Bunga di batu karang IV bag 2

Bunga di batu karang IV Bag 2

Tetapi selagi Raden Rudira termangu-mangu melihat wajah Arum yang cerah, tiba-tiba sekali lagi pintu berderit. Ketika Raden Rudira berpaling, maka kini dadanya berguncang. Ia melihat seorang anak muda yang pernah dikenalnya di bulak Jati Sari. Anak itulah yang dengan garangnya menyerang Sura, sehingga hampir saja Sura tidak berdaya, karena ia sama sekali tidak mengira, bahwa anak itu akan menyerangnya bagaikan arus banjir bandang.

Kali ini anak muda yang bernama Buntal itu pun membawa sebuah nampan seperti yang dibawa oleh Arum. Tetapi Buntal kemudian membawa hidangannya kepada para pengiring Raden Rudira.

Bukan saja Raden Rudira, tetapi para pengiring yang melihat tandang anak muda itu di bulak Jati Sari menjadi berdebar-debar. Menilik sikapnya kini, sama sekali tidak terbayang kesan kegarangannya. Sambil berjalan terbungkuk-bungkuk di wajahnya terlukis sebuah senyum yang ramah.

“Itu adalah seorang cantrik di padepokan ini yang aku ambil menjadi anak angkatku” berkata Kiai Danatirta, meskipun sebenarnya ia tahu, bahwa baik Raden Rudira maupun sebagian dari pengiringnya pernah melihatnya.

Tidak seorang pun yang menyahut. Hanya beberapa orang pengawal yang belum pernah melihatnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajah Raden Rudira sendiri tiba-tiba telah menjadi muram. Ternyata di samping gadis yang cantik itu terdapat seorang anak muda yang tampan, bahkan di rumah ini masih ada Raden Juwiring.

Karena itu, maka setelah keduanya selesai menghidangkan mangkuk minuman, Rudira tidak sabar lagi untuk menunggu. Ia ingin segera mengatakan, bahwa ibunya memerlukan seorang gadis pembantu. Karena Juwiring berada di sini, maka alangkah baiknya kalau gadis dari padepokan ini berada di Dalem Ranakusuman.

Tetapi belum lagi ia sempat mengatakannya, sekali lagi gadis ini datang menghidangkan makanan bagi Raden Rudira, disusul oleh Buntal pula, yang membawa makanan bagi para pengiringnya.

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat kedua anak-anak muda itu masuk ke pringgitan dan kemudian menutup pintu dari dalam, terasa hatinya melonjak, sehingga kesan itu tampak di wajahnya.

Kiai Danatirta adalah seorang tua yang memiliki ketajaman indera, sehingga ia melihat kesan yang tersirat di wajah Raden Rudira. Karena itu, maka segera ia berusaha memindahkan perhatian Raden Rudira, “Silahkan Raden, silahkanlah minum”

“O” Raden Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Mereka adalah anak-anak padesan. Barangkali ada kekurangan tata kesopanan, harap Raden memaafkan”

Raden Rudira hanya mengangguk-angguk tanpa menjawab sepatah katapun.

Dalam pada itu, para pengiringnya tidak menunggu dipersilahkan untuk kedua kalinya. Merekapun segera mengangkat mangkuk masing-masing. meneguk minuman yang hangat sambil mengunyah sebongkah gula kelapa.

Namun ternyata Raden Rudira tidak dapat menahan gejolak di dalam hatinya. Sejalan dengan tabiatnya yang kasar dan tergesa-gesa, maka tiba-tiba saja ia berkata, “Kiai Danatirta, kedatanganku bukannya sekedar untuk singgah di padepokanmu yang sejuk. Tetapi kedatanganku mengemban perintah ayahanda Pangeran Ranakusuma”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Jawabnya, “Sekarang tuan telah meneguk air dari padukuhan Jati Aking yang dihidangkan oleh anakku dan anak angkatku. Silahkan tuan menyampaikan kepentingan tuan”

“Kiai” berkata Raden Rudira, “ibunda Raden Ayu Ranakusuma memerlukan seorang pembantu”

