Bunga di batu karang III bag 3

Bunga di batu karang Bag 3

Tetapi sesuatu telah berkembang di hati Sura, sehingga ia menyahut, “Aku adalah seorang hamba yang tidak ingin melihat tuanku berbuat kesalahan”

“Kau berani menyalahkan Raden Rudira?” teriak Mandra.

“Aku tidak menyalahkannya sekarang, karena Raden Rudira belum berbuat kesalahan. Tetapi aku mencoba mencegah agar ia tidak berbuat kesalahan itu” Sura berhenti sejenak, lalu, “selama ini aku adalah seorang hamba yang jelek. Yang tidak pernah mencoba mencegah suatu kesalahan. Aku selalu mengiakan dan membenarkan semua yang diputuskan oleh momonganku. Tetapi ternyata itu tidak benar. Jika aku ingin menjadi hamba yang baik, aku harus mengatakan yang benar menurut pendapatku, bukan selalu membenarkan sikap tuanku”

“Kau mengigau. Aku tidak mengerti yang kau maksudkan. Tetapi, aku adalah hamba yang setia, yang tidak senang melihat kau mulai berkhianat”

“Pikiran itulah yang menyesatkan kita dan justru tuan kita. Kesetiaan yang mati telah menjerumuskan kita bersama-sama, bersama Raden Rudira sendiri ke dalam suatu sikap yang salah”

“Diam, diam kau Sura” tiba-tiba Raden Rudira berteriak.

Sura menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian diam meskipun tidak menundukkan kepalanya seperti biasanya.

Perubahan sikap itu semakin terasa pada Raden Rudira. Sura yang sekarang, memang lain dari Sura yang dahulu tidak pernah bertanya apapun yang diperintahkannya.

“Ki Demang” berkata Rudira kemudian, “Aku tidak peduli tentang keadaanmu. Kau harus mengikuti kami mencari orang itu sampai kita dapat menemukannya”

Tetapi Ki Demang menggeleng sambil berkata, “Maaf tuan. Aku mohon Raden dapat menundanya sampai senja nanti, setelah aku beristirahat sebentar. Aku sudah terlalu lelah”

“Tidak” Raden Rudira membentak.

Tetapi Ki Demang pun tetap menggeleng juga, “Tidak. Aku tidak akan dapat meneruskan perjalanan. Aku dapat menjadi pingsan”

“Aku tidak peduli. Mati pun aku tidak peduli. Biarlah orang-orang Sukawati menguburmu”

“Maaf tuan, aku tidak dapat”

“Jangan banyak mulut” tiba-tiba Mandra membentak, “berangkat, atau kau akan menyesal”

Ki Demang memandang pengawal Raden Rudira yang bertubuh raksasa itu. Sambil mengerutkan keningnya ia berkata, “Ki Sanak, aku sudah tua. Kalau aku masih semuda dan segagah Ki Sanak, aku tidak akan ingkar. Tetapi maaf, dalam keadaanku serupa ini, aku tidak dapat memaksa diri berjalan terus. Kudaku pun sudah lelah karena kuda ini bukan kuda sebaik kuda Ki Sanak”

“Aku tidak peduli. Raden Rudira pun tidak peduli. Ayo pergi”

Ki Demang masih tetap menggelengkan kepalanya. Katanya, “Ki Sanak jangan memaksa aku. Aku bukan bawahan Ki Sanak dan bukan bawahan Raden Rudira. Aku adalah abdi tanah kalenggahan Pangeran Mangkubumi. Hanya Pangeran Mangkubumi atau para hambanya yang dipercaya sajalah yang dapat memerintah aku. Kau tidak, siapapun tidak. Jika Ki Sanak mencoba memaksa kami, itu berarti Ki Sanak telah melanggar hak Pangeran Mangkubumi”

Mandra menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Raden Rudira yang agaknya sedang dilanda oleh kebimbangan.

Namun tiba-tiba saja Raden Rudira berteriak, “Aku akan mengatakannya kepada Ramanda Pangeran Mangkubumi. Akulah yang bertanggung jawab”

Mandra mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian sambil mendekati Ki Demang ia berkata, “Jangan membantah lagi”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Namun dalam pada itu Sura pun bergeser setapak sambil berkata, “Mandra, jangan berbuat apapun yang dapat membuai Pangeran Mangkubumi murka. Kau akan tahu akibatnya”

“Sura” Raden Rudira berteriak, “Ia berbuat atas namaku”

Sura mengerutkan keningnya. Ia masih mencoba mencegah, “Tetapi tuan, kekerasan sama sekali tidak bijaksana di dalam masalah ini”

“Ia tidak akan mempergunakan kekerasan” berkata Raden Rudira, “Tetapi Mandra akan menawarkan kudanya. Mungkin dengan demikian Ki Demang tidak akan berkeberatan untuk berjalan terus”

“Bukan saja kudaku, tetapi terutama adalah badanku sendiri, “ Ki Demang menyahut.

Raden Rudira benar-benar menjadi marah. Seorang Demang di Sukawati telah berani menentang kehendaknya, seperti petani di Sukawati itu. Ternyata kekecewaan, kemarahan, bahkan hinaan telah dialaminya berturut-turut selama ia berada di Sukawati.

“Orang-orang Sukawati memang gila” Ia menggeram di dalam hatinya. Namun tiba-tiba ia menggeretakkan giginya sambil berkata kepada diri sendiri, “Jika Demang itu kelak menuntut lewat Ramanda Pangeran Mangkubumi, biarlah ia berurusan dengan ayahanda. Tentu ayahanda Ranakusuma memiliki kekuasaan lebih besar dari Ramanda Pangeran Mangkubumi karena ayahanda Ranakusuma adalah saudara tua dan ayahanda pasti lebih dekat pada Kangjeng Susuhunan dari pada Ramanda Pangeran Mangkubumi. Apalagi ibunda mempunyai sahabat-sahabat orang asing yang mempunyai kelengkapan jauh lebih baik dari orang-orang Surakarta yang manapun juga”

Oleh pikiran itu, serta luapan perasaan yang bertimbun-timbun maka Raden Rudira pun menjadi semakin berani. Dengan wajah yang tegang ia berkata, “Kau tidak mempunyai pilihan lain Ki Demang”

“Aku dapat menentukan sikapku sendiri Raden. Hanya Pangeran Mangkubumi lah yang dapat memaksa aku. Orang lain yang manapun tidak. Aku sudah berbuat sebaik-baiknya menyambut kedatangan Raden Rudira di Sukawati. Bahkan aku sudah membiarkan Raden bermalam di pesanggrahan Pangeran Mangkubumi. Tetapi ternyata Raden adalah orang yang tidak mengenal terima kasih. Kini Raden masih memaksa aku untuk melakukan pekerjaan di luar kemampuan tenagaku”

“Diam, diam” teriak Raden Rudira, “apakah kau tidak dapat menutup mulutmu”

“Maaf Raden, aku hanya sekedar memberikan penjelasan”

“Bungkam mulutmu” teriak Raden Rudira.

