Bunga di batu karang IX bag 3

Bunga di batu karang IX bag 3

“Terima kasih Pangeran. Hamba akan menceriterakan apa yang hamba ketahui tanpa mengurangi dan tanpa menambahi-nya. Memang sama sekali bukan maksud hamba untuk selalu berusaha mengetahui segala macam rahasia yang ada di istana Ranakusuman ini. Tetapi agaknya memang nasib hamba yang tidak menguntungkan jika pada suatu ketika hamba mengetahui beberapa macam rahasia tanpa hamba kehendaki sendiri”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ketika terpandang olehnya tabib yang menunggu Raden Rudira, maka katanya kemudian kepada Dipanala, “Biarlah kita berbicara di ruang yang lain, agar tidak mengganggu Rudira yang sedang beristirahat”

Ki Dipanala menarik nafas. Ia menyadari bahwa di ruang itu masih ada orang lain. Karena itu maka katanya, “Baiklah Pangeran. Hamba menurut saja perintah Pangeran”

Merekapun kemudian keluar dari bilik itu dan pergi ke bilik Pangeran Ranakusuma. Setelah mereka yakin bahwa tidak ada orang lain yang mendengarnya, maka berkatalah Pangeran Ranakusuma, “Katakanlah. Apapun yang terjadi. Jangan hirau-kan perasaanku. Aku akan mencoba untuk melihat kenyataan dengan hati yang tenang. Karena kenyataanku sendiri seperti yang kau ketahui, bukannya kenyataan yang dapat dibanggakan”

Ki Dipanala menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Aku tahu, bahwa kau ragu-ragu. Tetapi kali ini seperti aku mencoba untuk mempercayaimu, kau pun sebaiknya mencoba percaya kepadaku”

“Ya Pangeran. Hamba akan mencobanya”

“Nah, katakanlah. Aku tidak akan marah. Aku tidak akan mendendam dan segala macam perasaan terhadapmu”

“Ampun Pangeran. Yang pernah hamba alami, meskipun hamba sudah mencoba menyimpan rahasia seseorang sebaik-baiknya, namun nyawa hamba masih juga terancam”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah kau juga menganggap aku terlibat dalam, usaha membunuhmu?”

Ki Dipanala menggelengkan kepalanya, “Tidak Pangeran, aku tahu bahwa Pangeran tidak terlibat dalam usaha pembunuhan itu”

“Nah, sekarang, katakan apa yang kau ketahui”

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sekali lagi hamba ingin menjelaskan bahwa hamba sama sekali tidak bermaksud untuk mengetahui rahasia orang lain sebanyak-banyaknya, apalagi dengan tujuan yang kurang baik. untuk memeras misalnya”

“Aku percaya, seperti yang dikatakan oleh Rudira. Karena aku tahu sikap Rudira sebelumnya terhadapmu”

“Terima kasih Pangeran. Jika hamba mendapat jaminan bahwa tidak akan timbul salah paham, maka biarlah hamba menceriterakannya”

Demikianlah maka Ki Dipanala mencoba menceriterakan dengan singkat, apa saja yang diketahuinya. Sejak ia tidak sengaja mendengar rencana Raden Rudira dan Mandra. Kemudian dorongan perasaannya untuk mengikuti keduanya dan menunggui pertemuan Raden Ayu Galihwarit dengan para perwira kumpeni dan beberapa orang bangsawan yang lain. Kemudian diceriterakan pula apa yang sebenarnya sudah dilakukan oleh Raden Ayu Galih Warit, sehingga memaksa Raden Rudira bertindak. Apalagi Mandra yang berkhianat ternyata sudah menyiapkan rencana yang sebaik-baiknya. Tanpa ada yang dilampauinya Ki Dipanala menceriterakannya, sampai pada akhirnya, ia membawa Raden Rudira dan mayat Mandra kembali ke Ranakusuman.

Ketika Ki Dipanala meng-akhiri ceritanya, dilihatnya Pangeran Ranakusuma dengan hati yang pedih menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Seakan-akan ia tidak berani melihat gambaran yang jelas dari peristiwa yang diceritakan oleh Ki Dipanala tanpa ada yang terlampaui.

Ki Dipanala memandang Pangeran Ranakusuma itu seje-nak, kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Kemudian segalanya terserah kepada tuan. Hamba akan melakukan segala perintah”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada yang dalam, “Terima kasih Dipanala. Aku percaya semua yang kau katakan. Tetapi dengan demikian aku justru menjadi yakin, bahwa kau mengetahui rahasia isteriku bukan baru kali ini saja. Itulah sebabnya ia berusaha membunuhmu dengan memperalat anak laki-lakinya itu.

Ki Dipanala menganggukkan kepalanya, “Ampun Pangeran Sebenarnyalah demikian”

Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk pula. Katanya, “Aku tidak ingin mendengar rahasia yang kau ketahui sebelumnya, karena aku sudah dapat meraba apa yang terjadi. Hal itu tentu hanya akan menambah luka di hati saja”

Ki Dipanala tidak menjawab.

“Terima kasih” desis Pangeran Ranakusuma kemudian, “tinggalkan aku sendiri”

Ki Dipanala pun kemudian mohon diri, keluar dari dalam bilik Pangeran Ranakusuma itu.

Sepeninggal Ki Dipanala, maka Pangeran Ranakusuma itu pun duduk diam mematung. Seakan-akan terbayang dengan jelas, apa yang sedang terjadi saat itu dengan isterinya. Meskipun sebelumnya memang sudah ada perasaan curiga, namun ia berusaha untuk mengingkari perasaan” itu. Tetapi tanpa disadarinya ia pun telah memperalat Rudira untuk mengamati ibunya, sehingga kini akibat yang dialaminya ternyata menjadi sangat berat.

