ayah dan ibunya, Raden Rudira pun meninggalkan rumahnya diiringi oleh beberapa orang. Agar perjalanannya tidak menimbulkan pertanyaan, maka mereka pun telah membawa pula kelengkapan berburu. Seakan-akan mereka adalah iring-iringan beberapa orang yang pergi ke hutan perburuan.
Tetapi perjalanan yang mereka tempuh kali ini adalah perjalanan yang agak jauh. Lewat tengah hari mereka baru akan sampai di tempat yang mereka tuju. Tetapi kadang-kadang mereka pasti harus berhenti dan beristirahat. Kalau bukan kuda-kuda mereka yang haus, maka mereka sendirilah yang haus di bawah terik matahari sehingga baru di sore hari mereka akan sampai ke daerah Sukawati.
“Ramanda Pangeran Mangkubumi pasti tidak ada disana. Meskipun jarang berada di lingkungan para bangsawan, tetapi Pangeran Mangkubumi pasti berada di kota. Mungkin hanya sebulan sekali atau bahkan tiga bulan sekali, ia pergi ke Sukawati yang sepi itu”
Rudira berusaha menenangkan kegelisahannya sendiri. Namun demikian kadang-kadang hatinya masih juga menjadi berdebar-debar.
Tetapi perjalanan itu sendiri adalah perjalanan yang menyenangkan. Kadang-kadang mereka masih harus menyusup di antara hutan rindang dan lewat di Padukuhan-padukuhan kecil. Para petani yang melihat iring-iringan itu menjadi ketakutan, dan mereka pun segera berjongkok di pinggir jalan, karena mereka tidak dapat segera membedakan, apakah yang lewat itu seorang bangsawan dari tingkat pertama, atau tingkat berikutnya. Namun kuda yang tegar, pakaian yang gemerlapan dan pengiring yang banyak, membuat para petani dan orang-orang kecil lainnya berdebar-debar.
Demikianlah maka perjalanan Rudira tidak menjumpai rintangan apapun di perjalanan. Sekali-sekali mereka berhenti, memberi kesempatan kepada kudanya untuk minum seteguk dan beristirahat sejenak Dalam pada itu Rudira sempat juga memandang daerah yang terbentang di hadapannya. Daerah yang hijau segar. Sawah yang luas, dibatasi oleh padukuhan dan pategalan. Sungai yang berliku liku menyusup di antara perbukitan padas yang rendah.
Tetapi semakin dekat iring-iringan itu dengan Sukawati, maka hati Rudira pun rasa-rasanya menjadi semakin gelisah. Bukan saja Rudira, tetapi para pengiringnya pun menjadi gelisah pula, meskipun di antara mereka terdapat lima orang pengawal dan beberapa orang pengiring Rudira di bawah pimpinan Sura.
“Apakah orang-orang Sukawati akan membiarkan kami mengambil salah seorang warga pedukuhan mereka?” pertanyaan itu yang selalu menyelinap di dalam hati, “Jika mereka berkeberatan, dan Raden Rudira berkeras hati, maka akibatnya akan dapat menimbulkan pertengkaran. Bahkan mungkin pertumpahan darah. Jika demikian, persoalan ini tidak akan berhenti sampai sekian. Pasti masih ada persoalan-persoalan berikutnya.
Sura menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah orang yang paling kasar di antara para pengiring Rudira. Tetapi setiap kali terbayang olehnya, orang-orang berkulit putih itu ikut campur di dalam persoalan orang-orang Surakarta, hatinya menggelonjak.
Tetapi apabila persoalan petani dari Sukawati itu akan berkepanjangan, maka mau tidak mau, Raden Rudira lewat ibunya pasti akan menyeret beberapa orang kulit pulih ikut serta di dalam persoalan ini, karena Pangeran Ranakusuma tidak akan dapat menggali kekuatan dari rakyat di Tanah Kelenggahannya.
Demikianlah maka menjelang sore hari, iring-iringan itu benar-benar telah mendekati Sukawati. Dari kejauhan mereka. sudah melihat padukuhan yang hijau subur. Beberapa padukuhan yang terpencar itu terikat di dalam satu wilayah Kademangan di bawah perlindungan Pangeran Mangkubumi, karena daerah itu merupakan Tanah Kalenggahannya.
Tanpa sesadarnya, semakin dekat dengan daerah Sukawati, Rudira berpacu semakin lambat. Bahkan akhirnya ia pun berhenti berapa ratus tonggak dari induk padukuhan di Sukawati.
“Dimanakah rumah Demang di Sukawati?” Ia bertanya.
Tidak seorang pun yang segera menjawab.
“Dimana” Raden Rudira hampir berteriak, “Sura, apakah kau sudah tuli”
“O, maksud Raden, rumah Demang Sukawati?”
“Ya, rumah Ki Demang. Apakah kau pernah melihat”
“Pernah Raden. Aku memang pernah pergi ke Sukawati. Aku pernah singgah di rumah Demang Sukawati”
“Kau sudah mengenalnya?”
“Sudah. Aku sudah mengenalnya”
“Baik. Bawa aku kepadanya. Aku akan bertanya kepadanya tentang petani gila itu” Ia harus dapat menemukannya dan membawa kepadaku”
Sura akan berbicara beberapa patah kata. Tetapi kata-katanya tersangkut di kerongkongan. sehingga karena itu, ia hanya sekedar menelan ludahnya saja”
“Marilah, tunjukkan aku rumah Ki Demang itu”
Sura mengangguk-angguk kecil. Jawabnya terbata-bata, “Baik, baik Raden”
“He, kenapa kau menggigil seperti orang kedinginan? Kau takut he?”
“Tidak. Tidak” jawab Sura.