“O” Kiai Danatirta mengangguk-angguk, “maksud Raden, apakah ibunda Raden Rudira ingin memerintahkan kepada kami di padepokan ini untuk mencari seseorang? Barangkali Raden dapat menyebutkan, tugas apakah yang akan diserahkan kepada pembantu itu sehingga aku dapat mencari orang yang tepat”

“Ibunda memerlukan seorang gadis yang cakap dan pantas untuk melayaninya setiap saat. Karena ibunda sering menerima tamu-tamu bukan saja para bangsawan, tetapi juga orang-orang asing, maka pelayannya pun harus seorang yang pantas untuk diketengahkan di dalam setiap perjamuan, karena pelayan itu adalah pelayan khusus buat ibunda di setiap saat, di setiap kepentingan”

“O” Kiai Danatirta mengangguk-angguk pula. Kemudian katanya, “Jadi ibunda Raden Ayu Ranakusuma memerlukan seorang gadis”

“Ya. Gadis yang pantas”

“Baiklah Raden. Aku akan berusaha. Mudah-mudahan aku akan segera dapat menemukan gadis yang tuan maksud. Apakah kemudian aku harus membawanya ke Dalem Pangeran Ranakusuma dan menyerahkannya kepada ibunda Raden Rudira?”

“Tidak itu tidak perlu. Ibunda memerintahkan aku membawanya sekarang juga. Ibunda memerlukan pelayan itu secepatnya, untuk segera diajari melayani ibunda terutama apabila ibunda menerima tamu di dalam jamuan yang memang sering diadakan”

“Tetapi bagaimana mungkin sekarang, Raden. Aku harus mencarikannya. Mencari seorang gadis yang pantas dan tentu saja memiliki kecerdasan yang cukup. Aku kira aku memerlukan waktu barang satu dua pekan”

“Itu terlalu lama” potong Raden Rudira, “Aku memerlukan sekarang”

Kiai Danatirta menggeleng, “Apakah tuan akan menunggu sampai aku mendapatkan anak itu? Aku harus pergi ke padukuhan Jati Sari. Aku yakin bahwa orang-orang Jati Sari akan merasa mendapat kanugrahan apabila anak gadisnya dipanggil masuk ke Dalem Pangeranan. Setiap orang pasti akan menyerahkan dengan hati yang ikhlas. Tetapi yang sulit adalah memilih satu dari antara gadis-gadis itu. Tentu saja aku tidak akan dapat menyerahkan sembarang gadis, karena jika ternyata gadis itu tidak memenuhi syarat yang dikehendaki, tuan akan marah kepadaku”

“Kau tidak perlu bersusah payah mencarinya Kiai” Raden Rudira tidak sabar lagi, “Aku sudah menemukan gadis itu”

“O, jadi tuan sendiri sudah menemukannya? Jika demikian soalnya tidak akan begitu sulit. Tuan dapat datang kepada Demang Jati Sari, dan Ki Demang pasti akan dengan senang hati menyampaikan maksud tuan kepada orang tua gadis itu”

“Persetan dengan Demang di Jati Sari. Aku sudah langsung datang kepada orang tuanya”

Kiai Danatirta mengerutkan keningnya.

“Aku datang kemari, karena aku akan mengambil Arum” berkata Raden Rudira dengan tegas.

Mandra menahan nafasnya sejenak. Ia menyangka bahwa Kiai Danatirta akan terkejut. Jika orang tua itu keberatan, maka akan menjadi tugasnya untuk memaksanya menyerahkan anak gadisnya. Ia tidak mau gagal lagi seperti di Sukawati. Jika sekali ini ia gagal, kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya tidak akan datang lagi. Raden Rudira akan melepaskannya pula, dan barangkali Sura akan dipanggilnya kembali. Kegagalannya di Sukawati adalah permulaan yang buruk baginya.

Tetapi ternyata Mandra menjadi heran. Ia sama sekali tidak melihat kesan apapun di wajah Kiai Danatirta, seakan-akan apa yang dikatakan oleh Raden Rudira itu sudah diketahuinya.

