Bunga di batu karang V bag 2
Bunga di batu karang V Bag 2
“Tetapi pada suatu saat, mereka akan melenyapkan pengaruh ini, karena pengaruh itu terjadi bukan karena persoalan yang wajar. Bukan karena aku orang tua, bukan karena aku sudah terlalu lama berada di Dalem Ranakusuman, dan bukan karena nasehat-nasehatku mempunyai pengaruh yang sangat baik, atau bukan karena aku seorang yang pandai dan mumpuni” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya.
Sambil berbaring terbayang kembali peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Peristiwa yang hanya karena kebetulan saja ia berkesempatan untuk mengambil keuntungan daripadanya.
Dipanala menarik nafas dalam-dalam Namun ia tidak mencoba untuk membayangkan kembali apa yang sudah terjadi dengan Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit.
Namun, betapa Ki Dipanala dicengkam oleh kegelisahan, tetapi oleh lelah dan udara yang dingin segar, maka Ki Dipanala itu pun terlena meskipun hanya sebentar.
Dan ternyata bahwa Ki Dipanala pun telah terbangun lebih dahulu. Dibiarkannya saja Sura masih terbaring diatas tikar sambil memejamkan matanya. Agaknya ia dapat juga tidur nyenyak dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
Namun tidak lama kemudian, Sura pun sudah terbangun pula. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pakiwan untuk membersihkan dirinya dan membenahi pakaiannya.
“Kita pergi ke Dalem Ranakusuman Ki Dipanala” bertanya Sura.
“Sepagi ini?”
“Tidak ada pagi tidak ada sore bagiku sekarang”
Ki Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya. Kegelisahan yang sangat telah merayapi dada Sura begitu ia terbangun dari tidurnya. Ia justru ingin segera masuk ke halaman istana Ranakusuman. Ia ingin segera mengerti, akibat atau hukuman apa lagi yang akan diterimanya. Dan apakah masih ada kesempatan baginya untuk meninggalkan halaman itu tanpa meninggalkan kepalanya. Karena agaknya Raden Rudira benar-benar menganggapnya sebagai seorang pengkhianat.
“Baiklah Sura” berkata Ki Dipanala, “Memang tidak ada batasan waktu bagimu sekarang. Marilah, aku antarkan kau masuk ke halaman itu”
“Jika aku masih mendapat kesempatan” berkata Sura, “Aku akan segera meninggalkan Ranakusuman bersama seluruh keluargaku”
“Kau belum mempersiapkan tempat untuk keluargamu Sura?”
“Aku mempunyai sekedar warisan meskipun hanya sejengkal. Dan aku sudah memperluasnya sedikit dengan uang yang aku terima selama aku menjilat di Ranakusuman”
“Apakah rumah warisan itu sudah siap kau pergunakan?”
“Siap atau tidak siap. Soalnya, semakin lama aku tinggal di Ranakusuman, maka kemungkinan-kemungkinan yang buruk akan selalu dapat terjadi. Kadang-kadang aku pun kehilangan pengendalian diri apabila aku melihat tampang Mandra”
Ki Dipanala mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Sura, bagaimana ia merasa dirinya didesak oleh Mandra dan tersingkir karenanya. Ketika mula-mula Raden Rudira menjumpai Arum di bulak Jati Sari, sebelum mereka selalu dihantui oleh wajah Petani dari Sukawati, maka Sura masih menjadi orang pertama di antara para pengiring dan pengawal di Ranakusuman. Namun kini Sura hampir sudah tidak berarti lagi, bahkan hampir saja ia mengalami hukuman cambuk yang sangat pedih.
Demikianlah keduanya pun segera kembali masuk ke halaman Ranakusuman lewat regol depan. Para penjaga yang melihat kedatangan mereka hanya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata keduanya adalah orang-orang aneh di dalam pandangan mereka. Bahkan seakan-akan keduanya dengan sengaja hilir mudik memamerkan diri.
Namun ketika salah seorang abdi berdesis di samping Sura yang kebetulan lewat, “Kau datang kembali Sura?” Maka Sura menjawab tanpa berhenti, “Untuk yang terakhir kalinya”
“Mudah-mudahan kau dapat keluar lagi dari halaman ini” sahut abdi itu. Tetapi Sura sudah semakin jauh sehingga ia sama sekali tidak mendengarnya.
Dalam pada itu, Ki Dipanala lah yang berusaha untuk dapat menghadap Pangeran Ranakusuma. Lewat seorang Pelayan Dalam, Ki Dipanala menyampaikan permohonan untuk mendapat waktu beberapa saat saja.
“Ampun tuan” berkata Pelayan Dalam itu sambil berjongkok dan menyembah.
“Persetan dengan Dipanala. Katakan kepadanya, aku tidak mempunyai waktu. Suruh ia pergi sampai saatnya aku memanggilnya”
Pelayan Dalam itu membungkukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia pergi Raden Ayu Galihwarit berkata, “Berilah orang itu waktu barang sekejap kangmas. Aku ingin mendengar, apa yang akan dikatakannya”
Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah isterinya sejenak, namun ketika Galihwarit tersenyum, Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku hanya mempunyai waktu sedikit”
Pelayan Dalam itu membungkuk sekali lagi sambil menyembah, kemudian bergeser surut sambil berjongkok. Baru ketika ia sudah menuruni tangga, ia pun berdiri terbungkuk-bungkuk.
