Bunga di batu karang III Bag 2

Bunga di batu karang III Bag 2


Namun ternyata fajar itu telah mengurangi ketegangan di dalam dada Rudira. Ia lebih baik berpacu diatas punggung kuda daripada berada di dalam bilik yang sempit tanpa dapat memejamkan matanya. Sehingga karena itu, maka ia pun segera pergi keluar biliknya. Dilihatnya beberapa orang pengiringnya masih tertidur meskipun dengan gelisah, namun Sura yang berada di sudut ternyata telah duduk bersandar dinding.

“Kau sudah bangun?” bertanya Raden Rudira.

“Ya tuan”

“Kau pasti tidak dapat tidur sama sekali”

“Raden benar” jawabnya.

“Kemarilah”

Sura pun mendekat. Dilangkahinya saja kawan-kawannya yang masih tertidur diatas tikar yang dibentangkan di lantai gandok itu.

“Cari pelayan pasanggrahan itu. Suruhlah mereka menyediakan air panas. Aku akan mandi”

Sura termangu-mangu sejenak. Pesanggrahan ini adalah pesanggrahan Pangeran Mangkubumi Pelayan-pelayan itu adalah pelayan Pangeran Mangkubumi. Apakah mereka tidak menjadi sakit hati apabila Raden Rudira memberikan perintah semena-mena.

“He, kenapa kau diam saja? Cepat. Suruh pelayan-pelayan itu menyediakan air panas”

“Baik, baik tuan. Aku akan mencarinya”

Sura pun kemudian keluar dari gandok sebelah kanan. Langit menjadi semakin terang oleh cahaya merah yang semakin cerah.

Tetapi hati Sura justru menjadi semakin gelap. Ia tidak mengerti, kenapa kini ia dihinggapi oleh sikap ragu-ragu. Sebagai seorang hamba yang setia, didukung oleh sifat-sifatnya yang kasar, biasanya Sura menjalankan tugas yang diberikan kepadanya tanpa berpikir.

Sura menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian rasa-rasanya ia mulai menemukan dirinya kembali setelah untuk waktu yang lama ia terbenam dalam sikap yang rendah. Menjilat.

“Ternyata selama ini aku telah kehilangan otakku” berkata Sura kepada diri sendiri, “Aku tidak pernah sempat berpikir. Ternyata aku memang tidak lebih dari seekor kuda penarik pedati seperti yang dikatakan oleh abdi pesanggrahan ini kemarin. Meskipun ia mengatakan tentang dirinya sendiri, namun akulah yang lebih dungu dari padanya”

Namun demikian, tidak mudah untuk merubah sikap dengan tiba-tiba. Demikian juga Sura yang perlahan-lahan dirayapi oleh ketidak puasan terhadap dirinya sendiri itu. tidak dapat berbuat lain dari pada mematuhi perintah yang diterimanya. Tetapi ia kini tidak dapat berbuat tanpa berpikir, justru karena ia sudah mulai berpikir.

Dengan ragu-ragu Sura pergi kebagian belakang dari pesanggrahan itu. Dilihatnya di dapur api sudah menyala. Ketika ia menjengukkan kepalanya, dilihatnya dua orang perempuan sedang sibuk memanasi air dan menanak nasi, sambil menuang air untuk mengisi jambangan pencuci alat-alat dapur.

Sejenak Sura berdiri termangu-mangu. Apakah ia akan berbuat seperti yang selalu dilakukannya selama ini? Berbuat tanpa berpikir? Ia dapat saja menyampaikan perintah Raden Rudira itu. Tetapi itu tidak benar menurut perasaannya kini. Ia sudah mendapat kesempatan untuk bermalam. Tetapi apakah ia masih harus memerintah para pelayan, menyediakan air panas untuk mandi.

Ternyata ada sesuatu yang menahan Sura. sehingga ia tidak sampai hati menyampaikan perintah yang semena-mena itu. Tetapi ia juga tidak dapat menolak perintah Raden Rudira untuk menyediakan air panas. Karena itu, maka ia berusaha untuk menemukan jalan.

Kedua perempuan yang ada di dapur itu terkejut melihat Sura yang kemudian muncul di pintu. Tetapi Sura segera mengangguk sambil tertawa kecil, “Eh maaf. Mungkin aku telah mengejutkan kalian”

Kedua perempuan itu saling berpandangan sejenak. Tetapi tampak kecemasan di wajahnya.

“Aku adalah salah seorang pengawal Raden Rudira yang bermalam di gandok”

“O” kedua perempuan itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka pun bertanya, “Apakah yang kau perlukan sekarang?”

“Aku mendapat perintah agar menyediakan air panas untuk mandi. Apakah aku dapat menumpang merebus air?”

“O” sahut salah seorang dari mereka, “Aku sedang merebus air”

“Tetapi bukankah air itu untuk minum?”

“Tetapi air itu cukup banyak. Kalau masih kurang, aku dapat menambahnya. Aku akan mengambil secukupnya untuk membuat air minum. Yang lain dapat kau ambil untuk mandi tamu pesanggrahan ini”

Sura menarik nafas dalam-dalam. Bahkan ia masih berpura-pura berkata, “Tetapi itu akan merepotkan kalian”

“Tidak. Tidak mengapa, Kami akan menyediakannya”

Ternyata hal itu merupakan suatu pengalaman baru bagi Sura. Ia mendapatkan apa yang dikehendaki tanpa membentak dan mengancam.

“Beberapa hari yang lalu, aku tentu bersikap lain dari sekarang” berkata Sura di dalam hatinya, “barangkali tiga hari yang lalu, jika aku mendapat perintah itu, aku akan masuk ke dapur ini sambil bertolak pinggang dan berteriak, “Sediakan air untuk tuanku”

Sura menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian ia memang akan mendapat air. Tetapi ternyata bahwa dengan cara yang lain ia mendapatkan air panas itu juga. Bahkan sama sekali tanpa menyakiti hati orang lain. Mereka membantunya dengan senang hati dan dengan wajah yang terang, tanpa perasaan takut dan tegang.