Raden Rudira pun memandang wajah orang tua itu sesaat. Untuk meyakinkan tanggapannya yang aneh ia pun sekali lagi berkata kepada orang tua itu, “Aku datang untuk mengambil anakmu. Bukankah anakmu bernama Arum?”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Tuan. Adalah tidak dapat aku mengerti, bahwa untuk tugas yang penting itu ternyata tuan telah memilih Arum. Arum adalah seorang gadis yang dungu, manja dan tidak dapat berbuat apa-apa, selain menyampaikan makanan ke sawah. Kenapa tuan memilihnya? Apakah ibunda tuan yang memerintahkan tuan untuk mengambil gadis itu?”

“Aku tidak tahu. Ibunda lah yang menghendakinya. Dan atas persetujuan ayahanda maka aku datang kemari. Ingat Kiai Danatirta. Kau tidak akan dapat menolak. Ayahanda adalah seorang Pangeran”

Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih bertanya, “Tuan. Adalah aneh sekali jika ibunda Raden Rudira lah yang menghendakinya. Bukankah ibunda tuan belum pernah melihat anakku itu? Tuanlah yang pernah melihatnya di bulak Jati Sari beberapa waktu yang lampau. Dan tuanlah yang pertama-tama telah tertarik kepada anakku. Entah karena anakku memang mempunyai ciri dan tampang seorang pelayan, sehingga tiba-tiba saja tuan ingin mengambilnya menjadi pelayan di Ranakusuman. atau hal yang lain”

Wajah Raden Rudira menjadi merah padam. Ia merasakan sindiran yang tajam dari Kiai Danatirta. Meskipun demikian Raden Rudira masih mencoba untuk menahan hati. Katanya, “Memang akulah yang menyampaikannya kepada ibunda tentang anakmu. Ibunda setuju dan ayahanda pun menyetujuinya. Nah, tidak ada persoalan lagi. Serahkan anakmu kepadaku. Aku akan membawanya menghadap ibunda”

Kiai Danatirta memandang wajah Raden Rudira yang tegang Kemudian ditatapnya Mandra sejenak. Sambil mengepalkan tangannya Mandra bergeser setapak maju.

“Tuan” berkata Kiai Danatirta, “Apakah yang sebenarnya terjadi atas tuan sehingga tiba-tiba saja kami, penghuni padepokan yang jauh ini telah menjadi ajang dan sasaran kemarahan, kekecewaan dan kebencian tuan?”

Dada Raden Rudira berdesir. Seolah-olah Kiai Danatirta itu mengerti apa yang sebenarnya terjadi atas dirinya. Karena itu Raden Rudira justru menjadi semakin tegang dan hampir berteriak ia berkata, “Jangan mengada-ada. Ayahanda Pangeran Ranakusuma menghendaki aku mengambil Arum untuk pelayan ibunda. Kau yang tinggal di padepokan Jati Aking tidak dapat menolak, karena ayahanda mempunyai wewenang khusus dari Kangjeng Susuhunan atas Rakyat Surakarta”

“Tuan” berkata Kiai Danatirta, “Aku tidak akan menolak wewenang khusus itu. Tetapi bagaimanakah jika seorang yang lain, yang juga mempunyai wewenang yang serupa menghendaki lain?”

“Ada beberapa tingkat kekuasaan para bangsawan. Pada umumnya yang lebih tualah yang lebih berhak”

“Tetapi bagaimanakah jika karena sesuatu hal terjadi tidak demikian?”

“Cukup. Aku tidak peduli. Sekarang aku memerlukan Arum. Jika ada kekuasaan yang lebih tinggi yang dapat menolak perintah ini, lekas katakan”

Tetapi Kiai Danatirta menggeleng, “Aku tidak dapat mengatakan tuan, siapakah yang berkeberatan atas perintah Pangeran Ranakusuma lewat tuan dan aku juga tidak dapat mengatakan kekuasaan manakah yang akan dapat mencegahnya. Tetapi lebih dari pada itu, aku adalah ayahnya. Aku mohon kepada tuan, agar tuan tidak mengambilnya sekarang. Aku akan mencoba mendidiknya agar ia menjadi seorang gadis yang dapat menempatkan dirinya di antara kaum bangsawan”

“Itu tidak perlu. Ibunda akan mengajarinya”

