Bunga di batu karang IV bag 3

Bunga di batu karang IV Bag 3

“Raden, seperti Raden yang sudah bukan kanak-kanak lagi sehingga Raden dapat mengetahui apa yang sudah terjadi di padepokan ini dengan menghubungkan peristiwa-peristiwa dan persoalan-persoalan yang telah terjadi, maka aku pun demikian pula. Sudah tentu Kiai Danatirta yang sudah berusia lebih tua daripadaku itu pun dapat mengerti, bahwa tuan datang tidak atas perintah ayahanda tuan”

Wajah Raden Rudira menjadi merah padam.

“Kau juga berkhianat”

“Tidak tuan. Aku adalah seorang tua. Ayahanda tuan banyak mendengarkan pendapatku, meskipun tidak semuanya dibenarkan. Aku berharap tuan mendengarkan aku. Barangkali tuan tidak senang mendengar pendapatku, tetapi bukan maksudku menyenangkan hati tuan dengan membenarkan segala sikap tuan seperti Sura sebelum tuan anggap ia berkhianat. Dan aku memang berbeda dari Sura, sehingga kadang-kadang Sura membenciku saat itu. Tetapi bagiku, bagi seorang abdi yang ingin berbakti, tidak seharusnya selalu membenarkan sikap tuannya, namun sebaiknya ia menunjukkan kebenaran kepadanya”

“Omong kosong” bentak Raden Rudira, “Kau memang pandai berbicara. Kau sangka ayah akan berterima kasih dengan sesorahmu itu”

“Ya. Aku memang menyangka demikian. Dan aku akan menghadap ayahanda tuan”

Wajah Raden Rudira yang merah seakan-akan menjadi semakin menyala karenanya. Bahkan kemudian terdengar ia menggeretakkan giginya sambil berkata, “Aku dapat memaksa-kan kehendakku”

“Jika terjadi benturan kekerasan, aku menjadi saksi, bahwa bukan tuan yang berada di pihak yang benar. Dan sudah tentu aku tidak akan berdiri di pihak yang salah. Aku tidak hanya pandai berbicara, tetapi seperti yang tuan ketahui dari ayahanda tuan jika ayahanda tuan pernah berceritera, aku adalah seorang prajurit”

Dada Raden Rudira bagaikan retak mendengar kata-kata Dipanala. Sejak ia berpaling kepada para pengiringnya yang berada di sekitarnya. Namun tampaklah wajah mereka yang ragu-ragu. Dan jantungnya terasa berdesir ketika ia memandang wajah-wajah yang lain wajah Dipanala, Juwiring, Buntal dan bahkan wajah Arum sendiri. Tampaklah ketegangan yang mantap memancar di mata mereka.

“Adimas Rudira” Juwiring lah yang kemudian berbicara, “Aku tidak mengerti, bagaimana kau menganggap aku Tetapi aku tetap merasa bahwa aku adalah saudara tuamu. Aku adalah kakakmu. Mungkin derajadku memang lebih rendah dari padamu namun sebagai saudara tua, aku ingin menasehatkan kepadamu, urungkan saja niatmu”

“Aku tidak memerlukan nasehatmu. Aku tahu, kau tidak mau kehilangan gadis itu”

“Adimas Rudira” potong Juwiring, “Kau jangan salah mengerti. Ia adalah adikku. Di dalam padukuhan ini, kami bertiga adalah putera Kiai Danatirta”

“Bohong. Jika kau tidak berkepentingan, kau tidak akan bertahan. Kau bahkan harus menasehatkan kepada Kiai Danatirta agar gadis itu masuk ke istana Ranakusuman. Itu akan menguntungkan baginya dan bagi hari depannya”

Tetapi Raden Juwiring menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku adalah seorang putera Bangsawan. Aku pernah hidup di lingkungan para bangsawan. Tidak seorang pun yang dapat menyatakan bahwa ibuku, yang dahulu juga masuk ke dalam lingkungan para bangsawan dengan harapan yang berlebih-lebihan, kemudian menemukan kebahagiaannya. Dan aku, anaknya, anak seorang bangsawan, tidak dapat hidup dengan tenang di rumah ayahnya sendiri”

Sejenak Raden Rudira bagaikan membeku. Ia tidak dapat membantah kenyataan yang dikatakan oleh Juwiring, karena anak muda itu telah mengalaminya sendiri.

“Adimas Rudira” berkata Juwiring kemudian, “sebenarnya ibunda Galihwarit tidak memerlukan seorang gadis untuk membantunya, karena di istana ayahanda Ranakusuma ada adinda Warih. Biarlah adinda Rara Warih mulai berkenalan dengan kerja sehari-hari yang pantas bagi seorang gadis”

“Apa, apakah katamu kangmas Juwiring? Kau akan menjadi-kan Diajeng Warih seperti seorang pelayan he? Seperti aku, adinda Warih derajatnya lebih tinggi dari kau. Dan kau sekarang berani mengatakan bahwa Diajeng Warih harus bekerja meskipun di rumah sendiri”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukankah tidak ada salahnya untuk melayani ibu sendiri?”

“Kau yang pantas melakukannya. Bukan aku dan bukan adikku yang lahir dari ibunda Galihwarit” potong Rudira yang menjadi semakin marah, “Tetapi Arum. Gadis padepokan ini. Ia pantas melayani keluarga kami, selain kau”

Wajah Juwiring pun menjadi merah pula. Namun Kiai Danatirta lah yang menyahut, “Tuan, aku berterima kasih atas kesempatan yang terbuka bagi anakku, tetapi sayang, kali ini anakku belum bersedia menerima kesempatan itu”