“Bodoh sekali” berkata Sura di dalam hatinya, “Kenapa baru sekarang aku tahu”

Sura terkejut ketika salah seorang perempuan itu berkata, “Silahkan kau menunggu saja. Tidak pantas kau berada di dapur, Selain kau seorang laki-laki, kau adalah tamu-tamu kami”

“Terima kasih. Terima kasih” sahut Sura terbata-bata, “Aku akan menunggu di luar”

Sura pun melangkah perlahan-lahan keluar dapur. Tanpa disadarinya ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata bahwa apa yang pernah dilakukan selama ini, membentak-bentak, mengancam, bahkan dengan kekerasan badaniah, adalah suatu kebodohan dan merusak hubungan baik antar manusia.

Demikianlah dengan kewajaran hubungan dan tanpa menimbulkan persoalan apapun. Sura berhasil memenuhi perintah Raden Rudira, dengan menyediakan air panas di jambangan pakiwan. Bagi Sura, pengalaman yang kecil itu semakin membuka hatinya, bahwa sebenarnyalah selama ini ia tidak mempergunakan otaknya Ia telah dibutakan oleh sikap menjilat dan limpahan orang-orang dari keluarga Ranakusuman.

Tanpa disadarinya, bulu-bulu kuduk raksasa itu berdiri. Terbayang keluarga Ranakusuman yang seorang demi seorang telah dilemparkan keluar. Ia memegang peranan yang cukup penting, dalam hal yang kini terasa olehnya, terlampau kasar. Bahkan sekilas terbayang pula olehnya, Raden Juwiring yang terpaksa meninggalkan istana Ranakusuman dengan seribu macam alasan, dan berada di padepokan Jati Aking di Jati Sari.

“Hampir saja aku mencelakainya” gumamnya, “untunglah seorang petani yang penuh dengan rahasia itu menyelamatkan-nya”

Terlintas pula tandang seorang anak muda yang mengagumkannya. Dengan tanpa ragu-ragu anak itu menyerangnya, sehingga untuk sesaat ia tidak berdaya.

“Luar biasa” Sura berdesis, “mereka akan menjadi anak-anak muda yang perkasa kelak. Jauh lebih perkasa dari Raden Rudira”

Sura yang sedang merenung itu terperanjat ketika Raden Rudira memanggilnya dari dalam biliknya di gandok. Dengan tergesa-gesa ia meloncat berdiri dan berlari-lari kecil menghampirinya. Ternyata bahwa ia tidak dapat dengan serta-merta berbuat lain dari perbuatan seorang penjilat.

“Suruhlah semua pengiring bersiap. Kemudian panggillah Demang di Sukawati. Aku akan segera berangkat mengelilingi padukuhan ini untuk mencari orang yang telah merusak sendi tata hubungan antara orang-orang kecil dan para bangsawan itu”

Sura menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik, baik tuan” Tetapi masih ada yang agaknya tersangkut di kerongkongannya. Namun ketika Raden Rudira membentaknya, sambil terbungkuk-bungkuk Sura menyahutnya.

“Ya, ya tuan. Aku akan melakukan”

Sikap Sura itu ternyata tidak lepas dari sorotan mata Raden Rudira. Ia melihat suatu kelainan, meskipun samar-samar. Kadang-kadang Sura bersikap biasa sebagai seorang abdi yang setia. Tetapi kadang-kadang matanya memancarkan sinar yang aneh, yang tidak dikenalnya selama ini.

“Kenapa raksasa itu benar-benar menjadi ketakutan di Sukawati dan sekitarnya ini?” pertanyaan itulah yang selalu menyentuh hati Raden Rudira. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa di dalam hati Sura telah berkembang suatu sikap yang lain, meskipun masih terlampau dalam diliputi oleh ketebalan kabut yang selama ini membungkus isi dadanya.

Sejenak kemudian maka para pengiring itu pun sudah siap. Dua orang abdi pasanggrahan sempat juga menghidangkan minuman untuk Raden Rudira dan para pengiringnya.

“Panggil Demang yang malas itu” berkata Raden Rudira kemudian, “matahari akan menjadi semakin tinggi, dan aku masih saja berada disini”

Tetapi sebelum Sura pergi ke Kademangan, muncullah dua orang bebahu Kademangan di halaman pesanggrahan. Mereka langsung menemui Raden Rudira sambil berkata, “Raden, kami berdua mendapat pesan dari Ki Demang, bahwa Raden bersama para pengiring diminta untuk datang ke Kademangan. Ki Demang ingin menjamu makan, karena agaknya Raden bersama para pengiring masih belum makan sejak kemarin malam”

Sejak Raden Rudira termenung. Secercah kegembiraan membayang di setiap wajah yang memang sudah merasa lapar. Namun tiba-tiba Raden Rudira membentak, “Kenapa Ki Demang tidak datang kemari sendiri?”

Kedua bebahu Kademangan Sukawati itu mengerutkan keningnya. Sejenak mereka saling berpandangan. Salah seorang dari mereka pun kemudian menjawab, “Maaf Raden. Ki Demang sedang sibuk sekali menyiapkan jamuan bagi Raden dan para pengiring. Ki Demang tidak dapat mempercayakannya kepada para pelayan, agar jamuan itu tidak mengecewakan Raden”

Raden Rudira mengangguk-angguk. Sebelum ia menjawab dipandanginya setiap wajah para pengiringnya. Agaknya mereka pun mengharap undangan itu dapat diterima, karena sebenarnyalah mereka menjadi lapar. Jika mereka berburu, maka semalam mereka pasti sudah makan dengan daging hasil buruan mereka. Tetapi ternyata semalam mereka terbaring dengan gelisah karena di antara kawan-kawan mereka sendiri telah terjadi perselisihan

“Baiklah” berkata Rudira kemudian, “Kami akan pergi ke Kademangan sebentar lagi. Suruhlah Ki Demang bersiap, bahwa kita akan segera pergi mencari petani yang telah berani melanggar tata kesopanan terhadap para bangsawan di bulak Jati Sari. Kau dengar”

“Ya, ya Raden. Kami akan menyampaikannya kepada Ki Demang di Sukawati”

“Pergilah mendahului. Kami akan mempersiapkan segala sesuatu yang perlu bagi kami. Kami akan langsung pergi mencari petani itu tanpa kembali ke pasanggrahan ini lagi”

“Baik Raden. Kami akan mendahului”

Raden Rudira memandang kedua bebahu yang meninggalkan pesanggrahan itu dengan kerut-merut dikeningnya. Sejenak kemudian, kedua orang itu pun segera lenyap di balik regol, disusul oleh derap kaki-kaki kuda yang berlari kencang.