“Tetapi Arum masih terlalu bodoh tuan. Aku harus memberikan dasar lebih dahulu sebelum ia berada di Dalem Ranakusuman. Apalagi, Arum adalah anak yang manja, yang belum pernah terpisah dari keluarganya”

“Ia sudah cukup dewasa untuk hidup dalam lingkungan yang lebih baik. Tidak di padepokan yang sepi. Ia akan berkembang menjadi seorang gadis yang memiliki pengetahuan melampaui kawan-kawannya di padepokan dan bahkan di seluruh Kademangan Jati Sari”

“Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga atas perhatian tuan dan ayahanda tuan, Pangeran Ranakusuma. Tetapi perkenankanlah aku mohon, agar anak itu jangan dibawa sekarang”

“Tidak” Raden Rudira hampir kehilangan kesabaran, “Kau jangan membantah. Kau tidak mempunyai hak menolak perintah yang diberikan oleh ayahanda. Suruhlah anakmu bersiap. Bawalah pakaian secukupnya saja karena ibunda pasti akan memberikan jauh lebih banyak dari yang dimilikinya sekarang”

Kiai Danatirta merenung sejenak. Namun kemudian ia menggeleng, “Maaf tuan. Aku tidak sampai hati melepaskan anakku”

“Kau tidak dapat menolak” suara Rudira menjadi semakin keras.

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja ia memanggil Arum tanpa beranjak dari tempatnya.

Agaknya Arum sudah berada di balik pintu. Demikian namanya disebut, demikian pintu itu terbuka.

“Kemarilah”

Sejenak Arum menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian mendekati ayahnya dan duduk bersimpuh di belakangnya.

Kehadiran Arum ternyata membuat Raden Rudira menjadi gelisah. Sejenak ia memandang wajah gadis itu, namun kemudian dilempar-kannya tatapan matanya ke halaman, ke celah-celah dedaunan yang bergetar ditiup angin.

“Arum” berkata Kiai Danatirta, “ada sesuatu yang ingin aku katakan kepadamu, dan aku ingin mendengar pendapatmu”

“Kiai” potong Raden Rudira, “sebaiknya Kiai memberitahukan persoalannya. Kiai tidak perlu mendengar pendapatnya”

“Bukankah anak ini yang akan menjalaninya”

“Tetapi Kiai dapat memerintahkan kepadanya tanpa mendengar pendapatnya”

“Raden, aku adalah orang tua. Aku adalah ayahnya. Tentu aku tidak dapat berbuat sekasar itu kepada anak gadisku sendiri”

“Kau berhak menentukan sikap, dan anakmu harus tunduk kepadamu. Kepada orang tuanya”

Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling memandangi wajah anaknya, dan bersamaan dengan itu Raden Rudira pun memandang wajah gadis itu pula.

Tetapi ia menjadi heran. Ia tidak melihat kesan yang tegang di wajah Arum. Bahkan dengan tenangnya ia bertanya, “Apakah sebenarnya yang akan ayah katakan?”

Kiai Danatirta berpaling pula kepada Raden Rudira sambil berkata, “Beri aku kesempatan untuk menjelaskannya kepada anakku”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam untuk menahan kegelisahan di dadanya, sementara Kiai Danatirta mengatakan kepentingan Raden Rudira datang ke padepokan ini.

Sekali lagi Raden Rudira menjadi heran. Arum mengikuti keterangan ayahnya, kata demi kata. Tetapi ia sama sekali tidak menunjukkan perubahan wajah dan tanggapan yang bersungguh-sungguh.

Baru saja ayahnya selesai, ia sudah menjawab, “Aku tidak mau”

Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada Raden Rudira, “Raden sudah mendengar sendiri. Anakku tidak mau”

“Aku tidak peduli” Raden Rudira hampir berteriak, “Aku dapat memaksa. Jika aku menyampaikan penolakan ini kepada ayahanda, maka ayahanda akan menjadi sangat marah dan dengan wewenang yang didapat dari Kangjeng Susuhunan, maka kau sekeluarga dapat dihukum seberat-beratnya”

“Tentu ayahanda tuan tidak akan berbuat sekejam itu”

“Kenapa tidak? Tetapi akulah yang tidak ingin semua itu terjadi. Aku akan membawa Arum sekarang”