Biasanya Sura tidak perlu mendapat perintah untuk kedua kalinya. Tetapi kini Sura masih berada di tempatnya. Ia masih duduk tanpa bergerak diatas punggung kudanya.

Namun ada juga orang yang mulai bergerak maju. Mandra.

Dengan wajah yang tegang Sura mengawasinya. Tanpa sesadarnya ia pun bergerak. Tetapi perintah Raden Rudira masih belum dapat diatasinya ketika perintah itu terasa mencengkam dadanya

“Kau tetap di tempatmu Sura. Ternyata kau tidak aku perlukan lagi”

Sura masih belum mampu menembus batas yang digoreskan oleh Raden Rudira itu. Karena itu, bagaimanapun juga ia tidak dapat melanggarnya.

Dalam pada itu Mandra yang mengambil alih tugas Sura, maju semakin dekat. Namun ternyata ia tidak mau berbuat sesuatu selagi ia masih berada di punggung kuda. Karena itu, maka ia pun segera meloncat turun sambil berkata, “Ki Demang, kau tidak mempunyai pilihan lain. Mengantarkan kami, atau kau menjadi seorang tawanan yang akhirnya harus menyertai kami juga mengelilingi Kademanganmu ini, karena kami berkeputusan untuk memaksamu ikut serta”

Tetapi ternyata. Ki Demang dengan tenang menjawab, “Tidak ada orang yang dapat memaksa aku Ki Sanak”

“Aku akan memaksamu. Turunlah dari kudamu, supaya jika kudamu lari kau tidak terseret olehnya dan mengalami luka-luka parah karena kulitmu terkelupas. Aku hanya ingin membuat kau jera untuk berkeras kepala”

Ki Demang tidak menyahut. Tetapi dari matanya yang semula redup itu pun ternyata memancar sorot kemarahan yang memuncak.

“Apakah kau akan memaksa aku dengan kekerasan?” bertanya Ki Demang.

“Apaboleh buat” sahut Mandra.

Ki Demang tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah. Jika demikian kami terpaksa membela diri”

“He” Mandra terkejut mendengar jawaban itu. Ia tidak menyangka bahwa Ki Demang berani menjawab demikian. Menilik tubuhnya yang kecil dan seperti yang dikatakannya sendiri, nafasnya sudah mulai terengah-engah, masih juga ia berani mengatakan untuk membela diri.

Mandra menjadi semakin heran ketika ia melihat Ki Demang melambaikan tangannya kepada seorang bebahu yang mengikutinya. Seorang pendiam yang bertubuh sedang, berkulit hitam dan berkumis tipis dialas bibirnya yang tebal.

“Cegah orang itu” perintah Ki Demang pendek. Perintah itu pun ternyata telah menggetarkan setiap dada.

Meskipun perintah itu hanya pendek, tetapi seakan-akan mempunyai kekuatan perbawa yang luar biasa. Bukan saja atas orang yang mendapat perintah, tetapi juga atas orang-orang yang mendengarnya.

Orang yang bertubuh sedang dan berkulit hitam itu pun kemudian meloncat turun pula dari kudanya. Setelah menyerahkan kendali kudanya kepada kawannya, ia pun kemudian berjalan dengan tenangnya dan berdiri tegak di muka Ki Demang menghadap kearah Mandra.

“Kau berani melawan orangku?” bertanya Raden Rudira dengan marahnya.

“Maaf tuan. Seperti tuan juga berani melawan orang-orang Pangeran Mangkubumi”

“Persetan, aku adalah Putera Pangeran Ranakusuma yang lebih tua dan lebih berkuasa dari Ramanda Pangeran Mangkubumi”

“Terserahlah kepada tuan. Tetapi aku tidak mau dipaksa oleh siapapun”

“Mandra, jangan menunggu lagi. Sebentar lagi hari akan benar-benar menjadi senja”

“Baik Raden” jawab Mandra yang kemudian siap menghadapi orang berkulit hitam itu.

Ternyata orang berkulit hitam dan berkumis jarang itu sama sekali tidak berkata apapun. Ia berdiri saja dengan penuh kewaspadaan menghadapi segala kemungkinan.

Mandra yang berusaha untuk mendapat kepercayaan dan kedudukan yang baik menggantikan Sura yang mulai goyah itu. segera melangkah mendekat. Semakin dekat ia pada orang berkulit hitam itu, maka orang itu pun menjadi semakin siaga dan merendah diatas lututnya.

Tiba-tiba saja Mandra itu pun langsung menyerangnya. Ia menganggap orang-orang Sukawati bukan orang-orang kuat yang pantas diperhitungkan. Namun ternyata, bahwa serangannya yang pertama itu gagal, bahkan orang berkulit hitam itu ternyata dengan lincahnya telah berhasil memukul pundaknya dengan sisi telapak tangannya.

“Uh, Gila” Mandra menyeringai sambil meloncat mundur. Kini ia terbangun dari lamunannya. Ternyata lawannya bukannya seorang pedesaan yang tidak mampu berbuat apa-apa.

Karena itu, maka ia pun kini harus mempergunakan segenap kekuatan dan kemampuannya. Ia harus berhasil menundukkan orang itu di dalam waktu yang paling pendek, supaya tampak oleh Raden Rudira, bahwa ia memang seorang yang pilih tanding.

Dengan demikian, maka Mandra pun mengulangi serangannya. Kini menjadi semakin dahsyat.