“Mereka berkuda” berkata Raden Rudira kepada diri sendiri.

Demikianlah maka Raden Rudira bersama pengiringnya, segera mempersiapkan diri masing-masing. Mereka akan segera meninggalkan pesanggrahan itu dengan membawa semua bekal mereka, karena mereka tidak akan kembali lagi ke pesanggrahan itu.

“Sura” Panggil Raden Rudira kemudian, “Panggil para pelayan, Beritahukan, bahwa aku akan pergi”

“Baik, baik Raden” sahut Sura. Tetapi ia masih ragu-ragu, Apakah ia harus memberitahukan kepada para pelayan, atau sebaiknya ia minta diri.

“Kenapa kau masih berdiri disitu?” bentak Raden Rudira.

“O” Sura menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Ia pun kemudian pergi ke belakang mencari para pelayan.

Tetapi pengalamannya telah membuatnya menjadi seorang yang mempunyai pertimbangan atas tingkah lakunya. Ketika ia bertemu para pelayan, ia sama sekali tidak sekedar memberitahu-kan bahwa Raden Rudira akan meninggalkan pesanggrahan, tetapi katanya kepada pelayan itu, “Ki Sanak, Raden Rudira akan minta diri. Kami akan pergi ke Kademangan, tetapi selanjutnya kami akan langsung meninggalkan Sukawati tanpa singgah ke pesanggrahan ini”

“O” pelayan itu terkejut, “begitu tergesa-gesa? Kami akan menyiapkan makan buat kalian. Kami harap kalian bersabar sebentar”

“Terima kasih. Terima kasih sekali. Kami terpaksa sekali tidak dapat menerima kebaikan hati Ki Sanak. Ki Demang agaknya menduga bahwa tidak ada persediaan di pasanggrahan ini. Karena itu Ki Demang sudah menyediakan makan buat kami. Baru saja dua orang pesuruhnya datang menjemput kami”

“Jadi?”

“Kami minta maaf”

“Lalu buat apa nasi sebanyak ini?”

“Kami sudah terlanjur menyanggupi Ki Demang di Sukawati. Aku kira nilainya sama saja buat kami. Kami telah menerima kebaikan hati rakyat Sukawati”

Pelayan itu tampak kecewa sekali. Tetapi ia pun kemudian berdesah, “Apaboleh buat”

“Lain kali kami akan datang. Dan lain kali kami akan menolak pemberian siapapun juga. Kini kami dihadapkan pada pilihan yang sama-sama berat”

Pelayan itu mengangguk-angguk.

“Sekarang, kami akan minta diri. Raden Rudira dan para pengiringnya yang lain pun akan minta diri pula”

Pelayan itu menganguk-angguk. Dengan tergesa-gesa ia membenahi pakaiannya. Kemudian diajaknya seorang kawannya menyertainya ke gandok sebelah kanan.

Raden Rudira hampir tidak sabar menunggu. Ketika ia melihat Sura membawa dua orang pelayan mendekatinya, dari kejauhan Raden Rudira sudah berkata, “Kami tergesa-gesa”

Kedua pelayan itu pun berjalan semakin cepat. Sambil membungkukkan kepala mereka berhenti beberapa langkah di hadapan Rudira. Salah seorang dari mereka berkata, “Kami mengucapkan selamat jalan Raden. Sebenarnya kami sedang menyiapkan makan buat Raden dan para pengiring”

“Aku tidak sempat” jawab Raden Rudira, “Aku akan pergi ke Kademangan. Selanjutnya aku akan mencari orang yang telah menyakitkan hatiku itu”

Pelayan itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata sekali lagi, “Kami mengucapkan selamat jalan”

Raden Rudira menjadi acuh tidak acuh. Bahkan ia merasa bahwa ternyata para pelayan itu kini telah berubah sikap. Mereka terpaksa menghormatinya sebagaimana seharusnya menghor-mati seorang bangsawan.

“Aku akan pergi”

“Silahkan tuan. Kami sangat berterima kasih bahwa tuan sudi singgah ke pasanggrahan ini”

“Aku singgah di rumah pamanku, tidak di rumah kakekmu, “ jawab Raden Rudira.

Kedua pelayan itu saling berpandangan. Tetapi mereka tidak mengucapkan sepatah katapun.

Dan Raden Rudira tidak menghiraukannya lagi. Ia ingin menunjukkan bahwa ia memang seorang bangsawan yang seharusnya dihormati. Tingkah laku para pelayan itu kemarin sangat menyakitkan hatinya. Kini agaknya mereka menyadari, dan menempatkan diri mereka pada keadaan yang seharusnya bagi seorang pelayan.

“Bawa kudaku kemari” tiba-tiba saja Raden Rudira berteriak. Dengan tergesa-gesa seorang pengiring berlari-lari sambil membawa kuda Raden Rudira.

Tetapi Raden Rudira itu menjadi sangat terkejut ketika pelayan yang disangkanya menyesali tingkah lakunya kemarin itu berkata, “Tuan, maaf. Tuan tidak dapat menaiki kuda tuan di halaman pesanggrahan ini”

“He” wajah Raden Rudira tiba-tiba menjadi merah padam. Ternyata ia salah sangka. Ternyata pelayan-pelayan pesanggrah-an ini masih saja seperti kemarin. Deksura dan tidak sopan sama sekali.