“Anak itu akan kehilangan kepercayaan kepada orang lain. Jika ia sudah tidak mempercayai ibunya sendiri, maka tidak akan ada manusia lain yang akan dapat menyejukkan hatinya”

Dengan penuh penyesalan Pangeran Ranakusuma melihat ke dalam dirinya sendiri, keluarganya dan orang-orang yang pernah bersangkut paut dengan dirinya. Terbayang kembali isterinya yang sudah meninggal dunia. Isterinya yang lain, yang dikembalikannya kepada orang tuanya. Anaknya yang disingkirkan ke padepokan Jati Aking dan anaknya yang manja, namun yang akhirnya terperosok ke dalam bencana yang tidak disangka-sangka oleh pengkhianatan orang yang selama ini menjilat kakinya.

“Alangkah rendahnya martabat manusia” katanya di dalam hati. Tetapi ia pun tidak ingkar, bahwa sebenarnya dirinya sendiri tidak akan lebih baik dari Mandra, jika ia menyadari bahwa ia pun sedang berusaha menjilat kekuasaan di Surakarta yang mulai kabur.

“Aku pun dapat seperti Mandra” suara hatinya itu serasa semakin keras bergema di dalam dadanya, “Aku pun akan dapat berkhianat kepada kumpeni dan kepada Susuhunan”

Namun tiba-tiba tumbuh pertanyaan, “Apakah selama ini aku tidak berkhianat terhadap Surakarta?”

Sekali lagi Pangeran Ranakusuma menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Semuanya menjadi semakin jelas terbayang.

Pangeran Ranakusuma itu terkejut ketika ia mendengar seseorang memanggilnya, “Pangeran, Pangeran”

Pangeran Ranakusuma mengangkat wajahnya. Dilihatnya Ki Dipanala berdiri terbungkuk-bungkuk di depan pintu.

“Ada apa?”

“Ampun Pangeran, Raden Rudira menjadi semakin lemah”

“He” dengan serta-merta Pangeran Ranakusuma meloncat berdiri.

“Raden Rudira memanggil tuan”

Dengan tergesa-gesa Pangeran Ranakusuma pergi ke bilik puteranya. Dilihatnya Raden Rudira menjadi gelisah. Kepalanya bergerak-gerak tidak menentu.

“Rudira, Rudira” bisik ayahnya di telinganya, “ini ayahandamu”

“O” terdengar anak muda itu berdesah.

“Tenanglah. Kau akan segera sembuh”

“Ayahanda” suaranya lemah sekali, “gelap ayahanda”

Dada Pangeran Ranakusuma serasa dihentakkan oleh kata-kata itu. Namun ia menjawab, “Ya, Rudira. Memang hari masih malam. Biarlah lampu dibesarkan”

“Gelap. Gelap sekali ayah” Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam, “panas, panas sekali”

Pangeran Ranakusuma menjadi semakin bingung. Dipandanginya tabib yang berdiri di sampingnya. Namun wajah tabib yang masih agak muda itu menjadi tegang.

Ki Dipanala pun menjadi sangat cemas. Ia masih berusaha untuk membasahi dahi Raden Rudira dengan air jeruk pecel. Tetapi ia tidak berhasil menenangkan kegelisahan anak muda itu.

“Tidurlah Rudira” berkata ayahnya, “Cobalah untuk tidur, “

Tetapi Raden Rudira seakan-akan sudah tidak mendengarnya lagi. Bahkan ia menjadi semakin gelisah dan berdesis, “Panas. Panas sekali. Sakit ayah”

“Ayah ada di sini”

Raden Rudira mengeluh pendek. Namun suaranya semakin lemah.

“Raden” tabib yang mengobatinya tiba-tiba saja berjongkok di sampingnya. Wajahnya menjadi semakin tegang dan dengan suara yang bergetar ia berkata, “Raden Rudira”

Rudira menggeliat sekali. Dicobanya untuk membuka matanya. Meskipun semakin kabur, ia masih melihat bayangan ayahandanya. Karena itu ia masih mencoba berbicara, “Ayahanda, aku mohon maaf”

“Rudira?” ayahnya menjadi bingung dan sangat cemas.

“Dimana Dipanala”

“Di sini Raden, aku ada di sini”

“Aku minta maaf kepadamu Dipanala. Aku pernah berbuat dosa terhadapmu. Aku tidak mengerti waktu itu, bahwa seharusnya aku tidak melakukannya”

“Tidak, Raden tidak bersalah. Tenanglah. Jangan membayangi diri Raden dengan persoalan-persoalan yang tidak penting. Yang penting bagi Raden sekarang adalah penyembuhan dari segala macam kesakitan yang ada pada diri Raden. Untuk itu Raden harus beristirahat. Lahir dan batin. Raden sekarang berada di dalam istana Raden sendiri. Karena itu jangan gelisah”

Rudira mencoba mengangguk. Tetapi tubuhnya menjadi semakin lemah. Selama ia belum mendapat pertolongan, darahnya terlampau banyak mengalir. Punggungnya yang bagaikan patah, selalu menyakitinya dan seakan-akan tidak ada sesuatu lagi yang menarik baginya. Ibunya telah mengecewakan-nya. Mengecewakan sekali, sehingga tidak akan ada kepercayaan lagi yang dapat diberikannya.

“Ayah” desis Raden Rudira.

“Rudira” Ayahnya menjadi kehilangan akal. Lalu katanya kepada tabib itu, “berbuatlah sesuatu, berbuatlah sesuatu”

Tabib itu pun menjadi gelisah. Obat yang paling baik telah diberikannya kepada Raden Rudira. Lukanya justru sudah tidak mengalirkan darah lagi. Namun sebenarnya perawatan baginya memang agak terlambat. Bukan karena kedatangannya yang lambat, tetapi darahnya memang sudah terlampau banyak mengalir.