Namun lawannya yang bertubuh lebih kecil daripadanya itu pun telah siap pula menghadapi serangannya. Dengan tangkasnya ia menghindar, dan dengan tangkasnya pula ia menyerang kembali. Tetapi Mandra berhasil menangkis serangan itu dengan sikunya, meskipun ia terdorong beberapa langkah surut.

Dengan demikian, maka Mandra dapat menilai kekuatan lawannya. Ternyata ia tidak menyangka bahwa lawannya yang lebih kecil daripadanya, dan pendiam pula, seolah-olah tidak bertenaga sama sekali itu mempunyai kekuatan yang dapat mendorongnya surut meskipun ia tidak berada dalam sikap perlawanan sepenuhnya.

Sejenak kemudian keduanya pun terlibat dalam, perkelahian yang sengit. Perkelahian yang sama sekali tidak diduga-duga, baik oleh Mandra, maupun oleh Sura dan kawan-kawannya. Bahkan Raden Rudira menjadi terheran-heran melihat kemampuan orang Sukawati itu.

Mandra adalah salah seorang pengawal terpilih dari Ranakusuman. Ia memiliki tenaga raksasa sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar itu. Namun menghadapi seorang yang bertubuh, sedang dan pendiam itu, Mandra tidak banyak mendapat kesempatan.

Di dalam benturan-benturan kekuatan yang terjadi, Mandra memang memiliki kelebihan tenaga. Tetapi orang yang hitam itu memiliki kelebihan yang lain. Ia mampu bergerak secepat tatit, sesigap sikatan menyambar bilalang. Itulah yang kadang-kadang membuat Mandra menjadi bingung. Selagi ia bergulat mengerahkan kekuatannya untuk melumpuhkan lawannya itu, tiba-tiba saja lawannya itu seakan-akan telah hilang. Sebelum ia sadar, maka ia sudah dihadapkan pada serangan yang bagaikan kilat menyambar di langit.

Demikianlah maka akhirnya Mandra menjadi semakin bingung Setiap kali ia kehilangan lawannya. Dan setiap kali serangan lawannya, meskipun tidak dengan tenaga sekuat tenaganya, telah berhasil mengenainya. Betapapun besar daya tahan tubuhnya, namun lambat laun, serangan-serangan itu telah menyakitinya.

Raden Rudira yang melihat perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Sura yang masih duduk diatas punggung kudanya rasa-rasanya bagaikan membeku. Mandra tidak akan dapat mengalahkan orang berkulit hitam itu. Dan seandainya ia sendiri yang turun ke arena, itu pun pasti tidak akan berhasil mengalahkannya.

Ki Demang Sukawati duduk dengan tenangnya, diatas punggung kuda. Ia menonton perkelahian itu seperti menonton adu ayam. Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk-angguk.

“Pantas ia menjadi keras kepala” Raden Rudira mengumpat di dalam hati, “Agaknya ia mempunyai seorang pelindung yang baik. Tetapi aku tidak mau kepalang tanggung. Keadaan sudah terlanjur memburuk. Aku tidak perduli lagi apakah Ramanda Pangeran akan marah kepadaku. Aku akan mendapat perlindungan dari ayahanda Pangeran Ranakusuma dan ibu akan mendapatkan bantuan kumpeni. Sukawati memang harus diperingatkan, karena Sukawati telah merusak sendi-sendi adat pergaulan rakyat Surakarta”

Karena itu, ketika Mandra semakin lama justru menjadi semakin terdesak, Raden Rudira sudah tidak dapat berpikir bening. Ia tidak ingat lagi dimana ia berada dan akibat-akibat yang dapat timbul karenanya.

Sementara itu Mandra memang menjadi semakin sulit. Serangan lawannya yang berkulit hitam dan berkumis jarang itu menjadi semakin lama justru semakin cepat. Betapapun kuatnya daya tahan tubuhnya, namun lambat laun Mandra menjadi semakin lemah juga. Serangan-serangan yang cepat kadang-kadang membuatnya bingung dan tanpa dapat berbuat sesuatu, ia harus menerima serangan-serangan dari arah yang tidak diketahuinya.

“Persetan” Raden Rudira menggeram, lalu katanya di dalam hati, “Aku tidak peduli. Demang ini harus ditangkap dan dibawa ke kota. Ia harus diadili karena ia berani menentang aku”

Dengan demikian Raden Rudira telah mengambil keputusan, bahwa orang-orangnya harus turun tangan tanpa mempedulikan apapun. Demang itu harus ditangkap. Harus.

Dengan wajah yang tegang Rudira berpaling kepada orang-orangnya yang menjadi tegang pula. Namun ia menjadi heran, bahwa orang-orangnya sama sekali tidak memperhatikan arena perkelahian yang semakin berat bagi Mandra. Mereka melihat ke kejauhan dengan sorot matanya yang aneh.

Tanpa disadarinya Raden Rudira pun memandang kekejauhan pula, kearah tatapan mata para pengiringnya.

Tiba-tiba saja jantungnya serasa berdentangan semakin keras. Dilihatnya beberapa orang laki-laki berdiri berjajar di pinggir desa di seberang parit. Dengan wajah yang seakan-akan beku mereka berdiri dengan tangan bersilang di dada memperhatikan orang yang berkulit hitam, yang sedang berkelahi melawan Mandra.

Tetapi ternyata bukan hanya di seberang parit, tetapi juga di dalam pagar batu tampak tudung kepala berjajar-jajar. Di bawah tudung kepala itu tampak wajah-wajah yang membeku.

“Gila” Raden Rudira mengumpat di dalam hatinya, “ini sudah suatu pemberontakan”

Namun demikian wajahnya yang merah semakin lama menjadi semakin pucat. Kalau seorang di antara mereka berhasil mengalahkan Mandra, apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang yang berdiri di seberang parit dan di balik pagar batu itu.