Namun dengan demikian Raden Rudira justru terdiam. Hanya giginya sajalah yang terdengar gemeretak, serta wajahnya yang semakin merah.

Sura berdiri tegak seperti patung. Kini tanggapannya atas sikap Raden Rudira menjadi lain. Seakan-akan ia melihat seorang bangsawan yang lain dari yang selalu diikutinya. Namun ia pun kemudian menyadari, bahwa bukan Raden Rudira lah yang berubah, tetapi tanggapannya atas Raden Rudira itu.

Kedua pelayan itu pun menundukkan wajah-wajah mereka. Mereka tidak mau memandang warna-warna merah di wajah Raden Rudira. Namun demikian mereka sama sekali tidak menarik keterangannya itu.

Sejenak kemudian, barulah Raden Rudira dapat berbicara, “Jadi kalian masih tetap tidak menyadari kebodohan kalian?”

Kedua pelayan itu terheran-heran. Sejenak mereka saling berpandangan.

“Tuan” berkata salah seorang dari mereka kemudian, “Kami hanyalah abdi-abdi pesanggrahan ini. Kami hanya sekedar melakukan tugas kami. Demikianlah yang diperintahkan kepada kami. Tidak seorang pun yang boleh naik kuda di halaman, selain Pangeran Mangkubumi”

“Tetapi aku adalah putera Pangeran Ranakusuma”

“Tidak seorang pun yang diperbolehkan, siapapun orang itu”

“Gila. Kau-bohong. Seandainya Ramanda, Pangeran ada, maka justru Ramanda Pangeran akan menyuruh aku naik diatas punggung kuda bersama semua pengiringku”

“Mungkin, jika itu dikehendaki oleh Pangeran Mangkubumi sendiri. Tetapi tentu kami tidak berani melanggar perintah yang pernah kami terima”

“Aku tidak peduli. Aku tidak percaya bahwa Ramanda Pangeran benar-benar membuat peraturan itu. Itu hanya karena kalian ingin menunjukkan, bahwa kalian berkuasa disini apabila Ramanda Pangeran tidak ada. Sekali-sekali abdi yang paling rendah pun ingin menunjukkan kekuasaannya atas orang yang lebih luhur derajadnya. Tetapi aku tidak peduli, Aku tidak mau mendengar peraturanmu yang cengeng itu”

“Maaf Raden” berkata pelayan itu, “Kami sama sekali tidak berusaha mengada-ada. Apakah keuntungan kami dengan membuat peraturan-peraturan yang berbelit-belit itu, yang hanya akan mempersulit diri kami sendiri. Tetapi kami mohon dengan hormat, tuan dapat mengerti”

Darah Raden Rudira mendidih sampai ke ubun-ubun. Tanpa disadarinya ia mengedarkan tatapan matanya. Namun hatinya menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya, dua orang penjaga regol depan telah menutup pintu. Keduanya kemudian berdiri sambil memeluk tombak-tombak panjang mereka. Di sudut halaman ia melihat seorang, juru taman berdiri bersandar dinding Sapu lidinya telah disandarkannya pada dinding halaman. Sedang di tempat lain dilihatnya dua orang abdi pesanggrahan itu juga berdiri sambil menyilang-kan tangannya di dada.

“Gila” Raden Rudira menggeram, “Aku akan menyampaikan perlakuan gila-gilaan ini kepada Ramanda Pangeran Mangku-bumi. Kalian akan diusir dari pesanggrahan ini”

Tidak seorang pun yang menjawab. Wajah kedua pelayan yang ramah itu, tiba-tiba saja telah menjadi buram.

Raden Rudira pun kemudian melemparkan ujung kendali kudanya kepada pengiringnya yang masih berdiri di sampingnya. Dengan tanpa berbicara separah katapun ia berjalan dengan tergesa-gesa melintasi halaman yang luas menuju ke regol halaman.

Hatinya menjadi semakin panas, ketika kedua penjaga regol itu tanpa diperintahnya telah membuka pintu. Demikian Raden Rudira melangkah di hadapan mereka, maka mereka pun menundukkan kepala mereka dalam-dalam.

Tetapi Raden Rudira sama sekali tidak berpaling. Ia berhenti sejenak menunggu kudanya. Kemudian dengan menengadahkan dadanya ia meloncat ke punggung kudanya dan berpacu cepat-cepat meninggalkan pesanggrahan yang telah membuat hatinya menjadi pedih.

Para pengiringnya pun kemudian berloncatan naik ke punggung kuda masing-masing. Merekapun segera berpacu mengikuti Raden Rudira yang tanpa! berpaling menjauhi regol itu.

Namun dalam pada itu Sura masih sempat berkata kepada kedua penjaga regol itu, “Terima kasih. Selama kami berada di pesanggrahan kami mendapat pelayanan yang menyenangkan sekali.

Para penjaga regol itu tidak menyahut. Namun keduanya tersenyum sambil mengangguk.

Sura terkejut ketika ia mendengar namanya dipanggil oleh Raden Rudira. Dengan dada yang berdebar-debar ia mempercepat langkah kudanya menyusul Raden Rudira yang berada di paling depan.

“Kau tahu jalan ke Kademangan? Aku tidak sempat mengingat-ingat lagi jalan yang kita tempuh kemarin”

Ketika Sura telah berada di sisi Raden Rudira, maka ia pun berkata, “Raden, apakah kita akan mengikuti jalan yang kemarin, atau kita akan mengambil jalan lain yang lebih dekat?”

“Apakah ada jalan lain?”

“Ada Raden”

“Apakah jalan itu lebih baik atau justru lebih jelek?”