Ketika Raden Rudira akan menyahut, Dipanala mendahului, “Silahkan tuan kembali. Aku akan menghadap ayahanda tuan. Jika ayahanda tuan berkeras untuk mengambil Arum, akulah yang akan menyampaikannya dan membujuknya agar ia bersedia. Tetapi jika ayahanda tuan dapat mengerti alasan Arum dan ayahnya, aku persilahkan tuan menahan perasaan. Karena kekerasan tidak akan menguntungkan tuan di sini. Kentongan itu akan dapat banyak berbicara, meskipun tuan seorang bangsawan. Cantrik padepokan tidak ubahnya seperti kuda tunggangan bagi gurunya. Apapun yang diperintahkannya akan dilakukan, seperti Sura pada saat-saat ia masih belum sempat berpikir. Apapun yang tuan perintahkan pasti akan dilakukannya juga, meskipun seandainya ia harus berkelahi melawan Pangeran Mangkubumi. Karena perintah Raden bagi Sura waktu itu adalah keputusan yang tidak dapat dibantah seperti perintah Kiai Danatirta bagi cantrik-cantriknya. Dan seperti yang sudah aku katakan, aku ingin mengatakan kebenaran kepada tuan, bukan sekedar membenarkan kata tuan”

“Gila” Rudira menggeram. Tetapi ia benar-benar merasa berdiri diatas minyak yang setiap saat dapat menyala. Ki Dipanala sudah menentukan sikapnya. Dan itu berarti bahwa ia akan berdiri di pihak Juwiring, anak muda yang bernama Buntal dan para cantrik.

Namun demikian rasa-rasanya terlalu pedih untuk sekali lagi mengalami kegagalan. Wajah-wajah yang dilihatnya tegang di halaman itu bagaikan wajah-wajah orang-orang Sukawati yang menyilangkan tangan di dadanya, dan bahkan seperti wajah petani Sukawati yang sangat dibencinya itu.

Tiba-tiba saja Rudira berkata, “Kalian memang harus dimusnahkan seperti orang-orang Sukawati. Kalian pun harus disingkirkan dari bumi Surakarta, seperti Sukawati harus dipisahkan dari Ramanda Pangeran Mangkubumi. Jika kalian tetap berkeras kepala, kalian akan menyesal”

Tidak seorang pun yang menjawab. Baik Kiai Danatirta, maupun Raden Juwiring dan Ki Dipanala mengerti, bahwa di dalam dada Raden Rudira sedang terjadi pergolakan yang sengit. Karena itu maka mereka pun membiarkannya untuk segera mengambil keputusan.

Tetapi sekali lagi Raden Rudira tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapi. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya dipikirkan oleh penghuni-penghuni padepokan itu, yang disebut oleh Ki Dipanala sebagai cantrik-cantrik yang tidak mampu berpikir seperti Sura beberapa saat yang lampau. Raden Rudira tidak mengerti bahwa mereka bukannya cantrik-cantrik yang meneguk ilmu kanuragan di padepokan Jati Aking, karena Kiai Danatirta tidak menyatakan dirinya sebagai seorang guru di dalam ilmu kanuragan itu.

Namun bahwa beberapa orang mengawasinya dari kejauhan, ternyata membuat hati Raden Rudira semakin susut.

Dan sekali lagi Raden Rudira terpaksa mengambil keputusan yang sangat pahit. Ia tidak dapat memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Selain Sura, ternyata Ki Dipanala telah menentangnya pula. Namun kedudukan Ki Dipanala agak berbeda dengan Sura. Betapapun Ki Dipanala tidak disukai, tetapi rasa-rasanya masih juga ada pengaruhnya terhadap ayah dan ibundanya.

Karena itu, betapa pahitnya, maka Raden Rudira terpaksa berkata, “Baiklah. Kali ini kalian menang. Aku terpaksa membatalkan niatku untuk membawa gadis itu atas perintah ayahanda. Tetapi kalian tidak akan dapat menikmati kemenangan kalian. Juga kakanda Juwiring. Jangan kau sangka bahwa kau akan tetap berhasil mempertahankan Arum. Pada suatu saat kaulah yang akan kecewa, bahwa Arum akan lepas dari tanganmu.

“Adimas Rudira” potong Juwiring, “Kau salah paham”

Tetapi Rudira ingin mengurangi kepahitan di hatinya. Karena itu ia tertawa sambil berkata, “Jangan menyangkal. Kau lebih kerasan di padepokan ini daripada di rumah kita karena di sini ada Arum. Tetapi Arum tidak pantas berada di rumah ini bersama kau dan anak setan itu, apalagi dilingkungi oleh suasana padesan yang kasar”

“Arum memang anak padesan Raden” sahut Kiai Danatirta, “sejak lahir ia adalah anak padepokan”

“Tetapi ia tumbuh seperti sekuntum bunga. Tetapi bunga itu berkembang di batu karang yang gersang” Raden Rudira menyahut, “Namun kangmas Juwiring tidak akan berhasil memetik kembang itu”

“Dengar adimas” potong Juwiring, “Kau salah paham Bukan kehendakku sendiri bila aku berada di padepokan ini”

“Dan kau tidak mau pergi lagi dari tempat ini”

“Bukan maksudku”.

Raden Rudira tertawa pula. Dipandanginya Arum sejenak. Dan wajah gadis itu menjadi merah padam.

“Aku tinggalkan padepokan ini. Tetapi aku akan kembali dengan suatu sikap yang pasti”

Raden Rudira tidak menunggu jawaban lagi. Ia pun segera pergi ke kudanya. Para pengiringnya menjadi termangu-mangu sejenak, namun mereka pun kemudian mengikutinya tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Tetapi Mandra yang tertatih-tatih masih juga mengumpat, “Sura aku tidak puas dengan perkelahian ini. Kita akan mengambil kesempatan lain. Aku ingin kita mempergunakan senjata”

Sura memandangnya dengan tajam. Tetapi kemudian ia menarik nafas sambil menjawab, “Baiklah. Memang kita adalah orang-orang yang mendambakan dendam di hati”

“Persetan” geram Mandra. Namun ia tidak sempat berbicara terlalu banyak, karena kawan-kawannya telah berloncatan keatas punggung kuda.

Sejenak kemudian iring-iringan itu pun telah berpacu meninggalkan padepokan Jati Aking.