Ki Demang agaknya mengerti persoalan yang bergejolak di dalam hati Raden Rudira. Karena itu sambil tersenyum ia berkata, “Mereka adalah petani-petani yang berpikir sederhana tuan. Mereka melihat aku, Demang di Sukawati yang mereka anggap sebagai pemomong mereka mendapat kesulitan, maka mereka pun datang berkerumun. Mereka adalah petani-petani yang kita lihat bekerja di sawah dan ladang. Dan kita tidak dapat menemukan petani yang justru tuan cari”

Rudira tidak menyahut. Tetapi dadanya berdesir ketika ia melihat Mandra terlempar beberapa langkah surut, ketika kaki orang berkulit hitam itu terjulur ke dadanya. Sejenak Mandra mencoba bertahan, namun ternyata bahwa keseimbangannya sudah tidak dapat dikuasainya lagi, sehingga akhirnya ia pun terjatuh di tanah.

Meskipun demikian, dengan susah payah ia mencoba bangun. Dikerahkan segala sisa tenaganya yang ada. Tetapi selagi kedua kakinya belum tegak benar, serangan lawannya itu telah meluncur sekali lagi. Kali ini mengenai pundaknya, sehingga Mandra terputar satu kali dan sekali lagi jatuh terbanting di tanah.

Wajah Raden Rudira menjadi merah padam. Orang berkulit hitam itu berdiri hanya selangkah di sisi Mandra yang agaknya benar-benar sudah kehabisan tenaga meskipun ia tidak mengalami luka yang berbahaya.

“Sudahlah” berkata Ki Demang di Sukawati, “tinggalkan orang itu”

Orang berkulit hitam itu berpaling. Dipandanginya Ki Demang sejenak, lalu dianggukkan kepalanya sedikit. Perlahan-lahan ia berjalan meninggalkan lawannya yang masih terbaring di tanah, tanpa Pepatah katapun meloncat dari bibirnya.

“Gila kau Mandra” teriak Raden Rudira, “bangun atau kau akan tinggal disini”

Dengan susah payah Mandra berusaha untuk bangkit. Ketika ia memutar tubuhnya menghadap Ki Demang di Sukawati, maka orang berkulit hitam yang sudah berdiri di samping kudanya, melangkah setapak maju. Tetapi Ki Demang menggamitnya sehingga ia pun berhenti.

“Apakah kalian sudah memperhitungkan akibat perlawanan kalian” Raden Rudira menggeram. Suaranya bergetar penuh kemarahan.

“Sama sekali belum Raden, karena kami harus mengambil sikap dengan tiba-tiba. Tetapi akulah yang seharusnya bertanya, apakah Raden sudah memperhitungkan akibat yang timbul dari sikap Raden itu?”

“Aku akan mempertanggung jawabkannya”

“Tetapi orang yang tuan percaya itu tidak mampu melawan orangku. Apakah tuan akan mengambil sikap lebih keras lagi dan memerintahkan para pengiring Raden menangkap aku?”

Raden Rudira tidak segera menjawab. Tetapi ia sadar bahwa Ki Demang dengan sengaja menyindirnya, karena ia merasa kuat Petani-petani yang ada di sawah dan melihat perkelahian itu ternyata telah berkerumun meskipun dari jarak agak jauh.

Kemarahan Raden Rudira seakan-akan telah bergejolak sampai ke ubun-ubun. Tetapi ia sama sekali tidak berdaya untuk mengambil suatu sikap, karena orang-orang Sukawati ternyata adalah orang-orang yang keras kepala.

“Tanggung jawab atas sikap yang gila ini terletak pada. Ramanda Pangeran Mangkubumi” berkata Rudira di dalam hatinya jika Ramanda Pangeran tidak bersikap keliru dan memanjakan orang-orangnya di daerah Sukawati ini, maka hal-hal semacam ini pasti tidak akan dapat terjadi”

Tetapi Rudira tidak dapat berbuat apa-apa saat itu. Betapapun dadanya serasa akan retak, namun ia harus menahan diri. Ia tidak tahu, kemampuan apa yang tersimpan di balik wajah-wajah yang beku dan tangan-angan yang bersilang di dada itu.

Karena Raden Rudira tidak segera menjawab, maka Ki Demang Sukawati itu menarik nafas dalam-dalam, sambil berkata, “Sudahlah Raden. Kadang-kadang kita memang dihanyutkan oleh perasaan yang meledak-meledak. Aku tahu, umur Raden yang masih sangat muda itulah yang membuat Raden kurang pertimbangan. Tetapi itu bukan suatu kesalahan yang perlu disesalkan sekali, meskipun harus selalu diingat sebagai pengalaman. Sekarang, lupakan saja apa yang telah terjadi. Aku rasa orang di rumah sudah menyediakan makan siang buat Raden dan para pengiring. Bagaimanapun juga, aku tetap ingin mempersilahkan Raden dan para pengiring untuk makan siang di rumah kami, karena disini tuan adalah tamu kami”

Kata-kata itu rasa-rasanya justru membuat hati Rudira semakin panas. Tanpa menjawabnya Raden Rudira berteriak kepada Mandra, “Cepat naik ke kudamu. Kita akan pergi”

“Raden” berkata Ki Demang dengan serta merta, “Kami persilahkan Raden singgah sejenak”

Rudira tidak menjawab. Bahkan ia memalingkan wajahnya. Katanya kepada pengiringnya, “Kita akan meninggalkan neraka ini. Tetapi kita tidak akan membiarkan daerah ini tetap dikuasai oleh kebodohan serupa ini. Aku adalah putera Pangeran Ranakusuma”

Raden Rudira tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera menyentuh perut kudanya dengan tumitnya, sehingga kudanya mulai bergerak.

Tetapi tiba-tiba saja Raden Rudira menarik kendali kudanya yang sudah mulai berlari, sehingga kuda itu terkejut dan melonjak berdiri. Beberapa orang pengiringnya pun terkejut pula. Bahkan Mandra yang dengan lemahnya duduk diatas punggung kudanya mengangkat wajah dan mencoba mengerti, kenapa tiba-tiba saja Raden Rudira berhenti.

Dengan mata yang terbelalak Raden. Rudira memandang ke sudut desa yang sedikit menjorok masuk ke tanah persawahan. Dilihatnya beberapa orang petani berdiri berjajar sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Namun yang berdiri di paling ujung, agaknya petani yang sedang dicarinya.

