Bunga di batu karang IX bag 2
Bunga di batu karang bag 2
Mandra menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya Dipanala dan Rudira berganti-ganti. Dipanala yang berdiri tegak di dalam keremangan malam, sedang Rudira yang menjadi semakin lemah, sudah tidak dapat melawannya sama sekali, sementara kakinya diletakkannya di dada orang yang selama ini diturutinya setiap patah katanya.
“Mandra” berkata Dipanala kemudian, “Aku mengetahui segala rahasia yang tersimpan di Ranakusuman. Aku juga mengerti bahwa kau dan Raden Rudira berusaha membunuhku atas persetujuan Raden Ayu Galihwarit karena kebetulan aku mengetahui apa yang pernah terjadi, seperti yang terjadi saat ini”
“Gila” geram Mandra. Tetapi ia pun kemudian tertawa sambil berkata kepada Raden Rudira, “Nah Raden, ketahuilah. Kita memang telah dipaksa dengan cara yang paling halus untuk membunuh Dipanala karena Dipanala pernah mengetahui rahasia ibunda Raden Rudira. Satu lagi bekal menjelang kematianmu”
Raden Rudira memang sudah terlalu lemah. Tetapi yang paling buruk padanya, adalah perasaan putus-asanya, sehingga seakan-akan ia memang tidak mampu berbuat apapun lagi.
“Nah, sekarang aku melihat satu rahasia lagi” berkata Dipanala kemudian, “bahwa Mandra, penjilat besar yang berhasil menyingkirkan Sura, telah berkhianat pula. Memang agak berbeda dengan Sura. Sura dianggap berkhianat setelah ia sempat berpikir. Tetapi Mandra berkhianat justru karena ia menjadi penjilat yang lebih besar lagi, yang sama sekali telah kehilangan akal dan pikiran”
“Tutup mulutmu” teriak Mandra, “Jika kau membuka mulutmu sekali lagi, pedangku akan segera terhunjam di dada anak malang ini”
“Apa peduliku” jawab Dipanala, “Kalian telah berusaha membunuh aku. Sekarang kalian akan saling berbunuhan sendiri Silahkan. Silahkan. Dendamku akan terbalas tanpa aku minta. Raden Rudira mati di ujung pedang Mandra, sedang Mandra kelak pasti akan tertangkap karena pembunuhan ini”
“Tidak seorang pun melihat” geram Mandra.
“Aku. Akulah yang melihat. Aku bersedia untuk menjadi saksi di dalam perkara ini”
Wajah Mandra menjadi merah padam Dipandanginya Dipanala yang masih berdiri Di tempatnya dengan wajah yang tegang.
“Kau tidak akan melakukannya Dipanala”
“Kenapa tidak? Ini adalah suatu kesempatan yang paling baik bagiku. Tanpa berbuat sesuatu aku sudah dapat melepaskan pembalasan yang setimpal. Kedua orang yang akan membunuh aku akan mati dengan caranya sendiri. Raden Rudira dengan cara yang pantas, sedang kau akan mengalaminya dengan cara yang lebih mengerikan. Mungkin kau akan digantung di alun-alun, tetapi mungkin kau akan menjadi pertunjukan pendahuluan pada upacara rampogan macan di alun-alun. Kau akan diadu dengan seekor harimau lapar tanpa senjata sebelum harimau itu dirampok oleh para prajurit”
“Tidak. Tidak” Mandra hampir berteriak.
“Jangan berteriak. Bukankah ada rumah yang terletak tidak jauh dari tempat ini?”
“Aku tidak peduli”
“Jangan menyesal bahwa kelak kau benar-benar akan diadu dengan harimau lapar, karena kau membunuh seorang putera Pangeran. Jika kau terlalu sakti dan memenangkan perkelahian melawan harimau itu, maka kau pasti akan dihukum picis”
Namun tiba-tiba Mandra itu tertawa. Katanya, “Tidak akan ada saksi hidup yang dapat mengatakan tentang peristiwa ini, kecuali orang asing itu. Ia tentu akan mengatakan bahwa justru aku sudah menyelamatkannya”
“Memang kau sudah menyiapkan ceritera panjang tentang usaha pembunuhan itu. Tetapi seperti kau yang dapat mengarang ceritera semacam itu, bahkan tentang jalan sepi ke Jati Aking agar kesan kematian Raden Rudira seakan-akan oleh Raden Juwiring, maka aku pun akan dapat mengarang ceritera yang barangkali lebih baik dari ceriteramu”
“Tidak” Mandra tertawa semakin keras, “karena kau pun akan mati di sini. Kau berdualah yang akan diketemukan orang di jalan sepi ke Jati Aking”
“Kenapa aku?” suara Dipanala menjadi gemetar.
“Karena kebodohanmulah kau akan mati saat ini. Kenapa kau tidak melihat pembunuhan ini sambil bersembunyi saja jika kau memang ingin menjadi saksi hidup dan melepaskan dendammu kepadaku sama sekali? Tetapi sekarang sudah terlambat. Kau akan aku bunuh juga seperti Raden Rudira”
“Aku tidak berbuat apa-apa” sahut Dipanala dengan cemasnya, “Aku hanya melihat saja”
Mandra tertawa semakin keras. Dan tiba-tiba saja ia mengangkat kakinya dari dada Raden Rudira. Baginya Rudira sudah tidak akan berdaya sama sekali. Kapan pun ia akan dapat membunuhnya dengan mudah.
Karena itu, maka perlahan-lahan ia melangkah mendekati Dipanala yang bergeser surut.
“Kau ternyata akan mati lebih dahulu dari Raden Rudira. Aku ingin membunuhmu sebelum kau sempat melihat sebagian dendammu terbalas. Kau tidak akan melihat Raden Rudira mati” Mandra tertawa semakin keras, “Jangan menyesal bahwa kau terjebak oleh kebodohanmu sendiri”
“Jangan, jangan” desis Dipanala sambil terus melangkah surut menjauhi tubuh Raden Rudira.
“Apakah kau akan lari”
“Tetapi jangan bunuh aku”
“Persetan. Senang sekali melihat kau ketakutan. Ternyata aku lebih senang melihat kau ketakutan daripada melihat Raden Rudira yang pasrah. Gila, anak itu tidak menjadi ketakutan seperti kau. Dan untunglah kau datang dan memberikan kepuasan kepadaku”
Dipanala masih melangkah surut beberapa langkah. Dan Mandra pun mendekatinya selangkah demi selangkah seperti seekor kucing yang sedang merunduk seekor tikus.
Tetapi tiba-tiba Dipanala berhenti. Ia tidak melangkah surut lagi ketika punggungnya sudah melekat pada pagar batu di pinggir jalan.
“Ha, kemana lagi kau akan lari? Apakah kau akan meloncat masuk ke halaman kosong sebelah?”
“Tidak” Dipanala menggelengkan kepalanya.
“Apakah kau sudah pasrah seperti anak itu? Itu tidak menyenangkan. Lebih baik kau ketakutan dan berteriak minta ampun. Aku berharap bahwa tidak ada orang yang akan mendengarnya karena rumah yang terdekat di ujung lorong ini sudah menutup pintunya dan penghuninya sudah tertidur nyenyak. Seandainya lamat-lamat mendengar suaramu, mereka tidak akan berani keluar rumah di saat-saat yang gawat seperti ini. Apalagi mereka baru saja mendengar suara letusan senjata orang asing itu”
“Tidak” berkata Dipanala, “Aku tidak akan berteriak dan tidak akan lari. Aku sedang mengambil jarak dari Raden Rudira agar kau tidak berbuat licik atasnya karena ia memang sudah tidak berdaya”
Mandra terkejut mendengar jawaban itu, sedang Dipanala masih berbicara terus, “Aku memang mendendamnya Mandra, tetapi aku sama sekali tidak berhasil memaksa diriku sendiri untuk sekedar menonton saja sebuah pengkhianatan yang paling licik dari yang pernah terjadi. Penjilat-penjilat semacam kau memang dapat saja berkhianat setiap saat seperti yang kau katakan sendiri, jika ada orang lain yang melemparkan tulang lebih baik dari tuannya, bahkan jika perlu menggigit tuannya yang terdahulu. Itulah yang sangat menyakitkan hatiku, karena dengan demikian kau sudah merendahkan martabatmu sebagai manusia”
Mandra yang heran melihat perubahan sikap yang tiba-tiba itu masih belum sepenuhnya menguasai diri, sehingga ia masih belum menjawab. Dan Dipanala pulalah yang berkata, “Nah, sekarang kita akan berhadapan sebagai laki-laki. Aku tidak tahu siapakah yang akan mati di antara kita. Tetapi Setidak-tidaknya kau harus menyadari bahwa perbuatanmu itu sama sekali tidak disukai oleh siapapun. Bahkan barangkali oleh dirimu sendiri”
“Persetan” Mandra itu menggeram, “Jadi kau akan mencoba melawan”
“Ya. Setelah kau tidak mungkin lagi berbuat licik dengan mengacukan pedang di atas tubuh anak muda itu, kemudian memaksa aku untuk membunuh diri”
“Kau benar-benar gila Dipanala. Apakah kau belum mengenal Mandra?”
“Justru karena aku mengenalmu baik-baik. Tetapi agaknya kaulah yang belum mengenal Dipanala. Aku berhasil menyelamatkan diriku dari tangan empat orang yang diupah oleh Raden Rudira”
“Jangan sombong. Seseorang telah menolongmu. Tetapi sekarang jangan mengharap pertolongan orang lain”
“Aku tidak akan mengharap pertolongan siapapun. Aku pun tidak mau menumbuhkan persoalan karena ada seorang saksi bahwa aku telah membunuhmu”
“Gila” wajah Mandra menjadi merah padam. Pedang yang di tangannya tiba-tiba saja telah teracu lurus mengarah ke dada Ki Dipanala.
Tetapi Ki Dipanala pun sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tiba-tiba saja kerisnya pun telah berada di dalam genggaman. Meskipun senjatanya tidak sepanjang pedang Mandra, tetapi kerisnya mempunyai kelebihan pula. Setiap goresan ujung keris itu tentu akan berakibat maut jika tidak segera mendapat pengobatan yang baik, karena keris itu dilumuri dengan warangan. yang tajam.
Sejenak kemudian, oleh kemarahan yang memuncak, maka Mandra pun segera meloncat menyerang dengan pedangnya yang mematuk lurus kedepan. Namun Ki Dipanala yang berdiri melekat dinding batu itu sempat mengelak. Dengan tangkasnya ia meloncat ke samping dan segera bersiaga menerima serangan berikutnya.
Mandra yang gagal mengenai lawannya, berhasil mencegah ujung pedangnya membentur batu. Bahkan sekaligus ia berputar sambil menggerakkan pedangnya mendatar setinggi lambung menyambar perut Ki Dipanala. Tetapi sekali lagi Ki Dipanala berhasil menghindarinya dengan bergeser sambil menarik bagian tubuhnya yang hampir saja tersentuh pedang lawannya. Bahkan masih sambil membongkokkan badannya, ia mulai menyerang lawannya. Tepat pada saat pedang Mandra berdesing di depan perutnya ia meloncat maju. Senjata yang pendek itu hampir saja berhasil menggores lengan Mandra yang sedang terayun itu, tetapi ternyata Mandra pun tangkas pula sehingga ia berhasil menghindarkan dirinya.
Demikianlah sekejap kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang sengit. Ternyata Mandra tidak berhasil untuk segera membinasakan lawannya. Bahkan semakin lama orang yang sudah melampaui masa pertengahan umurnya itu justru tampak menjadi semakin tangkas.
Dalam pada itu, Raden Rudira yang terbaring pasrah, merasakan sesuatu yang asing di dalam dirinya. Ia merasa aneh bahwa tiba-tiba Dipanala telah berkelahi melawan Mandra karena orang itu tidak dapat melihat pembunuhan terjadi, meskipun Dipanala sadar bahwa Rudira memang pernah akan membunuhnya, namun orang itu masih juga berusaha bahkan mempertaruhkan jiwanya.
Namun sejenak kemudian timbul pula prasangka di dalam dirinya. Raden Rudira yang lemah itu telah dibayangi oleh dosanya sendiri.