Namun demikian Sura sendiri melihat, wajah Raden Rudira menjadi pucat.
Baik Rudira maupun Sura dan para pengiring yang lain, tidak tahu, apakah sebabnya sehingga mereka merasa cemas dan tegang. Bagi mereka, seorang rakyat kecil tidak akan banyak berarti. Apa saja yang dikehendaki atas mereka, biasanya tidak pernah urung.
Demikianlah, Raden Rudira dan pengiringnya mencoba menenteramkan hati mereka yang bergolak ketika mereka sudah berada di mulut lorong tanah Sukawati Para pengawal yang merupakan orang-orang khusus di Dalem Kapangeranan itu pun merasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya mereka tidak sekedar akan bertindak terhadap seorang petani betapapun tinggi kemampuan tempurnya.
Tidak ada seorang petani pun yang dengan tergesa-gesa berjongkok apalagi sambil menyembah. Mereka tetap pada pekerjaan mereka. Satu dua di antara mereka berpaling, namun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Sura yang ada didekatnya, “Gila” Raden Rudira menggeram. Sura yang didekatnya memang ikut merasakan suasana yang lain di padukuhan Sukawati.
“Agaknya kita terpengaruh oleh Ramanda Pangeran Mangkubumi memiliki daerah Sukawati itu” berkata Raden Rudira dengan suara menghentak, seolah-olah ingin melepaskan tekanan yang terasa memberati dadanya, “Tetapi Ramanda Pangeran Mangkubumi pasti tidak akan mencegah kita, karena kita tidak akan mengganggu Tanah Sukawati. Kita hanya akan mengambil seseorang yang telah berani menentang para bangsawan di Surakarta. Sudah tentu Ramanda Pangeran akan justru membantu menemukan orang itu apabila ia berada di Sukawati. Kalau tidak, kita akan dapat berbuat lebih leluasa”
Tidak ada seorang pun yang menyahut. Tetapi setiap orang merasa, betapa getaran suara Raden Rudira mengandung kecemasan yang sangat, seperti kecemasan yang ada di dalam hati mereka masing-masing.
“Begini besar perbawa Pangeran Mangkubumi” desis Sura di dalam hatinya, “Pangeran Ranakusuma dengan tanpa ragu-ragu telah mengembalikan puteri Pangeran Reksanegara. Pangeran yang sebenarnya pernah mempunyai pengaruh yang besar sebelum kedatangan orang asing yang semakin banyak di bumi Surakarta. Tetapi kini, kami menjadi menggigil ketakutan sebelum kami memasuki wilayah Sukawati untuk mengambil hanya seorang rakyat yang telah memberontak. Apakah sebenarnya yang membuat Pangeran Mangkubumi rasa-rasanya lebih berwibawa dari Pangeran Reksanegara dan Pangeran yang lain?”
Tetapi Sura tidak mengucapkan kegelisahan itu, betapapun hai itu benar-benar telah memberati perasaannya. Semakin dekat, semakin menekan di dalam dada.
Ketika mereka mendekati pintu gerbang padukuhan induk di Sukawati, mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka masih melihat beberapa orang petani di sawah masing-masing. Tetapi para petani itu agaknya acuh tidak acuh saja atas kedatangan mereka. Sama sekali tidak seperti para petani di sepanjang jalan yang mereka lalui. Tidak ada seorang petani pun yang dengan tergesa-gesa berjongkok, apalagi sambil menyembah. Mereka tetap pada pekerjaan mereka. Satu dua di antara mereka berpaling, namun kemudian tidak menghiraukannya lagi.
“Gila” Raden Rudira menggeram. Sura yang ada di dekatnya memang ikut merasakan suasana yang lain di padukuhan Sukawati.
“Kita langsung ke rumah Demang di Tanah Sukawati ini” geram Raden Rudira.
“Apakah Raden tidak datang ke pasanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi?” bertanya Sura dengan suara yang patah-patah.
“Tidak” Raden Rudira hampir berteriak tidak sesadarnya. Tetapi kemudian ia berkata, “Ramanda tidak ada di Sukawati. Pasti. Dan aku akan membawa Demang Sukawati menghadap ke pesanggrahan untuk memastikannya”
Sura tidak bertanya lagi. Diikutinya saja kuda Raden Rudira yang menjadi semakin lambat.
Di belakang Raden Rudira dan Sura, para pengawal pun menjadi berdebar-debar. Tugas mereka kali ini rasanya begitu berat, sehingga dada mereka menjadi tegang.
Setiap orang di dalam iring-iringan itu terkejut ketika mereka melihat, di dalam regol di mulut lorong yang memasuki Tanah Sukawati itu, beberapa orang berdiri di sebelah menyebelah jalan. Mereka berdiri saja seakan-akan tidak menghiraukan derap kuda yang sudah berada di gerbang padukuhan mereka. Dengan tangan bersilang di dada mereka memandang Raden Rudira yang berada di paling depan. Namun mereka sama sekali tidak bertanya apapun.
Raden Rudira lah yang kemudian menarik kekang kudanya, sehingga kuda Itu berhenti. Sejenak ia memandang beberapa orang yang berdiri diam seperti patung itu. Wajah-wajah mereka bagaikan wajah-wajah yang kosong tanpa perasaan apapun melihat kehadiran Raden Rudira dan pengiringnya.
Sejenak Raden Rudira menjadi bimbang, Orang-orang itu benar-benar membuatnya kebingungan. Menilik pakaian mereka, mereka adalah petani-petani. Tetapi mereka sama sekali tidak bersikap sebagai seorang petani yang melihat hadirnya seorang bangsawan di padukuhan mereka yang terletak agak jauh dari kota. Padukuhan-padukuhan yang jauh ini pada umumnya, menjadi gempar apabila seorang bangsawan memasuki wilayahnya. Bahkan ada di antara mereka yang berlari-lari bersembunyi, ada yang dengan tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di pinggir jalan. Jika bebahu padukuhan itu melihatnya, maka ia akan menyongsong sambil terbungkuk-bungkuk dan kemudian berjalan sambil berjongkok mendekatinya.