Sura yang berkuda di antara mereka pun terkejut pula melihat orang yang berdiri tidak terlalu jauh dari jalan yang sedang dilaluinya. Namun tanpa disadarinya, mulutnya berdesis, “Benar dugaanku. Orang itu adalah Pangeran Mangkubumi”

Desis Sura itu mengguncangkan dada Raden Rudira. Laki-laki yang berdiri di ujung itu adalah laki-laki yang sedang dicarinya. Wajah. laki-laki itu pun kotor oleh lumpur yang melekat disana-sini. Seperti petani-petani yang lain, disisinya terletak sebuah cangkul, pakaian yang kotor dan basah, serta wajah yang beku. Tetapi yang seorang ini memiliki sepasang mata yang tajam dan rasa-rasanya sedang membara.

Raden Rudira menjadi termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba kengerian yang sangat telah merayapi hatinya. Siapapun orang itu, namun kemampuannya tentu berlipat-lipat dari orang yang berkulit hitam. Sura di bulak Jati Sari sama sekali tidak berdaya menghadapinya. Kini Mandra telah dilumpuhkan oleh orang berkulit hitam itu.

“Apalagi kalau benar orang itu adalah Ramanda Pangeran Mangkubumi” tanggapan itu tiba-tiba saja melonjak di dadanya.

Dengan demikian tanpa disadarinya sekali lagi Raden Rudira memandang orang itu. Tiba-tiba saja jantungnya serasa berhenti berdenyut. Orang itu memang mirip sekali dengan Ramanda Pangeran Mangkubumi”

Tetapi ia pun kemudian mencoba membantahnya sendiri, “Ada seribu orang yang mirip di dunia ini”

Meskipun demikian, Raden Rudira segera memacu kudanya. Semakin lama semakin cepat diikuti oleh para pengiringnya. Debu yang putih berterbangan menyelubungi jalan yang kering.

Yang berpacu di paling belakang adalah Sura. Tetapi bagaimanapun juga, rasa-rasanya masih ada ikatan yang tidak dapat dilepaskannya, bahwa ia harus mengikuti Raden Rudira kembali ke Surakarta.

Ternyata bahwa perasaan Raden Rudira telah benar-benar menjadi kisruh. Darahnya bagaikan mendidih. Tetapi hentakan di dadanya

Tanpa mengucapkan sepatah katapun Raden Rudira berpacu kembali ke kota. Ia tidak menghiraukan lagi panas yang semakin lama menjadi semakin lemah dan cahaya langit yang kemerah-merahan.

“Kita akan sampai ke kota jauh malam” desis seseorang di antara para pengawalnya, itu masih harus tetap disimpannya paling dalam.

“Ya. Tetapi tidak terlalu malam. Lihat, matahari masih agak tinggi”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia berdesis, “Aku haus sekali”

“Aku tidak hanya sekedar haus. Aku lapar sekali”

Kawannya berpaling. Dilihatnya orang yang merasa lapar itu menjadi pucat meskipun cahaya kemerah-merahan masih memancar di langit dan jatuh di setiap wajah.

Dalam pada itu, Mandra masih tampak terlalu lemah, meskipun ia mampu juga berpacu Namun tampaknya ia tidak sesegar ketika berangkat, dan bahkan rasa-rasanya lain sekali dengan Mandra yang selalu mentertawakan Sura.

Sedang Sura sendiri berpacu di paling belakang. Angan-angannya masih saja dicengkam oleh kenangannya atas petani yang dijumpainya di bulak Jati Sari. Petani itu pasti petani yang berdiri di ujung itu. Dan keduanya adalah Pangeran Mangkubumi itu sendiri.

Sebenarnya bukan saja Sura yang bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi pertanyaan tentang petani itu tumbuh juga di hati para pengiring Raden Rudira yang pernah mengikutinya berjalan di tengah bulak Jati Sari. Dan mereka yang mengenal Pangeran Mangkubumi akan berkata di dalam hati, “Orang itu memang mirip sekali dengan Pangeran Mangkubumi. Apalagi jika ia mengenakan pakaian yang pantas dan baik. Seandainya ia bukan Pangeran Mangkubumi, maka seseorang pasti akan dapat keliru”

Namun keragu-raguan yang berkembang di dalam setiap dada itu, membuat mereka menjadi semakin lama semakin dicengkam oleh kecemasan. Bahkan akhirnya mereka hampir meyakini, bahwa orang itu memang Pangeran Mangkubumi.

Tetapi Raden Rudira seakan-akan telah menutup pintu hatinya, la tidak mau mengakui kenyataan penglihatannya. Baginya orang itu adalah seorang petani yang telah memberontak terhadap para bangsawan di Surakarta. Menurut Raden Rudira, mereka harus mendapat hukuman.

“Ibunda akan memanggil beberapa orang asing. Dengan senjata api mereka tidak akan dapat dilawan oleh Pangeran Mangkubumi seandainya mereka mempertahankan Sukawati”

Dengan dada yang berdentangan Raden Rudira memacu kudanya terus. Ia tidak berhenti sama sekali, seandainya kudanya tidak gelisah kehausan.

“Pemalas” Ia menggeram. Meskipun demikian Raden Rudira memberi kesempatan juga kepada kudanya untuk meneguk air bening yang mengalir di parit di pinggir jalan. Demikian juga kuda-kuda yang lain. Kuda Mandra dan kuda Sura.

Dalam pada itu Sura bergeser mendekati seorang kawannya sambil berbisik, “Aku tidak tahu tanggapanmu atasku. Mungkin kau menjadi muak melihat sikapku. Aku tidak peduli. Tetapi aku ingin meyakinkan perasaanku. Coba katakan, apakah orang yang kita lihat tadi adalah petani di bulak Jati Sari?”

Kawannya ragu-ragu sejenak.

“Aku mungkin kau tuduh berkhianat kepada Raden Rudira. Aku tidak ingkar, Tetapi katakan dengan jujur, apakah benar orang itu petani yang berada di bulak Jati Sari?”

Meskipun masih ragu-ragu, tetapi kawannya itu menjawab, “Aku kira begitu”

“Bagus. Apakah kau kenal Pangeran Mangkubumi”

“Kenal, tetapi tidak dari dekat”

“Apakah orang itu Pangeran Mangkubumi?”

Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia menundukkan kepalanya, “Kau tidak mau menjawab?”

Kawannya masih tetap berdiam diri.

Sura menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia bertambah yakin karenanya.

Sejenak kemudian maka Raden Rudira pun sudah berpacu kembali. Rasa-rasanya semakin lama semakin cepat. Kemarahan, keragu-raguan dan bahkan kecemasan telah bercampur baur di dalam hatinya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melupakan wajah petani yang seorang itu. Ia tidak dapat ingkar, bahwa wajah itu adalah wajah seorang Pangeran yang pernah berbicara dengannya satu kali di halaman. Masjid Agung.

“Tidak” Ia menggeletakkan giginya, “Tentu hanya mirip”

Seperti yang mereka perhitungkan, maka mereka memasuki regol halaman istana Pangeran Ranakusuma setelah jauh malam. Derap kaki-kaki kuda itu telah mengejutkan para penjaga dan para abdi yang tinggal di dalam dinding istana itu. Bahkan orang-orang yang tinggal di tepi-tepi jalan pun terkejut pula dan bertanya-tanya di dalam hati, “Siapakah yang berpacu di malam begini?”

Tetapi ketika derap kaki-kaki kuda itu sudah menjauh, maka mereka pun segera tidur kembali. Mereka tidak menghiraukan-nya lagi ketika suara itu telah lenyap dari pendengaran.

Namun tidak demikian halnya dengan orang-orang yang tinggal di dalam halaman istana Pangeran Ranakusuma. Beberapa orang penjaga segera bersiaga. Namun ketika mereka melihat bahwa yang datang itu Raden Rudira bersama pengiringnya, maka mereka pun menjadi semakin heran.

Tetapi tidak seorang pun yang berani bertanya. Mereka hanya sekedar menganggukkan kepala, sedang beberapa orang yang lain berlari-lari menyusulnya sampai ke tangga pendapa.

Demikian Raden Rudira meloncat dari punggung kudanya, maka orang yang berlari-lari itu pun segera menangkap kendali kuda itu.

Dengan tergesa-gesa Raden Rudira naik ke pendapa. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat pendapa yang masih dikotori oleh titik-titik air yang berwarna kekuning-kuningan. Beberapa potong makanan masih terkapar di sudut.

“He” bertanya Raden Rudira kepada seorang pelayan, “Apakah baru saja ada tamu?”

“Ya tuan. Baru saja mereka meninggalkan halaman ini”

“Siapa?”

“Beberapa orang kumpeni. Ibunda tuan baru saja menjamu beberapa orang sahabatnya, setelah ibunda menerima undangan mereka dan berkunjung ke rumah Tumenggung Santidarma yang dipinjam oleh kumpeni untuk menjamu ibunda tuan”

“Bersama ayahanda?”

“Tidak. Ayahanda Raden Rudira sedang menghadap Kangjeng Susuhunan di istana. Utusan dari istana datang lewat tengah hari”

“Dan sekarang?”

“Ayahanda dan ibunda ada di dalam. Keduanya sudah di istana ini sebelum para tamu datang”

“Dada Raden Rudira berdentangan mendengar jawaban abdi itu. Ia sebenarnya tidak senang jika ibunya diundang untuk menghadiri perjamuan yang diselenggarakan oleh kumpeni di rumah Tumenggung Santidarma atau di rumah Tumenggung Nitiraga. Meskipun ia belum pernah menyaksikan pertemuan itu, dan meskipun ia tidak pernah mendengar apa yang terjadi di dalam pertemuan-pertemuan semacam itu, tetapi ia mempunyai firasat bahwa pertemuan itu tidak wajar diselenggarakan untuk beberapa orang bangsawan.

“Tetapi dengan demikian ibunda mempunyai banyak kawan dari lingkungan mereka. Mudah-mudahan aku dapat mengambil manfaat dari hubungan ibunda dengan orang-orang bule itu” berkata Raden Rudira di dalam hatinya. Dan apabila ia sudah mulai terbentur pada kepentingan sendiri, maka ia pun tidak akan peduli lagi, apa yang akan dilakukan oleh ibunya, meskipun kadang-kadang ia dihantui oleh kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi.

“Ayah tidak melarangnya” berkata Raden Rudira itu pula di dalam hatinya.

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian dihentakkannya tangannya. Baru saja ia mengalami kegagalan mutlak. Dan kini ia menghayati suatu perasaan yang terasa pedih di hatinya, meskipun ia dapat mengambil keuntungan daripada-nya.

“Persetan” Raden Rudira itu pun segera menuju ke pintu pringgitan yang tengah. Tetapi pintu itu sudah digerendel dari dalam.

“Tuan” salah seorang pelayannya mempersilahkan, “sebaiknya tuan mengambil jalan dari longkangan”

Raden Rudira mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian melangkah turun dari pendapa, lewat longkangan menuju ke pintu butulan.

Dengan kerasnya ia mengetuk pintu yang sudah tertutup itu pula, sehingga seorang pelayan yang ada di dalam terkejut karenanya.

“Siapa?” pelayan itu bertanya setelah ia berdiri di muka pintu.

“Aku. Bukalah pintu” sahut Rudira.

“Aku siapa?”

“Cepat, aku puntir kepalamu”

Tetapi pelayan itu masih ragu-ragu, sehingga Raden Rudira membentak, “Buka pintu. Jika kau mempermainkan aku, aku pukul kepalamu sampai pecah”

Tetapi pelayan yang terkejut itu masih berdiri kebingungan. Ia berpaling ketika ia mendengar suara dari pintu dalam, “Bukalah. Raden Rudira”

“Ampun Raden Ayu” Orang itu terbungkuk-bungkuk, “Aku, aku tidak tahu”

“Nah, sekarang bukalah”

Dengan gugup orang itu segera membuka pintu. Demikian pintu terbuka, Raden Rudira yang marah langsung menggenggam rambut pelayannya ambil membentak. “Lain kali, buka telingamu Kau harus mengenal suaraku”

“Ampun tuan, ampun”

“Sudahlah, lepaskan. Ia terkejut mendengar ketokan pintu itu, karena itu ia menjadi bingung”

Raden Rudira melepaskan rambut pelayan itu. Perlahan-lahan ia melangkah memasuki istananya dengan wajah yang suram.