“Agaknya Dipanala ingin membunuh aku dengan tangannya sendiri. Tidak oleh Mandra” katanya di dalam hati. Dan ternyata pikiran itu benar-benar telah menghantuinya.
Mandra yang sedang bertempur dengan sengitnya menjadi semakin marah karena ternyata Dipanala benar-benar tangkas. Kini Mandra harus menyadari, bahwa Dipanala memang mampu bertahan untuk beberapa lamanya melawan empat orang perampok yang mencegatnya di bulak Jati Sari.
“Tetapi aku harus berhasil membinasakannya” geram Mandra di dalam hatinya.
Raden Rudira yang dicengkam oleh kecemasan itu pun berusaha untuk bangkit. Tetapi badannya benar-benar telah menjadi lemah sehingga ia hanya dapat beringsut setapak demi setapak.
Harapannya tumbuh sedikit ketika ia melihat kuda Mandra di pinggir jalan itu. Tetapi untuk mencapai kuda itu, ia memerlukan waktu yang panjang.
“Dipanala tentu ingin membunuh Mandra, kemudian baru membunuhku. Mungkin ia mempergunakan cara yang lebih mengerikan lagi karena dendamnya kepadaku, sehingga sepeninggal Mandra ia akan leluasa melakukannya” berkata Raden Rudira di dalam hatinya yang dicengkam oleh prasangka dan kecemasan.
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Meskipun ia masih juga berusaha beringsut mendekati kuda itu, namun hasilnya sangat diragukannya sendiri. Apalagi ketika ia melihat justru Mandra lah yang semakin lama menjadi semakin terdesak.
“Siapapun yang menang, aku akan mengalami nasib yang jelek sekali” berkata Rudira pula di dalam hatinya. Sepercik penyesalan merayapi jantungnya. Namun kini agaknya telah terlambat.
Dalam pada itu, seperti yang dilihat oleh Raden Rudira, sebenarnyalah Mandra yang juga bertubuh raksasa seperti Sura itu mulai terdesak. Meskipun Ki Dipanala bertubuh lebih kecil dan umurnya lebih tua, tetapi ia ternyata masih cukup lincah. Dengan penuh kesadaran, Ki Dipanala menghindari setiap benturan senjata. Bukan saja karena senjata Mandra lebih besar dan panjang, namun Ki Dipanala pun sadar, bahwa kekuatan Mandra tentu jauh lebih besar. Sehingga dengan demikian Dipanala memusatkan perlawanannya pada kepercayaan terhadap kecepatannya bergerak.
Semakin lama Mandra yang marah itu justru menjadi semakin terdesak. Ki Dipanala membuatnya bingung karena ketangkasannya. Setiap kali Mandra yang garang itu kehilangan lawannya. Namun dengan senjatanya yang lebih panjang, maka ia masih tetap berhasil melindungi dirinya. Bahkan setiap kali senjatanya yang panjang itu masih juga berbahaya bagi Ki Dipanala. Ayunan yang keras dan kuat, kadang-kadang memaksa Ki Dipanala untuk berloncatan menjauh, sehingga Mandra masih juga berhasil mendesaknya. Tetapi sejenak kemudian keris di tangan Ki Dipanala itu bagaikan berubah menjadi berpuluh-puluh jumlahnya, berdesing di sekitarnya, seperti sekelompok lebah yang berterbangan menyerang bersama.
Namun semakin lama semakin nyata, bahwa Ki Dipanala yang tua itu memiliki beberapa kelebihan dari Mandra. Ki Dipanala yang menyadari bahwa perkelahian itu akan memakan waktu, maka ia tidak menghabiskan segenap tenaganya sekaligus. Dengan demikian, maka ketika Mandra menjadi semakin terengah-engah diganggu oleh pernafasannya, Ki Dipanala masih tetap bertahan.
Dan itulah sebabnya maka Mandra semakin lama menjadi semakin terdesak. Dan bahkan hampir kehabisan tenaga.
Dalam keadaan yang demikian, Mandra masih sempat melihat sekilas tubuh Rudira yang bergeser beberapa jengkal dari tempatnya mendekati kudanya yang ada di tepi jalan. Kuda itu sama sekali tidak menghiraukan, apakah yang sedang terjadi beberapa langkah daripadanya.
Tiba-tiba saja timbullah niatnya yang licik. Karena ia tidak melihat kemungkinan lagi untuk mengalahkan Ki Dipanala, maka Raden Rudira akan dapat dipakainya sebagai perisai jika ia berhasil menguasainya. Ia menyesal bahwa ia terpancing oleh sikap Ki Dipanala dan melepaskan Raden Rudira. Kini ternyata bahwa Ki Dipanala itu tidak dapat dikalahkannya.
Sambil bertempur, perlahan-lahan Mandra bergeser mendekati Raden Rudira yang terbaring lemah. Dengan menghindari setiap serangan Ki Dipanala, dan bahkan sekali-sekali dengan gerak yang melingkar ia bergeser selangkah demi selangkah, sehingga Ki Dipanala tidak menjadi curiga. Ki Dipanala hanya menganggap bahwa Mandra semakin lama telah semakin terdesak olehnya, sehingga karena itu, maka Ki Dipanala pun berkata, “Mandra. Masih ada kesempatan bagimu untuk menyerah. Jika kau melepaskan senjatamu, dan memberikan kedua tanganku untuk diikat, kau akan tetap hidup. Aku akan menyerahkan kau kepada yang berhak, Pangeran Ranakusuma”
Mandra tidak segera menjawab. Tetapi tawaran itu telah membakar jantungnya. Ia merasa terhina untuk menyerahkan tangannya dan diikat. Terlebih-lebih lagi, jika ia dihadapkan kepada Pangeran Ranakusuma, maka ia tentu akan mendapat hukuman yang sangat berat. Apalagi jika Raden Rudira itu tidak tertolong lagi jiwanya.
Meskipun demikian dengan licik ia bertanya, “Apakah jaminanmu bahwa sebaiknya aku menyerah?”
“Aku tidak akan membunuhmu, “
“Persetan” Mandra menyerang dengan dahsyatnya. Namun Ki Dipanala berhasil menghindar dan bahkan membalas serangan itu dengan sengitnya pula. Dan memang itulah yang ditunggu oleh Mandra. Dengan loncatan, panjang ia menghindarinya seakan-akan ia benar-benar terdesak tanpa dapat berbuat apa-apa. Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin dekat dengan Raden Rudira.
“Sudah waktunya” katanya di dalam hati, “Aku dapat mencapainya dengan beberapa loncatan, dan mengacukan pedang ini di dadanya.
Sejenak Mandra masih memancing perhatian Ki Dipanala, namun ketika terbuka kesempatan baginya, maka dengan serta merta ia meloncat meninggalkan gelanggang perkelahian itu langsung ke tempat Raden Rudira terbaring.
Ki Dipanala terkejut melihat hal itu. Ia memang tidak menyangka bahwa Mandra akan berbuat begitu liciknya. Namun bagaimanapun juga itu adalah suatu kelengahan baginya, karena ialah yang telah memulai memancing Mandra untuk meninggalkan Raden Rudira. Ternyata kemudian Mandra mempergunakan cara yang sebaliknya.
Dalam waktu yang singkat, Ki Dipanala harus menemukan cara untuk menyelamatkan Rudira. Jika sekali lagi Mandra berhasil mencapai anak muda yang malang itu, maka tentu tidak akan ada kesempatan lagi baginya untuk membebaskannya. Karena itu, di dalam kesulitan itu, Ki Dipanala tidak dapat berpikir panjang. Dengan serta-merta ia melemparkan kerisnya meluncur mengejar Mandra.
Sejenak kemudian Ki Dipanala memalingkan wajahnya. Ia mendengar Mandra mengerang tertahan, ketika kerisnya hinggap di punggung orang itu. Tetapi Ki Dipanala tidak melihatnya ketika Mandra itu jatuh terguling. Yang didengarnya hanyalah sebuah umpatan pendek. Namun kemudian sepi. Sepi sekali.
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Kini ia melangkah mendekati Mandra yang sudah menjadi mayat. Dengan dada yang berdebar-debar Ki Dipanala mendekatinya dan mencabut kerisnya dari punggung orang itu.
“Aku telah membunuh lagi” desis Ki Dipanala perlahan-lahan, “tanpa aku kehendaki, aku telah membunuh beberapa orang tidak di peperangan”
Sejenak Ki Dipanala berdiri mematung. Namun sejenak kemudian sambil menjinjing kerisnya yang berlumuran darah ia berjalan perlahan-lahan mendekati Rudira yang masih saja berusaha beringsut mendekati kuda Mandra yang terikat di pinggir jalan.
Dalam keremangan malam Rudira melihat Ki Dipanala melangkah setapak demi setapak mendekatinya dengan keris telanjang di tangannya. Langkah itu terasa bagaikan hentakan yang dahsyat sekali memukul dadanya. Setiap langkah rasa-rasanya sebuah tulang iganya menjadi patah.
Sejenak kemudian Ki Dipanala itu berdiri tegak di sisi tubuh Raden Rudira yang terbaring. Rasa-rasanya Ki Dipanala yang tidak sebesar Mandra itu bagaikan seorang raksasa yang berdiri tegak dengan kokohnya. Kakinya yang kuat itu siap menginjak dadanya sehingga tulang belulangnya akan remuk menjadi debu.
Sejenak suasana menjadi tegang. Namun sejenak kemudian, hampir di luar dugaannya, Raden Rudira melihat Ki Dipanala itu berjongkok di sampingnya setelah menyarungkan kerisnya. Bahkan ketika ia mendengar Ki Dipanala itu berkata, suaranya tidak sekeras guruh yang menyambar telinganya. Kalanya, “Luka Raden cukup parah. Sebaiknya Raden segera kembali ke Ranakusuman”
Rudira tidak segera percaya kepada pendengarannya. Bahkan kepalanya mulai agak pening dan pandangannya berkunang-kunang.
“Apakah aku sudah dipengaruhi oleh khayalan-khayalan yang menyesatkan” katanya di dalam hati.
Namun ia mendengar sekali lagi Dipanala berkata, “Marilah Raden, aku tolong Raden naik ke punggung kuda Mandra Kuda Raden sendiri agaknya telah berlari agak jauh ketika Raden terjatuh”
Raden Rudira masih termangu-mangu. Namun Dipanala tidak menunggu darah Raden Rudira semakin banyak mengalir. Bahkan kemudian Dipanala itu pulalah yang menyarankan agar Raden Rudira melepas saja ikat kepalanya untuk menahan darahnya dari luka oleh peluru perwira kumpeni itu.
Dengan tertatih-tatih Raden Rudira dipapah oleh Ki Dipanala dan ditolongnya naik ke punggung kuda Mandra.
“Hati-hati1ah Raden. Tunggulah di sini sebentar. Aku akan mengambil kudaku”
Ki Dipanala pun kemudian mengambil kudanya yang disembunyikannya. Kemudian sambil membawa mayat Mandra, Ki Dipanala pun naik bersama dengan Raden Rudira. Sedang mayat Mandra itu diletakkannya menyilang di punggung kudanya sendiri.
“Aku akan menjaga Raden” berkata Ki Dipanala.
Raden Rudira sendiri tidak mengerti, perasaan apakah yang berkecamuk di dalam dadanya. Bahkan ia masih saja dibayangi oleh prasangka, bahwa tiba-tiba saja Dipanala itu akan menusuk lambungnya dari belakang.
Tetapi hal itu ternyata tidak terjadi. Dengan tanpa mengalami gangguan di perjalanan mereka pun kemudian mendekati regol Ranakusuman.
Ketika regol itu terbuka, maka para penjaganya menjadi sangat terkejut karenanya. Mereka melihat Raden Rudira yang lemah dilayani oleh Ki Dipanala, sedang di punggung kuda yang lain mereka melihat mayat Mandra tergantung menyilang.
Sejenak para penjaga regol itu menjadi termangu-mangu. Namun sejenak kemudian pemimpin peronda itu dengan serta merta mengacukan tombaknya ke dada Ki Dipanala sambil berkata, “Ki Dipanala, apakah yang sudah kau lakukan? Apakah kau membunuh Mandra dan melukai Raden Rudira”
Sebelum Ki Dipanala menjawab, maka beberapa orang pengawal yang lain telah mengacukan senjata mereka pula mengelilingi Dipanala yang masih duduk di punggung kudanya.