Tetapi petani-petani di Sukawati itu berdiri saja sambil menyilangkan tangannya di dada, seakan-akan mereka telah berjanji yang satu dengan yang lain untuk berbuat demikian. Sedang wajah-wajah yang beku itu sama sekali tidak membayangkan kesan apapun yang ada di dalam hati mereka.
“He, bukankah kalian orang-orang Sukawati?” Raden Rudira berteriak untuk mengatasi gejolak di dalam dadanya.
Petani yang berdiri di paling ujung berpaling memandanginya. Kemudian ia pun menjawab, “Benar Raden. Kami adalah orang-orang Sukawati”
“Kenapa kalian berkumpul disini he?”
“Kami akan pergi ke sawah. Tetapi ketika kami melihat iring-iringan kuda menuju ke padukuhan ini, kami pun menunggu sampai Raden lewat. Silahkanlah kalau Raden akan lewat. Kami akan pergi ke sawah”
“Persetan. Apakah kalian tidak tahu siapa aku?”
“Kami hanya tahu bahwa tuan adalah seorang bangsawan. Tetapi kami tidak tahu, siapakah tuan” “Aku adalah Raden Rudira. putera Pangeran Ranakusuma”
Tanggapan dari para petani itu pun benar-benar mengejutkan. Mereka sama sekali tidak tertarik pada nama itu. Meskipun mereka mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sikap yang beku itu sama sekali tidak berubah.
“He, apakah kalian dengar, bahwa aku putera Pangeran Ranakusuma?”
“Ya, kami dengar tuan”
“Jadi, begitukah kalian bersikap terhadap seorang bangsawan?”
Para petani itu menjadi heran mendengar pertanyaan Raden Rudira. Petani yang berdiri di paling ujung itu pun bertanya, “Jadi apakah sikap kami keliru?”
“Kalian tidak sopan. Kalian berhadapan dengan putera seorang Pangeran. Siapakah yang mengajar kalian bersikap deksura itu he?”
“O, jadi kami bersikap deksura?” petani di paling ujung itu terdiam sejenak, lalu, “Tetapi maaf Raden. Kami memang diajar bersikap demikian”
“Ya, aku sudah menduga. Siapa yang mengajarmu?”
“Pangeran Mangkubumi”
“He?” mata Raden Rudira terbelalak mendengar jawaban itu. Demikian juga para pengiringnya. Namun dengan demikian dada mereka serasa telah berguncang.
Sejenak Raden Rudira termangu-mangu. Namun kemudian dengan suara yang gemetar ia bertanya, “Jadi Ramanda Pangeran Mangkubumi mengajarmu bersikap demikian?”
“Ya tuan. Kamipun sebenarnya tahu, bahwa kami harus berjongkok apabila seorang bangsawan lewat di jalan yang kebetulan kami lalui juga. Tetapi hanya bagi para Pangeran. Bukan kepada setiap bangsawan. Biasanya kami hanya mengenal seorang bangsawan pada sikap dan pakaiannya serta para pengiringnya. Dan kami semuanya menganggap mereka seorang Pangeran, sehingga kami langsung berjongkok di pinggir jalan. Tetapi bagi kami, orang-orang di daerah Sukawati mendapat kekhususan dari Pangeran Mangkubumi. Jangankah bangsawan di tingkat berikutnya, sedangkan terhadap Pangeran Mangkubumi sendiri, yang menguasai Tanah Sukawati dan seorang bangsawan tertinggi, kami tidak diharuskan berjongkok”
“O, itu salah, salah sekali. Itu akan merusak sendi-sendi tata kesopanan rakyat Surakarta”
“Kami berpegangan kepada perintah Pangeran Mangkubumi”
“Persetan. Tunjukkan kepada kami. dimana rumah Demangmu”
Sejenak para petani itu termangu-mangu. Sedang Sura yang berada di sebelah Raden Rudira berbisik. “Aku sudah tahu tempat itu Raden”
“Aku akan bertanya kepada mereka” sahut Raden Rudira.
Sura menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia memandangi para petani itu seorang demi seorang. Mereka sama sekali tidak beranjak dari tempatnya, sedang tangan mereka masih tetap bersilang di dadanya.
“Coba katakan, kemana aku harus pergi?”
“Tuan sudah mengambil jalan yang benar. Tuan dapat berjalan terus lewat lorong ini. Sekali tuan berbelok ke kiri di tengah-tengah padukuhan ini, di tikungan di bawah pohon preh yang besar”
Raden Rudira mengerutkan keningnya. Sambil berpaling kepada Sura ia bertanya, “Benar begitu?”
Sura menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya tuan. Benar begitu”
Raden Rudira termenung sejenak. Namun kemudian ia berkata kepada para pengiringnya, “Kita pergi ke rumah Demang di Sukawati”
Tanpa minta diri kepada para petani yang masih saja berdiri tegak dengan tangan bersilang itu, Raden Rudira melanjutkan perjalanannya, menyusuri jalan di tengah-tengah padukuhan, sambil memperhatikan rumah-rumah yang ada di sebelah menyebelah jalan. Meskipun letak rumah-rumah itu masih cukup jarang, tetapi terasa bahwa Tanah Sukawati akan segera menjadi ramai. Lewat diatas pagar batu di setiap halaman, Raden Rudira dan pengiringnya melihat rumah-rumah yang bersih dan teratur. Halaman yang rapi dan kebun yang penuh dengan tanaman palawija, garut dan ganyong. Beberapa batang ubi dan gadung merambat pada pohon metir, merayap sampai ke puncaknya. Tiba-tiba saja Raden Rudira berkata, “Pangeran Mangkubumi telah merusak adat di Surakarta. Sikap itu pasti akan mempengaruhi sikap para petani kecil di sekitar Tanah Sukawati. Lambat atau cepat”
Tidak ada seorang pun yang menjawab. Sura masih saja termangu-mangu sambil menundukkan kepalanya.