Ki Dipanala dan Sura pun kemudian dibawanya menghadap. Namun ketika Pangeran Ranakusuma yang duduk di serambi belakang melihat kehadiran dua orang itu ia mengerutkan keningnya. Kemudian tampak semburat merah terlintas di wajahnya sambil menggeram di dalam hati, “Apakah Dipanala itu sekarang mulai memeras? Aku kira ia tidak akan berbuat sejahat itu waktu itu. Kalau saja aku tahu, aku pasti sudah membunuhnya, “
Pangeran Ranakusuma masih belum beranjak ketika kedua orang itu kemudian seolah-olah merangkak dan duduk di hadapannya,
Sejenak kedua orang itu duduk sambil menundukkan kepalanya. Sebelum Pangeran Ranakusuma bertanya sesuatu, mereka berdua sama sekali tidak berani berkata apapun juga.
Baru kemudian Pangeran Ranakusuma bertanya, “Apakah maksudmu memohon waktu untuk menghadap?”
Ki Dipanala mengangkat wajahnya. Namun sebelum ia berkata sesuatu, dilihatnya Raden Ayu Galihwarit sudah berdiri di belakang Pangeran Ranakusuma. Perempuan bangsawan itu memandanginya sejenak dengan sorot mata yang penuh kecurigaan.
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Dan terdengar Pangeran Ranakusuma membentaknya, “Cepat, katakan. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayanimu”
“Maaf tuan” berkata Ki Dipanala, “hamba berdua memberanikan diri untuk memohon waktu sekedar. Sebenarnya bukanlah hamba yang mempunyai kepentingan, tetapi Sura. Sura lah yang ingin menyampaikan suatu permohonan kepada tuan”
Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Sura yang masih tetap menunduk itu sejenak. Lalu tiba-tiba ia membentak, “Cepat, cepat katakan”
“Ampun Pangeran” Sura terkejut sehingga ia tergeser sejengkal surut. Hamba ingin mengajukan permohonan kehadapan tuan”
“Katakan, katakan”
“Ya tuan” suara Sura bergetar juga betapapun ia berusaha untuk berbuat setenang-tenangnya, “hamba sudah cukup lama bekerja dan mengabdi di hadapan Pangeran. Namun agaknya akhir-akhir ini hamba tidak lagi mampu mengikuti perkembang-an yang terjadi di Dalem Kapangeranan ini, khususnya Raden Rudira, sehingga seakan-akan hamba tidak lagi diperlukan di sini, bahkan menurut istilah yang dipergunakan oleh Raden Rudira, hamba telah berkhianat. Maka dengan tidak mengurangi perasaan terima kasih bahwa selama ini hamba seakan-akan telah mendapatkan tempat berteduh di Dalem Ranakusuman ini, maka perkenankanlah kini hamba mohon diri. Semisal hamba ini selembar daun, maka agaknya daun itu sudah menguning dan sampai saatnya lepas dari tangkainya”
Terasa sesuatu berdesir di hati Pangeran Ranakusuma. Bagaimanapun juga, Sura adalah orangnya yang sudah lama sekali bekerja padanya dan kemudian mendapat kepercayaan mengasuh dan melindungi anak laki-lakinya. Namun sampai pada suatu saat, orang itu telah dianggap berkhianat oleh anak laki-lakinya itu.
Meskipun demikian Pangeran Ranakusuma telah berusaha menyembunyikan perasaannya itu. Bahkan dengan kasar ia membentak, “Jika kau merasa telah berada di rumah ini untuk waktu yang lama kenapa kau berkhianat?”
“Pangeran, benar-benar tidak terlintas di hati hamba, bahwa hamba akan berkhianat. Hamba yang sudah merasa mapan menjadi abdi di Dalem Kapangeranan ini, kenapa hamba harus berkhianat? Namun barangkali bahwa hamba telah mencoba memberikan pendapat hamba itulah, maka terutama Raden Rudira menganggap hamba tidak lagi tunduk kepada perintahnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa hamba ingin Raden Rudira tidak mendapatkan kesulitan di hari mendatang, terlebih-lebih lagi sehubungan dengan Petani dari Sukawati yang menurut pendapat hamba adalah tidak lain adalah dari Pangeran Mangkubumi itu sendiri”
“Bohong, bohong” tiba-tiba saja terdengar suara Rudira dari dalam biliknya. Tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di ruangan itu, ia langsung melangkah kehadapan Sura dengan wajah yang merah padam. Bahkan dengan serta merta ia mengayunkan kakinya menghantam pundak Sura.
Sura terdorong surut. Meskipun ia mampu bertahan apabila ia mau, tetapi ia terjatuh berguling. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia bangkit dan duduk kembali sambil menundukkan kepalanya.
Agaknya Raden Rudira masih belum puas. Ia telah dikecewakan oleh ayahnya, karena ia tidak boleh memukul kedua orang itu dengan rotan selagi mereka terikat di pohon sawo. Namun sebelum ia berbuat lebih jauh Ki Dipanala berkata, “Ampun tuan. Hamba mengharap bahwa tuan mencegah tindakan puteranda lebih jauh lagi”
Terasa sesuatu bergetar di hati Pangeran Ranakusuma. Ada sesuatu yang seakan-akan menekan hatinya sehingga terasa nafasnya menjadi sesak.
“Persetan” Raden Rudira menggeram. Namun Pangeran Ranakusuma kemudian mencegahnya, “Rudira. Cobalah berbuat dengan nalar. Kau sudah menjadi semakin dewasa. Unsur dari perbuatanmu sebaiknya bukan saja penimbangan perasaan, tetapi juga nalar. Jika kau tidak mampu mendapatkan keseimbangan nalar dan perasanmu, maka semisal timbangan, kau akan menjadi berat sebelah, sehingga tindakan-tindakan yang lahir darimu, bukannya tindakan-tindakan yang terpuji”
Wajah Raden Rudira yang merah menjadi semakin merah. Ditatapnya wajah ibunya yang penuh dengan kebimbangan, la mengharap bahwa kali ini ibunya dapat membantunya. Tetapi ia menjadi sangat kecewa ketika ibunya berkata, “Bersabarlah Rudira. Seperti kata ayahandamu, kau sudah menjadi semakin dewasa”
Kata-kata ibunya itu membuat dada Raden Rudira menjadi semakin pepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan ketika sekilas ia memandang wajah ibunya, wajah itu bukan saja dibayangi oleh kebimbangan, tetapi rasa-rasanya Raden Ayu Sontrang bagaikan berdiri di depan sarang hantu. Ketakutan.