Sejenak Ki Dipanala menjadi tegang. Bahkan ia pun menjadi cemas. Jika Raden Rudira yang sudah akan membunuhnya itu ingkar, dengan sepatah kata saja, anak muda itu akan dapat membunuhnya di regol itu dengan meminjam tangan dan senjata para penjaganya.
Karena itu, maka dadanya pun segera bergolak. Dipandangi-nya para penjaga itu seorang demi seorang. Mereka tentu pernah mendengar, bahwa Raden Rudira sangat membencinya.
Sejenak mereka yang ada di regol itu dicengkam ketegangan. Senjata para penjaga regol itu benar-benar sudah siap menembus tubuh Ki Dipanala jika mereka mendengar perintah Raden Rudira, karena para penjaga itu akan dapat menyebut beberapa alasan kenapa mereka melakukannya.
“Keputusan terakhir dari persoalan ini ada pada Raden Rudira” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya. Ia sudah tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Mengancam Raden Rudira pun ia sudah tidak dapat melakukannya, karena begitu tangannya bergerak mencabut kerisnya, maka tombak para penjaga itu pasti sudah menembus tubuhnya.
Sejenak Ki Dipanala menunggu dengan tegangnya. Dadanya bagaikan berhenti berdetak ketika ia merasakan gerak Raden Rudira yang perlahan-lahan mengangkat kepalanya yang lemah.
“Kami menunggu perintah Raden” berkata pemimpin penjaga itu.
Nafas Raden Rudira menjadi semakin terengah-engah. Tetapi ia masih mencoba berkata, “Minggir, minggir semua. Jangan menahan kami lebih lama lagi, supaya aku tidak terlanjur mati sebelum aku bertemu dengan ayahanda”
Para penjaga regol itu terkejut. Mereka kurang yakin akan pendengarannya, sehingga karena itulah mereka menjadi ragu-ragu.
Namun sekali lagi mereka mendengar suara Raden Rudira yang dalam, “Minggir, minggir sebelum aku mati”
Para penjaga regol itu pun segera bergeser surut dengan wajah yang tegang. Namun mereka tidak dapat berbuat lain. Mereka harus membiarkan Ki Dipanala memasuki halaman rumah itu sambil menjaga tubuh Raden Rudira yang lemah, sedang di belakangnya seekor kuda yang terikat pada pelana kuda Dipanala itu mengikutinya sambil membawa mayat Mandra.
Beberapa langkah dari para penjaga itu Ki Dipanala berdesis, “Terima kasih Raden”
Rudira menarik nafasnya yang terasa semakin sendat, “Kenapa kau yang mengucapkan terima kasih?” Ki Dipanala tidak menyahut.
Sejenak mereka pun telah sampai ke pintu samping. Dengan hati-hati Ki Dipanala turun dari kudanya lebih dahulu, baru kemudian ia mengangkat tubuh Raden Rudira yang semakin lemah.
“Buka pintu itu” berkata Ki Dipanala terhadap seorang pelayan yang menjadi termangu-mangu.
Pelayan itu pun kemudian dengan gugup membuka pintu samping kemudian mengikuti Ki Dipanala masuk ke dalam dan membaringkan Raden Rudira di pembaringannya.
“Panggil seorang tabib yang sering merawat Pangeran Rana-kusuma” berkata Ki Dipanala kepada beberapa orang pelayan dengan berkerumun di luar pintu, “Cepat”
Para pelayan itu termangu-mangu, namun kemudian salah seorang meloncat ke punggung kuda yang baru saja diperguna-kan oleh Ki Dipanala bersama Raden Rudira. Ketika di regol halaman para penjaga menghentikannya, pelayan itu hanya berteriak sambil berpacu, “Aku harus segera memanggil seorang dukun yang paling pandai di Surakarta”
Dalam pada itu, di dalam biliknya Raden Rudira berbaring dengan lemahnya. Ketika Dipanala meneteskan air di mulutnya, Rudira menarik nafas dalam-dalam.
“Terima kasih” desisnya.
“Sebentar lagi tabib itu akan datang” desis Ki Dipanala.
Raden Rudira mengangguk kecil. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia bertanya, “Apakah ayahanda belum datang?”
Ki Dipanala tidak dapat menjawab. Ketika ia berpaling kepada pelayan yang ada di belakangnya, maka pelayan itulah yang menjawab, “Belum Raden. Ayahanda dan ibunda masih belum pulang”
“Persetan dengan ibunda” tiba-tiba saja Raden Rudira menggeram. Wajahnya yang pucat itu menegang sejenak. Namun ia tidak dapat bangkit dari pembaringannya.
Pelayan yang mendengarnya menjadi heran. Kenapa tiba-tiba saja Raden Rudira nampaknya marah kepada ibundanya, Raden Ayu Galihwarit.
“Paman Dipanala” desis Rudira kemudian, “Apakah paman dapat memerintahkan seseorang menyusul ayahanda di istana. Aku ingin segera bertemu dan mengatakan sesuatu sebelum aku mati.
“Tidak. Raden tidak akan mati. Raden akan sembuh karena sebentar lagi tabib itu akan datang”
“Panggillah ayahanda” desisnya.
Dipanala menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baiklah Raden”
Dipanala pun kemudian memerintahkan salah seorang abdi untuk pergi menyusul Pangeran Ranakusuma ke istana Kangjeng Susuhunan.
“Hati-hati1ah. Sampaikan persoalannya dengan sebaik-baiknya. Jangan mengejutkan Pangeran Ranakusuma dan jangan membuatnya menjadi bingung” pesan Ki Dipanala kepada abdi yang akan menyusul Pangeran Ranakusuma itu.
Dalam pada itu, di luar, kawan-kawan Mandra sedang merubung mayat orang bertubuh raksasa itu. Mereka ragu-ragu untuk mengambil mayat itu dari atas punggung kuda.
Namun salah seorang dari mereka berkata, “Marilah kita bawa masuk ke dalam bilik belakang”
“Tetapi, apakah dengan demikian kami tidak berbuat kesalahan?”
Mereka menjadi ragu-ragu sejenak, lalu, “Kita bertanya dahulu kepada Ki Dipanala yang membawanya pulang”
“Masuklah, dan bertanyalah kepadanya. Ia berada di dalam bilik Raden Rudira”
Mereka menjadi ragu-ragu sejenak. Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Kawan-kawan Mandra itu pun menganggap bahwa Raden Rudira dan Mandra adalah orang yang sangat membenci Ki Dipanala meskipun mereka tidak tahu sebabnya. Dan kini mereka melihat justru Ki Dipanala membawa Raden Rudira yang parah dan mayat Mandra. Pada umumnya mereka mempunyai dugaan yang sama. Ki Dipanala telah membunuh Mandra dan melukai Raden Rudira.
Tetapi mereka masih juga menyangsikannya. Apakah mungkin Ki Dipanala melawan kedua orang itu sekaligus.
“Ki Dipanala mampu berkelahi melawan beberapa orang perampok sekaligus” desis salah seorang dari mereka.
Kawan-kawan Mandra yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang mungkin sekali Ki Dipanala telah membunuhnya meskipun barangkali ia berbuat curang. Kemudian melukai Raden Rudira sekaligus”
“Jika demikian buat apa Dipanala membawa mereka kemari? Kenapa keduanya tidak ditinggalkan saja dimanapun juga?”
“Dimanapun juga akibatnya tidak berbeda. Raden Rudira itu masih dapat menyebut namanya”
“Tentu ia akan dibunuhnya sama sekali”
Kawan-kawannya tidak menyahut. Keragu-raguan yang tajam telah mencengkam hati mereka.
Sementara itu, seorang pelayan melangkah keluar dari pintu samping. Kemudian pelayan itu pun menemui kawan-kawan Mandra yang sedang berkerumun.
Sebelum pelayan itu mengatakan sesuatu, kawan-kawan Mandra itu pun telah mendahului bertanya, “Apakah yang sebelumnya telah terjadi?”
Pelayan itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak seorang pun yang tahu. Raden Rudira masih sangat lemah. Ia tidak mau berbicara tentang apapun juga, selain minta agar Pangeran Ranakusuma dijemput”
“Lalu, bagaimana dengan mayat Mandra ini?” bertanya salah seorang kawannya”
“Menurut Ki Dipanala, kita dimintanya untuk mengangkat mayat itu dan membawanya ke dalam bilik di ruang belakang”
“Kenapa Dipanala, bukan Raden Rudira?”
“Raden Rudira hampir tidak sadar”
“Persetan dengan Dipanala. Apakah bukan Dipanala yang telah berkhianat?”
“Kami tidak tahu. Kami menunggu perintahnya. Tetapi Raden Rudira tidak berkata apapun juga. Bahkan seakan-akan ia hanya mau berbicara dengan Ki Dipanala saja”
“Aneh” salah seorang berdesis. Namun tiba-tiba katanya, “Cepat, masuklah. Awasi Dipanala itu. Mungkin dengan diam-diam ia berusaha membunuh Raden Rudira yang luka itu untuk menghilangkan jejak kejahatan dan pengkhianatannya”
Abdi itu menjadi termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan menungguinya”
Ketika pelayan itu masuk kembali ke dalam, maka kawan-kawan Mandra pun mengangkat mayat itu dan membawanya ke belakang.
“Jika benar Dipanala telah membunuhnya, maka ia pasti akan mendapat hukuman yang setimpal. Sebenarnya seisi istana ini sudah membencinya. Tetapi aku tidak tahu, bahwa hanya karena kebaikan hati sajalah maka Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galih Warit tidak mengusirnya”
“Aku ingin, Dipanala itu diserahkan kepadaku”
“Kepada kita”
“Ya, kepada kita. Kita akan mencincangnya sampai lumat.
“Tidak dicincang. Tetapi kita akan menghukum picis”
“Ya hukum picis. Kita harus mendapatkan jeruk dan garam”
“Disapu dengan rotan. Jika punggungnya sudah babak belur, kita mandikan orang itu dengan air jeruk dan garam. Itu lebih baik dari hukum picis. Dengan hukuman picis ia akan segera mati karena darah yang meleleh, tetapi dengan hukuman cambuk dengan rotan, kita akan dapat memeliharanya untuk empat atau lima hari”
“Semuanya terserah kepada Pangeran Ranakusuma” berkata salah seorang dari mereka.
Kawan-kawannya pun kemudian terdiam. Mereka duduk mengelilingi mayat Mandra yang terbujur di atas pembaringan bambu yang besar.
“Luka Mandra adalah luka yang mematikan” desis salah seorang dari mereka, “Justru di punggung. Tentu suatu kecurangan. Jika Ki Dipanala itu berhadapan muka, maka ia tidak akan dapat membunuhnya. Mandra adalah orang yang luar biasa”
Yang lain mengangguk-angguk. Namun tampaklah wajah di dalam, bilik itu dipenuhi oleh pertanyaan yang tidak dapat mereka jawab. “Kenapa Mandra mati dengan luka di punggungnya?”
Dalam pada itu, keadaan Raden Rudira menjadi semakin gawat. Meskipun Ki Dipanala sudah berusaha menahan darah yang keluar dari luka di lengannya, namun Rudira sudah benar-benar lemah. Punggungnya rasa-rasanya telah patah ketika ia terpelanting dari kudanya dan jatuh di jalan yang keras. Kecepatan lari kudanya telah menambah lukanya semakin parah.
Dengan gelisah Ki Dipanala menunggu anak muda yang terbujur diam itu. Sekali-sekali terdengar erang tertahan. Namun yang mendengarnya seakan-akan ikut merasakan betapa sakit luka-lukanya.
Beberapa orang ikut menungguinya. Beberapa di antara mereka pun menaruh curiga kepada Ki Dipanala. Apalagi abdi yang baru saja berbicara dengan kawan-kawan Mandra. Ia berada di paling depan sambil mengawasi Ki Dipanala dengan tanpa berkedip.
Ki Dipanala pun merasa betapa sorot mata orang-orang di sekelilingnya itu bagaikan menusuk jantung Namun ia masih tetap di tempatnya. Ia hanya mengharap agar Raden Rudira masih tetap sadar sehingga ia akan dapat mengatakan apa yang terjadi sebenarnya.