Sejenak kemudian mereka pun telah sampai di tikungan. Tetapi sekali lagi dada mereka berdesir, ketika mereka melihat beberapa orang laki-laki yang sedang berdiri pula di sebelah menyebelah jalan tikungan itu. Seperti orang-orang yang berdiri di mulut lorong, maka orang -orang itu pun berdiri dengan wajah membeku sambil menyilangkan tangannya di dadanya.
Melihat sikap yang bagaikan patung-patung batu itu, terasa bulu-bulu tengkuk Raden Rudira meremang. Tetapi ia harus mengatasi goncangan perasaannya, sehingga karena itu, ia pun juga berhenti di hadapan orang-orang itu.
Sekali lagi ia bertanya dengan lantang, “He, apakah kalian diajari untuk menjadi patung? Atau memang demikianlah adat Sukawati untuk menghormat seorang bangsawan?”
Orang-orang itu memandang Raden Rudira hanya dengan sudut matanya. Kemudian orang yang paling pendek di antara mereka menjawab, “Kami diajari untuk bersikap sopan terhadap siapapun. Juga terhadap para bangsawan”
“He” jawaban itu benar-benar mengejutkannya, “Coba ulangi”
“Tuan” jawab petani yang pendek itu, “Kami diajari untuk bersikap sopan kepada siapapun. Juga kepada para bangsawan”
“Kenapa juga kepada para bangsawan? Kenapa justru tidak kepada para bangsawan baru kepada yang lain?”
Petani pendek itu mengerutkan keningnya. Tetapi wajahnya kemudian seakan-akan telah membeku kembali. Katanya, “Kami tidak melihat perbedaan itu. Tetapi kami memang mengenal tingkat tata penghormatan. Namun pada dasarnya, kami menghormati siapa saja”
“Siapa yang mengajarimu?”
“Pangeran Mangkubumi”
“Cukup, cukup” Raden Rudira berteriak. Nama itu rasa-rasanya seperti sebutan hantu yang paling menakutkan baginya. Karena itu tanpa berkata sepatah katapun lagi ia meneruskan perjalanannya menuju ke rumah Ki Demang di Tanah Sukawati.
Namun di jalan yang semakin pendek itu, Raden Rudira dan pengiringnya masih juga menjumpai satu dua orang yang berdiri acuh tidak acuh saja melihat kehadirannya. Bahkan mereka yang kebetulan berada di halaman pun hanya sekedar berpaling tanpa menghentikan kerjanya. Anak-anak yang sedang berlari-larian berhenti sejenak, lalu berlari lagi masuk ke dalam rumah masing-masing.
Perasaan Raden Rudira semakin lama menjadi semakin terguncang-guncang. Rasa-rasanya ia telah memasuki suatu daerah asing yang belum pernah dijajaginya. Bahkan rasa-rasanya seperti di daerah mimpi yang mengawang di antara bumi dan langit.
“Sura” berkata Raden Rudira kemudian, “Apakah memang begini sikap orang Sukawati? Bukankah kau pernah datang kemari dahulu?”
“Tidak tuan. Sikap orang-orang Sukawati tidak seganjil ini. Aku tidak mengerti, perubahan apa yang telah terjadi disini”
Raden Rudira menjadi semakin berdebar-debar. Setiap kali ia melihat seseorang yang berdiri tegak di pinggir jalan dengan tangan bersilang di dada, jantungnya berdetak semakin cepat, sehingga hampir saja ia tidak tahan.
“Aku ingin memukul kepalanya” geramnya.
Tetapi dengan mengerahkan keberaniannya Sura mencegahnya, katanya, “Maaf tuan. Jangan melakukan hal itu. Lebih baik kita menemukan orang yang kita cari tanpa membuat persoalan dengan orang lain”
Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia dapat mengerti nasehat Sura itu, sehingga ia pun tidak berbuat apapun juga. Namun dengan demikian hatinya serasa semakin lama menjadi semakin berkeriput kecil sekali.
REPORT THIS AD
“Raden” berkata Sura kemudian, “gerbang yang tampak itu adalah gerbang Kademangan”
Raden Rudira mengerutkan keningnya. Gerbang itu. termasuk sebuah pintu gerbang yang bagus bagi sebuah Kademangan. Namun dengan demikian gerbang itu pun telah membuat detak jantungnya semakin berdentangan.
Tetapi Raden Rudira tidak mau melangkah surut. Ia telah benar-benar merasa terhina karena tindakan petani yang menyebut dirinya berasal dari Sukawati itu. Karena itu maka ia harus berhasil menemukannya dan menghukumnya, sebagai seorang rakyat kecil yang berani menentang para bangsawan.
Karena itu, betapa hatinya berdebaran, Rudira tetap maju mendekati pintu gerbang itu.
Ketika kudanya sudah berada di depan pintu, dilihatnya dua orang mendatanginya. Dua orang dalam pakaian yang agak lain dari pakaian para petani.