Raden Rudira benar-benar tidak dapat mengerti, apakah sebabnya bahwa ayah dan ibunya sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan Dipanala. Namun Raden Rudira tidak ingin bertanya di hadapan kedua orang itu. Karena itu, maka sambil menghentakkan kakinya, ia pun segera pergi meninggalkan mereka yang masih terpancang di tempat masing-masing.
“Sura” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian setelah Rudira pergi, “ada bermacam-macam tanggapan terhadapmu sekarang. Tetapi baiklah, aku mengambil kesimpulan, bahwa sebenarnya kau memang sudah tidak diperlukan lagi di rumah ini. Karena itu, jika memang kau kehendaki, aku tidak berkeberatan kau pergi meninggalkan tempat pengabdianmu yang sudah kau lakukan bertahun-tahun, karena tiba-tiba saja kau telah dicengkam oleh mimpi yang kau anggap dapat memberi kepuasan batiniah itu”
Sura tidak menyahut. Rasa-rasanya memang terlampau berat untuk meninggalkan pengabdian yang sudah lama dilakukan dengan penuh kesetiaan bahkan seakan-akan tanpa sempat memikirkan benar dan salah.
“Nah, jika kau memang akan pergi, pergilah. Tetapi ingat Sura. Kau pernah menjadi abdi yang setia di rumah ini. Aku pun merasa seakan-akan kau telah termasuk di dalam lingkup keluarga. Tetapi kau ternyata tidak menyesuaikan dirimu lagi. Itu tidak apa. Tetapi kau jangan sebenarnya berkhianat. Pengkhianatan adalah bentuk yang paling jahat dari hubungan antar manusia. Apakah kau mengerti?”
“Ya Pangeran. Hamba mengerti”
“Dan kau Dipanala? Apakah kau juga akan berkhianat?”
Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak tuan. Memang tidak terlintas di hati hamba untuk berkhianat. Dan Sura pun tidak. Karena hamba sadar, pengkhianatan yang sebenarnya adalah perbuatan bukan saja yang paling jahat dari hubungan antar manusia, tetapi juga yang paling licik, pengecut, dan segala macam istilah yang paling buruk. Namun sayang sekali, bahwa setiap orang mempunyai penilaian yang berbeda-beda tentang arti dari pengkhianatan itu. Bahkan sebagian orang melihat pernyataan kebenaran justru sebagai suatu pengkhianatan”
“Diam, diam” Pangeran Ranakusuma membentak keras sekali sehingga Dipanala terkejut karenanya. Namun ia masih tetap dapat menguasai perasaannya. Bahkan ia masih sempat memandang wajah Raden Ayu Galihwarit yang menjadi pucat karenanya.
Namun Dipanala itu kemudian berkata, “Ampun tuan. Hamba akan berusaha mengartikan pengkhianatan itu sebagaimana yang tuan kehendaki”
Hampir saja Pangeran Ranakusuma kehilangan kesabarannya. Untunglah bahwa ia masih menyadari keadaannya, sehingga ia masih tetap berhasil menguasai dirinya. Bahkan tiba-tiba saja terasa tangan isterinya. Raden Ayu Galihwarit meraba pundaknya sambil berkata, “Sudahlah kangmas. Biarkan mereka pergi. Mereka tidak lagi kita perlukan”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang akan pergi hanyalah Sura saja. Biarlah Dipanala tetap berada di rumah ini. Aku masih mengharap bahwa ia menemukan dirinya kembali sebagai seorang pemomong yang sudah puluhan tahun berada di sini. Dengan umurnya yang semakin tua, ia seharusnya menjadi semakin mendekatkan dirinya pada ketenangan. Bukan justru sebaliknya”
Ki Dipanala mengangguk-angguk. Katanya, “Hamba tuan. Memang hamba tidak berniat untuk meninggalkan istana ini. Hamba akan mencoba menyesuaikan diri hamba yang menjadi semakin tua ini”
“Baiklah, suruh Sura pergi jika itu yang dikehendaki. Aku mengijinkan ia membawa semua miliknya yang ada di pondoknya di halaman Kapangeranan ini” Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak, lalu katanya kepada Sura, “mudah-mudahan kau menemukan hari-hari tuamu tanpa keprihatinan yang semakin mencengkam karena pokalmu sendiri”
“Ya tuan. Hamba akan mencoba hidup sebagai seorang petani di padukuhan hamba dengan secuwil sawah dan pategalan”
“Tetapi kau dapat menjadi orang yang berbahaya bagi padukuhanmu, justru karena kau merasa memiliki kelebihan dari orang lain. Selama ini kau hidup dengan bekal kemampuanmu berkelahi. Kebiasaan itu tidak akan dapat lenyap sehari dua hari. Dan malanglah nasib tetangga-tetanggamu itu”
Sura menarik nafas dalam-dalam. Tetapi peringatan itu justru menjadi cambuk baginya, bahwa ia adalah manusia biasa yang harus dapat hidup sebagai manusia biasa yang lain. Kelebihan itu adalah suatu kebetulan saja. Tetapi dengan kelebihan itu ia tidak akan dapat hidup terpisah dari manusia yang lain.