Karena itu, maka dengan tekun Ki Dipanala melayaninya. Menitikkan air setetes demi setetes, dan membasahi dahi anak muda yang mulai menjadi panas itu.
Dengan gelisah orang-orang di dalam bilik dan yang berkerumun di luar pintu itu menunggu kedatangan seseorang yang akan dapat menyelamatkan Raden Rudira yang nampaknya menjadi semakin parah. Jika Raden Rudira itu tidak tertolong lagi, maka tidak akan ada keterangan yang dapat dipercaya.
Karena pertimbangan itu pulalah Ki Dipanala pun masih tetap berdiam diri. Ia merasa bahwa kata-katanya tentu tidak akan dipercaya, sehingga karena itu, ia pun menggantungkan diri kepada kejujuran Raden Rudira.
“Mudah-mudahan Raden Rudira bersikap seperti ketika ia berada di regol halaman” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, tabib yang ditunggu-tunggu itu pun masih juga belum datang, sehingga rasa-rasanya keadaan Raden Rudira menjadi semakin gawat.
Ketika di halaman terdengar derap seekor kuda, maka semua orang yang berada di dalam bilik itu mengangkat wajahnya. Bahkan salah seorang berdesis, “Tentu tabib itu datang”
Ki Dipanala pun menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia bergeser ke pintu. Namun pelayan yang mendapat pesan dari kawan-kawan Mandra itu pun segera bertanya, “Kau mau kemana Ki Dipanala?”
Dipanala memandang pelayan itu sejenak, lalu jawabnya, “Aku tidak akan pergi”
“Kau harus tetap di sini. Kau harus mempertanggung jawabkan apa yang telah terjadi di sini, “
Ki Dipanala mengerutkan keningnya. Dipandanginya pelayan itu dengan tajamnya. Namun ia dapat mengerti, bahwa kecuriga-an itu tidak hanya hinggap pada seorang itu saja. Karena itu, untuk tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru, Ki Dipanala tidak menjawab. Bahkan kemudian ia bergeser kembali mendekati Raden Rudira. Namun sekali lagi pelayan itu berkata, “Jangan sentuh Raden Rudira”
Terasa sesuatu berdesir di dada Ki Dipanala. Tetapi seperti tidak mendengar kata-kata itu, Ki Dipanala melangkah mendekati Raden Rudira dan meraba dahinya.
“Panas sekali” desisnya.
Terdengar Raden Rudira mengerang. Namun ia masih sempat berdesis, “Air, air”
Tanpa menghiraukan kecurigaan orang lain, Ki Dipanala meneteskan setitik air di bibir Raden Rudira
Pelayan yang berdiri didekat Raden Rudira terbaring itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, karena ia pun tahu bahwa Ki Dipanala mempunyai pengaruh yang kuat pada Pangeran Ranakusuma betapapun orang itu dibencinya.
Sesaat kemudian, pelayan yang harus memanggil tabib itu pun bergegas masuk. Dengan kata-kata yang memburu di antara nafasnya ia berkata, “Tabib itu, tabib itu, sebentar lagi. Sekarang ia sedang merawat seseorang di rumahnya. Seorang yang terjatuh dari pohon kelapa”
“Tetapi bukankah kau sudah mengatakan, bahwa yang memerlukannya adalah putera Pangeran Ranakusuma?” bertanya Ki Dipanala.
“Ya, tetapi orang yang terjatuh itu sudah hampir meninggal, sehingga ia memerlukan perawatan segera”
“Seperti juga Raden Rudira”
“Ia akan segera datang, jika ia sudah selesai. Ia tidak dapat meninggalkan seseorang yang hampir mati tetapi masih mungkin mendapatkan pertolongan”
Ki Dipanala hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan dapat memaksa tabib itu karena sedang menghadapi orang yang sedang berjuang melawan maut. Yang dapat dilakukannya hanya-lah sekedar mengharap kehadirannya segera setelah pekerjaan itu selesai.
Ternyata orang-orang yang ada di Ranakusuman itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian mereka mendengar derap seekor kuda pula memasuki halaman istana itu.
“Lihat, siapakah orang itu” perintah Ki Dipanala tanpa menghiraukan perasaan para abdi Ranakusuman itu terhadap-nya.
Seseorang segera berlari-lari keluar. Dan rasa-rasanya jantungnya yang hampir berhenti itu telah berdegup kembali. Yang datang itu tabib yang ditunggunya.
Dengan tergesa-gesa tabib yang masih agak muda itu pun segera masuk ke bilik tempat Raden Rudira dibaringkan.
Ketika tabib itu membuka ikat kepala Raden Rudira yang di pergunakan untuk menyumbat lukanya, maka tabib itu pun terkejut Dengan nada yang datar ia berkata, “Luka oleh peluru”
“Ya” sahut Ki Dipanala, “luka itu oleh peluru”
Para pelayan pun terkejut pula karenanya. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa luka Raden Rudira itu adalah bekas tertusuk peluru. Bukan oleh senjata tajam.
“Tetapi” berkata Ki Dipanala kemudian, “yang tidak kalah parahnya adalah punggung Raden Rudira karena ia terjatuh dari kudanya”
Tabib itu mengangguk-angguk. Kemudian diambilnya reramuan obat-obatan dari dalam kantong yang dibawanya.
“Air” katanya, “reramuan itu harus dicairkan dengan air sedikit, kemudian harus diusahakan agar reramuan ini dapat diminum untuk menambah daya tahannya, sementara aku akan mengobati lukanya dan barangkali perlu merawat punggungnya”
Seorang abdi pun kemudian mengambil semangkok air yang kemudian dituangkan ke dalam mangkok yang lain untuk mencairkan reramuan obat yang dibawa oleh tabib itu.
Untunglah bahwa Raden Rudira masih dapat menelan minuman itu, meskipun dengan agak kesulitan. Kemudian dengan cekatan tabib itu mengobati luka Raden Rudira yang tergores peluru.
“Untunglah bahwa peluru itu tidak mengeram di dalam tubuhnya” desis tabib itu.
Ki Dipanala tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.
Dalam pada itu, selagi tabib itu dengan teliti mengobati luka-luka Raden Rudira, baik karena peluru maupun karena goresan tanah yang keras, terdengar roda-roda kereta berderap di halaman. Beberapa orang pelayan segera bergeser pergi meninggalkan bilik itu. Yang datang dengan kereta itu tentu salah satu dari kedua orang tua Raden Rudira, sehingga dengan demikian, jika mereka masih berkumpul di bilik itu, tentu mereka akan mendapat marah.
Yang tinggal di dalam bilik itu tinggallah Ki Dipanala, tabib yang sedang mengobati Raden Rudira itu, dan seorang pelayan yang masih saja tetap mencurigai Ki Dipanala meskipun karena luka di tubuh Raden Rudira itu adalah luka peluru, maka kecurigaannya itu pun menjadi kabur.
Ternyata yang datang dengan tergesa-gesa itu adalah Pangeran Ranakusuma yang sudah mendapat berita tentang puteranya yang terluka. Namun berita yang didengarnya dari seorang abdinya itu masih belum jelas, sehingga justru ia menjadi agak gugup.
Dengan tergesa-gesa ia memasuki pintu depan yang masih terbuka langsung masuk ke dalam bilik Raden Rudira. Ketika dilihatnya Ki Dipanala ada di dalam bilik itu, maka Pangeran Ranakusuma pun memandanginya dengan tajamnya. Dengan suara yang berat ia pun kemudian berkata, “Apa yang terjadi Dipanala. Berkatalah berterus terang”
Ki Dipanala menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Jika Raden Rudira sudah agak tenang dan badannya menjadi agak kuat, sebaiknya Raden Rudira sajalah yang memberikan keterangan dengan singkat. Kemudian aku tinggal menjelaskan persoalannya”
“Kaukah yang melakukannya?”
“Ampun Pangeran. Sudah hamba katakan, sebaiknya biarlah Raden Rudira saja yang mengatakannya nanti. Tetapi hamba mohon tidak seorang abdi pun yang boleh mendengarnya”
Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia memandang abdi yang masih ada di dalam bilik itu sambil berkata, “Tinggalkan bilik ini”
Pelayan itu menjadi ragu-ragu. Namun ia pun melangkah keluar dari bilik itu.
Ketika ia berhenti di muka pintu, maka Pangeran Ranakusuma membentaknya, “Cepat. Jangan ragu-ragu. Jika Dipanala berbuat gila aku dapat membunuhnya”
Pelayan itu pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik itu. Sebenarnyalah bahwa Pangeran Ranakusuma adalah seorang prajurit yang baik, sehingga Kangjeng Susuhunan memberinya anugerah nama Ranakusuma. Bunga di peperangan.
“Nah, apa yang terjadi, katakan” Pangeran Ranakusuma Menjadi tidak sabar lagi.
Ki Dipanala memandang tabib itu sejenak, lalu, “Apakah Raden Rudira boleh berbicara”
“Sekedarnya saja” jawab tabib itu.
Ki Dipanala pun kemudian berlutut di samping tubuh Raden Rudira yang terbaring diam. Perlahan-lahan ia berbisik di telinganya, “Raden, apakah Raden dapat berbicara beberapa patah kata saja dengan ayahanda”
Raden Rudira mendengar dengan jelas kata-kata itu. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang lemah, yang pelupuk-nya bagaikan telah melekat. Meskipun agak kabur ia masih dapat melihat, bahwa ayahandanya berdiri di sampingnya.
“Ayahanda” suara Raden Rudira perlahan sekali.
“Ya Rudira, di sini ayahandamu”
“Ayah” suaranya sangat lemah, “dengarkan ayah”
“Ya, ya. Aku mendengar Rudira” sahut ayahandanya sambil mendekatkan telinganya, “Kenapa kau terluka?”
“Aku ditembak, ayahanda”
“Ditembak? Siapakah yang menembakmu?”
“Mandra telah berkhianat. Biarlah paman Dipanala mengata-kannya. Percayalah kepadanya ayah”
Wajah Pangeran Ranakusuma menjadi tegang. Ketika terpandang wajah tabib yang merawat Raden Rudira itu, tabib itu mengangguk sambil berkata, “Ya Pangeran. Lukanya adalah luka peluru”
“Siapakah yang sudah berbuat gila itu?”
Tetapi Raden Rudira sudah memejamkan matanya kembali. Tubuhnya rasa-rasanya menjadi semakin lemah.
“Bagaimana dengan anak itu?” bertanya Pangeran Ranakusuma kepada tabib yang merawatnya.
“Hamba sedang berusaha Pangeran”
“Tetapi, maksudku, apakah masih ada harapan?”
Tabib itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Marilah kita bersama-sama berdoa. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Penyayang mengabulkan doa kita”
Dada Pangeran Ranakusuma menjadi berdebaran. Jawaban tabib yang masih muda itu benar-benar membuatnya gelisah dan cemas. Ia kenal tabib itu dengan baik, karena setiap kali ia memerlukan maka dipanggilnya tabib itu bagi seluruh keluarganya. Kini tabib yang dikenalnya sebagai seorang yang pandai itu menjawab dengan penuh keragu-raguan.
“Hamba sudah memberikan obat yang paling baik yang ada pada hamba Pangeran. Hamba pun telah mengobati luka peluru itu dan memberikan param pada punggung Raden Rudira yang agaknya cidera ketika ia terjatuh dari kudanya”
Raden Rudira mencoba bergeser sedikit, tetapi yang kemudian terdengar adalah rintihannya yang tertahan.
“Punggung itu sakit sekali” berkata tabib itu.
Pangeran Ranakusuma memandang Ki Dipanala sejenak, lalu katanya, “Kau dapat menceriterakannya?”
“Hamba Pangeran. Jika Pangeran tidak berkeberatan, hamba dapat mengatakan apa yang telah terjadi atas Raden Rudira”
Pangeran Ranakusuma terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Dipanala yang tampak bersungguh-sungguh dan sejenak kemu-dian ditatapnya wajah Rudira yang pucat dengan mata yang terpejam.
Dengan suara yang dalam, maka Pangeran Ranakusuma pun kemudian berkata, “Katakanlah Dipanala. Aku kira kali ini aku harus mempercayaimu seperti yang dikatakan oleh Rudira”
Bersambung ke Bagian 3
Mandra menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya Dipanala dan Rudira berganti-ganti. Dipanala yang berdiri tegak di dalam keremangan malam, sedang Rudira yang menjadi semakin lemah, sudah tidak dapat melawannya sama sekali, sementara kakinya diletakkannya di dada orang yang selama ini diturutinya setiap patah katanya.