Derap kaki-kaki kuda yang berlari-lari itu telah menghamburkan debu yang putih, berterbangan meninggi, namun kemudian pecah bertebaran dihembus angin, seperti pecahnya hati Raden Rudira, Putera Pangeran Ranakusuma itu ternyata telah gagal lagi. Dengan demikian timbunan kekecewaan dan bahkan dendam semakin tebal mengendap di hatinya. Setiap saat kebencian dan dendam itu akan dapat meledak seperti meledaknya Gunung Kelut.

Namun dalam pada itu, kepergian Raden Rudira telah menumbuhkah kesan yang aneh di hati anak-anak muda di padepokan Jati Aking. Selama ini mereka tidak pernah mempersoalkan hubungan mereka yang satu dengan yang lain. Namun tiba-tiba kini mereka seperti dihentakkan dalam suatu kesempatan berpikir tentang diri mereka. Bahwa mereka sebenarnya adalah anak-anak muda yang meningkat dewasa.

Buntal yang mendengar semua percakapan kedua kakak beradik itu menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia merasa dirinya memang terlalu kecil. Ia adalah seorang anak yang diketemukan di pinggir jalan oleh orang-orang Jati Sari, bahkan setelah dipukuli sampai merah biru. Sedang meskipun tersisih dari keluarganya, namun Raden Juwiring adalah putera seorang Pangeran.

Tanpa disadarinya Buntal memandang Arum yang masih juga belum beranjak dari tempatnya memandangi debu yang berhamburan di regol halaman padepokannya. Terasa sesuatu berdesir di dada Buntal Sepercik perasaan melonjak di hatinya, “Arum memang terlalu cantik”

Tetapi kepala itu pun segera tertunduk. Didekatnya berdiri seorang yang lahir oleh tetesan darah seorang bangsawan. Juwiring.

Buntal terkejut ketika seseorang menggamitnya. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Juwiring berdiri di sisinya.

“Jangan hiraukan mereka. Mereka tidak akan bertindak lebih jauh lagi. Paman Dipanala sudah menjanjikan akan menemui ayahanda Pangeran Ranakusuma?”

Buntal tergagap sejenak. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah ayahandamu akan mendengarkan keterangannya?”

“Sampai saat ini ayahanda masih mendengarkan. kata-katanya. Mudah-mudahan dalam hal ini pun kata-katanya masih mendapat perhatian ayahanda”

Buntal mengangguk-angguk. Dilihatnya Kiai Danatirta naik ke pendapa bersama Ki Dipanala dan Sura. Sura yang pernah diserangnya dengan serta-merta tanpa diduga-duga terlebih dahulu, sehingga hampir raksasa itu dapat dijatuhkannya. Sementara Arum bergegas melintasi pendapa masuk ke ruang dalam.

Sekali lagi Buntal menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berjalan beriringan dengan Juwiring masuk ke longkangan samping.

“Kita masih sempat pergi ke sawah” berkata Juwiring. Buntal menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya, aku akan berganti pakaian”

Mereka berdua pun segera masuk ke dalam bilik masing-masing Namun demikian pintu bilik Buntal tertutup, ia pun merebahkan dirinya diatas amben bambu pembaringannya. Tiba-tiba saja hatinya telah dirayapi oleh sesuatu yang kurang dimengertinya. Seakan-akan ia merasa dibayangi oleh kemuraman yang samar-samar.

“Gila” tiba-tiba Buntal menghentakkan dirinya sendiri, “Aku sudah menjadi gila. Aku tidak boleh berpikir dengan hati yang kerdil. Agaknya aku telah dicengkam oleh kehendak iblis yang paling jahat”

Dengan sekuat tenaga Buntal mencoba melupakan perasaan yang aneh itu, yang seakan-akan dengan tiba-tiba telah mencengkamnya. Memang setiap kali terpercik juga pujian atas gadis yang cantik itu, namun kata-kata Rudira justru serasa menusuk jantungnya dan menghunjamkan perasaan yang aneh itu ke dalamnya.

Dengan tergesa-gesa Buntal berganti pakaian. Bahkan sebelum ia selesai, didengarnya suara Juwiring di depan biliknya, “Apakah kau belum selesai?”

“Sudah, sudah” suara Buntal agak tergagap. Tetapi ia tidak sempat mengenakan ikat kepalanya, sehingga ikat kepala itu hanya dibelitkan saja di kepalanya.

Sambil menyambar cangkulnya Buntal melangkah keluar. Derit pintu biliknya mengejutkannya sendiri, apalagi ketika Juwiring bertanya, “Kenapa kau menutup pintu bilikmu rapat-rapat?”

Buntal tersenyum meskipun dipaksakannya. “Tidak apa-apa Hampir tidak sengaja karena aku masih memikirkan Raden Rudira”

Juwiring mengangguk-angguk. Katanya, “Jangan hiraukan. Anak itu memang terlalu manja. Ibunyalah yang sebenarnya bersalah. Adiknya, adinda Warih tidak kalah manjanya dari adinda Rudira”

Buntal mengangguk-angguk pula.

“Ternyata bahwa sifatnya yang manja itu telah membahayakan dirinya. Nafsunya menyala seperti api yang ingin membakar setiap bentuk tanpa kendali, sehingga tingkah lakunya seakan-akan tidak berbatas lagi”

Buntal masih mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Apakah ia tidak akan berbahaya bagimu. Jika tidak sekarang, apakah pada suatu saat ia tidak akan berbuat jauh lebih kasar lagi?”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku tidak tahu Buntal. Tetapi kemungkinan itu memang ada. Namun yang paling mencemaskan sebenarnya bukan aku sendiri. Bagaimanapun juga aku masih mempunyai lambaran yang dapat mengimbangi kebengalannya. Tetapi nafsu kemudaannya kini berbahaya bagi Arum”

Dada Buntal berdesir mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak segera menjawab. Dan Juwiring berkata terus, “Adalah tidak menguntungkan bagi Arum untuk tinggal di Ranakusuman. Seperti yang aku katakan, nasib ibuku tidak terlalu baik sampai saat meninggalnya, meskipun ia adalah isteri seorang Pangeran. Justru karena ibuku tidak mempunyai darah keturunan setingkat dengan isteri-isteri ayahanda yang lain”

Buntal mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi bagaimana dengan Raden Ayu Manik? Bukankah ia juga mempunyai derajat yang setingkat dengan Raden Ayu Galihwarit itu?”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Persoalannya, adalah persoalan manusia Galihwarit dan Manik. Tetapi ayahanda Ranakusuma juga ikut menentukan ketidak-wajaran yang telah terjadi itu. Lebih daripada itu, ada pihak lain yang mengambil keuntungan”

“Orang asing maksudmu?”