Demikianlah, maka pada hari itu, Sura benar-benar meninggalkan halaman Ranakusuman. Dengan sebuah pedati ia membawa barang-barangnya yang tidak begitu berarti. Namun ketika pedati itu meninggalkan regol Ranakusuman, terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya. Seakan-akan ia kini merasa menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang mengerti hubungannya antara dia dengan Tuhan Yang Menciptakannya, dan antara dia dengan sesama manusia dan lingkungannya.
Sura sendiri, tidak tahu, darimanakah ia menemukan kesadaran itu justru setelah ia mengalami benturan yang dahsyat ketika, ia sama sekali tidak berdaya melawan petani dari Sukawati itu.
Namun hatinya masih bergejolak ketika ia melihat Mandra yang berdiri di sebelah regol sambil bertolak pinggang memandanginya. Suara tertawanya yang semakin lama menjadi semakin keras terasa menggelitik hati. Tetapi ketika ia melihat Ki Dipanala berdiri dengan tenangnya justru di sebelah Mandra itu terasa hatinya bagaikan disentuh oleh titik air yang sejuk dingin.
Namun demikian di sepanjang jalan. Sura tidak habis berpikir, apakah sebabnya Dipanala mempunyai pengaruh yang begitu besar, meskipun jelas, bahwa ia bukan orang yang disenangi oleh Pangeran Ranakusuma, apalagi oleh Raden Rudira.
“Apakah benar-benar ia mempunyai ilmu semacam ilmu sihir yang mampu mempengaruhi perasaan orang lain dengan tatapan mata nya?” pertanyaan itu masih saja selalu terngiang di hatinya.
Namun Sura pun kemudian tidak mempedulikannya lagi. Kini ia sudah tidak mempunyai hubungan apapun juga dengan istana Ranakusuman. Dengan Raden Rudira dan dengan Mandra.
Tetapi tiba-tiba terlintas di kepalanya bayangan seorang dari keluarga Ranakusuman yang justru tidak tinggal di istana itu. Seorang anak muda yang meskipun agak mirip dengan Raden Rudira pada bentuk lahiriahnya, namun mempunyai sikap dan pandangan hidup yang berbeda. Jauh berbeda.
Tiba-tiba saja timbul keinginan Sura untuk menemui Raden Juwiring. bahkan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk lebih dekat lagi dengan putera Pangeran Ranakusuma yang pernah disingkirkannya itu.
“Aneh, kenapa saat itu Ki Dipanala justru membawanya pergi? Padahal ia mempunyai pengaruh yang kuat terhadap Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit. Jika ia menghendaki maka ia pasti akan dapat mencegahnya, sehingga Raden Juwiring masih akan tetap berada di istana. Demikian juga dengan orang-orang lain yang telah tersingkir”
Namun Sura tidak kunjung menemukan jawabnya, sehingga ia sampai ke padukuhannya dan memulai suatu kehidupan baru sebagai seorang petani.
Mula-mula memang agak canggung hidup di dalam dunia yang baru baginya. Seperti kata Pangeran Ranakusuma, memang ada tersembul nafsu untuk menguasai orang-orang di sekitarnya justru karena ia merasa memiliki kelebihan.
Tetapi untunglah, bahwa ia menyadarinya sehingga ia selalu berhasil menahan diri dan mencoba hidup seperti orang kebanyakan. Meskipun kadang-kadang sebagai orang baru ia mendapat berbagai macam kesulitan karena ada juga orang erang yang keras kepala dan menganggap Sura sebagai seorang yang tidak pantas berada di antara mereka. Namun Sura telah berhasil melampaui masa itu. Bahkan ia lelah berhasil luluh di dalam kehidupan para petani tanpa memperlihatkan kekerasan dan kemampuannya.
Meskipun demikian ia masih belum berhasil melupakan keinginannya untuk menemui Raden Juwiring di padepokan Jati Aking.
“Pada suatu saat aku akan pergi ke padepokan itu” berkata Sura di dalam hatinya, “mudah-mudahan kehadiranku di padepokan itu tidak menimbulkan persoalan bagi Raden Juwiring. Sebab kebencian Raden Rudira terhadap kakaknya itu pun melonjak setinggi langit, sehingga dapat saja ia menuduh kakaknya telah berhubungan dengan aku, seorang pengkhianat”
Dan keragu-raguan semacam itulah yang selalu menunda-nunda kepergian Sura ke padepokan Jati Aking di Jati Sari.
Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang berada di Jati Aking ternyata mempergunakan waktunya sebaik-baiknya. Mereka dengan tekun melatih diri, seakan-akan ada firasat yang membisikkan ke telinga mereka, bahwa sesuatu akan terjadi.
Bahkan kadang-kadang Kiai Danatirta menjadi heran, kesungguhan yang luar biasa, bahkan agak berlebih-lebihan telah mendorong Buntal berlatih tanpa mengenal waktu. Bukan saja di saat-saat seharusnya ia berlatih di malam hari, atau di saat-saat lain yang ditentukan oleh gurunya. Tetapi juga di saat-saat ia seharusnya beristirahat setelah ia bekerja keras di sawah, kadang-kadang dipergunakannya juga untuk mematangkan ilmu yang dikuasainya.
Namun di dalam tangkapan gurunya, Buntal anak muda yang sedang tumbuh itu, memang sedang dibakar oleh gairah yang menyala-nyala di dalam dadanya. Sekali-sekali Kiai Danatirta terpaksa memperingatkan, agar kemauan yang begitu keras itu tidak justru mengganggu kesehatannya.
“Kau harus menjaga keseimbangan hasrat dan batas kemampuan wadagmu Buntal” berkata gurunya, “Aku senang sekali melihat perkembangan yang pesat padamu dan pada Juwiring, tetapi aku tidak dapat membiarkan kau tenggelam dalam latihan yang berlebih-lebihan. Dengan demikian, jika terjadi sesuatu dengan kesehatanmu, akulah yang harus mempertanggung jawabkannya”
Setiap kali Buntal hanya menganggukkan kepalanya saja. Kemudian menunduk dalam-dalam.