“Jangan Raden. Ia tidak sanggup”

“Terserah kepadanya. Kalau tidak, maka kaulah yang akan aku bawa. Kau akan diikat di belakang kuda dan dituntun sebagai pengewan-ewan, sebagai seorang pemberontak yang menentang kekuasaan Surakarta. Tidak ada seorang pun yang akan menyalahkan aku dan tidak ada seorang pun yang berani menolongmu, karena aku bertindak atas nama ayahanda. Dan semua orang tahu bahwa ayahanda adalah orang yang dekat sekali dengan Kangjeng Susuhunan, di antara beberapa bangsawan yang lain”

“Ayah” tiba-tiba Arum nampak menjadi cemas.

“Pertimbangkan hal itu. Kau dapat memilih, kau pergi ke Surakarta, tinggal bersama ibunda, atau ayahmu yang akan dituntun ke alun-alun”

“Kedua-duanya tidak tuan” jawab Kiai Danatirta, “Tentu aku juga keberatan mengalaminya. Aku kira ayahanda tuan, Pangeran Ranakusuma tidak akan berbuat demikian. Dan kekuasaan resmi di Surakarta pun tentu tidak. Apalagi seorang saudara tuan ada di sini. Kakanda tuan. Raden Juwiring”

“Persetan dengan kakanda Juwiring. Aku tidak memerlukannya. Aku mempersoalkan Arum di sini”

“Tetapi aku bukan orang asing bagi Pangeran Ranakusuma justru karena kakanda tuan ada di sini”

“Aku tidak peduli”

Kiai Danatirta tidak sempat menjawab ketika tiba-tiba pintu pringgitan itu terbuka lagi. Kali ini seorang anak muda yang tegap berdiri di muka pintu. Raden Juwiring.

“Sebenarnya aku tidak ingin mencampuri persoalanmu adinda Rudira. Aku tidak mau peristiwa di bulak Jati Sari itu terulang. Kita pasti akan ditertawakan orang, karena justru kita bersaudara. Alangkah jeleknya apabila dua orang yang bersaudara selalu saja bertengkar”

Raden Rudira memandang kakaknya dengan sorot mata yang membara. Tiba-tiba saja ia berdiri sambil berkata, “Kakanda Juwiring memang tidak usah turut campur”

“Aku berusaha untuk menutup telingaku. Tetapi kau terlampau kasar. Sikapmu kepada Kiai Danatirta bukannya sikap seorang anak muda kepada seorang yang sudah lanjut usia”

“Aku putera seorang bangsawan”

“Itulah kesalahanmu yang terutama. Kau terlampau sadar, bahwa kau seorang bangsawan. Dan itu adalah sumber kesalahanmu”

“Persetan” jawab Rudira, “kakanda Juwiring. Kali ini aku tidak akan bermain-main. Aku akan berbuat sungguh-sungguh untuk membuatmu jera. Aku akan bertindak tegas seperti terhadap petani di Sukawati itu”

Juwiring tidak sempat menjawab, karena Rudira segera berpaling kepada Mandra, “Mandra. Kau dapat memaksanya pergi. Aku tidak senang melihat kehadirannya di sini”

Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu katanya masih dengan sikap yang tenang, “Kau membawa orang lain adinda Rudira. Kenapa kau tidak membawa Sura? Apakah ia sekarang sudah menjadi jera karena anak yang tadi menghidangkan makanan itu”

“Aku tidak memerlukan Sura lagi. Tetapi bukan karena anak gila itu” lalu katanya kepada Mandra, “Cepat Mandra. Doronglah ia masuk. Akulah yang bertanggung jawab”

Semua yang berada di pendapa sudah berdiri. Para pengiring Raden Rudira, Kiai Danatirta dan Arum. Suasana menjadi semakin tegang ketika Mandra melangkah setapak demi setapak maju.

“Cepat Mandra” berkata Raden Rudira, “Aku tidak mau menunggu terlalu lama”

Mandra mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun melangkah selangkah maju sambil menatap wajah Raden Juwiring dengan sorot mata yang membara.

Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Bahkan semua orang berpaling ketika mereka mendengar suara dari samping pendapa di pojok longkangan, “Kau memang garang Mandra”

Mandra tersentak ketika ia melihat orang yang berdiri di pojok di bawah tangga pendapa itu. Apalagi Raden Rudira sehingga darahnya serasa berhenti mengalir. Dengan suara gemetar ia berkata, “Kau Sura”

“Ya, ya tuan. Aku adalah Sura”

Raden Rudira memandangnya dengan mata yang tidak berkedip. Sejenak ia berpaling kepada Mandra, namun kemudian kembali ia memandang Sura tajam-tajam.

Terlebih-lebih lagi ketika ia melihat di sebelah Sura itu berdiri anak muda yang bernama Buntal dan seorang lagi yang membuat jantung Raden Rudira semakin berdentangan. Orang itu adalah Dipanala.

“Kalian telah berkhianat” geram Raden Rudira.

“Apa yang sudah aku lakukan tuan? Tuan tidak memerlukan aku lagi, dan aku pun pergi dari Dalem Ranakusuman. Apakah aku berkhianat”

“Persetan. Aku tidak mau melihat mukamu lagi. Pergi dari sini”

“Orang itu tamuku tuan” sahut Kiai Danatirta, “Ia datang bersama Dipanala”

“Aku muak melihatnya” berkata Raden Rudira, “Kalau ia tamumu, suruh ia pergi”

“Maaf tuan. Padepokan ini dapat menerima siapapun juga. Orang-orang yang tidak disukai, yang terasing dan yang dibenci oleh siapapun, dapat diterima di padepokan ini”

“Tetapi tidak orang itu” Raden Rudira merenung sejenak, lalu, “Tentu itulah sebabnya, kalian mengetahui bahwa aku akan datang kemari. Karena pengkhianat itu pulalah kalian telah mempersiapkan diri dengan segala macam jawaban, keberatan dan apapun juga. Orang itu memang harus digantung”

“Tuan” berkata Sura kemudian, “sebenarnya aku tidak pernah merasa sakit hati terhadap tuan. Tuan adalah bendara yang aku ikuti, bahkan sejak tuan masih terlalu kecil. Kalau tuan sudah jemu terhadap aku, maka sudah sewajarnya jika tuan mengusirku. Tetapi yang paling memuakkan bagiku adalah orang yang bernama Mandra itu. Ia telah menjilat tuan lebih daripadaku. Aku memang seorang penjilat. Aku pulalah yang ikut melaksanakan mengusir kakanda tuan, Raden Juwiring dari istana. Yang kemudian dibawa oleh Ki Dipanala ke padepokan ini. Tetapi ternyata ada penjilat yang lebih besar daripadaku”

“Diam, diam” Mandra tidak dapat menahan perasaannya.

Tetapi Sura tertawa. Katanya, “Jangan sakit hati Mandra. Kita sama-sama seorang yang berhati kerdil. Seorang yang tidak tahu malu. Mengorbankan orang lain untuk mendapat keuntungan bagi diri sendiri”

“Tutup mulutmu Sura. Kau telah dicekik oleh perasaan iri yang melonjak-lonjak di dalam kepalamu. Itu salahmu sendiri. Kau tidak mampu lagi melakukan tugasmu. Jangan mencari kesalahan orang lain”

“Tidak. Jangan salah paham. Aku tidak mencari kesalahan orang lain. Aku menyalahkan diriku sendiri, setelah aku merenungi beberapa hari. Sebelum ini aku tidak pernah mempergunakan nalar untuk menilai suatu tindakan. Namun sekarang aku bersikap lain. Dan agaknya yang sudah aku sadari itu ternyata baru kau mulai sekarang”

“Persetan. Aku akan membungkam mulutmu”

“Terus terang Mandra. Aku memang ingin melihat, apakah kau dapat melakukannya”

Tubuh Mandra menjadi gemetar karenanya. Sejenak ia berdiri tegang. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Aku ingin membuktikan, bahwa aku dapat melakukannya”

Sura bergeser setapak. Katanya, “Aku sudah siap. Aku akan meminjam halaman padepokan ini sejenak, siapakah yang akan berhasil membungkam mulut kita masing-masing. Kau atau aku”