“Aku sudah lama tidak melalui jalan itu. Aku tidak tahu apakah jalan itu sekarang menjadi lebih jelek atau masih seperti dahulu”

Raden Rudira berpikir sejenak. Tetapi kemudian ia berkata, “Kita lewati jalan yang pasti. Jalan yang kemarin. Mungkin jalan yang kau kenal itu sekarang sudah dibongkar atau sudah menjadi pategalan”

Sura menarik nafas. Tetapi agaknya itu memang lebih baik. Jika jalan yang akan ditunjukkannya itu jalan yang lebih baik, maka Rudira pasti akan marah dan merasa bahwa ia telah dipersulit oleh Demang Sukawati.

Demikianlah maka mereka menempuh jalan yang semalam dilalui. Meskipun terasa sulit, tetapi di siang hari mereka dapat memilih sisi yang baik untuk dilalui.

Namun semakin dekat dengan regol Kademangan. dada Raden Rudira menjadi semakin berdebar-debar. Masih terngiang kata-kata Ki Demang ketika ia dipaksa turun dari kudanya, ketika ia sampai di kuncung pendapa Kademangan Sukawati.

“Seorang Pangeran pun akan turun dari kudanya” berkata Demang Sukawati itu. Dan Pangeran yang dikatakannya itu adalah Pangeran Mangkubumi.

“Mangkubumi, Mangkubumi” Rudira menggeram di dalam hati, “setiap orang menyebut namanya, tingkah lakunya yang aneh dan melanggar sendi-sendi tata pergaulan di Surakarta, hubungan antara seorang bangsawan dan rakyat kecil, akan menggoncangkan tata kehidupan di Surakarta”

Tetapi terasa juga kengerian merayap di hatinya. Ia merasa berada di daerah asing yang penuh dengan rahasia. Di perjalanan ke Kademangan ini pun ia menjumpai beberapa orang yang berdiri di sebelah menyebelah jalan dengan tangan bersilang di dada. Meskipun mereka melihat Raden Rudira lewat di hadapan mereka, maka mereka hampir tidak memberikan penghormatan apapun juga, selain mengangguk betapapun dalamnya.

“Daerah ini harus dimusnakan” tiba-tiba saja Raden Rudira menggeram di dalam hatinya, “Surakarta harus mengetahui apa yang telah terjadi disini. Kumpeni juga pantas diberi tahu. Mungkin aku memerlukan bantuan mereka.

Raden Rudira menyadari angan-angannya ketika ia sudah berada di regol Kademangan. Ia melihat Ki Demang dan beberapa orang bebahu Kademangan sudah siap menyambutnya.

“Gila” desis Raden Rudira, “kadang-kadang mereka bersikap sangat sopan. Tetapi kadang-kadang sikap mereka sangat deksura”

Namun dengan demikian, terasa bahwa rahasia yang menyaput padukuhan ini menjadi semakin tebal.

Meskipun Raden Rudira berusaha menengadahkan kepalanya, tetapi terasa juga dadanya bergetar semakin cepat. Ki Demang di Sukawati yang tampaknya ramah dan hormat itu, memancarkan tatapan mata yang aneh baginya.

“Silahkan tuan, kami sudah menunggu” berkata Ki Demang Sukawati.

Raden Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya pendapa Kademangan yang sudah terisi oleh bentangan tikar yang putih serta beberapa jenis makanan.

Rudira menarik nafas dalam-dalam. Beberapa langkah kudanya berjalan memasuki halaman itu. Tetapi sekali lagi ia merasa debar jantungnya menjadi semakin cepat, ketika ia melihat kuncung pendapa Kademangan itu. Ia harus turun apabila kudanya memasuki kuncung itu.

Karena itu, Raden Rudira tidak mau pergi ke kuncung pendapa. Tetapi ia menarik kendali kudanya ke kiri, sehingga kuda itu melangkah ke samping dan berhenti di depan tangga di sisi pendapa.

Ki Demang berdiri termangu-mangu. Tetapi ia pun kemudian menyusul Raden Rudira yang meloncat dari punggung kudanya langsung ke tangga pendapa yang terakhir. Selangkah ia naik, maka ia sudah berdiri di pendapa.

Seorang pengiringnya segera memegang kendali kudanya dan menuntunnya menepi, mengikatnya pada tonggak-tonggak di sebelah gandok.

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat kekerasan hati Putera Pangeran Ranakusuma itu. Namun ia melihat juga bahwa sebenarnya hatinya bukanlah hati yang kuat dan tabah. Apalagi ia sama sekali bukan seorang bangsawan yang berjiwa besar. Ia masih memerlukan bersikap angkuh yang berlebih-lebihan untuk mengangkat kewibawaannya yang tentu dirasakannya sendiri, masih belum setinggi yang diharapkannya.

Tetapi Ki Demang tidak mempersoalkannya lebih lanjut. Dipersilahkannya Raden Rudira dan pengiringnya duduk melingkari makanan yang lelah disediakan.

Tetapi rasa-rasanya makanan yang berlimpah-limpah itu tidak memberikan rangsang bagi Raden Rudira sendiri untuk makan dengan tenang. Berbeda dengan para pengiringnya yang menyuapi mulutnya dengan penuh gairah, maka Raden Rudira rasa-rasanya selalu digelisahkan oleh kesamaran Kademangan Sukawati itu.

Bahkan tiba-tiba saja Raden Rudira terkejut ketika ada seekor kuda berlari kencang di halaman. Tanpa berhenti di samping pendapa kuda itu langsung masuk ke longkangan belakang. Begitu kuda dan penunggangnya itu hilang di balik sudut pendapa, maka seakan-akan suara derap kaki kuda itu pun segera menghilang.

Beberapa orang pengiring Raden Rudira berhenti juga menyuapi mulut masing-masing dan berpaling. Tetapi mereka tidak menghiraukannya lagi, setelah kuda itu hilang dari tatapan mata mereka, karena mereka kembali disibukkan oleh makanan di hadapan mereka.