Juwiring memandang Buntal sejenak. Namun kemudian ia mengangguk.

Buntal tidak berbicara lagi. Ketika mereka lewat di depan pendapa, dilihatnya Kiai Danatirta masih duduk bersama Sura dan Ki Dipanala.

“Ayah, kami akan pergi ke sawah” berkata Juwiring kepada Kiai Danatirta.

Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Jawabnya, “Pergilah. Nanti jika sempat aku akan menyusul. Apakah kalian akan pulang di waktu makan, atau Arum harus membawa makananmu ke sawah?”

“Kami akan pulang sore hari. Sesiang ini kami baru berangkat”

“Baiklah. Biarlah Arum pergi membawa maka kalian siang nanti”

Sura dan Dipanala memandang kedua anak muda yang berjalan melintasi halaman sambil membawa cangkul. Terasa sesuatu bergetar di dalam hati keduanya. Juwiring adalah putera seorang Pangeran. Siapapun ibunya, tetapi ayahnya adalah seorang Pangeran. Tetapi kini dengan ikhlas ia memanggul cangkul pergi ke sawah, turun ke dalam lumpur.

Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Sura berkata, “Baru sekarang aku menyadari, betapa besar dosaku atas anak muda yang lapang dada itu. Ia sama sekali tidak tampak mendendam kepadaku, meskipun aku ikut serta berusaha menyingkirkan-nya dari Dalem Ranakusuman” Lalu tiba-tiba saja ia berpaling kepada Ki Dipanala, “Ki Dipanala, apakah Raden Juwiring tidak mengetahui bahwa aku ikut menyingkir-kannya?”

“Ia tentu mengetahuinya. Ia kenal siapa kau waktu itu” jawab Dipanala, “Tetapi ia memang seorang anak muda yang berhati lautan. Sebagian adalah karena tuntuNan Kiai Danatirta”

“Ah” desah Kiai Danatirta, “Ia belum cukup lama di sini untuk dapat membentuk wataknya. Jika hatinya lapang selapang lautan adalah karena pembawaannya. Dan itu adalah suatu karunia bagi Raden Juwiring”

Sura mengangguk-anggukkan kepalanya. Lambat laun ia merasa bahwa dirinya telah menjadi manusia kembali dengan segala macam gejolak di dalam hatinya. Ia kini sempat mempertimbangkan nalar dan perasaannya. Ia sempat memperhitungkan persoalan tentang dirinya dan persoalan di luar dirinya. Hubungan antara manusia di sekitarnya dan antara dirinya, manusia dan alam besar yang meliputi bentuk-bentuk alam yang kecil. Pengaruh timbal balik dari getaran di dalam dirinya terhadap alam di sekitarnya dan getaran alam di sekitarnya dan getaran alam di sekitarnya terhadap dirinya.

Sura menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya seperti ia dilahirkan-kembali dengan tanpa bekal apapun, sehingga ia merasa dirinya betapa bodohnya.

Sura terkejut ketika ia mendengar Ki Dipanala bertanya kepadanya, “Sura, lalu apakah yang kau kerjakan? Apakah kau akan kembali ke Dalem Pangeran Ranakusuma atau tidak?”

Sura mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian menjawab, “Aku akan kembali ke Dalem Ranakusuman. Aku adalah abdi Ranakusuman. Jika Pangeran Ranakusuma sudah tidak memerlukan aku lagi, aku akan pergi. Tetapi sebelum aku diusirnya, aku akan tetap berada di sana apapun yang akan terjadi, dan perlakuan apapun yang akan diperbuat oleh Raden Rudira dan Mandra. Aku masih mempunyai kepercayaan, bahwa beberapa orang abdi yang lain tidak akan ikut melibatkan dirinya di dalam persoalanku dengan Mandra”

Ki Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah Sura. Aku tidak akan melepas tangan. Persoalannya sudah menyangkut aku pula”

“Tetapi kedudukan Ki Dipanala tidak segoyah kedudukanku meskipun aku sudah tinggal berpuluh tahun di istana itu”

“Karena itu, aku akan membantu memecahkan persoalan-persoalan yang mungkin kau jumpai”

“Terima kasih. Mudah-mudahan hal itu justru tidak menyulitkan Ki Dipanala sendiri”

Kiai Danatirta yang selama itu mendengarkan percakapan mereka berdua, tiba-tiba menyela, “Jika kalian tidak mendapat tempat lagi di Ranakusuman, tinggallah di padepokan ini. Kalian akan menjadi kawan yang baik bagi Raden Juwiring dan Buntal”

“Ya Kiai” jawab Sura, “dan aku berterima kasih atas kesempatan itu. Namun aku masih juga mempunyai secuwil tanah warisan di padesan yang sempat aku perluas dengan uang yang aku dapat dari istana Ranakusuman itu pula dengan menjual kemanusiaanku”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Namun Ki Dipanala lah yang berkata kemudian, “Kau akan lebih aman berada di padepokan ini. Banyak hal yang dapat terjadi atasmu karena sikapmu yang tiba-tiba berubah terhadap Raden Rudira”

“Aku menyadari. Tetapi aku mempunyai anak isteri yang tentu tidak akan dapat tinggal bersama-sama di sini. Jika demikian maka padepokan ini akan penuh dengan keluargaku saja”

“Padepokan ini cukup luas” sahut Kiai Danatirta.

“Aku mengucapkan banyak terima kasih”

Kiai Danatirta tidak menyela, lagi. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menekur seakan-akan sedang merenungi sesuatu yang amat penting.