Ki Dipanala pun menyadari keadaan itu. Selama ia berkelahi melawan Mandra dan membunuhnya, ia tidak sempat berbuat apa-apa terhadap anak muda yang terluka itu, sehingga darahnya pasti terlampau banyak berceceran. Itulah kesulitan yang dihadapi oleh tabib yang sebenarnya cukup pandai itu. Apalagi hati Raden Rudira sendiri yang telah patah, membuatnya kehilangan nafsu untuk bertahan.

Keadaan Raden Rudira membuat Pangeran Ranakusuma menjadi semakin bingung. Wajah anak muda itu telah menjadi seputih kapas, dan nafasnya seakan-akan tinggal satu-satu tersangkut di kerongkongan.

“Berbuatlah sesuatu” suara Pangeran Ranakusuma menjadi bergetar.

Tabib yang menunggui Raden Rudira itu pun berjongkok disampingnya. Ia sudah merasa berbuat sejauh-jauhnya yang dapat dilakukan. Keputusan terakhir ada pada Yang Maha Kuasa.

Namun demikian, ia masih juga berusaha. Diteteskannya air jernih ke bibir Raden Rudira.

“Ayah” suara anak muda itu hampir tidak terdengar lagi, “Apakah Ki Dipanala sudah mengatakan seluruhnya”

“Sudah Rudira, sudah”

“Itulah yang penting ayah. Aku sudah tidak berkepentingan lagi dengan hidupku. Ternyata ibuku sangat mengecewakan aku”

“Rudira”

Rudira memandang ayahnya sejenak. Tetapi pelupuknya bagaikan melekat. Namun demikian, ia masih melihat sebuah bayangan hitam yang ia yakin itu adalah ayahnya.

Sebuah senyum terbayang di bibir anak muda itu. Perlahan sekali ia berkata, “Aku masih sempat mohon maaf kepada ayah, kepada Ki Dipanala, kepada kakang Juwiring dan kepada siapapun juga. Karena itu aku merasa bersyukur. Yang utama aku pun sempat menyesali dosa-dosaku terhadap Tuhan Yang Maha Murah”

“Rudira”

Senyum Rudira tampak semakin cerah. Sekilas warna merah membayang di wajah yang pucat itu, namun kemudian semuanya itu lenyap seperti asap dihembus angin yang kencang. Sebuah tarikan nafas yang panjang menggerakkan dada Raden Rudira. Tetapi tarikan itu bagaikan terputus di tengah.

“Rudira, Rudira”

Tetapi Raden Rudira sudah tidak mendengarnya lagi. Ia telah mengakhiri hidupnya yang pendek. Ternyata bahwa ia meninggal dalam usia yang masih terlalu muda.

Raden Rudira terbaring diam ketika ayahnya melekatkan mulutnya di telinganya sambil berbisik, “Rudira, Rudira”

Ki Dipanala dan tabib yang mencoba mengobatinya itu saling berpandangan sejenak. Mereka melihat setitik air mengambang di mata Pangeran Ranakusuma. Seorang Pangeran yang menjadi kebanggaan Surakarta di medan perang.

Tetapi menghadapi peristiwa semacam itu, maka hampir tidak ada bedanya antara seorang Pangeran, seorang Senapati dan seorang rakyat kecil. Dengan penuh penyesalan seorang ayah melihat anaknya meninggal dalam keadaan seperti itu. Anak muda yang baru tumbuh.

Betapapun bengal, kasar dan keras kepala, namun kesalahan seluruhnya tidak dapat ditimpakan kepada Raden Rudira. Dalam kedukaan yang paling dalam, Pangeran Ranakusuma melihat anaknya itu telah menjadi korban tingkah laku orang tuanya sendiri.

Pangeran Ranakusuma pun kemudian berdiri termangu-mangu. Dipandanginya tubuh anaknya yang terbaring diam membeku. Wajahnya menjadi putih dan tampak senyumnya masih membayang. Tetapi di balik senyum itu seakan-akan tampak penyesalan yang tiada taranya. Kecewa dan pedih.

“Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma dengan suara parau, “pindahkan tubuh itu ke pembaringan ibunya”

Ki Dipanala termangu-mangu mendengar perintah itu. Sehingga Pangeran Ranakusuma mengulanginya, “Pindahkan lah tubuh itu ke bilik ibunya. Selimuti seperti jika ia sedang tidur. Jangan memberikan kesan apapun juga atas kematian Rudira. Berbuatlah seolah-olah tidak terjadi apa-apa sama sekali jika nanti ibunya datang”

Ki Dipanala menganggukkan kepalanya dalam-dalam sambil menjawab, “Baik Pangeran”

“Aku akan duduk di pendapa. Setelah kau selesai, pergilah ke pendapa juga” lalu katanya kepada tabib yang mencoba mengobati Raden Rudira tetapi gagal, “Aku mengucapkan terima kasih atas usahamu. Sekarang tidak ada gunanya lagi kau berbuat sesuatu atas mayat anakku. Karena itu, kau dapat meninggalkan rumah ini. Pada saatnya kami akan menyelesaikan perhitungan atas jasa-jasamu”

“Terima kasih tuanku. Hamba sangat menyesal bahwa hamba tidak berhasil”

“Bukan salahmu. Kau sudah berusaha. Bantulah Dipanala, kemudian kau boleh pulang”

Pangeran Ranakusuma itu pun kemudian pergi ke pendapa. Ditinggalkannya Rudira yang sudah tidak bernafas lagi itu dengan hati yang luka.

Sepeninggal Pangeran Ranakusuma, maka Ki Dipanala yang mengerti maksud Pangeran itu, segera membawa Raden Rudira ke bilik ibunya dan dibaringkannya di pembaringan Raden Ayu Galih Warit, dengan diselimutinya baik-baik seolah-olah Raden Rudira sedang tidur nyenyak. Kemudian disusutkannya nyala lampu di dalam ruang itu dan dibersihkannya ruang Raden Rudira sendiri.