“Mandra” berkata Dipanala kemudian, “Aku mengetahui segala rahasia yang tersimpan di Ranakusuman. Aku juga mengerti bahwa kau dan Raden Rudira berusaha membunuhku atas persetujuan Raden Ayu Galihwarit karena kebetulan aku mengetahui apa yang pernah terjadi, seperti yang terjadi saat ini”
“Gila” geram Mandra. Tetapi ia pun kemudian tertawa sambil berkata kepada Raden Rudira, “Nah Raden, ketahuilah. Kita memang telah dipaksa dengan cara yang paling halus untuk membunuh Dipanala karena Dipanala pernah mengetahui rahasia ibunda Raden Rudira. Satu lagi bekal menjelang kematianmu”
Raden Rudira memang sudah terlalu lemah. Tetapi yang paling buruk padanya, adalah perasaan putus-asanya, sehingga seakan-akan ia memang tidak mampu berbuat apapun lagi.
“Nah, sekarang aku melihat satu rahasia lagi” berkata Dipanala kemudian, “bahwa Mandra, penjilat besar yang berhasil menyingkirkan Sura, telah berkhianat pula. Memang agak berbeda dengan Sura. Sura dianggap berkhianat setelah ia sempat berpikir. Tetapi Mandra berkhianat justru karena ia menjadi penjilat yang lebih besar lagi, yang sama sekali telah kehilangan akal dan pikiran”
“Tutup mulutmu” teriak Mandra, “Jika kau membuka mulutmu sekali lagi, pedangku akan segera terhunjam di dada anak malang ini”
“Apa peduliku” jawab Dipanala, “Kalian telah berusaha membunuh aku. Sekarang kalian akan saling berbunuhan sendiri Silahkan. Silahkan. Dendamku akan terbalas tanpa aku minta. Raden Rudira mati di ujung pedang Mandra, sedang Mandra kelak pasti akan tertangkap karena pembunuhan ini”
“Tidak seorang pun melihat” geram Mandra.
“Aku. Akulah yang melihat. Aku bersedia untuk menjadi saksi di dalam perkara ini”
Wajah Mandra menjadi merah padam Dipandanginya Dipanala yang masih berdiri Di tempatnya dengan wajah yang tegang.
“Kau tidak akan melakukannya Dipanala”
“Kenapa tidak? Ini adalah suatu kesempatan yang paling baik bagiku. Tanpa berbuat sesuatu aku sudah dapat melepaskan pembalasan yang setimpal. Kedua orang yang akan membunuh aku akan mati dengan caranya sendiri. Raden Rudira dengan cara yang pantas, sedang kau akan mengalaminya dengan cara yang lebih mengerikan. Mungkin kau akan digantung di alun-alun, tetapi mungkin kau akan menjadi pertunjukan pendahuluan pada upacara rampogan macan di alun-alun. Kau akan diadu dengan seekor harimau lapar tanpa senjata sebelum harimau itu dirampok oleh para prajurit”
“Tidak. Tidak” Mandra hampir berteriak.
“Jangan berteriak. Bukankah ada rumah yang terletak tidak jauh dari tempat ini?”
“Aku tidak peduli”
“Jangan menyesal bahwa kelak kau benar-benar akan diadu dengan harimau lapar, karena kau membunuh seorang putera Pangeran. Jika kau terlalu sakti dan memenangkan perkelahian melawan harimau itu, maka kau pasti akan dihukum picis”
Namun tiba-tiba Mandra itu tertawa. Katanya, “Tidak akan ada saksi hidup yang dapat mengatakan tentang peristiwa ini, kecuali orang asing itu. Ia tentu akan mengatakan bahwa justru aku sudah menyelamatkannya”
“Memang kau sudah menyiapkan ceritera panjang tentang usaha pembunuhan itu. Tetapi seperti kau yang dapat mengarang ceritera semacam itu, bahkan tentang jalan sepi ke Jati Aking agar kesan kematian Raden Rudira seakan-akan oleh Raden Juwiring, maka aku pun akan dapat mengarang ceritera yang barangkali lebih baik dari ceriteramu”
“Tidak” Mandra tertawa semakin keras, “karena kau pun akan mati di sini. Kau berdualah yang akan diketemukan orang di jalan sepi ke Jati Aking”
“Kenapa aku?” suara Dipanala menjadi gemetar.
“Karena kebodohanmulah kau akan mati saat ini. Kenapa kau tidak melihat pembunuhan ini sambil bersembunyi saja jika kau memang ingin menjadi saksi hidup dan melepaskan dendammu kepadaku sama sekali? Tetapi sekarang sudah terlambat. Kau akan aku bunuh juga seperti Raden Rudira”
“Aku tidak berbuat apa-apa” sahut Dipanala dengan cemasnya, “Aku hanya melihat saja”
Mandra tertawa semakin keras. Dan tiba-tiba saja ia mengangkat kakinya dari dada Raden Rudira. Baginya Rudira sudah tidak akan berdaya sama sekali. Kapan pun ia akan dapat membunuhnya dengan mudah.
Karena itu, maka perlahan-lahan ia melangkah mendekati Dipanala yang bergeser surut.
“Kau ternyata akan mati lebih dahulu dari Raden Rudira. Aku ingin membunuhmu sebelum kau sempat melihat sebagian dendammu terbalas. Kau tidak akan melihat Raden Rudira mati” Mandra tertawa semakin keras, “Jangan menyesal bahwa kau terjebak oleh kebodohanmu sendiri”
“Jangan, jangan” desis Dipanala sambil terus melangkah surut menjauhi tubuh Raden Rudira.
“Apakah kau akan lari”
“Tetapi jangan bunuh aku”
“Persetan. Senang sekali melihat kau ketakutan. Ternyata aku lebih senang melihat kau ketakutan daripada melihat Raden Rudira yang pasrah. Gila, anak itu tidak menjadi ketakutan seperti kau. Dan untunglah kau datang dan memberikan kepuasan kepadaku”
Dipanala masih melangkah surut beberapa langkah. Dan Mandra pun mendekatinya selangkah demi selangkah seperti seekor kucing yang sedang merunduk seekor tikus.
Tetapi tiba-tiba Dipanala berhenti. Ia tidak melangkah surut lagi ketika punggungnya sudah melekat pada pagar batu di pinggir jalan.
“Ha, kemana lagi kau akan lari? Apakah kau akan meloncat masuk ke halaman kosong sebelah?”
“Tidak” Dipanala menggelengkan kepalanya.
“Apakah kau sudah pasrah seperti anak itu? Itu tidak menyenangkan. Lebih baik kau ketakutan dan berteriak minta ampun. Aku berharap bahwa tidak ada orang yang akan mendengarnya karena rumah yang terdekat di ujung lorong ini sudah menutup pintunya dan penghuninya sudah tertidur nyenyak. Seandainya lamat-lamat mendengar suaramu, mereka tidak akan berani keluar rumah di saat-saat yang gawat seperti ini. Apalagi mereka baru saja mendengar suara letusan senjata orang asing itu”
“Tidak” berkata Dipanala, “Aku tidak akan berteriak dan tidak akan lari. Aku sedang mengambil jarak dari Raden Rudira agar kau tidak berbuat licik atasnya karena ia memang sudah tidak berdaya”
Mandra terkejut mendengar jawaban itu, sedang Dipanala masih berbicara terus, “Aku memang mendendamnya Mandra, tetapi aku sama sekali tidak berhasil memaksa diriku sendiri untuk sekedar menonton saja sebuah pengkhianatan yang paling licik dari yang pernah terjadi. Penjilat-penjilat semacam kau memang dapat saja berkhianat setiap saat seperti yang kau katakan sendiri, jika ada orang lain yang melemparkan tulang lebih baik dari tuannya, bahkan jika perlu menggigit tuannya yang terdahulu. Itulah yang sangat menyakitkan hatiku, karena dengan demikian kau sudah merendahkan martabatmu sebagai manusia”
Mandra yang heran melihat perubahan sikap yang tiba-tiba itu masih belum sepenuhnya menguasai diri, sehingga ia masih belum menjawab. Dan Dipanala pulalah yang berkata, “Nah, sekarang kita akan berhadapan sebagai laki-laki. Aku tidak tahu siapakah yang akan mati di antara kita. Tetapi Setidak-tidaknya kau harus menyadari bahwa perbuatanmu itu sama sekali tidak disukai oleh siapapun. Bahkan barangkali oleh dirimu sendiri”
“Persetan” Mandra itu menggeram, “Jadi kau akan mencoba melawan”
“Ya. Setelah kau tidak mungkin lagi berbuat licik dengan mengacukan pedang di atas tubuh anak muda itu, kemudian memaksa aku untuk membunuh diri”
“Kau benar-benar gila Dipanala. Apakah kau belum mengenal Mandra?”
“Justru karena aku mengenalmu baik-baik. Tetapi agaknya kaulah yang belum mengenal Dipanala. Aku berhasil menyelamatkan diriku dari tangan empat orang yang diupah oleh Raden Rudira”
“Jangan sombong. Seseorang telah menolongmu. Tetapi sekarang jangan mengharap pertolongan orang lain”
“Aku tidak akan mengharap pertolongan siapapun. Aku pun tidak mau menumbuhkan persoalan karena ada seorang saksi bahwa aku telah membunuhmu”
“Gila” wajah Mandra menjadi merah padam. Pedang yang di tangannya tiba-tiba saja telah teracu lurus mengarah ke dada Ki Dipanala.
Tetapi Ki Dipanala pun sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Tiba-tiba saja kerisnya pun telah berada di dalam genggaman. Meskipun senjatanya tidak sepanjang pedang Mandra, tetapi kerisnya mempunyai kelebihan pula. Setiap goresan ujung keris itu tentu akan berakibat maut jika tidak segera mendapat pengobatan yang baik, karena keris itu dilumuri dengan warangan. yang tajam.
Sejenak kemudian, oleh kemarahan yang memuncak, maka Mandra pun segera meloncat menyerang dengan pedangnya yang mematuk lurus kedepan. Namun Ki Dipanala yang berdiri melekat dinding batu itu sempat mengelak. Dengan tangkasnya ia meloncat ke samping dan segera bersiaga menerima serangan berikutnya.
Mandra yang gagal mengenai lawannya, berhasil mencegah ujung pedangnya membentur batu. Bahkan sekaligus ia berputar sambil menggerakkan pedangnya mendatar setinggi lambung menyambar perut Ki Dipanala. Tetapi sekali lagi Ki Dipanala berhasil menghindarinya dengan bergeser sambil menarik bagian tubuhnya yang hampir saja tersentuh pedang lawannya. Bahkan masih sambil membongkokkan badannya, ia mulai menyerang lawannya. Tepat pada saat pedang Mandra berdesing di depan perutnya ia meloncat maju. Senjata yang pendek itu hampir saja berhasil menggores lengan Mandra yang sedang terayun itu, tetapi ternyata Mandra pun tangkas pula sehingga ia berhasil menghindarkan dirinya.
Demikianlah sekejap kemudian keduanya telah terlibat dalam perkelahian yang sengit. Ternyata Mandra tidak berhasil untuk segera membinasakan lawannya. Bahkan semakin lama orang yang sudah melampaui masa pertengahan umurnya itu justru tampak menjadi semakin tangkas.
Dalam pada itu, Raden Rudira yang terbaring pasrah, merasakan sesuatu yang asing di dalam dirinya. Ia merasa aneh bahwa tiba-tiba Dipanala telah berkelahi melawan Mandra karena orang itu tidak dapat melihat pembunuhan terjadi, meskipun Dipanala sadar bahwa Rudira memang pernah akan membunuhnya, namun orang itu masih juga berusaha bahkan mempertaruhkan jiwanya.
Namun sejenak kemudian timbul pula prasangka di dalam dirinya. Raden Rudira yang lemah itu telah dibayangi oleh dosanya sendiri.
“Agaknya Dipanala ingin membunuh aku dengan tangannya sendiri. Tidak oleh Mandra” katanya di dalam hati. Dan ternyata pikiran itu benar-benar telah menghantuinya.