Dalam pada itu, Sura masih berbicara tentang berbagai persoalan dengan Ki Dipanala. Dan akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Ranakusuman menjelang senja.

“Apakah kalian tidak bermalam saja di sini agar Raden Rudira menjadi agak tenang sedikit. Jika kalian hadir di halaman Ranakusuman hari ini maka kemarahan Raden Rudira akan masih mudah terangkat kembali”

Tetapi Ki Dipanala menggeleng. Katanya, “Lebih baik kita tuntaskan persoalan ini jika memang Raden Rudira menghendaki, tetapi mudah-mudahan Pangeran Ranakusuma masih mau mendengar kata-kataku kali ini meskipun besok atau lusa aku akan diusir pula dari Ranakusuman. Jika aku yang diusir maka aku akan terpaksa tinggal di padepokan ini untuk semen-tara bersama keluargaku, sebelum aku mempertimbangkan untuk kembali saja ke Madiun”

“Apakah kau pernah berpikir untuk kembali ke Madiun, saja?”

“Ya. Tetapi kadang-kadang menjadi kabur lagi”

“Tinggallah di sini. Aku akan senang sekali jika kau bersedia, dan Arum pun akan mendapat kawan lagi yang sebaya”

Ki Dipanala mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku akan mempertimbangkannya”

Demikianlah maka mereka masih duduk beberapa saat di pendapa. Namun Kiai Danatirta yang masih mempunyai beberapa pekerjaan itu pun segera mempersilahkan kedua tamunya untuk beristirahat di gandok.

“Terima kasih Kiai” jawab Sura, “padepokan ini memang merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukan. Aku akan menikmati ketenangan ini meskipun hanya sejenak, sebelum aku kembali ke Surakarta menjelang senja”

Ketika kedua tamunya kemudian pergi ke gandok maka Kiai Danatirta pun segera masuk ke ruang dalam.

Orang tua itu terkejut ketika dari sela-sela pintu bilik ArUm, ia melihat gadis itu menelungkup di pembaringannya. Karena itu maka dengan tergopoh ia mendekatinya sambil bertanya, “Kenapa kau Arum?”

Arum mengangkat wajahnya. Tampaklah setitik air mata membasahi pelupuknya.

“Ada apa ngger?” bertanya ayahnya pula.

Perlahan-lahan Arum bangkit dan duduk di pinggir ambennya. Ditatapnya wajah ayahnya sejenak. Namun justru titik air di matanya terasa menjadi semakin banyak.

“Katakan Arum” bisik ayahnya.

“Kenapa aku justru membuat ayah mengalami kesulitan?”

“Kenapa??” bertanya ayahnya.

“Kenapa Raden Rudira berbuat begitu terhadap ayah?”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Gadis itu merasa, bahwa dirinyalah yang menjadi sumber kesulitan yang tumbuh di padepokan itu. Namun Kiai Danatirta itu berkata, “Jangan berpikir begitu Arum. Bukan kau satu-satunya sumber persoalan antara padepokan ini dengan Dalem Ranakusuman. Sejak Raden Juwiring dibawa kemari oleh pamanmu Dipanala, aku sudah merasa, bahwa persoalan yang lain akan menyusul. Kau adalah salah satu alasan saja yang diberikan oleh Raden Rudira untuk menumbuhkan persoalan-persoalan baru yang dapat mengguncangkan ketenangan padepokan ini, yang sebenarnya sebagian terbesar ditujukan kepada kakaknya, Raden Juwiring”

“Jika ayah sudah mengetahui, kenapa ayah menerima Raden Juwiring itu di padepokan ini?” tiba-tiba saja Arum bertanya.

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung untuk mendapatkan jawaban yang dapat dimengerti oleh Arum.

“Arum” berkata Kiai Danatirta kemudian, “Memang sukar untuk mengatakan, apakah sebabnya aku menerima Raden Juwiring di padepokan ini justru karena aku mengerti bahwa persoalannya masih akan berkepanjangan. Tetapi sebagian terbesar adalah karena aku tidak dapat menolak permintaan pamanmu Ki Dipanala. Raden Juwiring adalah seorang anak bangsawan yang baik, tetapi hidupnya tersia-sia. Bahkan ayahnya sendiri sampai hati untuk menyingkirkannya, bukan karena anak itu nakal atau tidak mau tunduk kepada ayahnya. Tetapi karena kedengkian orang lain terhadapnya. Dengan alasan untuk mendapat ilmu kejiwaan, maka ia pun dikirim kemari atas pendapat Dipanala”

Arum tidak menjawab. Namun tampak di wajahnya, beberapa persoalan sedang bergulat di dalam hatinya. Kata-kata Kiai Danatirta itu seakan-akan merupakan bayangan yang dapat dilihatnya. Seorang anak muda dari seorang bangsawan yang dengan kepala tunduk meninggalkan istana kapangeranan dan kemudian tinggal di sebuah padepokan kecil.

“Memang Raden Juwiring adalah anak yang baik” tiba-tiba saja timbul pengakuan di dalam hati Arum.

Sekilas terbayang kembali wajah anak bangsawan itu. Senyumnya yang ramah di wajahnya yang selalu cerah.

Arum menarik nafas dalam-dalam. Di sebelah bayangan wajah Raden Juwiring itu membayang wajah anak muda yang lain. Wajah yang tampaknya selalu bersungguh-sungguh dan prihatin. Wajah Buntal, anak muda yang diketemukan di pinggir jalan itu. Namun ternyata ia pun adalah anak yang baik.

“Sudahlah Arum” berkata Kiai Danatirta, “Jangan kau pikirkan lagi. Persoalan yang baru saja terjadi, dan seandainya masih akan terjadi, adalah persoalan padepokan ini keseluruhan, bukan persoalan yang kau timbulkan. Dan yang lebih penting Arum, jangan menyalahkan diri sendiri. Jika demikian maka kau akan kecewa atas dirimu sendiri, dan itu berarti bahwa kau kecewa terhadap karunia yang telah kau terima”

Arum tidak menjawab. Tetapi air di matanya masih mengambang di pelupuknya.  Kiai Danatirta memandang anak gadisnya itu sejenak. Namun hampir saja ia terseret oleh kenangan tentang anaknya yang sebenarnya, tentang ibu Arum. Wajah yang cantik dan sikap yang baik justru telah menyeretnya ke dalam kesulitan.