Setelah semuanya selesai, maka tabib itu pun minta diri kepada Ki Dipanala.

“Sampaikan kepada Pangeran Ranakusuma. Aku tidak usah mohon diri lagi kepadanya”

“Baiklah. Tetapi jangan mengatakan kepada siapapun apa yang sudah terjadi”

Tabib itu menganggukkan kepalanya, dan sejenak kemudian ia pun meninggalkan istana Ranakusuman.

Para pelayan yang berusaha menanyakan kepadanya tentang Raden Rudira, sama sekali tidak dijawabnya. Namun karena tabib itu nampaknya tersenyum-senyum, maka para abdi mengira bahwa keadaan Raden Rudira menjadi berangsur baik.

Tetapi mereka masih tetap menjadi gelisah, karena Pangeran Ranakusuma belum memberikan perintah apapun bagi mayat Mandra yang masih dibaringkan belakang.

Dalam pada itu, Pangeran Ranakusuma duduk di ruang depan dengan wajah yang murung. Terbayang apa saja yang sudah dilakukan selama ini. Usahanya untuk mendapatkan pengaruh dan kedudukan telah merampas seluruh waktunya sehingga ia tidak sempat meneliti tingkah lakunya sendiri.

Sejenak kemudian maka Pangeran Ranakusuma itu pun berdiri. Dilihatnya Dipanala sudah duduk di bibir tangga pendapa. Tetapi ia tidak menyapanya. Perlahan-lahan ia masuk ke ruang dalam dan menengok ke bilik sebelah bilik Rudira. Dilihatnya pembaringan Raden Rara Warih pun masih kosong.

“Tanpa diajari oleh ibunya, agaknya Warih mempunyai kebiasaan yang sama dengan ibunya” berkata Pangeran Ranakusuma, “selama ini aku tidak pernah memperhatikan kedua anak-anakku. Aku tidak tahu apa saja yang dilakukan dan apa saja akibatnya. Apalagi ibunya yang tampaknya sangat menyayangi anak-anaknya”

Ketika Pangeran Ranakusuma kembali ke pendapa, terbayang sekilas pergaulan anak gadisnya itu menurut penglihatannya yang hanya sepintas. Setiap kali ia pergi bersama anak-anak gadis putera bangsawan. Meskipun mereka adalah saudara-saudaranya juga, bahkan ada di antara mereka yang masih sepupunya, namun kadang-kadang akan dapat menumbuhkan persoalan pula di antara mereka.

Tiba-tiba Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Katanya kepada diri sendiri, “Tetapi kali ini ia pergi ke kakeknya. Mungkin besok ia baru kembali”

Sambil menarik nafas dalam-dalam Pangeran Ranakusuma itu mulai melihat apa yang sudah dikerjakan oleh anak-anaknya. Akhir-akhir ini puterinya sering pergi ke istana kakeknya. Di sana ada beberapa orang gadis sepupunya.

“Apakah anak itu harus diberi tahu tentang kakaknya?” pertanyaan itu mulai mengganggunya.

Namun akhirnya Pangeran Ranakusuma memutuskan, bahwa ia akan menunggu kedatangan Raden Ayu Galih Warit lebih dahulu, kemudian baru berbicara tentang Warih.

Untuk beberapa lamanya Pangeran Ranakusuma merenung. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Mungkin itu pula sebabnya, kenapa ia justru sering menyuruh Warih pergi ke kakeknya. Mungkin Warih dapat mengganggunya apabila ia ada di rumah. Bukan karena anak itu ingin menyertainya, tetapi mungkin kehadirannya dapat membuatnya bimbang untuk melakukan perbuatan yang tercela itu”

Ki Dipanala yang duduk di ujung pendapa, sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya duduk sambil menun-dukkan kepalanya. Ia menunggu jika Pangeran Ranakusuma bertanya sesuatu kepadanya. Tetapi karena Pangeran Rana-kusuma sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun, maka Ki Dipanala pun hanya diam saja sambil merenungi peristiwa yang baru saja terjadi.

Dengan demikian, meskipun di pendapa itu duduk dua orang yang tidak begitu berjauhan, namun suasananya benar-benar dicengkam kesenyapan. Pangeran Ranakusuma setiap kali menundukkan wajahnya dan mengusap keringat dingin yang meleleh dikeningnya, sedang Ki Dipanala setiap kali menarik nafas dalam-dalam.

Mereka berdua bersama-sama mengangkat wajahnya ketika mereka mendengar suara kereta.

“Tentu Galih Warit” desis Pangeran Ranakusuma, karena bukan kebiasaan Rara Warih datang berkereta di malam hari apabila ia pergi ke istana kakeknya, ayahanda ibunya.

Dugaannya itu ternyata benar. Sejenak kemudian sebuah kereta berderap memasuki halaman istana Ranakusuman. Di dalamnya duduk seorang perempuan cantik dalam pakaian yang cemerlang. Sedang di samping sais seorang prajurit yang agaknya telah mengantarnya lengkap dengan senjata di lambungnya.

Ki Dipanala dengan tergesa-gesa berdiri ketika kereta itu langsung menuju ke tangga pendapa. Sambil melangkah turun sampai ke anak tangga yang paling bawah, Dipanala memandang kereta itu dengan hampir tidak berkedip. Tiba-tiba saja dadanya menjadi berdebar-debar seperti sedang menghadapi bahaya yang tidak mungkin dapat diatasinya.

Kereta itu berhenti tepat di kuncung pendapa. Prajurit yang duduk di dekat sais itu pun segera meloncat turun dan membuka pintu kereta. Sambil membungkuk dalam-dalam ia mempersilah-kan Raden Ayu Galih Warit keluar dari kereta itu.