“Kau akan menyesal” lalu Mandra berpaling kepada Raden Rudira, “Raden, perkenankanlah aku menyelesaikan orang ini lebih dahulu. Ternyata orang-orang di padepokan ini merasa tidak gentar terhadap kehadiran kita karena di sini ada orang ini”

Raden Rudira merenung sejenak, lalu, “Terserah kepadamu”

“Nah, kau sudah mendapat ijin Mandra. Marilah kita mencobanya. Aku memang mendahului kedatanganmu, dan minta kesempatan ini kepada Kiai Danatirta sebelum ia berbuat sesuatu atasku karena kesalahanku beberapa waktu yang lalu”

Mandra tidak sabar lagi menunggu. Ia pun segera meloncat turun ke halaman.

Raden Rudira. Kiai Danatirta dan orang-orang lain pun mengikutinya dan membuat sebuah lingkaran mengelilingi kedua orang raksasa yang sudah berhadap-hadapan itu.

“Kita mengambil saksi” berkata Sura, “Aku harap kedua bersaudara, Raden Rudira dan Raden Juwiring menjadi saksi dari perkelahian ini. Apakah kita akan mempergunakan senjata atau tidak”

“Tidak, tidak” Kiai Danatirta lah yang menyahut, “Jika kalian mempergunakan senjata, kalian harus pergi dari halaman ini”

“Aku setuju. Bagaimana dengan kau?”

Mandra menggeretakkan giginya. Katanya, “Sebenarnya aku ingin memenggal lehermu. Tetapi, baiklah. Kita tidak bersenjata”

Mandra pun kemudian melepaskan senjatanya dan melempar-kannya menepi.

“Nah, kita dapat segera mulai. Apakah tandanya bahwa salah seorang dari kita sudah kalah?” bertanya Sura.

“Mati” teriak Mandra.

“Tidak. Tidak” sekali lagi Kiai Danatirta menengahi, “Aku tidak mau melihat pembunuhan terjadi di sini”

Sura memandang Mandra dengan tatapan mata yang aneh. Ia tidak menyatakan pendapatnya tentang hal itu, sehingga Mandra lah yang menyahut, “Sampai kita meyakini kemenangan kita”

Sura sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia sudah benar-benar mempersiapkan dirinya. Kesempatan inilah yang ditunggunya. Hatinya yang panas karena sikap Mandra memerlukan penyaluran agar tidak selalu menghentak-hentak di dalam dadanya. Sura tidak peduli lagi, apakah dengan demikian ia akan ditangkap oleh Raden Rudira dan pengiringnya, kemudian dibawa dan diadili di Dalem Ranakusuman. Ia tidak peduli lagi seandainya ia akan dikubur hidup-hidup di halaman belakang atau di samping kandang. Tetapi sakit hatinya sudah dilepaskannya. Bahkan seandainya ia akan dapat dikalahkan sekalipun oleh Mandra dan dicekiknya sampai mati, ia tidak akan mempedulikannya lagi.

Demikian juga agaknya dengan Mandra. Ia pun menunggu kesempatan ini. Kesempatan untuk menunjukkan kelebihannya dari Sura. Kegagalannya di Sukawati hampir-hampir menghilang-kan kepercayaan Raden Rudira yang sedang tumbuh. Jika ia kini dapat mengalahkan Sura, maka yakinlah, bahwa ia akan dapat menggantikan kedudukan Sura sebagai lurah para abdi di Ranakusuman.

Namun sekali-sekali dadanya berdesir jika dilihatnya Dipanala ada di halaman itu pula. Dipanala adalah orang yang tidak begitu disukai di Dalem Ranakusuman. Tetapi tidak ada yang dapat mengusirnya. Bahkan Pangeran Ranakusuma pun tidak pernah berbuat apapun atasnya.

“Persetan dengan Dipanala. Di sini ada Raden Rudira. Jika ada persoalan dengan Dipanala, biarlah Raden Rudira yang menyelesaikannya” berkata Mandra di dalam hatinya.

Demikianlah kedua orang yang dibakar oleh dendam dan nafsu itu telah berdiri berhadap

Ke  Bagian 3

Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/

Komentar

Postingan Populer