“Bagaimana dengan perjalananmu? Dan kenapa kau pulang di jauh malam begini?”

“Gagal” sahut Raden Rudira pendek?”

“Kau tidak dapat menemukan?”

“Tidak” jawab Raden Rudira. Tetapi terbayang di rongga matanya, petani yang dicarinya itu berdiri berjajar di antara para petani yang lain. Tetapi demikian besar pengaruh tatapan matanya, sehingga ia justru tidak berani berhenti dan berbuat sesuatu atasnya, setelah sekian lama dicarinya.

“Gila” tiba-tiba penyesalan yang sangat telah melanda dinding jantungnya. Lalu katanya di dalam hatinya pula, “Kenapa aku justru pergi meninggalkan padukuhan itu setelah Mandra kalah? Gila, barangkali aku juga sudah gila melihat sikap orang-orang Sukawati yang seolah-olah semuanya sudah kerasukan iblis itu”

Raden Rudira mengangkat wajahnya ketika ibunya berkata, “Sudahlah. Jangan selalu kau renungi kegagalanmu. Itu tidak baik sama sekali. Besok atau lusa kau dapat mengulanginya. Mungkin orang itu sedang bersembunyi karena ia sudah menduga bahwa kau akan datang ke Sukawati”

Raden Rudira menganggukkan kepalanya.

“Karena itu, justru apabila mereka sudah tidak membicarakan-nya lagi, kau pergi dengan tiba-tiba saja ke padukuhan Sukawati itu”

Sekali lagi Raden Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba saja Raden Rudira itu dengan tergesa-gesa pergi ke pintu butulan kembali. Ketika dilihatnya seseorang pelayan lewat maka dipanggilnya pelayan itu mendekat.

“Panggil Mandra dan beberapa orang pengiring yang lain”

“Baik tuan”

“Apakah yang akan kau lakukan Rudira?” Bertanya ibunya yang menjadi heran.

Tetapi Rudira tidak menyahut. Dari kejauhan di bawah sinar obor di halaman ia melihat beberapa orang mendatanginya.

“He” berkata Raden Rudira setelah orang-orang itu berada di hadapannya, “Siapakah yang dapat pergi ke istana Ramanda Pangeran Mangkubumi”

Tidak seorang pun yang menyahut.

“Siapa yang mempunyai satu atau dua orang saudara yang. menjadi abdi di istana Ramanda Pangeran?”

“Apa yang akan kau perbuat Rudira?” bertanya ibunya.

Raden Rudira tidak menghiraukan pertanyaan ibunya. Sekali lagi ia bertanya kepada orang-orangnya, “Siapa yang mempunyai saudara yang tinggal di Dalem Istana Ramanda Pangeran Mangkubumi he?”

Sejenak orang-orangnya itu termangu-mangu. Namun kemudian seseorang di antara mereka berkata, “Aku Raden. Aku mempunyai seorang kakak yang bekerja disana. Menjadi abdi pekatik Pangeran Mangkubumi”

“Bagus, pergilah menemui kakakmu itu”

“Rudira” ibunya memotong, “Apakah kau sadari perintahmu itu?”

“Aku sadar sepenuhnya ibu. Bukankah bunda ingin mengaitkan bahwa hari telah larut malam?”

“Ya”

“Tidak ada. Orang itu harus menemui kakaknya saja. Apapun alasannya. Ia dapat menyebut bahwa ayahnya sakit atau ibunya atau siapa saja, sehingga ia mendapat ijin penjaga regol untuk memasuki halaman dan bertemu dengan kakaknya”

“Jika ia sudah menemui kakaknya, apa yang harus dikerjakan?”

“Hanya sekedar bertanya, apakah Ramanda Pangeran ada di istananya.

“Kenapa?” bertanya ibunya.

“Aku ingin meyakinkan, apakah Ramanda Pangeran ada di istana”

“Kenapa tidak besok saja Rudira”

“Aku memerlukannya sekarang ibu. Ada sesuatu yang memaksa aku untuk mengetahuinya sekarang”

Ibunya mengerutkan keningnya. Tetapi agaknya keinginan Rudira itu tidak dapat ditundanya lagi. Meskipun demikian ibunya berkata, “Rudira, lebih baik kau mohon nasehat ayahandamu”

Rudira mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak memerlukan nasehat apapun, karena aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin mengetahui, apakah Ramanda Pangeran ada di istananya. Hanya itu”

“Kenapa kau ingin mengetahuinya?”

“Ramanda Pangeran tidak ada di pesanggrahan”

“Dan kenapa harus sekarang?”

Raden Rudira termangu-mangu sejenak. Lalu jawabnya, “Tidak apa-apa. Tetapi aku ingin mengetahuinya sekarang”

Ibunya tidak dapat mencegahnya lagi. Karena itu, ia pun tidak mencoba menahannya.

“Pergilah” berkata Rudira kepada orang yang mengaku mempunyai seorang kakak yang bekerja menjadi pekatik di Dalem Pangeran Mangkubumi itu.

Orang itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun Rudira segera membentak, “Pergi, cepat”

“Ya, ya tuan. Aku akan pergi”

Maka dengan tergesa-gesa orang itu pun meninggalkan istana Ranakusuman. Bagaimanapun juga ia tidak dapat menolak tugas itu. Sambil melangkahkan kakinya, maka ia pun mulai mereka-reka, alasan apakah yang akan dikemukakannya kepada para penjaga regol agar ia diperkenankan menemui kakaknya itu.

“Kakek sakit keras” desisnya, “mungkin alasan itu dapat diterima, meskipun kakek sudah lama meninggal. Lebih baik aku menyebut orang yang sudah meninggal daripada aku harus menyebut ayah dan ibuku. Bagaimana kalau mereka benar-benar menjadi sakit”

Sementara itu, di istana Ranakusuman, Rudira masih-berdiri di muka pintu sambil berkata, “Mandra, siapkan pengiring-pengiringku. Besok kita akan pergi lagi”

“Kemana Rudira?” bertanya ibunya.

“Aku harus menebus sakit hatiku. Lebih baik mengurus gadis kecil itu daripada petani Sukawati yang gila itu”

“Maksudmu?”