Mandra yang sedang bertempur dengan sengitnya menjadi semakin marah karena ternyata Dipanala benar-benar tangkas. Kini Mandra harus menyadari, bahwa Dipanala memang mampu bertahan untuk beberapa lamanya melawan empat orang perampok yang mencegatnya di bulak Jati Sari.
“Tetapi aku harus berhasil membinasakannya” geram Mandra di dalam hatinya.
Raden Rudira yang dicengkam oleh kecemasan itu pun berusaha untuk bangkit. Tetapi badannya benar-benar telah menjadi lemah sehingga ia hanya dapat beringsut setapak demi setapak.
Harapannya tumbuh sedikit ketika ia melihat kuda Mandra di pinggir jalan itu. Tetapi untuk mencapai kuda itu, ia memerlukan waktu yang panjang.
“Dipanala tentu ingin membunuh Mandra, kemudian baru membunuhku. Mungkin ia mempergunakan cara yang lebih mengerikan lagi karena dendamnya kepadaku, sehingga sepeninggal Mandra ia akan leluasa melakukannya” berkata Raden Rudira di dalam hatinya yang dicengkam oleh prasangka dan kecemasan.
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Meskipun ia masih juga berusaha beringsut mendekati kuda itu, namun hasilnya sangat diragukannya sendiri. Apalagi ketika ia melihat justru Mandra lah yang semakin lama menjadi semakin terdesak.
“Siapapun yang menang, aku akan mengalami nasib yang jelek sekali” berkata Rudira pula di dalam hatinya. Sepercik penyesalan merayapi jantungnya. Namun kini agaknya telah terlambat.
Dalam pada itu, seperti yang dilihat oleh Raden Rudira, sebenarnyalah Mandra yang juga bertubuh raksasa seperti Sura itu mulai terdesak. Meskipun Ki Dipanala bertubuh lebih kecil dan umurnya lebih tua, tetapi ia ternyata masih cukup lincah. Dengan penuh kesadaran, Ki Dipanala menghindari setiap benturan senjata. Bukan saja karena senjata Mandra lebih besar dan panjang, namun Ki Dipanala pun sadar, bahwa kekuatan Mandra tentu jauh lebih besar. Sehingga dengan demikian Dipanala memusatkan perlawanannya pada kepercayaan terhadap kecepatannya bergerak.
Semakin lama Mandra yang marah itu justru menjadi semakin terdesak. Ki Dipanala membuatnya bingung karena ketangkasannya. Setiap kali Mandra yang garang itu kehilangan lawannya. Namun dengan senjatanya yang lebih panjang, maka ia masih tetap berhasil melindungi dirinya. Bahkan setiap kali senjatanya yang panjang itu masih juga berbahaya bagi Ki Dipanala. Ayunan yang keras dan kuat, kadang-kadang memaksa Ki Dipanala untuk berloncatan menjauh, sehingga Mandra masih juga berhasil mendesaknya. Tetapi sejenak kemudian keris di tangan Ki Dipanala itu bagaikan berubah menjadi berpuluh-puluh jumlahnya, berdesing di sekitarnya, seperti sekelompok lebah yang berterbangan menyerang bersama.
Namun semakin lama semakin nyata, bahwa Ki Dipanala yang tua itu memiliki beberapa kelebihan dari Mandra. Ki Dipanala yang menyadari bahwa perkelahian itu akan memakan waktu, maka ia tidak menghabiskan segenap tenaganya sekaligus. Dengan demikian, maka ketika Mandra menjadi semakin terengah-engah diganggu oleh pernafasannya, Ki Dipanala masih tetap bertahan.
Dan itulah sebabnya maka Mandra semakin lama menjadi semakin terdesak. Dan bahkan hampir kehabisan tenaga.
Dalam keadaan yang demikian, Mandra masih sempat melihat sekilas tubuh Rudira yang bergeser beberapa jengkal dari tempatnya mendekati kudanya yang ada di tepi jalan. Kuda itu sama sekali tidak menghiraukan, apakah yang sedang terjadi beberapa langkah daripadanya.
Tiba-tiba saja timbullah niatnya yang licik. Karena ia tidak melihat kemungkinan lagi untuk mengalahkan Ki Dipanala, maka Raden Rudira akan dapat dipakainya sebagai perisai jika ia berhasil menguasainya. Ia menyesal bahwa ia terpancing oleh sikap Ki Dipanala dan melepaskan Raden Rudira. Kini ternyata bahwa Ki Dipanala itu tidak dapat dikalahkannya.
Sambil bertempur, perlahan-lahan Mandra bergeser mendekati Raden Rudira yang terbaring lemah. Dengan menghindari setiap serangan Ki Dipanala, dan bahkan sekali-sekali dengan gerak yang melingkar ia bergeser selangkah demi selangkah, sehingga Ki Dipanala tidak menjadi curiga. Ki Dipanala hanya menganggap bahwa Mandra semakin lama telah semakin terdesak olehnya, sehingga karena itu, maka Ki Dipanala pun berkata, “Mandra. Masih ada kesempatan bagimu untuk menyerah. Jika kau melepaskan senjatamu, dan memberikan kedua tanganku untuk diikat, kau akan tetap hidup. Aku akan menyerahkan kau kepada yang berhak, Pangeran Ranakusuma”
Mandra tidak segera menjawab. Tetapi tawaran itu telah membakar jantungnya. Ia merasa terhina untuk menyerahkan tangannya dan diikat. Terlebih-lebih lagi, jika ia dihadapkan kepada Pangeran Ranakusuma, maka ia tentu akan mendapat hukuman yang sangat berat. Apalagi jika Raden Rudira itu tidak tertolong lagi jiwanya.
Meskipun demikian dengan licik ia bertanya, “Apakah jaminanmu bahwa sebaiknya aku menyerah?”
“Aku tidak akan membunuhmu, “
“Persetan” Mandra menyerang dengan dahsyatnya. Namun Ki Dipanala berhasil menghindar dan bahkan membalas serangan itu dengan sengitnya pula. Dan memang itulah yang ditunggu oleh Mandra. Dengan loncatan, panjang ia menghindarinya seakan-akan ia benar-benar terdesak tanpa dapat berbuat apa-apa. Tetapi dengan demikian ia menjadi semakin dekat dengan Raden Rudira.
“Sudah waktunya” katanya di dalam hati, “Aku dapat mencapainya dengan beberapa loncatan, dan mengacukan pedang ini di dadanya.
Sejenak Mandra masih memancing perhatian Ki Dipanala, namun ketika terbuka kesempatan baginya, maka dengan serta merta ia meloncat meninggalkan gelanggang perkelahian itu langsung ke tempat Raden Rudira terbaring.
Ki Dipanala terkejut melihat hal itu. Ia memang tidak menyangka bahwa Mandra akan berbuat begitu liciknya. Namun bagaimanapun juga itu adalah suatu kelengahan baginya, karena ialah yang telah memulai memancing Mandra untuk meninggalkan Raden Rudira. Ternyata kemudian Mandra mempergunakan cara yang sebaliknya.
Dalam waktu yang singkat, Ki Dipanala harus menemukan cara untuk menyelamatkan Rudira. Jika sekali lagi Mandra berhasil mencapai anak muda yang malang itu, maka tentu tidak akan ada kesempatan lagi baginya untuk membebaskannya. Karena itu, di dalam kesulitan itu, Ki Dipanala tidak dapat berpikir panjang. Dengan serta-merta ia melemparkan kerisnya meluncur mengejar Mandra.
Sejenak kemudian Ki Dipanala memalingkan wajahnya. Ia mendengar Mandra mengerang tertahan, ketika kerisnya hinggap di punggung orang itu. Tetapi Ki Dipanala tidak melihatnya ketika Mandra itu jatuh terguling. Yang didengarnya hanyalah sebuah umpatan pendek. Namun kemudian sepi. Sepi sekali.
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Kini ia melangkah mendekati Mandra yang sudah menjadi mayat. Dengan dada yang berdebar-debar Ki Dipanala mendekatinya dan mencabut kerisnya dari punggung orang itu.
“Aku telah membunuh lagi” desis Ki Dipanala perlahan-lahan, “tanpa aku kehendaki, aku telah membunuh beberapa orang tidak di peperangan”
Sejenak Ki Dipanala berdiri mematung. Namun sejenak kemudian sambil menjinjing kerisnya yang berlumuran darah ia berjalan perlahan-lahan mendekati Rudira yang masih saja berusaha beringsut mendekati kuda Mandra yang terikat di pinggir jalan.
Dalam keremangan malam Rudira melihat Ki Dipanala melangkah setapak demi setapak mendekatinya dengan keris telanjang di tangannya. Langkah itu terasa bagaikan hentakan yang dahsyat sekali memukul dadanya. Setiap langkah rasa-rasanya sebuah tulang iganya menjadi patah.
Sejenak kemudian Ki Dipanala itu berdiri tegak di sisi tubuh Raden Rudira yang terbaring. Rasa-rasanya Ki Dipanala yang tidak sebesar Mandra itu bagaikan seorang raksasa yang berdiri tegak dengan kokohnya. Kakinya yang kuat itu siap menginjak dadanya sehingga tulang belulangnya akan remuk menjadi debu.
Sejenak suasana menjadi tegang. Namun sejenak kemudian, hampir di luar dugaannya, Raden Rudira melihat Ki Dipanala itu berjongkok di sampingnya setelah menyarungkan kerisnya. Bahkan ketika ia mendengar Ki Dipanala itu berkata, suaranya tidak sekeras guruh yang menyambar telinganya. Kalanya, “Luka Raden cukup parah. Sebaiknya Raden segera kembali ke Ranakusuman”
Rudira tidak segera percaya kepada pendengarannya. Bahkan kepalanya mulai agak pening dan pandangannya berkunang-kunang.
“Apakah aku sudah dipengaruhi oleh khayalan-khayalan yang menyesatkan” katanya di dalam hati.
Namun ia mendengar sekali lagi Dipanala berkata, “Marilah Raden, aku tolong Raden naik ke punggung kuda Mandra Kuda Raden sendiri agaknya telah berlari agak jauh ketika Raden terjatuh”
Raden Rudira masih termangu-mangu. Namun Dipanala tidak menunggu darah Raden Rudira semakin banyak mengalir. Bahkan kemudian Dipanala itu pulalah yang menyarankan agar Raden Rudira melepas saja ikat kepalanya untuk menahan darahnya dari luka oleh peluru perwira kumpeni itu.
Dengan tertatih-tatih Raden Rudira dipapah oleh Ki Dipanala dan ditolongnya naik ke punggung kuda Mandra.
“Hati-hati1ah Raden. Tunggulah di sini sebentar. Aku akan mengambil kudaku”
Ki Dipanala pun kemudian mengambil kudanya yang disembunyikannya. Kemudian sambil membawa mayat Mandra, Ki Dipanala pun naik bersama dengan Raden Rudira. Sedang mayat Mandra itu diletakkannya menyilang di punggung kudanya sendiri.
“Aku akan menjaga Raden” berkata Ki Dipanala.
Raden Rudira sendiri tidak mengerti, perasaan apakah yang berkecamuk di dalam dadanya. Bahkan ia masih saja dibayangi oleh prasangka, bahwa tiba-tiba saja Dipanala itu akan menusuk lambungnya dari belakang.
Tetapi hal itu ternyata tidak terjadi. Dengan tanpa mengalami gangguan di perjalanan mereka pun kemudian mendekati regol Ranakusuman.
Ketika regol itu terbuka, maka para penjaganya menjadi sangat terkejut karenanya. Mereka melihat Raden Rudira yang lemah dilayani oleh Ki Dipanala, sedang di punggung kuda yang lain mereka melihat mayat Mandra tergantung menyilang.
Sejenak para penjaga regol itu menjadi termangu-mangu. Namun sejenak kemudian pemimpin peronda itu dengan serta merta mengacukan tombaknya ke dada Ki Dipanala sambil berkata, “Ki Dipanala, apakah yang sudah kau lakukan? Apakah kau membunuh Mandra dan melukai Raden Rudira”
Sebelum Ki Dipanala menjawab, maka beberapa orang pengawal yang lain telah mengacukan senjata mereka pula mengelilingi Dipanala yang masih duduk di punggung kudanya.