“Kau mengerti?”
Sekali lagi Buntal mengangguk sambil berdesis lambat sekali, “Ya guru. Aku mengerti”
Tetapi setiap kali, tanpa disadarinya, terasa sesuatu yang memacunya untuk berlatih lebih banyak. Dan hampir di luar sadarnya, kadang-kadang terbersit perasaan, “Aku tidak boleh kalah dari Raden Juwiring. Raden Juwiring adalah seorang bangsawan, sedang aku adalah seorang pidak-pedarakan yang di ketemukan di pinggir jalan. Jika aku tidak dapat mengimbangi ilmunya, maka aku adalah seorang anak muda yang tidak akan berarti apa-apa dipadepokan ini”
Namun setiap kali Buntal menjadi malu sendiri. Apalagi apabila terpandang olehnya tatapan mata Arum yang lunak sejuk seperti tatapan mata ayahnya, Kiai Danatirta.
Meskipun Buntal mempergunakan waktu yang lebih banyak dari Raden Juwiring untuk berlatih, namun hampir tidak dapat dimengerti oleh Buntal sendiri, bahwa setiap kali mereka berlatih bersama, ilmunya ternyata tidak lebih matang dari ilmu Raden Juwiring. Ia hanya mempunyai kelebihan tenaga sedikit saja dari putera Pangeran itu, namun justru kemampuan menguasai tata gerak dan kecepatan, Raden Juwiring masih melampauinya.
Dan itulah kelebihan Raden Juwiring dari Buntal. Raden Juwiring seakan-akan tidak menghiraukan sama sekali, jika Buntal mempergunakan hampir setiap waktu untuk menempa diri. Raden Juwiring kadang-kadang pergi saja berjalan-jalan di kebun belakang dan duduk di bawah batang-batang kayu yang rindang, atau tinggal di dalam biliknya, berbaring sambil memandangi atap biliknya.
Tetapi Buntal tidak tahu, bahwa Raden Juwiring pun mempergunakan waktu-waktu senggangnya untuk mematangkan ilmunya. Tetapi ia mempunyai cara yang lain dari cara yang dipakai oleh Buntal.
Raden Juwiring ternyata tidak mempercayakan diri pada tenaga wadagnya semata-mata. Tetapi ia mempergunakan otaknya pula. Sambil duduk di bawah pohon yang rindang di sore hari di kebun belakang, atau jauh malam hari, bahkan menjelang dini hari di dalam biliknya, Raden Juwiring bermain-main dengan rontal dan kertas-kertas yang berwarna kekuning-kuningan. Dibuatnya beberapa buah gambar yang meskipun kurang baik namun dapat menyatakan gejolak di dalam batinnya mengenai tata gerak ilmunya. Raden Juwiring ternyata tidak hanya berlatih dengan badannya, tetapi ia mampu membuat rencana tata gerak yang bermanfaat bagi ilmunya. Kadang-kadang dipadukannya beberapa macam unsur gerak yang ada dan yang pernah dipelajarinya.
Bahkan dengan unsur-unsur gerak alam dan binatang. Dan itulah sebabnya Raden Juwiring sering duduk termenung merenungi burung-burung yang berterbangan. Burung-burung kecil yang lincah cekatan menyambar bilalang. Tetapi juga burung elang yang dengan garangnya menyambar anak ayam. Bahkan juga bagaimana seekor domba membenturkan kepalanya pada lawannya jika terpaksa mereka berlaga. Ayam jantan, dan kadang-kadang dilihatnya kerbau jantan yang sedang-marah.
Bukan saja binatang yang ada di sekitarnya. Tetapi terbayang juga, bagaimana seekor harimau menerkam mangsanya dan bagaimana seekor kelinci menghindarkan diri justru menyusup di bawah kaki binatang-binatang yang menerkamnya. Betapa lucunya gerak seekor kera namun betapa gesitnya ia memanjat, menangkap sesuatu dan berloncatan.
Itulah yang selalu dipikirkan oleh Raden Juwiring. Dan hal itu sama sekali tidak terlintas di kepala Buntal. Dan perbedaan perhatian itulah yang merupakan perbedaan kepribadian mereka. Buntal lebih senang langsung memantapkan tata gerak dan kekuatan jasmaniahnya, namun Raden Juwiring memperkaya tata gerak dari paduan gerak yang beraneka macam dan kegunaannya yang berlain-lainan.
Namun mereka berdua berkembang dengan pesatnya menurut jalur yang digariskan oleh gurunya, Kiai Danatirta.
Sebagai seorang yang berpengalaman, maka Kiai Danatirta melihat perbedaan di dalam diri kedua muridnya itu. Namun Kiai Danatirta tidak melihat keberatannya sama sekali atas perkembangan kepribadian masing-masing. Bahkan di dalam latihan-latihan bersama Kiai Danatirta dapat memanfaatkan kemajuan kedua muridnya itu dan meramunya dalam satu ciri-ciri ilmu yang tidak terpisah. Hanya karena perbedaan kepribadian itu sajalah, tampak perbedaan pula dalam ungkapan inti ilmu perguruan Jati Aking, namun pada dasarnya keduanya sama.
Berbeda dari keduanya adalah Arum. Ia langsung mendapat tuntunan dari ayahnya menurut petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehatnya. Arum lebih mementingkan pada kecepatan bergerak dan kemampuannya menguasai arah gerak. Kadang-kadang ia justru dapat mengambil keuntungan dari serangan lawannya karena dorongan gerak serangan itu sendiri. Dalam keadaan yang khusus Arum mendapat latihan untuk mempergunakan tenaga dorong lawannya. Bahkan Arum mampu mempergunakan tenaga lawannya untuk melemparkan dirinya sendiri apabila diperlukan, dan dalam kesempatan tertentu Arum dapat merobohkan lawannya karena ayunan tenaga lawan itu sendiri.