“Itulah bebahu Kademangan Sukawati” desis Raden Rudira, “Ia harus tahu bahwa rakyatnya telah bertindak tidak sopan. Dan itu tidak dapat dibiarkannya. Tentu bukan Ramanda Pangeran Mangkubumi yang mengajarinya. Tentu orang-orang yang ingin mengeruhkan tata kehidupan Surakarta yang selama ini tenang dan tenteram”
Di depan pintu, di dalam halaman, kedua orang itu berhenti sambil menganggukkan kepala mereka. Ternyata mereka memang lebih hormat dari sikap para petani di sepanjang jalan yang mereka lalui.
Dengan sopan salah seorang dari mereka berdua bertanya, “Apakah kami dapat berbuat sesuatu untuk tuan?”
“Aku akan bertemu dengan Demang di Sukawati” sahut Raden Rudira langsung, “Apakah ia ada di rumah?”
“O” orang itu mengangguk-angguk, “ada tuan. Marilah tuan kami persilahkan masuk”
Tanpa turun dari kudanya Raden Rudira memasuki halaman Kademangan. Ternyata halaman itu adalah halaman yang luas dan bersih. Beberapa batang pohon tanjung berada di pinggir, sedang sepasang pohon sawo kecik berada tepat di depan pendapa.
“Mana Ki Demang?” bertanya Raden Rudira.
“Marilah, kami persilahkan tuan naik ke pendapa”
“Di mana Ki Demang he?”
“Nanti kami akan memanggilnya”
“Panggil ia kemari”
“Tuan, kami telah mempersilahkan tuan duduk. Kami akan segera memanggilnya” orang itu berhenti sejenak, lalu, “Silahkan tuan turun dari kuda”
“Tidak, aku akan menunggu Ki Demang disini. Aku memerlukannya. Ia harus mengantar aku ke pesanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi apabila Ramanda ada disana”
“Tuan, kami persilahkan tuan turun”
“Aku tidak mau turun. Kau tidak tahu siapa aku he? Aku adalah Putera Pangeran Ranakusuma”
“Tetapi ada semacam ketentuan, siapapun dipersilahkan turun apabila berada di kuncung pendapa ini.
“Aku seorang Putera Pangeran”
“Bahkan seorang Pangeran pun bersedia untuk turun dari kudanya apabila ia berada di bawah kuncung ini”
“Aku tidak peduli. Tetapi aku tidak mau turun. Hanya seorang Pangeran yang tidak tahu akan harga dirinya sajalah yang bersedia turun dari kudanya, meskipun di kuncung pendapa sekalipun, justru hanya pendapa seorang Demang”
“Tetapi justru kami sangat hormat kepadanya”
“Siapa?”
“Pangeran Mangkubumi”
“Pangeran Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi. Apapun yang kalian bicarakan kalian menyebut Pangeran Mangkubumi” Rudira hampir berteriak.
“Kedua bebahu itu menjadi terheran-heran melihat sikap Raden Rudira. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Raden, kami tetap mempersilahkan tuan turun. Kecuali kalau tuan tidak berada di bawah kuncung pendapa, meskipun di halaman”
“Aku tidak mau. Aku adalah putera Pangeran Ranakusuma Aku bukan Pangeran Mangkubumi. Ayahanda Pangeran Ranakusuma pasti tidak akan turun pula meskipun kudanya naik ke pendapa sekalipun”
Kedua bebahu Kademangan itu saling berpandangan sejenak. Kemudian salah seorang berkata, “Jika demikian, kami tidak akan memanggil Ki Demang”
“Apa, kalian tidak akan memanggil Ki Demang?”
“Ya. Jika tuan tidak bersedia turun”
“Gila. Kau berani menentang aku he? Aku datang untuk mencari seseorang yang berani menentang seorang bangsawan. Kini kau akan menentang aku pula. Apakah kau tahu akibatnya?”
“Kami sekali-kali tidak akan menentang tuan. Tetapi kami hanya mematuhi ketentuan yang berlaku di Kademangan ini. Sebenarnyalah bahwa kami takut sekali kepada Raden, apalagi setelah kami tahu bahwa Raden adalah putera Pangeran Ranakusuma. Tetapi apaboleh buat. Ketentuan yang berlaku harus tetap berlaku”
“Tidak. Aku tidak mau. Dan kalian harus tetap memanggil Ki Demang di Sukawati. Jika kalian tidak bersedia, maka aku akan menghukum kalian”
“Raden” berkata salah seorang dari keduanya, “Tanah Sukawati mempunyai kekhususan. Yang langsung membimbing pemerintahan Kademangan Sukawati adalah Pangeran Mangkubumi sendiri, karena tanah ini adalah tanah kalenggahan”
“Aku tidak peduli. Aku yakin bahwa Ramanda Pangeran Mangkubumi akan membenarkan sikapku dan berpihak kepadaku. Panggil Demang itu, cepat”
“Sebelum tuan turun dari kuda, kami tidak akan memanggil. Kami tidak berkeberatan atas mereka yang masih tetap berada di punggung kuda di halaman, tetapi tidak di bawah kuncung pendapa”
“Persetan. Apakah aku harus mencarinya sendiri dan memaksanya menghadap aku kemari?”
REPORT THIS AD
“Jika tuan berkenan di hati, kami akan mempersilahkannya dengan senang hati”
“Tuan” jawab salah seorang dari mereka sambil berpaling, “kami tidak bertanggung jawab lagi apa yang dapat terjadi dengan tuan, karena tuan tidak mematuhi peraturan yang berlaku di Kademangan Sukawati”
“Kalian sudah gila. Aku adalah putera seorang Pangeran. Dengar perintahku. Seperti kau lihat, aku sudah membawa beberapa orang pengiring”
“Tuan akan berburu. Tuan membawa kelengkapan sekelompok pemburu yang akan berburu rusa di hutan rindang”
“Kami sudah melampaui beberapa daerah perburuan. Tetapi kami memang akan pergi ke Sukawati. Karena itu jangan mengganggu kami sehingga dapat menimbulkan kemarahan kami”
Hampir berbareng keduanya mengangguk dalam-dalam. Salah seorang di antaranya berkata, “Baiklah. Kami tidak akan berbuat apa-apa”
Dan tiba-tiba saja keduanya melangkah surut. Kemudian di luar kuncung, di depan tangga terakhir yang mengelilingi pendapa Kademangan keduanya berdiri sambil menyilangkan tangannya di dada. Sikap mereka pun telah berubah, mirip dengan orang-orang yang ditemuinya di sepanjang jalan.