Sejenak Ki Dipanala menjadi tegang. Bahkan ia pun menjadi cemas. Jika Raden Rudira yang sudah akan membunuhnya itu ingkar, dengan sepatah kata saja, anak muda itu akan dapat membunuhnya di regol itu dengan meminjam tangan dan senjata para penjaganya.
Karena itu, maka dadanya pun segera bergolak. Dipandangi-nya para penjaga itu seorang demi seorang. Mereka tentu pernah mendengar, bahwa Raden Rudira sangat membencinya.
Sejenak mereka yang ada di regol itu dicengkam ketegangan. Senjata para penjaga regol itu benar-benar sudah siap menembus tubuh Ki Dipanala jika mereka mendengar perintah Raden Rudira, karena para penjaga itu akan dapat menyebut beberapa alasan kenapa mereka melakukannya.
“Keputusan terakhir dari persoalan ini ada pada Raden Rudira” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya. Ia sudah tidak sempat berbuat apa-apa lagi. Mengancam Raden Rudira pun ia sudah tidak dapat melakukannya, karena begitu tangannya bergerak mencabut kerisnya, maka tombak para penjaga itu pasti sudah menembus tubuhnya.
Sejenak Ki Dipanala menunggu dengan tegangnya. Dadanya bagaikan berhenti berdetak ketika ia merasakan gerak Raden Rudira yang perlahan-lahan mengangkat kepalanya yang lemah.
“Kami menunggu perintah Raden” berkata pemimpin penjaga itu.
Nafas Raden Rudira menjadi semakin terengah-engah. Tetapi ia masih mencoba berkata, “Minggir, minggir semua. Jangan menahan kami lebih lama lagi, supaya aku tidak terlanjur mati sebelum aku bertemu dengan ayahanda”
Para penjaga regol itu terkejut. Mereka kurang yakin akan pendengarannya, sehingga karena itulah mereka menjadi ragu-ragu.
Namun sekali lagi mereka mendengar suara Raden Rudira yang dalam, “Minggir, minggir sebelum aku mati”
Para penjaga regol itu pun segera bergeser surut dengan wajah yang tegang. Namun mereka tidak dapat berbuat lain. Mereka harus membiarkan Ki Dipanala memasuki halaman rumah itu sambil menjaga tubuh Raden Rudira yang lemah, sedang di belakangnya seekor kuda yang terikat pada pelana kuda Dipanala itu mengikutinya sambil membawa mayat Mandra.
Beberapa langkah dari para penjaga itu Ki Dipanala berdesis, “Terima kasih Raden”
Rudira menarik nafasnya yang terasa semakin sendat, “Kenapa kau yang mengucapkan terima kasih?” Ki Dipanala tidak menyahut.
Sejenak mereka pun telah sampai ke pintu samping. Dengan hati-hati Ki Dipanala turun dari kudanya lebih dahulu, baru kemudian ia mengangkat tubuh Raden Rudira yang semakin lemah.
“Buka pintu itu” berkata Ki Dipanala terhadap seorang pelayan yang menjadi termangu-mangu.
Pelayan itu pun kemudian dengan gugup membuka pintu samping kemudian mengikuti Ki Dipanala masuk ke dalam dan membaringkan Raden Rudira di pembaringannya.
“Panggil seorang tabib yang sering merawat Pangeran Rana-kusuma” berkata Ki Dipanala kepada beberapa orang pelayan dengan berkerumun di luar pintu, “Cepat”
Para pelayan itu termangu-mangu, namun kemudian salah seorang meloncat ke punggung kuda yang baru saja diperguna-kan oleh Ki Dipanala bersama Raden Rudira. Ketika di regol halaman para penjaga menghentikannya, pelayan itu hanya berteriak sambil berpacu, “Aku harus segera memanggil seorang dukun yang paling pandai di Surakarta”
Dalam pada itu, di dalam biliknya Raden Rudira berbaring dengan lemahnya. Ketika Dipanala meneteskan air di mulutnya, Rudira menarik nafas dalam-dalam.
“Terima kasih” desisnya.
“Sebentar lagi tabib itu akan datang” desis Ki Dipanala.
Raden Rudira mengangguk kecil. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia bertanya, “Apakah ayahanda belum datang?”
Ki Dipanala tidak dapat menjawab. Ketika ia berpaling kepada pelayan yang ada di belakangnya, maka pelayan itulah yang menjawab, “Belum Raden. Ayahanda dan ibunda masih belum pulang”
“Persetan dengan ibunda” tiba-tiba saja Raden Rudira menggeram. Wajahnya yang pucat itu menegang sejenak. Namun ia tidak dapat bangkit dari pembaringannya.
Pelayan yang mendengarnya menjadi heran. Kenapa tiba-tiba saja Raden Rudira nampaknya marah kepada ibundanya, Raden Ayu Galihwarit.
“Paman Dipanala” desis Rudira kemudian, “Apakah paman dapat memerintahkan seseorang menyusul ayahanda di istana. Aku ingin segera bertemu dan mengatakan sesuatu sebelum aku mati.
“Tidak. Raden tidak akan mati. Raden akan sembuh karena sebentar lagi tabib itu akan datang”
“Panggillah ayahanda” desisnya.
Dipanala menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baiklah Raden”
Dipanala pun kemudian memerintahkan salah seorang abdi untuk pergi menyusul Pangeran Ranakusuma ke istana Kangjeng Susuhunan.
“Hati-hati1ah. Sampaikan persoalannya dengan sebaik-baiknya. Jangan mengejutkan Pangeran Ranakusuma dan jangan membuatnya menjadi bingung” pesan Ki Dipanala kepada abdi yang akan menyusul Pangeran Ranakusuma itu.
Dalam pada itu, di luar, kawan-kawan Mandra sedang merubung mayat orang bertubuh raksasa itu. Mereka ragu-ragu untuk mengambil mayat itu dari atas punggung kuda.
Namun salah seorang dari mereka berkata, “Marilah kita bawa masuk ke dalam bilik belakang”
“Tetapi, apakah dengan demikian kami tidak berbuat kesalahan?”
Mereka menjadi ragu-ragu sejenak, lalu, “Kita bertanya dahulu kepada Ki Dipanala yang membawanya pulang”
“Masuklah, dan bertanyalah kepadanya. Ia berada di dalam bilik Raden Rudira”
Mereka menjadi ragu-ragu sejenak. Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Kawan-kawan Mandra itu pun menganggap bahwa Raden Rudira dan Mandra adalah orang yang sangat membenci Ki Dipanala meskipun mereka tidak tahu sebabnya. Dan kini mereka melihat justru Ki Dipanala membawa Raden Rudira yang parah dan mayat Mandra. Pada umumnya mereka mempunyai dugaan yang sama. Ki Dipanala telah membunuh Mandra dan melukai Raden Rudira.
Tetapi mereka masih juga menyangsikannya. Apakah mungkin Ki Dipanala melawan kedua orang itu sekaligus.
“Ki Dipanala mampu berkelahi melawan beberapa orang perampok sekaligus” desis salah seorang dari mereka.
Kawan-kawan Mandra yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang mungkin sekali Ki Dipanala telah membunuhnya meskipun barangkali ia berbuat curang. Kemudian melukai Raden Rudira sekaligus”
“Jika demikian buat apa Dipanala membawa mereka kemari? Kenapa keduanya tidak ditinggalkan saja dimanapun juga?”
“Dimanapun juga akibatnya tidak berbeda. Raden Rudira itu masih dapat menyebut namanya”
“Tentu ia akan dibunuhnya sama sekali”
Kawan-kawannya tidak menyahut. Keragu-raguan yang tajam telah mencengkam hati mereka.
Sementara itu, seorang pelayan melangkah keluar dari pintu samping. Kemudian pelayan itu pun menemui kawan-kawan Mandra yang sedang berkerumun.
Sebelum pelayan itu mengatakan sesuatu, kawan-kawan Mandra itu pun telah mendahului bertanya, “Apakah yang sebelumnya telah terjadi?”
Pelayan itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak seorang pun yang tahu. Raden Rudira masih sangat lemah. Ia tidak mau berbicara tentang apapun juga, selain minta agar Pangeran Ranakusuma dijemput”
“Lalu, bagaimana dengan mayat Mandra ini?” bertanya salah seorang kawannya”
“Menurut Ki Dipanala, kita dimintanya untuk mengangkat mayat itu dan membawanya ke dalam bilik di ruang belakang”
“Kenapa Dipanala, bukan Raden Rudira?”
“Raden Rudira hampir tidak sadar”
“Persetan dengan Dipanala. Apakah bukan Dipanala yang telah berkhianat?”
“Kami tidak tahu. Kami menunggu perintahnya. Tetapi Raden Rudira tidak berkata apapun juga. Bahkan seakan-akan ia hanya mau berbicara dengan Ki Dipanala saja”
“Aneh” salah seorang berdesis. Namun tiba-tiba katanya, “Cepat, masuklah. Awasi Dipanala itu. Mungkin dengan diam-diam ia berusaha membunuh Raden Rudira yang luka itu untuk menghilangkan jejak kejahatan dan pengkhianatannya”
Abdi itu menjadi termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan menungguinya”
Ketika pelayan itu masuk kembali ke dalam, maka kawan-kawan Mandra pun mengangkat mayat itu dan membawanya ke belakang.
“Jika benar Dipanala telah membunuhnya, maka ia pasti akan mendapat hukuman yang setimpal. Sebenarnya seisi istana ini sudah membencinya. Tetapi aku tidak tahu, bahwa hanya karena kebaikan hati sajalah maka Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galih Warit tidak mengusirnya”
“Aku ingin, Dipanala itu diserahkan kepadaku”
“Kepada kita”
“Ya, kepada kita. Kita akan mencincangnya sampai lumat.
“Tidak dicincang. Tetapi kita akan menghukum picis”
“Ya hukum picis. Kita harus mendapatkan jeruk dan garam”
“Disapu dengan rotan. Jika punggungnya sudah babak belur, kita mandikan orang itu dengan air jeruk dan garam. Itu lebih baik dari hukum picis. Dengan hukuman picis ia akan segera mati karena darah yang meleleh, tetapi dengan hukuman cambuk dengan rotan, kita akan dapat memeliharanya untuk empat atau lima hari”
“Semuanya terserah kepada Pangeran Ranakusuma” berkata salah seorang dari mereka.
Kawan-kawannya pun kemudian terdiam. Mereka duduk mengelilingi mayat Mandra yang terbujur di atas pembaringan bambu yang besar.
“Luka Mandra adalah luka yang mematikan” desis salah seorang dari mereka, “Justru di punggung. Tentu suatu kecurangan. Jika Ki Dipanala itu berhadapan muka, maka ia tidak akan dapat membunuhnya. Mandra adalah orang yang luar biasa”
Yang lain mengangguk-angguk. Namun tampaklah wajah di dalam, bilik itu dipenuhi oleh pertanyaan yang tidak dapat mereka jawab. “Kenapa Mandra mati dengan luka di punggungnya?”
Dalam pada itu, keadaan Raden Rudira menjadi semakin gawat. Meskipun Ki Dipanala sudah berusaha menahan darah yang keluar dari luka di lengannya, namun Rudira sudah benar-benar lemah. Punggungnya rasa-rasanya telah patah ketika ia terpelanting dari kudanya dan jatuh di jalan yang keras. Kecepatan lari kudanya telah menambah lukanya semakin parah.
Dengan gelisah Ki Dipanala menunggu anak muda yang terbujur diam itu. Sekali-sekali terdengar erang tertahan. Namun yang mendengarnya seakan-akan ikut merasakan betapa sakit luka-lukanya.
Beberapa orang ikut menungguinya. Beberapa di antara mereka pun menaruh curiga kepada Ki Dipanala. Apalagi abdi yang baru saja berbicara dengan kawan-kawan Mandra. Ia berada di paling depan sambil mengawasi Ki Dipanala dengan tanpa berkedip.
Ki Dipanala pun merasa betapa sorot mata orang-orang di sekelilingnya itu bagaikan menusuk jantung Namun ia masih tetap di tempatnya. Ia hanya mengharap agar Raden Rudira masih tetap sadar sehingga ia akan dapat mengatakan apa yang terjadi sebenarnya.
Karena itu, maka dengan tekun Ki Dipanala melayaninya. Menitikkan air setetes demi setetes, dan membasahi dahi anak muda yang mulai menjadi panas itu.