Tetapi Raden Rudira yang memang selalu dibayangi oleh kecurigaan itu menjadi semakin curiga, meskipun ia tidak berbuat apapun juga

Namun belum lagi hatinya menjadi tenang, sekali lagi seekor kuda dengan penunggangnya berlari memasuki halaman itu, dan seperti yang terdahulu, kuda itu pun seakan-akan lenyap di balik sudut pendapa.

Raden Rudira tidak dapat menahan kecurigaannya lagi. Dengan ragu-ragu ia bertanya kepada Ki Demang, “Siapakah mereka?”

“O” Ki Demang tersenyum, “Mereka adalah keluargaku, tuan”

“Keluargamu? Maksudmu, apakah mereka bebahu Kademangan atau sanak kadangmu?”

“Yang terdahulu adalah anakku laki-laki” berkata Ki Demang

“Anakmu? Kenapa ia berkuda terus sampai ke longkangan?”

“Itu sudah menjadi kebiasaannya tuan”

“Yang kedua?”

“Adik iparku”

“Juga kebiasaannya berkuda sampai ke longkangan?”

“Ya. Umur keduanya hampir sebaya. Kemanakan dan paman itu memang anak-anak bengal. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa tuanlah yang berada di pendapa”

“Tetapi ia tidak sopan sama sekali, jika ada tamu di pendapa, seharusnya ia tidak berbuat begitu. Apalagi tamu seorang bangsawan. Lihat, debu itu menghambur kemari. Terlebih-lebih lagi kau menyuguh makanan bagi kami”

“Maaf tuan. Aku akan memberi tahukan kepadanya kelak”

“Tetapi hal itu sudah terjadi”

Raden Rudira mengangguk-angguk. Tetapi kecurigaannya masih saja membayang di wajahnya. Apalagi ketika Ki Demang kemudian berkata, “Mereka adalah pengiring-pengiring Pangeran Mangkubumi apabila Pangeran itu berada di pesanggrahan dan berkenan untuk pergi berburu”

“Pengiring Ramanda Pangeran Mangkubumi? Bohong. Pengiring Ramanda Pangeran pasti pengawal-pengawal Kapangeranan yang tingkatnya hampir serupa dengan prajurit-prajurit Kerajaan”

“Memang” sahut Ki Demang, “Tetapi di pesanggrahan Pangeran Mangkubumi senang sekali bergaul dengan anak-anak muda. Mereka banyak mendapat kesempatan. Dua di antara mereka adalah anak dan iparku itu. Mereka adalah pemburu-pemburu yang baik di hutan-hutan perburuan di daerah Sukawati. Pangeran Mangkubumi memang membiarkan beberapa bagian hutan menjadi lebat. Berburu di hutan rindang tidak lagi menyenangkan baginya dan bagi anak-anak Sukawati itu”

Wajah Raden Rudira menjadi tegang. Namun kemudian ia bertanya, “Jadi ada juga abdi Ramanda Pangeran yang khusus mengikutinya berburu?”

“Bukan abdi, tetapi kawan berburu”

“He?” Raden Rudira membelalakkan matanya, “Kau katakan anak dan iparmu itu kawan berburu bagi Ramanda Pangeran Mangkubumi?”

“Ya tuan”

“Apakah kau sudah mabuk pangkat hanya karena kau menjadi seorang Demang di Sukawati?” Raden Rudira membelalakkan matanya, “Aku tidak senang kau menyebut anak dan iparmu itu sebagai pengiring Ramanda Pangeran. Yang pantas mereka adalah hamba-hambanya. Sekarang justru kau menyebutnya sebagai kawan”

Ki Demang menjadi terheran-heran. Sejenak ia memandang Raden Rudira. Kemudian para bebahu di Sukawati. Dengan ragu-ragu menjawab, “Maaf tuan. Tetapi demikianlah Pangeran Mangkubumi menyebutnya. Mereka adalah kawan-kawan berburu. Tentu aku tidak akan berani menyebutnya demikian, jika Pangeran Mangkubumi sendiri tidak mengatakan demikian”

“Bohong, bohong” Raden Rudira hampir berteriak. Tetapi ia pun kemudian berusaha menahan hatinya. Namun dengan demikian dadanya menjadi semakin sesak.

Para pengiring dan pengawal yang sedang sibuk menelan makanan, terpaksa berhenti juga sejenak. Dipandanginya wajah Raden Rudira yang merah. Tetapi ada pula di antaranya yang tidak menghiraukannya lagi selagi makanan dihadapannya masih tersisa.

Namun demikian, mereka terpaksa menelan dengan susah payah ketika tiba-tiba saja Raden Rudira berkata, “Kita pergi sekarang. Antarkan kami mencari petani yang telah berani melawan aku dan para bangsawan itu.

Ki Demang terkejut. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Tetapi silahkan menyelesaikan dahulu tuan. Juga para pengiring sedang makan”

“Cukup. Sudah cukup”

Beberapa orang dengan tergesa-gesa menyuapkan makanan yang tersisa, sehingga kadang-kadang mereka terpaksa menarik leher yang serasa sesak, disusul oleh beberapa teguk air hangat untuk mendorong makanan itu turun ke dalam perut.

Agaknya Raden Rudira tidak sabar lagi menunggu. Ia pun segera berdiri dan berjalan turun dari pendapa.

“Ambil kudaku” teriaknya.

Para pengiringnya pun kemudian dengan tergesa-gesa berdiri. Ada juga satu dua orang yang sempat memasukkan beberapa bungkus makanan ke dalam kantong-kantong baju mereka. Nagasari dan hawug-hawug. Ada juga yang tidak sempat lagi mengunyah makanan yang sudah ada di dalam mulutnya, sehingga hampir saja makanan itu menyumbat lehernya, jika ia tidak segera menelan beberapa teguk minuman.

“Tunggu sebentar tuan” berkata Ki Demang, “Aku akan menyiapkan kudaku”

“Kau berjalan kaki” bentak Raden Rudira. Namun kemudian ia menyadari bahwa dengan demikian akan menelan waktu terlampau lama, sehingga katanya kemudian, “Cepat, ambil kudamu”

Ki Demang menjadi termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun segera berlari-lari ke belakang menyiapkan kudanya bersama beberapa orang bebahu yang lain, yang akan memakai kuda-kuda dari Kademangan itu pula.