Pangeran Ranakusuma memandang isterinya yang baru turun dari kereta itu dari tempat duduknya. Ia sama sekali tidak beringsut dan apalagi berdiri.

Ketika Raden Ayu Galih Warit turun dari keretanya dan dilihatnya Pangeran Ranakusuma sudah duduk di pendapa, dadanya berdesir. Namun ia segera berusaha tersenyum sambil bertanya, “Kakanda sudah kembali dari istana?”

“Belum lama” jawab Pangeran Ranakusuma.

Jawaban itu ternyata mengejutkan Ki Dipanala. Hampir tidak ada kesan sama sekali, bahwa sebenarnya hati Pangeran Ranakusuma sedang dibelit oleh kedukaan yang tiada taranya.

“O, Pangeran tidak langsung pergi ke pertemuan itu”

“Aku kira kau sudah kembali” jawab Pangeran Ranakusuma.

“Pertemuan itu baru saja bubar. Yang hadir melampaui yang diundang. Dan itu menimbulkan kesulitan” Raden Ayu Galih Warit tertawa, lalu, “untunglah kesulitan itu dapat segera di atasi”

Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Lalu, katanya, “Apakah kereta itu masih akan kembali ke tempat pertemuan itu?”

“Ya kakanda. Masih ada beberapa orang yang harus dijemput”

Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tidak berkata apapun lagi.

Raden Ayu Galih Warit lah yang kemudian menyuruh sais keretanya untuk meninggalkan istananya.

“Kembalilah, mungkin masih ada yang akan mempergunakan-nya” katanya.

Sejenak kemudian maka kereta itu pun segera berderap meninggalkan halaman. Prajurit yang ada di samping sais itu mengangguk dalam-dalam ketika kereta itu mulai bergerak.

“Cukup meriah” berkata Raden Ayu Galih Warit sambil tersenyum. Perlahan-lahan ia mendekati suaminya yang masih duduk Di tempatnya.

“Sayang, kakanda tidak pergi menyusul hamba. Beberapa orang Pangeran hadir juga di dalam perjamuan itu” Raden Ayu Galih Warit berhenti sejenak, lalu, “Kenapa mereka tidak menghadap Kangjeng Susuhunan”

Pangeran Ranakusuma menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu”

Raden Ayu Galih Warit mengerutkan keningnya. Lalu sambil berdiri di belakang Pangeran Ranakusuma ia bertanya, “Apakah ada sesuatu yang sulit di dalam pembicaraan Pangeran dengan pihak istana atau kumpeni?”

“Tidak, tidak” jawab Pangeran Ranakusuma, “semuanya berjalan lancar. Justru karena itu aku pulang lebih awal dari pertemuan yang pernah dilakukan di istana”

“O” Raden Ayu Galih Warit tertawa. Kedua tangannya meraba pundak Pangeran Ranakusuma sambil berkata, “Apakah kakanda akan duduk saja di pendapa?”

“Aku akan duduk di sini sebentar. Udara terlampau panas. Aku minta Ki Dipanala menemui aku”

Raden Ayu Galih Warit berpaling memandang Dipanala yang sudah duduk kembali di lantai pendapa tepat di atas tangga. Sejenak terbersit kecemasan di dalam hatinya. Sikap Pangeran Ranakusuma kali ini agak meragukan.

“Apakah cucurut itu sudah mulai menjilat dan mengatakan apa yang pernah diketahuinya?” bertanya Raden Ayu Galih Warit di dalam hatinya. Tetapi dijawabnya sendiri, “Jika demikian ia tentu tidak akan duduk tenang menerima kedatanganku. Mungkin Pangeran Ranakusuma langsung mengusir aku malam ini juga atau memanggil ayahanda untuk menjemputku”

Karena itu, maka Raden Ayu Galih Warit itu pun kemudian tersenyum pula sambil bertanya, “Apakah Dipanala tidak mempunyai pekerjaan lain?”

“Tentu tidak di malam hari” jawab Pangeran Ranakusuma.

“O” Raden Ayu Galih Warit tertawa, “Tentu tidak. Ia bukan peronda di istana ini”

“Ya. Ia memang bukan peronda”

“Tetapi udara akan menjadi semakin dingin kangmas. Apakah tidak sebaiknya Pangeran masuk ke dalam?”

“Masuklah dahulu. Aku akan duduk di sini sejenak”

Raden Ayu Galih Warit menjadi ragu-ragu. Sekali lagi ia memandang Ki Dipanala yang duduk sambil menundukkan kepalanya.

“Pangeran” berkata Raden Ayu Galih Warit, “terasa tubuh Pangeran menjadi sangat dingin. Tentu Pangeran sudah kedinginan”

“Udara terasa segar sekali di pendapa”

“Kalau begitu, aku akan ikut duduk di sini”

Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Lalu, “Masuklah. Atau berganti pakaian lah dahulu”

Raden Ayu Galih Warit tertawa. Katanya kemudian, “Barangkali ada juga yang ditunggu. Tetapi jika kakanda menunggu Warih, tentu ia tidak akan kembali malam ini. Mungkin besok bahkan mungkin lusa. Ia merasa kerasan di rumah kakeknya, karena di rumah eyangnya ia mendapatkan beberapa orang kawan sebaya”

“Ya. Tentu ia kerasan di rumah eyangnya. Tetapi aku memang tidak sedang menunggu Warih. Jika kau ingin duduk pula bersama kami, berganti pakaian lah lebih dahulu”

“Baiklah kakanda. Aku akan berganti pakaian dahulu, dan aku akan menyusul duduk di sini. Tetapi sebaiknya Dipanala menyuruh seorang pelayan untuk membuat minuman panas”

“Baiklah. Biar ia nanti pergi”

Raden Ayu Galih Warit pun kemudian melangkah masuk. Di muka pintu langkahnya terhenti. Serasa ada sesuatu yang menahannya.