Bagaimanapun juga, maka Kiai Danatirta tidak mau meninggalkan keturunannya sendiri di dalam olah kanuragan. Sejalan dengan kemajuan yang dicapai oleh Juwiring dalam keragaman unsur geraknya beserta kegunaannya, dan sejalan dengan kemajuan kekuatan tenaga Buntal, maka Arum adalah seorang gadis yang lincah cekatan, seperti seekor kijang di padang rumput yang hijau segar.
Dalam ujudnya masing-masing, ketiga murid Kiai Danatirta itu berkembang dengan pesatnya, justru oleh dorongan di dalam diri murid-murid itu sendiri. Memang kadang-kadang ada juga kecemasan di hati orang tua itu, bahwa murid-muridnya sudah terjerumus ke dalam suatu pacuan yang berbahaya. Namun atas kebijaksanaannya, Kiai Danatirta mampu mengarahkannya sesuai dengan ajaran-ajaran keagamaan dari padepokan Jati Aking. Murid-muridnya bukan saja mendapat tempaan kanuragan, tetapi mereka mendapat pengarahan yang mantap di bidang rohamiah. Mereka langsung diperkenalkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka ditunjukkan, bahwa pertanggungan jawab tertinggi dari perbuatan manusia adalah pertanggungan jawab terhadap Tuhannya. Dan manusia tidak akan dapat mempergunakan cara yang bagaimanapun juga untuk ingkar dari pertanggungan jawab yang sebenarnya, karena Tuhan mengetahui dengan pasti apa yang sudah berlaku pada setiap orang di muka bumi.
Meskipun demikian, Buntal adalah seorang anak muda yang lengkap. Yang utuh. Jasmaniah dan rohaniah. Itulah sebabnya maka Buntal pun mengenal apa yang dikenal oleh orang lain.
Di waktu matahari terbit, Buntal kadang-kadang berdiri di ujung halaman sambil memandang cahaya yang kemerah-merahan di langit. Ujung pegunungan nampak seperti seonggok batu akik yang berukir dalam berbagai warna antara hijau dan merah.
Juga di malam hari Buntal kadang-kadang merenungi kilauan bintang yang berhamburan di langit. Dikala bulan terang, anak muda itu mampu juga menangkap sesuatu yang menyentuh perasaannya.
Ternyata bahwa Buntal, seorang anak muda yang ditemukan di pinggir jalan itu, mempunyai selera rohaniah yang lengkap.
Dan karena itulah ia mengenal bentuk-bentuk keindahan.
Bukan saja bentuk-bentuk keindahan yang tersebar di sekitarnya, namun ada sesuatu yang indah yang setiap hari direnunginya. Semakin lama justru menjadi semakin memikat.
Yang lebih indah dari yang paling indah dari alam di sekitarnya itu adalah Arum yang mekar seperti mekarnya bunga menur yang berwarna putih. Betapapun juga ia mencoba mengelak, namun ia selalu dibayangi oleh kenyataan itu.
Berterima kasihlah Buntal, bahwa Tuhan telah rezeki berbentuk mata yang dapat melihat, melihat keindahan dari alam di sekitarnya. Namun keindahan yang satu ini ternyata telah membuatnya selalu berdebar-debar. Selalu cemas dan kadang-kadang menjadi bingung. Sebenarnya ia pun mengucapkan terima kasih bahwa setiap hari ia dapat menikmati keindahan itu. Tetapi tanpa disadarinya, ia dirayapi oleh suatu keinginan, bukan saja menikmatinya sebagai suatu bentuk keindahan, namun lebih daripada itu.
“O, aku menjadi semakin gila” keluh Buntal. Sudah beberapa lama ia bertahan dan bahkan mencoba mengusir perasaan itu. Namun yang terlontar dari dirinya adalah kemauan yang semakin keras untuk melatih diri. Seolah-olah ia sedang berpacu untuk mencapai garis batas terlebih dahulu dengan taruhan yang tiada taranya.
“Tidak. Arum bukan barang taruhan. Ia dapat menentukan sikapnya sendiri. Dan tidak seorang pun dapat merubah keputusan yang akan diambilnya”
Demikianlah ketenangan padepokan itu rasa-rasanya mulai terganggu. Terasa dadanya bergetar jika ia melihat Arum sedang bergurau dengan Juwiring.
“Sejak aku pertama kali menginjakkan kakiku di padepokan ini, keduanya telah sering bergurau” Buntal ingin mencoba mempergunakan nalarnya. Namun setiap kali ia tenggelam dalam arus perasaannya.
Tetapi Buntal selalu menekan perasaan itu dalam-dalam di dasar hatinya. Endapan yang semakin lama menjadi semakin tebal itu tidak luput dari tatapan mata hati Kiai Danatirta. Gurunya itu melihat, bahwa Buntal semakin lama menjadi semakin dalam terendam oleh kediaman yang murung.
Justru karena itulah, maka Buntal pun kadang-kadang tampak menyendiri duduk sambil merenungi bintik-bintik di kejauhan. Namun sejenak kemudian ia pun segera berlari ke bangsal tempat berlatih. Dicurahkannya segenap kemurungannya pada gerak-gerak jasmaniahnya. Seolah-olah anak muda itu tidak mengenal lelah sama sekali.
Di saat-saat yang demikian itu, kedua saudara seperguruannya kadang-kadang memperhatikannya juga. Bahkan di dalam hati mereka pun tumbuh berbagai macam pertanyaan, apakah sebenarnya yang telah bergolak di hati anak muda itu.