“Apakah kecantikan Arum akan membawanya ke dalam kesulitan pula?” Kiai Danatirta bertanya kepada diri sendiri.

Untunglah bahwa orang tua itu segera berhasil menguasai perasaannya yang hampir bergejolak itu, sehingga kemudian dipaksanya bibirnya untuk tersenyum sambil berkata, “Arum, kakak-kakakmu sudah pergi ke sawah. Mereka baru akan pulang menjelang sore. Karena itu, kau masih mempunyai tugas. Kau harus pergi ke sawah untuk mengantar makan mereka”

Arum menganggukkan kepalanya. Hampir setiap hari ia melakukannya, sehingga karena itu, maka hal itu bukan merupakan hal yang baru baginya.

Demikianlah pada saatnya, ketika nasi sudah masak, dan mata hari sudah bergeser ke Barat, Arum pun segera berangkat ke sawah untuk menyampaikan nasi beserta lauk pauknya kepada kedua saudara angkatnya yang sedang bekerja di sawah.

Meskipun pekerjaan ini sudah dikerjakan setiap hari, namun tiba-tiba saja hatinya menjadi berdebar-debar. Ketika ia menyu-suri pematang, dilihatnya Juwiring dan Buntal yang sudah lelah, sedang beristirahat di bawah gubugnya. Sejenak Arum memandang keduanya berganti-ganti, namun sejenak kemudian terasa suatu getar yang aneh di dalam hatinya.

Terngiang kata-kata Raden Rudira yang menyebut-nyebut hubungannya dengan Juwiring dan kebencian bangsawan muda itu kepada Buntal.

Arum tidak pernah memikirkan hubungan itu. Keduanya serasa benar-benar seperti saudaranya sendiri. Tetapi tiba-tiba kini ia melihat keduanya sebagai anak-anak muda yang berasal dari padepokannya. Seolah-olah Arum itu sadar, bahwa Raden Juwiring adalah Putera Pangeran Ranakusuma yang dititipkan-nya di padepokan Jati Aking dan Buntal adalah anak muda yang asing, yang dikeroyok orang karena mengejutkannya ketika ia memanjat gubug yang berkaki tinggi itu.

Untunglah bahwa Arum pun segera berhasil menguasai dirinya. Sejenak kemudian ia pun sudah tersenyum ramah seperti kebiasaannya sehari-hari. Sambil meletakkan bakulnya ia berkata, “Maaf, aku agak lambat. Tetapi bukan salahku. Nasi baru saja masak. Agaknya para pelayan sedang sibuk melihat perkelahian di halaman, sehingga mereka lambat mulai menanak nasi”

“Kamipun lambat berangkat” sahut Juwiring.

“Tetapi kami tidak ingin lambat pulang” berkata Buntal kemudian.

Arum memandang Buntal sejenak, lalu, “Aku membawa gembrot sembukan. Bukankah kakang Buntal senang sekali gembrot sembukan? Dan aku membawa pecel lele bagi kakang Juwiring”

Buntal sudah mendengar kata-kata Arum berpuluh kali sejak ia berada di padepokan itu. Tetapi kali ini hatinya serasa tersentuh. Seolah-olah baru kali ini ia mendapat pelayanan dengan wajah yang bening tanpa keluhan keprihatinan. Seolah-olah baru kali ini ia menemukan suatu kehidupan yang sejuk.

Tetapi Buntal pun menahan perasaannya sejauh-jauh dapat dilakukan. Ia sama sekali berusaha menghapus kesan itu dari gerak lahiriahnya, dari warna-warna kerut di wajahnya dan dari tatapan matanya.

Karena itu maka ia pun tertawa sambil berkata, “Kau tidak pernah melupakan kegemaran kami. Terima kasih, “Ia berhenti sejenak, lalu, “Marilah kakang Juwiring”

Juwiring pun tersenyum, ia mengerti. bahwa orang-orang yang berada di dapur padepokan Jati Aking mengenal kegemarannya, dan demikian juga kegemaran penghuni-penghuni lainnya. Dan pecel lele yang dibawa Arum itu telah benar-benar membangkitkan seleranya.

Demikianlah kedua anak-anak muda itu pun kemudian makan dengan lahapnya. Arum yang duduk di pematang memandang keduanya dengan tersenyum kecil. Ia memang selalu senang apa bila kedua anak-anak muda itu makan kiriman yang dibawanya dengan lahap.

Dalam pada itu, Juwiring yang sedang mengunyah nasi dan pecel lelenya, sekali-sekali memandang wajah Arum juga. Meskipun gadis itu tinggal bersamanya untuk waktu yang panjang namun kali ini ia benar-benar memperhatikan wajahnya.

Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata di dalam hatinya, “Gadis ini memang cantik. Pantas adinda Rudira sangat tertarik kepadanya. Tetapi adalah berbahaya sekali apabila ia berada di istana, ayahanda Ranakusuma ia tidak akan dapat bertahan untuk tiga bulan dari ketamakan adinda Rudira, yang memantaskan segala cara untuk mencapai tujuannya”

Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja sepucuk duri ikan lelenya tersangkut di kerongkongan, sehingga Juwiring itu menjadi terbatuk-batuk karenanya.

“Minum kakang” berkata Arum sambil mengacungkan sebuah gendi berisi air dingin.

Juwiring menerima gendi itu, lalu diteguknya air yang terasa telah menyejukkan seluruh badannya, bukan saja sekedar melarutkan duri dari kerongkongannya.

Demikianlah ketika mereka sudah beristirahat sejenak setelah makan, mulailah mereka bekerja kembali, sedang Arum pun membawa sisa-sisa makanannya pulang ke padepokan.