“Kangmas” Raden Ayu itu memanggil, “Apakah tidak ada seorang pelayan pun yang ada di dalam?”

“Di belakang” jawab Pangeran Ranakusuma.

“Kenapa lampu di dalam bilik itu suram sekali?”

“O, tentu. Kau baru datang dari perjamuan. Tentu lampunya terang benderang sehingga lampu di dalam rumah kita itu rasa-rasanya terlampau suram. Tetapi nanti akhirnya akan terbiasa juga”

Raden Ayu Galih Warit mengangguk-angguk. Tetapi ia masih juga ragu-ragu melangkah. Rasa-rasanya tengkuknya meremang dan jantungnya berdebaran.

“Belum pernah aku merasakan perasaan seperti ini” berkata Raden Ayu itu kepada diri sendiri.

Tetapi kemudian dibantahnya sendiri, “Mungkin aku menjadi gelisah karena kebetulan Pangeran Ranakusuma sudah datang mendahului. Tentu ada. perasaan yang kurang jernih padanya. Tetapi aku kira Dipanala tidak mengatakan sesuatu. Jika benar, Pangeran Ranakusuma tentu tidak akan setenang itu”

“Ah, aku ternyata telah diganggu oleh perasaanku sendiri” berkata pula Raden Ayu Galih Warit kepada diri sendiri.

Dengan demikian, maka kakinya pun terayun pula memasuki, ruangan dalam. Kemudian dengan ragu-ragu ia menuju ke pintu biliknya yang tertutup.

Namun sekali lagi langkahnya tertegun. Ruangan dalam itu terasa terlampau sepi. Sepi sekali seperti kuburan. Dipandangi-nya pintu-pintu bilik yang tertutup. Biliknya sendiri, bilik kedua anak-anaknya dan bilik Pangeran Ranakusuma. Dan pintu-pintu yang tertutup itu kesannya bagaikan wajah-wajah yang murung dengan mata yang terpejam.

Terasa sekali lagi tengkuknya meremang, seakan-akan dirambati oleh binatang-binatang kecil tetapi berjumlah banyak sekali.

“Ah, tentu karena aku datang dari pertemuan yang ramai sehingga rumahku ini terasa sangat sepi” Ia mencoba bertahan. Dipaksanya juga kakinya melangkah ke pintu biliknya.

Meskipun hatinya ragu-ragu, namun perlahan-lahan didorongnya juga pintu bilik yang tertutup itu. Ketika terlihat olehnya sesosok tubuh terbaring di pembaringannya, Raden Ayu Galih Warit terkejut. Tetapi hanya sejenak, karena di dalam cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan, ia segera mengenal wajah anak laki-lakinya Rudira.

Raden Ayu Galih Warit menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia merasa aneh, bahwa Rudira tidur di pembaringannya. Hal itu tidak pernah dilakukannya.

Tiba-tiba saja dada Raden Ayu Galih Warit berdebar-debar. Katanya di dalam hati, “Tentu ayahnya yang menyuruhnya tidur di pembaringanku sebagai cara untuk menegur keterlambatanku. Atau barangkali Dipanala memang sudah mengatakannya?”

Raden Ayu Galih Warit menjadi ragu-ragu. Bahkan ia pun kemudian menduga, bahwa sebenarnya Rudira itu tentu belum tidur. Anak itu tidak pernah tidur lurus membujur di pembaringannya. Kadang-kadang ia tidur sambil melingkarkan tubuhnya atau bahkan menelungkup.

Raden Ayu Galih Warit menarik nafas dalam-dalam.

“Biarlah aku akan bertanya kepadanya. Jika sesuatu akan terjadi, aku tentu masih mempunyai cara untuk mengelak. Aku akan mendapat bantuan dari para perwira kumpeni dan beberapa orang lainnya. Aku dapat mengupah beberapa orang untuk mengingkarinya dan memberikan kesaksian palsu. Tentu Rudira sendiri akan membantuku” namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata kepada diri sendiri, “Atau justru Rudira yang menjadi sangat marah kepadaku?”

“O, Dipanala memang pengkhianat. Kenapa ia masih belum terbunuh. Ia memang harus mati segera. Segera”

Namun dengan demikian ibunda Raden Rudira itu justru ingin segera mengetahui, kenapa puteranya itu tidur di dalam biliknya.

Perlahan-lahan ia mendekatinya agar Rudira itu tidak terkejut. Kemudian dengan perlahan-lahan pula ia meraba tubuh itu dan mengguncang pada ujung kakinya, “Rudira, Rudira”

Tetapi menurut dugaan Raden Ayu itu, Rudira tidak segera terbangun.

“Anak ini” katanya, “Jika sudah tertidur, betapa sukarnya untuk membangunkannya” namun kemudian, “Tetapi anak ini tentu belum tidur”

“Rudira, Rudira” Panggilnya pula.

Dan tubuh itu sama sekali tidak bergerak. Sama sekali. Bahkan dadanya pun tidak.

Raden Ayu Galih Warit mulai curiga. Tetapi sekali lagi ia justru tertawa sambil berkata, “Ah, bukan begitu caranya tidur Rudira. Orang yang tidur nyenyak tidak menjadi sekaku potongan kayu. Ayo bangun dan katakan, kenapa kau tidur di sini malam ini? Siapakah yang menyuruhmu? Ayahanda barangkali?”

Tetapi tetap tidak ada jawaban. Rudira tidak bangkit sambil tertawa. Tidak pula marah dan merajuk. Tetapi ia tetap berbaring diam membeku.

“Rudira” akhirnya kesabaran ibunya pun menjadi semakin susut. Katanya, “Ayo bangun. Apa sebenarnya maumu?”

Masih tetap tidak ada jawaban.