Dengan gelisah orang-orang di dalam bilik dan yang berkerumun di luar pintu itu menunggu kedatangan seseorang yang akan dapat menyelamatkan Raden Rudira yang nampaknya menjadi semakin parah. Jika Raden Rudira itu tidak tertolong lagi, maka tidak akan ada keterangan yang dapat dipercaya.
Karena pertimbangan itu pulalah Ki Dipanala pun masih tetap berdiam diri. Ia merasa bahwa kata-katanya tentu tidak akan dipercaya, sehingga karena itu, ia pun menggantungkan diri kepada kejujuran Raden Rudira.
“Mudah-mudahan Raden Rudira bersikap seperti ketika ia berada di regol halaman” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, tabib yang ditunggu-tunggu itu pun masih juga belum datang, sehingga rasa-rasanya keadaan Raden Rudira menjadi semakin gawat.
Ketika di halaman terdengar derap seekor kuda, maka semua orang yang berada di dalam bilik itu mengangkat wajahnya. Bahkan salah seorang berdesis, “Tentu tabib itu datang”
Ki Dipanala pun menjadi berdebar-debar. Tanpa sesadarnya ia bergeser ke pintu. Namun pelayan yang mendapat pesan dari kawan-kawan Mandra itu pun segera bertanya, “Kau mau kemana Ki Dipanala?”
Dipanala memandang pelayan itu sejenak, lalu jawabnya, “Aku tidak akan pergi”
“Kau harus tetap di sini. Kau harus mempertanggung jawabkan apa yang telah terjadi di sini, “
Ki Dipanala mengerutkan keningnya. Dipandanginya pelayan itu dengan tajamnya. Namun ia dapat mengerti, bahwa kecuriga-an itu tidak hanya hinggap pada seorang itu saja. Karena itu, untuk tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru, Ki Dipanala tidak menjawab. Bahkan kemudian ia bergeser kembali mendekati Raden Rudira. Namun sekali lagi pelayan itu berkata, “Jangan sentuh Raden Rudira”
Terasa sesuatu berdesir di dada Ki Dipanala. Tetapi seperti tidak mendengar kata-kata itu, Ki Dipanala melangkah mendekati Raden Rudira dan meraba dahinya.
“Panas sekali” desisnya.
Terdengar Raden Rudira mengerang. Namun ia masih sempat berdesis, “Air, air”
Tanpa menghiraukan kecurigaan orang lain, Ki Dipanala meneteskan setitik air di bibir Raden Rudira
Pelayan yang berdiri didekat Raden Rudira terbaring itu sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa, karena ia pun tahu bahwa Ki Dipanala mempunyai pengaruh yang kuat pada Pangeran Ranakusuma betapapun orang itu dibencinya.
Sesaat kemudian, pelayan yang harus memanggil tabib itu pun bergegas masuk. Dengan kata-kata yang memburu di antara nafasnya ia berkata, “Tabib itu, tabib itu, sebentar lagi. Sekarang ia sedang merawat seseorang di rumahnya. Seorang yang terjatuh dari pohon kelapa”
“Tetapi bukankah kau sudah mengatakan, bahwa yang memerlukannya adalah putera Pangeran Ranakusuma?” bertanya Ki Dipanala.
“Ya, tetapi orang yang terjatuh itu sudah hampir meninggal, sehingga ia memerlukan perawatan segera”
“Seperti juga Raden Rudira”
“Ia akan segera datang, jika ia sudah selesai. Ia tidak dapat meninggalkan seseorang yang hampir mati tetapi masih mungkin mendapatkan pertolongan”
Ki Dipanala hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan dapat memaksa tabib itu karena sedang menghadapi orang yang sedang berjuang melawan maut. Yang dapat dilakukannya hanya-lah sekedar mengharap kehadirannya segera setelah pekerjaan itu selesai.
Ternyata orang-orang yang ada di Ranakusuman itu tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian mereka mendengar derap seekor kuda pula memasuki halaman istana itu.
“Lihat, siapakah orang itu” perintah Ki Dipanala tanpa menghiraukan perasaan para abdi Ranakusuman itu terhadap-nya.
Seseorang segera berlari-lari keluar. Dan rasa-rasanya jantungnya yang hampir berhenti itu telah berdegup kembali. Yang datang itu tabib yang ditunggunya.
Dengan tergesa-gesa tabib yang masih agak muda itu pun segera masuk ke bilik tempat Raden Rudira dibaringkan.
Ketika tabib itu membuka ikat kepala Raden Rudira yang di pergunakan untuk menyumbat lukanya, maka tabib itu pun terkejut Dengan nada yang datar ia berkata, “Luka oleh peluru”
“Ya” sahut Ki Dipanala, “luka itu oleh peluru”
Para pelayan pun terkejut pula karenanya. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa luka Raden Rudira itu adalah bekas tertusuk peluru. Bukan oleh senjata tajam.
“Tetapi” berkata Ki Dipanala kemudian, “yang tidak kalah parahnya adalah punggung Raden Rudira karena ia terjatuh dari kudanya”
Tabib itu mengangguk-angguk. Kemudian diambilnya reramuan obat-obatan dari dalam kantong yang dibawanya.
“Air” katanya, “reramuan itu harus dicairkan dengan air sedikit, kemudian harus diusahakan agar reramuan ini dapat diminum untuk menambah daya tahannya, sementara aku akan mengobati lukanya dan barangkali perlu merawat punggungnya”
Seorang abdi pun kemudian mengambil semangkok air yang kemudian dituangkan ke dalam mangkok yang lain untuk mencairkan reramuan obat yang dibawa oleh tabib itu.
Untunglah bahwa Raden Rudira masih dapat menelan minuman itu, meskipun dengan agak kesulitan. Kemudian dengan cekatan tabib itu mengobati luka Raden Rudira yang tergores peluru.
“Untunglah bahwa peluru itu tidak mengeram di dalam tubuhnya” desis tabib itu.
Ki Dipanala tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.
Dalam pada itu, selagi tabib itu dengan teliti mengobati luka-luka Raden Rudira, baik karena peluru maupun karena goresan tanah yang keras, terdengar roda-roda kereta berderap di halaman. Beberapa orang pelayan segera bergeser pergi meninggalkan bilik itu. Yang datang dengan kereta itu tentu salah satu dari kedua orang tua Raden Rudira, sehingga dengan demikian, jika mereka masih berkumpul di bilik itu, tentu mereka akan mendapat marah.
Yang tinggal di dalam bilik itu tinggallah Ki Dipanala, tabib yang sedang mengobati Raden Rudira itu, dan seorang pelayan yang masih saja tetap mencurigai Ki Dipanala meskipun karena luka di tubuh Raden Rudira itu adalah luka peluru, maka kecurigaannya itu pun menjadi kabur.
Ternyata yang datang dengan tergesa-gesa itu adalah Pangeran Ranakusuma yang sudah mendapat berita tentang puteranya yang terluka. Namun berita yang didengarnya dari seorang abdinya itu masih belum jelas, sehingga justru ia menjadi agak gugup.
Dengan tergesa-gesa ia memasuki pintu depan yang masih terbuka langsung masuk ke dalam bilik Raden Rudira. Ketika dilihatnya Ki Dipanala ada di dalam bilik itu, maka Pangeran Ranakusuma pun memandanginya dengan tajamnya. Dengan suara yang berat ia pun kemudian berkata, “Apa yang terjadi Dipanala. Berkatalah berterus terang”
Ki Dipanala menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Jika Raden Rudira sudah agak tenang dan badannya menjadi agak kuat, sebaiknya Raden Rudira sajalah yang memberikan keterangan dengan singkat. Kemudian aku tinggal menjelaskan persoalannya”
“Kaukah yang melakukannya?”
“Ampun Pangeran. Sudah hamba katakan, sebaiknya biarlah Raden Rudira saja yang mengatakannya nanti. Tetapi hamba mohon tidak seorang abdi pun yang boleh mendengarnya”
Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia memandang abdi yang masih ada di dalam bilik itu sambil berkata, “Tinggalkan bilik ini”
Pelayan itu menjadi ragu-ragu. Namun ia pun melangkah keluar dari bilik itu.
Ketika ia berhenti di muka pintu, maka Pangeran Ranakusuma membentaknya, “Cepat. Jangan ragu-ragu. Jika Dipanala berbuat gila aku dapat membunuhnya”
Pelayan itu pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan bilik itu. Sebenarnyalah bahwa Pangeran Ranakusuma adalah seorang prajurit yang baik, sehingga Kangjeng Susuhunan memberinya anugerah nama Ranakusuma. Bunga di peperangan.
“Nah, apa yang terjadi, katakan” Pangeran Ranakusuma Menjadi tidak sabar lagi.
Ki Dipanala memandang tabib itu sejenak, lalu, “Apakah Raden Rudira boleh berbicara”
“Sekedarnya saja” jawab tabib itu.
Ki Dipanala pun kemudian berlutut di samping tubuh Raden Rudira yang terbaring diam. Perlahan-lahan ia berbisik di telinganya, “Raden, apakah Raden dapat berbicara beberapa patah kata saja dengan ayahanda”
Raden Rudira mendengar dengan jelas kata-kata itu. Perlahan-lahan ia membuka matanya yang lemah, yang pelupuk-nya bagaikan telah melekat. Meskipun agak kabur ia masih dapat melihat, bahwa ayahandanya berdiri di sampingnya.
“Ayahanda” suara Raden Rudira perlahan sekali.
“Ya Rudira, di sini ayahandamu”
“Ayah” suaranya sangat lemah, “dengarkan ayah”
“Ya, ya. Aku mendengar Rudira” sahut ayahandanya sambil mendekatkan telinganya, “Kenapa kau terluka?”
“Aku ditembak, ayahanda”
“Ditembak? Siapakah yang menembakmu?”
“Mandra telah berkhianat. Biarlah paman Dipanala mengata-kannya. Percayalah kepadanya ayah”
Wajah Pangeran Ranakusuma menjadi tegang. Ketika terpandang wajah tabib yang merawat Raden Rudira itu, tabib itu mengangguk sambil berkata, “Ya Pangeran. Lukanya adalah luka peluru”
“Siapakah yang sudah berbuat gila itu?”
Tetapi Raden Rudira sudah memejamkan matanya kembali. Tubuhnya rasa-rasanya menjadi semakin lemah.
“Bagaimana dengan anak itu?” bertanya Pangeran Ranakusuma kepada tabib yang merawatnya.
“Hamba sedang berusaha Pangeran”
“Tetapi, maksudku, apakah masih ada harapan?”
Tabib itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Marilah kita bersama-sama berdoa. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Penyayang mengabulkan doa kita”
Dada Pangeran Ranakusuma menjadi berdebaran. Jawaban tabib yang masih muda itu benar-benar membuatnya gelisah dan cemas. Ia kenal tabib itu dengan baik, karena setiap kali ia memerlukan maka dipanggilnya tabib itu bagi seluruh keluarganya. Kini tabib yang dikenalnya sebagai seorang yang pandai itu menjawab dengan penuh keragu-raguan.
“Hamba sudah memberikan obat yang paling baik yang ada pada hamba Pangeran. Hamba pun telah mengobati luka peluru itu dan memberikan param pada punggung Raden Rudira yang agaknya cidera ketika ia terjatuh dari kudanya”
Raden Rudira mencoba bergeser sedikit, tetapi yang kemudian terdengar adalah rintihannya yang tertahan.
“Punggung itu sakit sekali” berkata tabib itu.
Pangeran Ranakusuma memandang Ki Dipanala sejenak, lalu katanya, “Kau dapat menceriterakannya?”
“Hamba Pangeran. Jika Pangeran tidak berkeberatan, hamba dapat mengatakan apa yang telah terjadi atas Raden Rudira”
Pangeran Ranakusuma terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Dipanala yang tampak bersungguh-sungguh dan sejenak kemu-dian ditatapnya wajah Rudira yang pucat dengan mata yang terpejam.
Dengan suara yang dalam, maka Pangeran Ranakusuma pun kemudian berkata, “Katakanlah Dipanala. Aku kira kali ini aku harus mempercayaimu seperti yang dikatakan oleh Rudira”
Bersambung ke Bagian 3
Komentar
Posting Komentar