Ternyata sikap itu telah membuat seluruh tubuh Raden Rudira meremang. Bahkan pengiringnya pun menjadi gelisah, sehingga untuk sesaat mereka bagaikan telah terpukau oleh sikap itu, sehingga mereka sama sekali tidak bergerak.
Untuk mengatasi hatinya yang kecut, maka Raden Rudira itu pun telah memaksa dirinya untuk berkata lantang, “He, apakah kalian telah menjadi patung?”
“Tuan” jawab salah seorang dari mereka sambil berpaling, “Kami tidak bertanggung jawab lagi apa yang dapat terjadi dengan tuan karena tuan tidak mematuhi peraturan yang berlaku di Kademangan Sukawati” ia berhenti sejenak, lalu, “Dan Ki Demang pun tidak akan bersedia mengantar tuan pergi ke pasanggrahan Pangeran Mangkubumi. Memang tuan dapat memaksanya dengar kekerasan. Tetapi kami kira tuan tidak akan berhasil. Bukan karena Ki Demang mempunyai sepasukan pengawal yang dapat melindunginya. Tetapi karena kekerasan hatinya, ia akan memilih akibat yang bagaimanapun beratnya dari pada ia melihat peraturan yang dibuatnya tidak ditaati”
REPORT THIS AD
“Gila, permainan apakah sebenarnya yang telah kalian lakukan? Apakah kalian sedang diamuk oleh suatu kepercayaan takhayul yang membuat kalian, orang-orang Sukawati menjadi seperti orang-orang gila”
“Tuan keliru” jawab salah seorang dari kedua pengawal, “sikap kami adalah sikap yang mewujudkan kediaman kami menghadapi keadaan dewasa ini, dimana kita merasa berdiri di atas bara justru di kampung halaman sendiri”
Jawaban itu benar-benar tidak diduga, sehingga Raden Rudira terdiam untuk beberapa saat. Namun wajahnya yang tegang menjadi semakin tegang.
Tetapi ternyata Raden Rudira tidak mau surut. Meskipun hatinya bergejolak dahsyat sekali, namun ia mencoba mengatasinya dengan berteriak sekali lagi, “Panggil Ki Demang di Sukawati”
Betapapun ia berteriak, tetapi kedua bebahu Kademangan Sukawati itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.
Kemarahan Raden Rudira hampir tidak terkekang lagi, Namun ketika dadanya bagaikan akan meledak, Sura, pengiringnya yang selama ini paling dibanggakan itu telah meloncat turun dari kudanya. Perlahan-lahan ia mendekatinya. Dengan suara bergetar ia berkata, “Raden, kami persilahkan Raden turun dari kuda. Bukan suatu sikap merendahkan diri, tetapi barangkali demikianlah yang dikehendaki oleh Ramanda Pangeran Mangkubumi”
“Persetan” Raden Rudira berteriak, “Kau juga sudah menjadi pengecut?”
“Bukan Raden. Bukan soalnya, berani menentang ketentuan itu atau tidak. Tetapi kita ingin mendapat bantuan dari Ki Demang di Sukawati. Bukankah tujuan kita untuk mendapatkan petani yang telah menghina Raden di tengah bulak itu? Karena itu, sebaiknya kita tidak membuat persoalan-persoalan baru disini”
Darah Raden Rudira bagaikan mendidih karenanya. Namun perlahan-lahan ia mulai menyadari kata-kata Sura. Kalau ia bertindak kasar, maka ia hanya akan menambah kesulitan diri sendiri tanpa mendapatkan hasil apapun dari kepergiannya ke Sukawati. Dan lebih daripada itu, sebenarnyalah di dalam sudut hatinya tersirat kecemasan yang sangat melihat sikap orang-orang Sukawati itu.
REPORT THIS AD
Namun sudah barang tentu Raden Rudira tidak membiarkan dirinya terlempar surut tanpa pembelaan. Dengan lantang ia berkata kepada kedua bebahu itu, “Baiklah. Aku akan turun. Bukan karena aku takut menghadapi sikap kalian yang gila itu. Tetapi aku secepatnya ingin menangkap petani yang telah berani menghinakan aku di tengah bulak”
Raden Rudira pun segera meloncat dari punggung kudanya sambil berteriak, “Aku sudah turun. Panggil Ki Demang di Sukawati”
Tetapi Raden Rudira terkejut, ketika sebelum kedua orang itu beranjak, telah terdengar suara dari balik pintu pringgitan di pendapa, “Aku sudah disini tuan”
Darah Raden Rudira tersirap. Di tengah-tengah pintu yang kemudian terbuka ia melihat seorang laki-laki yang bertubuh sedang, berkumis tipis, yang kemudian berjalan melintas pendapa mendekatinya.
“Kau disitu sejak tadi?”