Raden Ayu Galih Warit tidak sabar lagi menunggu jawaban anaknya. Karena itu maka didekatinya tubuh Raden Rudira itu dan ditariknya selimut yang menyelubungi badannya.

Ketika tubuh itu terbuka, dada Raden Ayu Galih Warit bagaikan dihentakkan oleh sesuatu di dalam dirinya. Dengan mata terbelalak ia melihat sesuatu yang aneh. Namun kemudian darahnya bagaikan terhenti mengalir ketika dilihatnya tubuh Raden Rudira itu benar-benar telah membeku dengan tangan yang disilangkan di dadanya. Noda-noda darah yang masih belum terhapus dan luka-luka yang tampak di antara bajunya yang bagaikan disayat.

“O” Raden Ayu Galih Warit berdiri sejenak. Namun kemudian sebuah pekik yang tinggi memecah keheningan malam itu. Dengan sekuat-kuat tenaganya Raden Ayu Galih Warit menjerit sambil memeluk tubuh anaknya.

Beberapa orang pelayan yang mendengar jerit itu pun segera berlari-lari ke pendapa, karena mereka tahu, bahwa kereta yang membawa Raden Ayu Galih Warit baru saja datang. Mungkin Raden Ayu Galih Warit terkejut melihat keadaan puteranya yang terluka itu.

Dalam pada itu, Pangeran Ranakusuma memang sudah menduga bahwa isterinya akan menjerit sekuat-kuatnya. Karena itu, ia sama sekali tidak terkejut karenanya. Bahkan ketika beberapa orang berlari-larian ke pendapa, Pangeran itu berdiri dan mendekati mereka sambil berkata, “Tidak ada apa-apa. Ia hanya terkejut. Nanti ia akan tenang kembali. Pergilah ke tempatmu masing-masing”

Para pelayan itu menjadi termangu-mangu. Satu-satu mereka berjalan meninggalkan pendapa kembali ke tempat masing-masing.

Di dalam bilik Raden Ayu Galih Warit menangis sejadi-jadinya. Dengan mengguncang-guncang tubuh yang terbaring itu dipanggilnya nama anaknya. Tetapi Raden Rudira tidak menyahut sama sekali.

“Pangeran, Pangeran” Raden Ayu Galih Warit itu berteriak, “Bagaimana dengan Rudira ini Pangeran”

Pangeran Ranakusuma perlahan-lahan mendekati bilik itu sambil berkata kepada Dipanala, “Ikut aku”

Demikian Pangeran Ranakusuma sampai kedepan pintu bilik, isterinya segera berlari mendapatkannya. Sambil memeluk suaminya Raden Ayu Galih Warit berkata di antara tangisnya, “Apa yang terjadi kakanda. Apa yang telah terjadi?”

Tetapi sikap Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak seperti kebiasaannya. Setiap kali Raden Ayu Galih Warit mengalami goncangan perasaan, atau bahkan kadang-kadang sekedar memanjakan diri, Pangeran Ranakusuma selalu berusaha untuk menenangkannya. Tetapi kali ini Pangeran Ranakusuma bagaikan patung yang membeku.

Raden Ayu Galih Warit tidak segera dapat menanggapi keadaan. Bahkan ia pun mengguncang-guncang tubuh Pangeran Ranakusuma sekuat-kuatnya sambil bertanya disela-sela isak tangisnya, “Apa yang sudah terjadi atas Rudira?”

Perlahan-lahan Pangeran Ranakusuma mendorong tubuh Raden Ayu Galih Warit sambil berkata, “Diamlah”

Raden Ayu Galih Warit mulai merasakan sikap yang semakin asing dari Pangeran Ranakusuma. Karena itu, ketika Pangeran Ranakusuma kemudian berjalan mendekati tubuh Rudira, ia justru terdiam karenanya.

“Kemarilah” berkata Pangeran Ranakusuma kepada isterinya yang justru menjadi termangu-mangu.

“Kemarilah” Pangeran Ranakusuma mengulang, “Rudira ternyata telah mengalami bencana tanpa kita duga-duga sebelumnya”

Raden Ayu Galih Warit dengan ragu-ragu melangkah mendekat.

“Ia sudah meninggal beberapa saat yang lalu”

Raden Ayu Galih Warit menganggukkan kepalanya. Katanya terputus-putus, “Kakanda tidak memberitahukan apapun pada saat aku datang”

“Aku tidak ingin mengejutkanmu dan apalagi merusak kesan yang cerah di dalam hatimu, setelah kau mengunjungi pertemuan itu”

Raden Ayu Galih Warit mengangkat wajahnya. Sekilas dipandanginya Dipanala yang berdiri sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Bagaimanapun juga, hatinya merasa pedih melihat seorang ibu yang harus menghadapi kenyataan yang sangat pahit itu.

“Siapakah yang telah mencelakai Rudira kakanda?” Pangeran Ranakusuma menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu. Ia diketemukan terkapar di jalan”

“O”

“Lihatlah lukanya. Luka itu bukan luka senjata tajam, tetapi lukanya adalah luka peluru”

“Peluru?”

“Ya. Peluru kumpeni”

“O, bagaimana mungkin hal itu terjadi?”

“Tidak ada yang dapat mengatakan dengan pasti”

“Apakah Rudira hanya seorang diri? Biasanya ia pergi bersama Mandra”

“Mandra juga mati”

“Mandra juga mati?”

“Ya, tetapi dalam kedudukan yang lain. Bagaimanapun juga nakalnya Rudira, tetapi kali ini ia terbunuh selagi ia ingin menyatakan sikapnya sebagai seorang anak laki-laki yang baik”

“Aku tidak mengerti”

“Tentu kau tidak mengerti” jawab Pangeran Ranakusuma.