Buntal terkejut ketika pada suatu ketika ia sedang melarikan diri di dalam bangsal latihan itu. seseorang telah menyapanya, “Buntal”
Buntal mulai menahan tenaganya, sehingga akhirnya ia berhenti. Ketika ia berpaling dilihatnya Arum berdiri di sudut bilik itu.
Buntal menarik nafas. Tetapi nafas itu setiap kali seakan-akan saling memburu.
“Apakah kau tidak lelah?”
Buntal memandang Arum sejenak. Dan Arum yang kini bukan lagi Arum yang manja yang berlari-larian di pematang sambil menyingsingkan kain panjangnya. Meskipun setiap kali Arum masih juga pergi ke sawah mengantarkan makanan, tetapi sikapnya sudah lain dari Arum yang terkejut melihat kehadirannya diatas gardu sawahnya.
“Kau berlatih terlampau banyak Buntal”
Buntal menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Tidak Arum. Aku belum lelah”
“Kau memiliki tenaga dan ketahanan nafas yang luar biasa. Tetapi kau harus beristirahat. Setiap kali kau mempunyai waktu tertuang, kau selalu berada di dalam bangsal ini”
Buntal tidak menyahut.
“Beristirahatlah”
Buntal masih tetap diam.
“Marilah. Kita pergi ke dapur. Makan sudah tersedia”
Buntal memandang Arum dengan tajamnya, dan di luar sadarnya ia bertanya, “Dimana Raden Juwiring”
Arum mengerutkan keningnya. Sebelum ia menjawab, dengan tergesa-gesa Buntal menyambung, “Maksudku, apakah ia akan makan bersama kita?”
“Ya. Kakang Juwiring sudah ada di dapur”
Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya, “baiklah. Aku akan membersihkan diri dahulu”
Arum menganggukkan kepalanya. Dipandanginya langkah Buntal yang lesu dengan kepala tunduk. Sama sekali tidak segairah ketika ia berlatih seperti yang baru saja dilakukannya di bangsal ini.
“Apakah ada sesuatu yang mengganggu perasaannya?” Arum bertanya kepada diri sendiri. Tetapi sudah barang tentu bahwa ia tidak akan dapat menemukan jawabnya.
Dengan langkah yang berat Buntal pergi ke pakiwan. Ia berdiri saja sejenak di bawah sejuknya dedaunan sebelum ia membersih-kan dirinya. Dibiarkannya keringatnya susut. Dan barulah kemudian ia mencuci muka, kaki dan tangannya.
Ketika kemudian ia memasuki pintu dapur, hatinya tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Dilihat Arum dan Juwiring duduk di amben yang panjang. Agaknya keduanya sedang asyik berbincang.
Pembicaraan keduanya berhenti ketika mereka melihat Buntal masuk. Sambil tersenyum Juwiring berkata, “Marilah. Aku menunggumu. Bukankah kita akan makan bersama-sama seperti biasanya?”
Buntal menganggukkan kepalanya. Dicobanya pula untuk tersenyum sambil menjawab, “Aku agak lupa waktu karena aku berada di bangsal latihan”
“Arum menyusulmu?”
“Ya” jawab Buntal pendek.
Keduanya pun kemudian makan bersama, dan seperti biasanya Arum melayani kedua saudara seperguruannya dan yang telah dijadikannya saudara angkatnya itu.
Demikianlah, dari hari ke hari, kediaman Buntal menjadi semakin menarik perhatian. Juwiring yang masih juga selalu bersama-sama pergi ke sawah menjadi heran. Meskipun setiap kali Buntal masih berusaha menunjukkan senyum dan tawanya, tetapi rasa-rasanya senyum dan tertawa itu hambar.
Ternyata bahwa yang paling besar menaruh perhatian atas keadaan Buntal adalah justru gurunya. Karena itu, tanpa disangka-sangka oleh Buntal, gurunya telah memanggilnya bersama dengan kedua saudara angkatnya.
Dan tanpa diduganya pula, maka Kiai Danatirta telah langsung bertanya kepadanya, “Buntal. Jangan kau merasa tersinggung jika aku memerlukan bertanya kepadamu. Kau adalah tidak ubahnya dengan anakku sendiri. Karena itu pengamatanku atasmu tidak ada bedanya dengan pengamatanku atas Arum dan Juwiring”
Kiai Danatirta terdiam sesaat, lalu, “Akhir-akhir ini Buntal, aku melihat sesuatu yang lain padamu. Sesuatu yang perlahan-lahan tumbuh pada sikap dan kebiasaanmu. Mungkin kau sendiri tidak menyadari. Tetapi bagaimanapun juga, pasti ada sebab yang membuat kau menjadi demikian. Mungkin sebab itu seharusnya dapat diabaikan. Namun mungkin pula, bahwa aku, guru dan sekaligus orang tuamu, saudara-saudaramu. dapat membantumu menemukan jalan yang baik, yang dapat membawamu keluar dari suasana yang sekarang. Suasana yang tampaknya tidak begitu cerah seperti di hari-hari yang lewat”
Terasa dada Buntal menjadi berdeburan. Seakan-akan isi dadanya telah bergolak dengan dahsyatnya.
Dan dalam pada itu Kiai Danatirta meneruskan, “Jangan kau simpan persoalan itu di dalam hatimu Buntal. Jika demikian kau akan menjadi tertekan sendiri, sedang saudara-saudaramu dan aku tidak dapat ikut memecahkannya. Karena itu, katakanlah. Kami bukan orang lain lagi bagimu”
Kepala Buntal tertunduk dalam-dalam. Bagaimana mungkin ia akan dapat mengatakan persoalannya itu. Persoalan yang bagi dirinya sendiri masih dianggapnya sebagai suatu persoalan yang gila. Dan nalarnya pun menganggapnya bahwa perasaan yang tumbuh di dalam dirinya itu adalah perasaan yang tidak waras.