“Ada gadis cantik di Jati Aking. Ia dapat diambil sebagai abdi di istana ini. Ibunda tentu memerlukannya seorang dayang yang dapat membantu ibunda menyediakan tempat sirih dan botekan”

“Siapakah anak itu?”

“Anak Danatirta, Jati Aking”

“Danatirta?” Raden Ayu Sontrang mengerutkan keningnya, “Maksudmu dari padepokan Jati Aking, tempat tinggal Juwiring sekarang?”

“Ya”

“Apakah kau pergi ke Jati Aking”

“Ya. bukankah aku pernah mengatakan bahwa aku bertemu dengan petani gila itu di bulak Jati Sari?”

Raden Ayu Sontrang mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Ya. Kau memang pernah mengatakannya. Tetapi bagaimana dengan gadis itu?”

“Aku akan mengambilnya dan menyerahkannya kepada ibunda”

“Aku tidak memerlukannya”

“Barlah ia berada di istana ini. Gadis itu cantik. Jika ia tetap berada di Jati Aking bersama-sama dengan kangmas Juwiring, agaknya akan berbahaya baginya”

“Jangan kau urusi orang itu”

“Aku tidak akan mengurusi kangmas Juwiring, tetapi aku akan menyelamatkan gadis itu. Aku akan minta Kepada ayahnya, agar anak gadisnya diserahkan kepada ibunda”

“Kau akan menambah persoalan Rudira. Danatirta bukan anak-anak macam Sura” ibunya berhenti sejenak, lalu tiba-tiba, “He, dimana Sura sekarang?”

“Ia menjadi liar. Bahkan hampir berkhianat”

“Tidak mungkin. Ia adalah abdi tertua disini”

“Bertanyalah kepada orang-orang kita yang lain, ibu. Mereka akan memberikan keterangan dengan jujur. Tanpa ditambah dan tanpa dikurangi”

Raden, Ayu Sontrang mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih tetap ragu-ragu atas keterangan puteranya itu. Meskipun demikian ia tidak bertanya lagi dan berkata, “Sudahlah. Hari sudah jauh malam, beristirahatlah”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dilemparkannya segala kelengkapan yang masih melekat di tubuhnya.

“Aku akan mandi. Kemudian aku memerlukan makan, aku lapar”

Ibunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Disuruhnya pelayannya membangunkan pelayan yang lain. juru masak dan pembantu-pembantunya. Puteranya memerlukan makan meskipun sudah jauh malam.

Sambil menggerutu pelayan-pelayan di dapur itu pun mulai menyiapkan makan bagi Raden Rudira dengan tergesa-gesa. Apalagi Raden Rudira termasuk orang yang agak sulit dilayani, justru karena ibundanya sangat memanjakannya, terlebih-lebih lagi setelah Juwiring tidak ada lagi di istana itu.

“Raden Juwiring makan apa yang ada” berkata seorang juru masak kepada pembantunya, “Tetapi Raden Rudira memerlukan lauk yang disenanginya. Kapan pun ia ingin makan. Untunglah yang disenanginya tidak begitu sulit dicari. Telur ayam, otak lembu dan udang, yang hampir setiap hari pasti tersedia di dapur Dalem Ranakusuman”

Dalam pada itu. selagi Raden Rudira mandi, ibunda Raden Ayu Sontrang menunggunya di ruang dalam. Tetapi ia tidak membangunkan Pangeran Ranakusuma yang baru saja tidur, yang agaknya lelah juga selelah menghadap ke istana Susuhunan.
Sejenak Raden Ayu Sontrang duduk seorang diri di bawah lampu minyak yang menyala terang di ruang dalam. Sejenak ia sempat merenungi keadaan puteranya laki-laki. Ia berharap agar puteranya kelak menjadi satu-satunya pewaris segala kekayaan yang berlimpah di Ranakusuman ini. Bahkan Raden Ayu Sontrang masih belum puas dengan kekayaan yang ada. Ia masih juga menerima banyak sekali pemberian dari beberapa orang perwira kumpeni yang menjadi kawan-kawannya terdekat.

Kadang-kadang terasa bulu-bulunya meremang jika dikenang, imbalan yang harus diberikan kepada perwira-perwira berkulit putih itu. Kulit yang kasar dan sikap yang kasar. Tetapi gemerlapnya permata memang telah menyilaukannya.

“Kangmas Ranakusuman tidak menghiraukannya” berkata Raden Ayu Sontrang ini. Karena Kangmas Ranakusuma juga memerlukan dukungun dari orang-orang kulit putih itu untuk mendapat tempat terbaik di istana. Dukungan timbal balik”

Tetapi Raden Ayu Sontrang kemudian mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia tidak mau mendengarkan persoalan yang tumbuh di hatinya tentang dirinya sendiri. Apapun yang terjadi atas dirinya sudah dilakukannya dengan sadar, sehingga seharusnya tidak ada persoalan lagi baginya.

Dalam pada itu, seorang abdi yang diperintahkan oleh Raden Rudira pergi ke Mangkubumen, semakin lama menjadi semakin dekat dengan regol yang sudah tertutup. Dengan hati yang berdebar-debar ia mendekat, sementara ia masih juga mengatur alasan yang akan dikemukakannya.

“Memang lebih baik kakek” desisnya. Tetapi tiba-tiba, “Jika kakek yang sakit, kenapa tampaknya aku terlampau gugup. Kakek pasti sudah tua. Jika ia sakit keras, itu sudah wajar”

Pelayan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian, “Tetapi kakang telah diangkat menjadi anak kakek itu”

Tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Tanpa disadarinya ia sudah berdiri di luar regol Dalem Mangkubumen.

Dengan tangan gemetar ia mengetuk lubang di pintu regol. Ketika lubang persegi empat itu terbuka, dilihatnya seraut wajah yang menjenguk dari lubang itu.

“Siapa?” Ia mendengar orang di dalam regol itu bertanya.

“Aku, Sampir”

“Sampir siapa?”

“Aku akan menemui kakangku yang bekerja disini sebagai pekatik”

“Malam-malam begini?”

Bersambung ke Bunga di batu karang IV bagian 1

Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/

Komentar

Postingan Populer