“Ya. Aku sudah berada di balik pintu sejak tuan datang. Tetapi aku menunggu tuan turun dari kuda. Maaf. Itu sudah menjadi ketentuan kami. Sekali kami melanggar ketentuan itu, maka untuk selanjutnya ketentuan itu tidak akan berarti, karena pelanggaran yang serupa akan terjadi lagi. Sekali lagi dan sekali lagi, sehingga ketentuan itu tidak berarti apa-apa lagi. Baik bagi kami maupun bagi setiap orang yang datang ke padukuhan ini”
“Persetan” jawab Raden Rudira, “Aku tidak perlu sesorahmu. Aku memerlukan kau”
“O” Ki Demang yang kemudian turun dari pendapa rumahnya mengangguk hormat, “Kami akan membantu tuan. Apakah yang harus kami lakukan?”
Raden Rudira memandang Demang Sukawati itu dengan herannya. Ia tidak mengerti, apakah yang sebenarnya tersirat di dalam hatinya. Setelah ia memaksanya turun dari kudanya, maka ia pun kemudian bersikap sopan dan ramah.
Tetapi Raden Rudira tidak mempedulikannya lagi. Dengan kasar ia berkata, “Aku sedang mencari seseorang”
“O. Siapa?”
“Aku tidak tahu namanya. Ia menyebut dirinya petani dari Sukawati”
Tampak Ki Demang mengerutkan keningnya sejenak. Tetapi ia pun kemudian berusaha untuk melenyapkan kesan itu. Bahkan kemudian ia bertanya, “Kenapa Raden mencarinya? Apakah petani dari Sukawati itu telah menjual sesuatu kepada Raden dan Raden akan membayarnya sekarang, atau persoalan apapun yang pernah terjadi dengan petani itu?”
“Ia menghina aku di tengah-tengah bulak Jati Sari”
“O” Ki Demang dari Sukawati terkejut, “di Jati Sari?”
“Ya”
“Begitu jauh dari Sukawati”
“Ya. Orang itu mengaku petani dari Sukawati. Ia tentu seorang petualang. Nah, tunjukkan kepadaku, siapakah yang sering bertualang disini”
Ki Demang tidak segera menjawab. Dengan sudut matanya ia memandang kedua pembantunya yang kini berdiri termangu-mangu pula.
“He, apakah kau tidak dapat mengenal orang-orangmu?”
“Maaf tuan. Aku tidak dapat mengingat semua orang di Kademangan Sukawati. Mungkin aku mengenal mereka, tetapi tentu tidak akan dapat mengerti kebiasaan mereka sehari-hari dengan pasti”
“Tetapi bertualang bukan kebiasaan yang wajar bagi seorang petani. Karena itu, seharusnya kau dapat segera mengetahui orang yang aku maksudkan”
Tetapi Ki Demang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Maaf. Aku tidak dapat segera mengatakan, siapakah yang Raden maksud itu”
“Kalau begitu, antarkan aku menjelajahi Kademangan ini. Aku akan mencarinya sendiri”
“Tuan akan menjelajahi Kademangan Sukawati?”
REPORT THIS AD
“Ya”
Ki Demang menjadi termangu-mangu. Sekali lagi ia memandang kedua kawan-kawannya. Kini keduanya pun menunjukkan kegelisahannya.
“Tuan” berkata Ki Demang, “tanah Sukawati adalah tanah kalenggahan”
“Aku mengerti” Rudira memotong, “maksudmu, kau akan menyebut nama Ramanda Pangeran Mangkubumi?”
“Ya tuan”
“Antarkan aku ke pasanggrahan Ramanda Pangeran Mangkubumi. Aku akan menghadap dan mohon ijinnya. Tentu Ramanda akan memberikan ijin itu, bahkan akan membantuku mencari orang-orang yang deksura dan berani menentang para bangsawan”
Ki Demang di Sukawati mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berkata, “Tetapi Pangeran Mangkubumi tidak sedang berada di Sukawati. Apakah Raden tidak menjumpainya di istana Kapangeranan di kota?”
Sesuatu terasa bergetar di dalam dada Rudira. Seolah-olah ia terlepas dari tekanan kecemasan yang menghimpit dadanya, sehingga tanpa sesadarnya ia menarik nafas dalam-dalam.
“Jadi Ramanda Pangeran tidak ada di Sukawati?”
Ki Demang menggelengkan kepalanya, “Tidak tuan. Tidak”
Tetapi tiba-tiba saja Rudira membentak, “Bohong. Kalian pasti mencoba berbohong, karena kalian, orang-orang Sukawati adalah orang-orang yang deksura. Kalian takut juga bahwa aku akan mengatakan kepada Ramanda Pangeran Mangkubumi tentang kalian. Tentang petani-petani yang berdiri membeku di regol padukuhan dan mereka yang seperti patung mati di tikungan. He, kenapa orang-orangmu kau ajari deksura terhadap para bangsawan? Dan sekarang kau takut membawa aku menghadap Ramanda Pangeran”
Ki Demang menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Aku minta maaf tuan. Orang-orangku adalah orang-orang padesan yang jauh dari kota. Kami sama sekali tidak berniat untuk berlaku kurang baik dan apalagi tidak sopan. Tetapi kami, orang-orang padesan memang kurang mengerti tata-krama. Kadang-kadang kami kehilangan akal, apa yang harus kami lakukan untuk menunjukkan hormat kami. Demikian juga para petani di Sukawati, dan barangkali juga petani yang tuan sebut, berjumpa dengan tuan di bulak Jati Sari”
“Tidak. Ia tidak sekedar kurang tata-krama. Tetapi ia benar-menentang aku” Rudira berhenti sejenak, lalu, “antarkan aku ke pasanggrahan Ramanda Pangeran”
Ki Demang menarik nafas. Lalu, “Baiklah. Marilah Raden aku antarkan ke pesanggrahan itu. Tetapi aku sudah mengatakan bahwa Pangeran Mangkubumi tidak ada di pesanggrahan itu”
Rudira seolah-olah tidak menghiraukannya Meskipun hal itu baginya adalah suatu kebetulan. Namun di hadapan Ki Demang ia bersikap seakan-akan ia kecewa bahwa Pangeran Mangkubumi tidak ada di pasanggrahannya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, maka Raden Rudira pun segera meloncat ke punggung kudanya. Dengan tatapan mata aneh Ki Demang memandanginya. Tetapi Raden Rudira tidak menghiraukannya. Ia duduk diatas punggung kudanya, meskipun kudanya masih berada di kuncung pendapa Kademangan.