Raden Ayu Galih Warit menjadi semakin bingung. Dipandanginya suaminya yang benar-benar terasa asing baginya, seperti juga Pangeran Ranakusuma merasa sebagai orang asing di dalam bilik itu. Isterinya yang cantik itu sama sekali tidak dapat memberinya gairah lagi kepadanya sebagai seorang suami. Bukan saja karena ia sedang berdiri di sisi mayat puteranya, namun apa yang terjadi memang sudah memisahkannya dari perasaan seorang suami.

“Kematian Rudira memang memberikan suasana yang asing di dalam rumah ini” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian. Namun ia masih tetap berusaha menahan gejolak hatinya yang bagaikan meretakkan dada, “Memang tidak ada bukti apapun yang dapat disangkutkan dengan kematian Rudira, selain luka peluru ini. Tetapi di Surakarta ini ada beberapa buah senjata yang dapat melepaskan peluru seperti ini”

Raden Ayu Galih Warit mengangguk kosong.

“Tetapi senjata yang manakah yang telah melepaskan peluru dan melukai Rudira, tentu sulit sekali untuk diketahui”

Isterinya menganggukkan kepalanya sekali lagi.

“Tetapi” berkata Pangeran Ranakusuma selanjutnya, “masih ada kemungkinan kita dapat menemukan pembunuh anak kita”

“Siapa yang telah membunuhnya kangmas?”

“Seseorang melihatnya, bagaimana seorang perwira kumpeni menembaknya”

“O” dada Raden Ayu Galih Warit menjadi berdebar-debar.

“Perwira kumpeni itu meloncat dari sebuah kereta”

“Kereta?” suara Raden Ayu Galih Warit menjadi bergetar.
“Ya. Seseorang melihat, sebuah kereta yang baru saja keluar dari tempat pertemuan yang meriah. Tetapi ternyata ada kereta lain yang sudah menunggunya di tempat yang gelap. Seorang perwira kumpeni telah berpindah tempat dari kereta yang berhenti lebih dahulu ke dalam kereta yang kemudian”

“O, siapakah yang mengatakannya?”

“Tunggu. Ada hubungannya dengan kematian Rudira”

Wajah Raden Ayu Galih Warit menjadi pucat. “Apakah yang sudah dilakukan oleh Rudira?”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan sesuatu telah menyumbat di kerongkongannya. Namun akhirnya terucapkan juga dari sela-sela bibirnya, “Rudira ingin melihat apa yang sudah dilakukan oleh perwira itu, karena ia mendengar suara seorang perempuan di dalam kereta yang kemudian. Ia tidak rela melihat bahwa sesuatu telah terjadi karena tingkah perwira kumpeni itu, karena ia tahu, bahwa seorang perempuan yang ada di dalam kereta itu pun tentu seorang bangsawan”

Wajah Raden Ayu Galih Warit yang pucat menjadi semakin pucat. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Apakah yang kemudian dilakukan oleh Rudira”

“Ia menyusul kereta itu”

“O” tubuh Raden Ayu Galih Warit lah yang kemudian menjadi gemetar, “Tidak. Tidak terjadi apa-apa. Tidak terjadi apa-apa. Itu hanyalah kebetulan saja, bahwa kereta itu bertemu di tengah jalan”

“Apa yang tidak terjadi apa-apa?” bertanya Pangeran Ranakusuma.

“Perwira itu tidak berbuat apa-apa”

“Tentu ia berbuat apa-apa”

“Tidak, tidak”

Pangeran Ranakusuma memandang isterinya sejenak, lalu, “Akulah yang memberitahukan hal ini kepadamu. Bukan kau”

“Tetapi tidak terjadi apa-apa dengan kumpeni itu”

“Darimana kau tahu? Dan apakah kau juga melihatnya?”

Pertanyaan itu terdengar bagaikan bunyi guntur yang meledak di langit. Sejenak Raden Ayu Galih Warit berdiri mematung. Dengan tatapan mata yang tajam dipandanginya wajah Pangeran Ranakusuma yang tegang. Lalu dengan suara gemetar ia berkata seakan-akan tidak terpikirkan lebih dahulu karena kegelisahan, kecemasan, kepedihan yang bercampur baur, “Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa-apa”

“Tetapi Rudira mengetahuinya” berkata Pangeran Rana-kusuma, “Ia tahu siapa yang berada di dalam kereta itu. Ia tahu siapa yang mengatur pertemuan itu. Namun dengan demikian ia sudah terjebak oleh pengkhianat Mandra”

“O”

“Ketika Rudira dan Mandra mengejar kereta itu, dan Rudira berada di depan, ia melihat seorang perwira kumpeni meloncat dari kereta. Ia mendengar sebuah ledakan yang memekakkan telinga dan terasa ia terdorong pada pundaknya. Ia tidak dapat menguasai diri lagi. Dengan derasnya ia terlempar dan jatuh di atas jalan berbatu itu”

“O”

“Ia masih hidup ketika aku datang karena disusul oleh seorang abdi. Ia masih dapat mengatakan, siapakah yang ada di dalam kereta itu”

Raden Ayu Galih Warit rasa-rasanya tidak lagi berpijak di atas tanah.

“Dari orang yang telah ditembak oleh kumpeni yang sedang dibakar oleh nafsu kecantikan seorang putera bangsawan itu adalah Rudira. Anakmu”

Rasa-rasanya langit bagaikan runtuh menimpa dadanya. Sejenak Raden Ayu Galih Warit tidak dapat bergerak. Sekilas terbayang kembali perwira kumpeni yang meloncat turun. Kemudian disusul oleh bunyi tembakan dan suara tertawa yang berkepanjangan. Ketika dengan ketakutan ia bertanya, maka perwira itu menjawab, bahwa ia telah menembak seorang penjahat yang mencoba hendak membunuhnya.

Bersambung ke Bunga di batu karang X

Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/

Komentar

Postingan Populer