Ki Demang hanya memerlukan waktu sedikit, karena kudanya memang sudah siap. Kuda itu adalah kuda yang baru saja berlari memasuki halaman Kademangan itu.

Demikianlah maka Raden Rudira diantar oleh Ki Demang di Sukawati meninggalkan Kademangan. Dengan nada yang datar Rudira berkata, “Kita kelilingi padukuhan induk ini sebelum kita pergi ke setiap padukuhan yang lain”

“Tetapi tuan” berkata Ki Demang, “Jika Raden ingin bertemu dengan para petani di saat-saat begini, pada umumnya mereka berada di sawah atau di sungai?”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya, pada umumnya mereka berada di sawah. Tetapi kenapa ada juga yang di sungai?”

“Mereka yang telah selesai dengan kerja di sawah, ada juga yang pergi menjala ikan di sepanjang sungai tuan. Sekedar untuk tambah membeli garam”

“Apakah banyak petani-petani yang pergi menjala ikan di sungai itu?”

“Beberapa. Ada lima atau enam orang dari padukuhan ini. Tetapi ada padukuhan yang hampir semua laki-laki dewasa pergi mencari ikan di saat-saat tidak ada kerja di sawah. Di saat-saat mereka tinggal menunggu padi yang sudah mulai menguning”

“Persetan” geram Raden Rudira, “bawa aku ke sawah”

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Diiringi oleh Ki Demang, maka Raden Rudira bersama pengawal-pengawalnya melintas keluar dari padukuhan dan menuju ke bulak yang luas di sebelah padukuhan itu.

Tetapi sawah yang terbentang di hadapannya terlalu luas. Hampir sampai keatas penglihatan. Di cakrawala barulah tampak sebuah padukuhan yang lain, padukuhan kecil. Di sebelah yang lain ada juga padukuhan kecil serupa, Tetapi jarak itu tidak terlalu dekat.

“Untunglah Demang itu berkuda” berkata Rudira di dalam hatinya, ”Kalau tidak, maka sehari penuh aku tidak akan dapat mengelilingi bulak yang satu ini”

Demikianlah maka kuda itu pun segera berpacu. Dilihatnya beberapa, orang laki-laki yang sedang bekerja di sawah. Ketika mereka mendengar derap kaki kuda, mereka pun mengangkat kepala mereka. Tetapi kepala itu pun segera tertunduk kembali menekuni kerja yang belum selesai.

“Gila” berkata Raden Rudira di dalam hati, “Kenapa rakyat Sukawati ini acuh tidak acuh terhadap seorang yang asing?”

Tetapi ia tidak mengucapkannya. Yang dikatakannya adalah, “Sura, jangan lengah. Lihat setiap orang. Kalau kau melihat orang yang kita cari, kau harus mengatakan kepadaku”

Sura mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

“Sura, apakah kau sudah tuli atau bisu?”

“Ya, ya Raden?” Sura menjawab terbata-bata.

Namun ketegangan melonjak ketika di antara para pengawal terdengar suara tertawa pendek. Ketika semua orang berpaling, dilihatnya Mandra menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

“Kenapa kau tertawa?” bertanya Raden Rudira.

“Apakah pengecut itu berani menunjuk orang yang Raden cari? Sayang, aku tidak melihatnya sebelumnya. Kalau aku pernah melihat, maka pasti aku akan segera menemukannya”

Sura yang mendengar jawaban itu menjadi merah padam. Tetapi ia tidak sempat menjawab, karena Raden Rudira berkata, “Ia masih harus membuktikan bahwa ia masih Sura yang dahulu”

Sura sama sekali tidak menyahut. Tetapi hatinya menjadi semakin sakit ketika ia mendengar Mandra itu tertawa tertahan-tahan. Meskipun demikian ia masih lelap berdiam diri sambil menahan hati.

Demikianlah iring-iringan itu melintasi bulak yang panjang di tengah-tengah sawah yang sedang digarap. Beberapa orang laki-laki sibuk membajak tanah yang digenangi air. Yang lain mengatur pematang, sedang yang lain lagi mulai menyebarkan rabuk kandang.

Tetapi di antara mereka tidak terlihat petani yang sedang mereka cari.

“Dimana orang itu he?” tiba-tiba Rudira yang mulai jengkel berteriak.

Tetapi tidak ada seorang pun yang menjawab” Dimana Ki Demang? Dimana orang itu?”

Ki Demang menjadi bingung sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Kami tidak mengetahui orang yang Raden maksud, sehingga kami tidak akan dapat membantu menunjukkan dimana ia berada”

“Orangnya bertubuh tinggi, kekar. Bermata setajam mata burung hantu. Ayo, tunjukkan orang yang berciri serupa itu”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak pernah melihat orang itu. Mungkin orang itu sengaja ingin menjelekkan nama Sukawati sehingga ia mengaku orang Sukawati”

“Tentu tidak. Hampir semua orang Sukawati mempunyai sikap serupa dengan orang itu. Deksura dan tidak tahu adat”

“Apakah begitu?”

“Ya”

“Jika begitu, akan semakin sulit lagi untuk menemukannya Seorang di antara sekian banyak orang yang mempunyai ciri hampir sama”

“Bodoh sekali” teriak Raden Rudira, “Aku akan dapat mengenalinya jika aku menemukannya”

“Dan ternyata tuan masih belum menemukannya sekarang” sahut Ki Demang, “Tetapi Sukawati adalah daerah yang luas. Mungkin kita tidak dapat menemukan di bulak ini, tetapi kita akan dapat menjumpainya di bulak yang lain. Atau mungkin pula orang itu sedang berada di sungai, atau seperti yang tuan katakan, ia seorang petualang yang sedang bertualang. Sehingga dengan demikian, maka kita tidak akan dapat menjumpainya disini”

“Kita harus menemukannya, harus”

Ki Demang tidak menyahut lagi. Ditebarkannya saja tatapan matanya ke bulak di sekitarnya. Para petani masih juga sibuk dengan kerja mereka, seakan-akan tidak acuh sama sekali akan iring-iringan di jalan yang membelah tanah persawahan itu.