“Berjalanlah di depan” berkata Rudira kemudian, “Aku akan mengikutimu”
Ki Demang termangu-mangu sejenak. Kemudian ia bertanya, “Apakah kami harus berjalan kaki saja?”
“Ya. Kalian berjalan kaki saja. Kalian tidak perlu berkuda seperti kami”
“Tetapi pesanggrahan itu terletak di padukuhan lain, meskipun tidak begitu jauh. Nanti perjalanan ini akan memakan waktu apabila kami hanya sekedar berjalan kaki”
“Aku tidak peduli Adalah pantas sekali, kalau kau berjalan kaki, dan kami naik diatas punggung kuda. Dengan demikian perbedaan derajad kita akan tampak dengan jelas”
Wajah Ki Demang berkerut sejenak. Tetapi ia pun kemudian tersenyum dan berkata, “Baiklah tuan. Kami akan mengantarkan Raden ke pesanggrahan itu dengan berjalan kaki. Tetapi sudah kami katakan, bahwa perjalanan ini akan memakan waktu. Sebentar lagi malam akan segera turun. Apalagi Pangeran Mangkubumi tidak ada di pesanggrahan”
REPORT THIS AD
“Aku tidak peduli”
“Tetapi bagaimana kalau tuan kemalaman?”
“Aku akan bermalam di pasanggrahan?”
“Di pesanggrahan? Selagi Pangeran Mangkubumi tidak ada?”
Rudira mengerutkan keningnya. Ia berpaling kepada Sura yang masih berdiri di samping kudanya. Tetapi Sura menggeleng kecil tanpa sesadarnya.
“Sekarang, jangan banyak bicara” bentak Rudira kemudian, “berjalanlah. Kita harus segera sampai ke pesanggrahan itu”
“Baiklah tuan” jawab Ki Demang.
Dengan isyarat, maka kedua kawannya itu pun diajaknya, sehingga mereka berjalan bertiga di depan kuda Raden Rudira. Sedang Sura masih menuntun kudanya sejenak. Baru ketika mereka sudah keluar dari halaman, maka ia pun segera meloncat naik. Demikian pula para pengiring yang lain, yang telah turun pula dari kudanya.
Perlahan-lahan iring-iringan itu berjalan meninggalkan regol Kademangan. Namun betapa hati Raden Rudira dan para pengiringnya menjadi berdebar-debar. Tanpa mereka ketahui darimana datangnya, mereka melihat beberapa orang anak-anak muda yang berdiri di sebelah menyebelah jalan di luar regol dengan sikap yang mendebarkan itu. Mereka berdiri tegak sambil menyilangkan tangan di dadanya.
Sekali-sekali Raden Rudira memandang wajah-wajah itu. Wajah-wajah yang seakan-akan membeku. Mereka sama sekali tidak memandang orang-orang yang lewat. Mereka seakan-akan berdiri asal saja berdiri di pinggir jalan.
Namun Ki Demang lah yang kemudian menegur salah seorang dari mereka, “Kalian sudah pulang dari sawah?”
Seorang anak muda yang tinggi kekurus-kurusan lah yang menjawab mewakili kawan-kawannya, “Sudah Ki Demang”
“Baiklah. Dan sekarang ketahuilah, yang berkuda di paling depan ini adalah Raden Rudira, putera Pangeran Ranakusuma di Surakarta”
“O” hanya itulah yang terloncat dari mulut anak muda itu.
Tidak ada bayangan kekaguman, heran atau takut sedikitpun juga. Ia masih tetap berdiri seperti sediakala dengan menyilang-kan tangannya di dadanya.
“Persetan” Rudira bergumam di dalam dadanya.
Ketika mereka sudah melampaui anak-anak muda yang berdiri di sebelah menyebelah jalan itu, Raden Rudira yang marah segera bertanya kepada Ki Demang, “Ki Demang, kenapa anak-anak mudamu tidak kau ajari sopan santun”
“Maksud Raden?” bertanya Ki Demang.
“Mereka harus tahu, bagaimana caranya menghormati seorang bangsawan. Seorang putera Pangeran”
“Apakah sikap mereka salah?”
“Tentu. Mereka sama sekali tidak sopan. Mereka harus berjongkok atau membungkukkan kepala mereka dalam-dalam”
“O” Ki Demang mengangguk-angguk, “begitukah yang benar?”
“Ya”
“Kalau begitu selama ini kami telah membuat kesalahan Kami tidak pernah berbuat begitu. Itulah agaknya tuan tidak senang terhadap rakyat kami. Tetapi sekali lagi agar tuan ketahui, rakyat kami adalah rakyat yang jauh dari kehidupan para bangsawan sehingga barangkali kami tidak mengenal keharusan yang berlaku di kota, untuk menghormat para bangsawan. Sebenarnyalah bahwa di padukuhan yang terpencil ini kami hanya mengenal seorang bangsawan, Daripadanya lah kami mengenal tata-krama. Tetapi agaknya tata-krama yang kami anggap sudah cukup baik itu masih kurang dalam pandangan tuan”
“Tentu. Dan siapakah yang telah mengajar kalian dengan cara yang salah itu?”
Bersambung ke Bunga di batu karang III
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
Komentar
Posting Komentar