Menjelang senja, kedua anak-anak muda padepokan Jati Aking itu sudah berada kembali di padepokannya. Mereka mengerti bahwa Sura dan Ki Dipanala akan kembali ke Surakarta. Karena itu, mereka pulang dengan tergesa-gesa untuk dapat bertemu lagi dengan kedua orang yang akan meninggalkan padepokannya itu.

“Hati-hati1ah” pesan Kiai Danatirta kepada keduanya.

“Ya Kiai. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa di istana Ranakusuman jawab Ki Dipanala.

“Mudah-mudahan” Sura menyahut, “Tetapi rasa-rasanya hati ini selalu bergetar. Aku mempunyai persoalan yang agak berbeda dengan Ki Dipanala”

“Memang persoalanmu lebih gawat Sura Kebencian dan dendam itu dapat tertumpah kepadamu. Seperti kita lihat, kegagalan Raden Rudira di Sukawati telah membawanya kemari. Ternyata ia gagal sekarang. Karena itu, kau akan merupakan sasaran yang kemudian dari padanya”

“Aku menyadari. Tetapi aku tidak akan lari”

Ki Dipanala mengangguk-angguk. Dipandanginya Raden Juwiring dan Buntal sejenak, lalu katanya, “Kalian pun harus berhati-hati. Kalian sekarang mengenal Raden Rudira lebih banyak, ia dapat berbuat apa saja tanpa menghiraukan apapun juga. Karena itu, kalian harus mengawasi adik kalian itu. Mungkin Raden Rudira mengambil cara lain untuk membawa Arum. Jika Arum sudah berada di istana Ranakusuman, maka akan sangat sulit bagi kalian untuk mengambilnya kembali apabila ibunda Raden Rudira, Raden Ayu Sontrang, ikut mencampuri persoalan ini”

Juwiring dan Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mengerti sepenuhnya maksud Ki Dipanala. Mungkin Rudira dapat mengupah sekelompok orang untuk mengambil Arum dengan paksa, atau menculiknya selagi Arum berada di bulak.

Karena itu sambil mengangguk-angguk, Juwiring menjawab, “Baiklah paman. Kami akan mengawasinya”

Ki Dipanala mengangguk pula. Lalu katanya kepada Kiai Danatirta, “Baiklah kami segera minta diri. Doakan agar kami tidak terjerumus ke dalam kesulitan yang lebih parah lagi”

“Mudah-mudahan” sahut Kiai Danatirta, “dan mudah-mudahan pula Pangeran Ranakusuma masih mau mendengarkan kata-katamu”

“Terima kasih. Semuanya masih merupakan teka-teki bagiku. Dan aku akan memasuki halaman Ranakusuman setelah malam menjadi gelap dan suasana di Dalem Kapangeranan yang gelap pula”

Demikianlah, Sura dan Ki Dipanala meninggalkan padepokan Jati Aking menjelang senja. Derap kaki kuda mereka berdetak di sepanjang jalan padukuhan dan sejenak, kemudian mereka pun segera berpacu ditengah bulak Jari Sari yang panjang.

Betapapun mereka sudah bertekad untuk menghadapi setiap persoalan yang mungkin tumbuh, namun hati mereka menjadi berdebar-debar juga ketika mereka menjadi dekat dengan kota. Keduanya hampir tidak berbicara sama sekali di sepanjang perjalanan oleh gejolak perasaan masing-masing. Sehingga tanpa mereka sadari mereka telah menyusuri jalan kota yang gelap karena malam yang menyelubungi seluruh Surakarta.

Sekali-sekali mereka memandang lampu-lampu minyak yang bergayutan di sudut-sudut gardu dan di simpang-simpang empat. Nyala yang kemerah-merahan terayun-ayun disentuh angin yang lembab.

Sura menarik nafas dalam-dalam. Kesunyian kota membuat hatinya semakin sunyi. Jika terjadi sesuatu dengan dirinya, maka seluruh keluarganya pasti akan menderita. Tetapi ia tidak akan dapat kembali kepada suatu dunia tanpa perasaan dan nalar seperti yang pernah dilakukannya. Dunia yang seakan-akan hanyalah sekedar wadah bagi wadagnya sehingga apa yang dilakukannya sama sekali tidak direncanakannya oleh dirinya yang wadag dan dirinya yang halus. Jasmaniah dan rohaniahnya.

Kini ia justru menyadari sepenuhnya bahwa hidupnya adalah keseluruhan dirinya. Jasmaniah dan rohaniah

Namun debar jantungnya terasa semakin cepat ketika dari kejauhan mereka melihat regol Dalem Ranakusuman yang telah tertutup.

Dengan tajamnya keduanya memandang regol itu tanpa berkedip, seolah-olah ingin mengetahui, apakah yang tersenyum di balik pintu serta dinding yang tinggi, yang mengelilingi halaman itu.

Bahkan bagi Sura, bayangan-bayangan yang suram telah merambat di angan-angannya, seakan-akan di balik dinding dan pintu yang tertutup itu telah berbaris beberapa orang yang menunggunya dengan tombak yang merunduk, siap untuk menyobek perutnya apabila ia memasuki pintu regol.

“Apaboleh buat” berkata Sura di dalam hatinya.

Meskipun demikian, hatinya telah dicengkam pula oleh ketegangan.

Ketika kedua orang itu sudah sampai di muka regol. maka keduanya pun turun dari kuda masing-masing. Sejenak mereka berpandangan Ki Dipanala lah yang mula bertanya, “Kita bawa kuda-kuda ini ke dalam atau kita akan mengembalikannya lebih dahulu ke kandangnya?”

“Aku ingin segera melihat, apa yang bakal terjadi. Biarlah kita bawa kuda ini masuk”

Ki Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata kegelisahan di hati Sura justru memaksanya untuk segera melihat akibat yang bakal terjadi atasnya tanpa membawa kuda itu lebih dahulu ke rumah Dipanala yang terletak di belakang Dalem Ranakusuman dan dihubungkan dengan sebuah butulan kecil. Bahkan Dipanala menduga, bahwa Sura menganggap kuda itu setiap saat akan diperlukannya.