Kuda-kuda itu pun berderap semakin cepat. Ketika mereka sampai ke ujung bulak dan tidak menemukan orang yang dicarinya, mereka pun berbelok lewat jalan sempit mengitari bulak itu. Tetapi sampai pada satu lingkaran penuh, mereka masih belum menemukannya.

“Kita terus ke bulak di sebelah lain” berkata Rudira, “Aku tidak akan kembali ke Ranakusuman tanpa membawa orang itu”

“Silahkanlah” berkata Ki Demang, “Aku akan mengantarkan tuan sampai orang itu kita ketemukan”

Kuda-kuda itu pun berpacu terus. Setiap orang tidak luput dari pengawasan Raden Rudira dan pengiringnya. Namun sama sekali tidak ada orang yang mirip dengan orang yang mereka cari.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh Raden Rudira, mereka tidak berhenti. Mereka berkeliling dari satu bulak ke bulak yang lain di seluruh Kademangan Sukawati. Sampai lewat tengah hari mereka sudah menempuh hampir semua daerah persawahan tidak saja di seputar padukuhan induk, tetapi juga di Padukuhan-padukuhan kecil lainnya.

“Gila” geram Raden Rudira, “Kau suruh orang itu bersembunyi?”

“Tentu tidak Raden”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Terasa juga tubuhnya menjadi lelah. Karena itu, maka ia pun berhenti sejenak di sudut padukuhan induk.

“Tuan” berkata Ki Demang, “Kami ingin mempersilahkan tuan dan para pengiring untuk beristirahat sejenak di Kademangan. Nanti aku akan mengantar Raden meneruskan pencaharian ini. Bukan saja ke bulak-bulak. tetapi aku akan mencarinya dari pintu ke pintu”

“Tidak. Aku tidak akan beristirahat dimanapun. Aku akan mencari terus”

Namun demikian terasa nafas Raden Rudira mengalir semakin cepat. Panas matahari yang mulai condong ke Barat, rasa-rasanya bagaikan membakar kulit, sehingga dengan demikian, maka hati Raden Rudira pun rasa-rasanya telah ikut terbakar pula.

Tetapi yang dicarinya belum juga dapat diketemukan.

Sementara itu para pengiringnya pun telah menjadi lelah dan haus, bahkan jemu. Mereka hampir tidak mengharap akan menemukan orang yang dicarinya. Seorang di antara sekian banyak orang-orang Sukawati. Bahkan mungkin orang itu sama sekali bukan orang Sukawati. Untuk menghilangkan jejak, dapat saja ia menyebut dirinya orang Sukawati.

Namun demikian, seperti yang dikatakan oleh Rudira, ada juga ciri-ciri yang sama pada orang-orang Sukawati itu. Mereka bersikap acuh tidak acuh terhadap bangsawan. Dan hal itu agaknya terbawa oleh sikap Pangeran Mangkubumi yang rendah hati, sehingga bagi orang Sukawati, bangsawan bukannya manusia yang melampaui manusia yang lain.

Demikianlah, setelah mereka beristirahat sejenak, terasa tubuh mereka dan kuda-kuda mereka menjadi segar. Karena itu maka Raden Rudira yang sudah siap melanjutkan perjalanan bersama pengiringnya berkata, “Kita teruskan. Kita jelajahi seluruh Kademangan ini”

“Tetapi tuan” berkata Ki Demang, “Aku sudah, lelah sekali. Mungkin aku sudah terlalu tua untuk berkuda sepanjang hari”

“Pemalas. Aku tahu, kau hanya malas atau barangkali dengan demikian kau menghindari tanggung jawabmu atas orang-orang di wilayahmu”

“Tidak tuan. Aku sama sekali tidak ingin menghindari tanggung jawab. Tetapi ternyata nafasku memang hampir putus. Panas matahari rasa-rasanya hampir memecahkan kepala”

“Persetan” geram Raden Rudira, “Aku akan berangkat”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Apakah aku diperkenankan menunggu disini? Jika tuan memerlukan aku, salah seorang dari pengiring tuan aku persilahkan memanggil aku disini”

“Tidak, kau harus ikut”

Tetapi Demang itu menggeleng, “Maaf tuan. Jika tuan sudi beristirahat sampai nanti senja, aku akan mengantar tuan. Berapa hari pun asal aku mendapat kesempatan beristirahat. Aku sekarang tidak kuat lagi”

“Aku tidak peduli. Kau harus pergi bersama kami. Kau kami perlukan di daerah ini”

“Maaf tuan. Aku akan pingsan di bulak itu”

Raden Rudira menjadi marah sekali. Namun tiba-tiba saja Sura yang tidak pernah berselisih pendapat dengan tuannya, karena selama ini ia hanya sekedar mengiakan, tiba-tiba berkata, “Raden, Ki Demang memang sudah terlalu tua. Bagaimana kalau seperti yang dikatakannya, biarlah ia menunggu disini. Kita akan mencarinya di seluruh Kademangan atas ijin Ki Demang”

Raden Rudira justru terbungkam sesaat. Ia tidak menduga sama sekali bahwa Sura berani menyatakan pendapat yang berbeda dengan pendapatnya sendiri. Namun karena itu ia justru hanya dapat membelalakkan matanya tanpa mengucapkan kata-kata.

Yang menyahut kemudian adalah pengawal Rudira yang bertubuh besar itu, “Sura, kau adalah seorang hamba. Kau hanya dapat melakukan perintahnya. Tidak menentang dan tidak mengguruinya”

Bersambung ke Bagian 3

Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/

Komentar

Postingan Populer