Sejenak mereka termangu-mangu. Namun sejenak kemudian tangan Sura yang gemetar telah mengetuk pintu regol itu.

Sesaat kemudian terdengar seseorang menyapa dari dalam, “Siapa diluar?”

Sebelum Sura menyahut, Ki Dipanala lah yang telah mendahuluinya, “Aku, Dipanala”

Ketika sebuah lubang persegi terbuka, Dipanala berdiri tepat di muka lubang itu, sehingga wajahnya seakan-akan telah memenuhi seluruh lubang persegi itu.

O, Ki Dipanala” desis para penjaga itu. Namun terasa suara mereka menyimpan nada yang lain dari kebiasaan mereka.

“Agaknya orang-orang ini sudah mengetahui apa yang terjadi” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya.

Sejenak kemudian pintu regol itu berderit, dan perlahan-lahan terbuka. Yang mula-mula berdiri di muka pintu yang terbuka itu memang Ki Dipanala yang memegangi kendali kudanya. Namun kemudian para penjaga itu pun melihat, bahwa Dipanala tidak datang sendiri.

Para penjaga itu seakan-akan membeku sejenak ketika mereka melihat Sura berdiri di belakang Ki Dipanala.

Melihat wajah-wajah yang tegang itu Sura pun bertanya, “Kenapa kalian memandang aku seperti itu?”

“Kau kembali juga ke Ranakusuman ini?” bertanya seseorang.

“Ya, kenapa?”

Para penjaga itu saling berpandangan sejenak. Tetapi Sura tidak menghiraukannya lagi. Seperti Ki Dipanala ia pun langsung memasuki regol Ranakusuman sambil menuntun kudanya.

“Orang itu sudah Gila” berbisik para penjaga.

“Apakah ia memiliki nyawa rangkap sehingga ia berani datang lagi ke halaman ini” desis salah seorang dari mereka.

“Ia tidak akan dapat lari, karena ia harus membawa keluarganya. Kecuali jika ia ingin menyelamatkan dirinya sendiri tanpa menghiraukan anak isterinya” sahut yang lain.

Dan seorang yang berkumis lebat berkata, “Bagaimanapun juga Sura adalah seorang yang berani. Ia bukan seorang yang licik menghadapi persoalan-persoalan yang gawat. Ia berani bersikap jantan, akibat apapun yang akan dihadapi”

Beberapa orang yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Bagaimanapun juga ada kekaguman dari para penjaga terhadapnya. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga, ia tidak melarikan diri seperti seorang pengecut.

Namun ternyata di halaman Ranakusuman tidak ada persiapan apapun untuk menunggu kedatangan Sura.

“Barangkali mereka memang menganggap bahwa aku tidak akan datang lagi ke halaman rumah ini” desis Sura di dalam hatinya.

Bersama Ki Dipanala mereka pun langsung pergi ke halaman samping. Kuda mereka pun segera diikat pada sebatang pohon di belakang gandok.

Tanpa mereka sadari, ternyata keduanya telah menjadi bahan pembicaraan orang-orang yang melihat kehadiran mereka. Ketika mereka sejenak berdiri termangu-mangu di bawah pohon tempat mereka menambatkan kuda-kuda mereka, ternyata beberapa pasang mata mengawasi mereka dengan sorot yang aneh.

Tiba-tiba seorang dari antara mereka menyeruak kedepan sambil mengumpat. Dengan tangan di pinggang orang yang bertubuh raksasa itu berkata, “Sura, apakah kau sudah gila dan karena itu berani memasuki halaman ini lagi?”

Sura yang mendengar suara itu berpaling. Dilihatnya Mandra berdiri di antara beberapa orang pengawal yang lain yang agaknya masih berkumpul di serambi gandok.

Sura tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Mandra yang tegang dan sorot matanya yang berapi-api.

“Sura. Kau benar-benar tidak tahu malu. Kau sudah berkhianat dan bahkan memberontak. Kenapa kau datang lagi kemari? Apakah kau sedang mengantarkan nyawamu, atau kau akan bersimpuh sambil mohon ampun atas pengkhianatanmu dan pemberontakanmu? sia-sia Sura. Tidak ada orang yang dapat mengampuni kau. Juga kawanmu yang merasa dirinya mempunyai pengaruh atas isi halaman ini. Kalian akan menyesal, karena semuanya sudah pasti, bahwa kalian adalah musuh dari Raden Rudira, berarti musuh dari seluruh isi halaman ini”

Sura yang hatinya mulai terbakar ingin menjawab. Tetapi Dipanala menggamitnya sambil berdesis, “Jangan kau tanggapi. Kita tidak memerlukan orang itu. Kita memerlukan Pangeran Ranakusuma”

“Tetapi bagaimana dengan orang itu?”

“Biarkan. Kita berdiri saja di sini sambil menunggu kesempatan. Jika Raden Rudira mengetahui kehadiran kita, ia pasti akan berbuat sesuatu. Aku mengharap, aku akan mendapat kesempatan, karena semua tindakan yang diambil di halaman ini biasanya mendapat perhatian dari Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit”

Sura tidak membantah. Ia percaya kepada Dipanala, karena selama ini Dipanala memang mendapat beberapa kesempatan yang lebih baik dari orang-orang lain, meskipun Dipanala adalah orang yang tidak disukai.

Tetapi Mandra masih saja bertolak pinggang sambil berkata, “Sura, apakah kau sekarang tuli atau bisu? Atau barangkali kau memang mempunyai nyawa yang liat, yang tidak dapat lepas dari tubuhmu”

Dan sekali lagi Dipanala berdesis, “Biarkan saja ia berteriak. Suaranya akan memanggil Raden Rudira dan ibundanya yang banyak ikut campur dalam setiap persoalan”

Sura menggeram. Tetapi ia masih tetap berdiam diri, “Sura. Sura” Mandra berteriak semakin keras. Sikap Sura yang diam itu membuatnya semakin marah.

Bersambung ke Bunga di batu karang V

Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/

Komentar

Postingan Populer