“Kau tidak usah merasa segan terhadap kami Buntal” berkata Juwiring kemudian, “anggaplah aku sebagai saudara tuamu dan Arum sebagai adikmu. Kami sudah meningkat dewasa, dan karena itu, kami sudah mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang barangkali dapat membantumu”
Jika sekiranya Buntal masih kanak-kanak, ingin rasanya ia menjerit dan menangis sekeras-kerasnya untuk melepaskan himpitan di dalam hati.
Tetapi dalam keadaannya kini, ia tidak akan dapat melakukannya. Ia adalah seorang laki-laki dewasa yang sudah ditempa di padepokan Jati Aking. Karena itu, ia bukan lagi seorang anak yang cengeng yang menangis meronta-ronta jika hatinya tersentuh sedikit saja.
Namun Buntal menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berdiam diri. Ia harus menjawab pertanyaan gurunya dan saudara-saudara angkatnya. Karena itu, Buntal terpaksa berbohong, “Ayah” suaranya bergetar di bibirnya, “sebenarnya apa yang tersangkut di dalam hati ini tidak pantas aku katakan”
“Tetapi juga tidak sebaiknya kau simpan di dalam hati sedang wajahmu hampir setiap saat tampak muram. Dalam perkembang-an berikutnya, hatimu akan terpengaruh dan kau dapat terperosok ke dalam suatu keadaan yang tidak menguntungkan bagimu sendiri”
Buntal mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ayah, tiba-tiba saja sebuah kenangan tentang keluargaku lelah membayangi aku untuk beberapa hari terakhir. Ada semacam kerinduan yang tidak dapat aku singkirkan, meskipun aku tahu. bahwa aku tidak akan pernah dapat menjumpai mereka lagi.
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Itulah agaknya yang merisaukan hatimu”
Buntal tidak menyahut. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk. Tiba-tiba saja ia merasa suatu beban baru telah tersangkut di hatinya. Ia sudah berbohong. Dan kebohongan itu harus dipertahankan. Bahkan untuk menyembunyikan suatu kebohongan ia kadang-kadang harus mengatakan kebohongan- kebohongan yang lain.
Buntal tiba-tiba merasa denyut jantungnya menjadi semakin cepat. Namun ia tidak akan berani mengatakan perasaannya yang sebenarnya.
“Buntal” berkata gurunya, “Aku dapat mengerti. Memang sebuah kenangan kadang-kadang tiba-tiba saja mempengaruhi perasaan kita. Namun kau harus mampu membuat pertimbangan-pertimbangan dengan nalar, agar hidupmu tidak disaput oleh kenangan dan bayangan-bayangan yang terpisah dari kehidupanmu yang sebenarnya”
Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita sudah lama berkumpul di padepokan ini. Dan kita harus melihat kenyataan ini. Orang tuamu sekarang adalah aku, dan saudara-saudaramu adalah Juwiring dan Arum. Memang kita tidak dapat membendung hadirnya sebuah kenangan pada diri kita, seperti kita membendung air di parit-parit. Namun kita harus mampu menguasai perasaan kita dan membuat pertimbangan-pertimbangan dengan nalar” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Memang ada semacam kerinduan apabila kenangan itu hinggap pada diri kita. Kerinduan pada masa lampau. Tetapi kita harus sadar, bahwa kita tidak akan dapat kembali kepada masa lampau itu”
Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ditatapnya wajah Kiai Danatirta yang bersungguh-sungguh. Dan Buntal pun merasa bersalah pula, bahwa ia telah memaksa orang tua itu menasehatinya sedang persoalan yang sebenarnya adalah persoalan yang lain.
“Nah, cobalah” berkata Kiai Danatirta mudah-mudahan kau berhasil. Mudah-mudahan kau dapat menjadikan masa lampaumu sebagai kenangan yang dapat mendorongmu menjelang masa depan yang cerah”
“Ya ayah” jawab Buntal dengan suara gemetar.
“Pandanglah saudara-saudaramu. Juwiring juga mempunyai kenangan yang dapat membuatnya rindu pada masa lampaunya di istana Ranakusuman. Arum juga mempunyai masa lampaunya sendiri dalam pelukan kasih sayang ibunya. Dan kau pun mempunyai kerinduan pada masa lampau itu. Tetapi masa lampau itu jangan merusak masa kini dan apalagi menyuramkan masa-masa datangmu”
Buntal menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk mengambil arti dari nasehat gurunya, meskipun persoalan yang sebenarnya, berbeda dengan yang sedang dialaminya.
“Nah, kita akan semakin banyak mengisi waktu kita dengan latihan-latihan kanuragan” berkata Kiai Danatirta kemudian, “dengan demikian kalian telah membangun hari depan kalian, di samping ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Kalian tidak boleh melupakan membaca kitab suci yang berisi nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk tentang hidup dan jawaban dari persoalan-persoalan kita”
Ketiga anak-anak muda itu pun mengangguk-angguk. Di padepokan itu mereka memang mendapat ilmu yang hampir menyeluruh. Agama, pengetahuan dan Kanuragan.
“Nah” berkata Ki Danatirta kemudian, “Kalian boleh mendengar serba sedikit, apa yang terjadi di Surakarta. Keadaan agaknya menjadi semakin panas. Orang asing itu menjadi semakin deksura. Kekuasaan Surakarta menjadi semakin terbatas. Dan itulah yang menyebabkan beberapa orang Pangeran tidak mau menerima keadaan ini. Bagaikan api semakin lama menjadi semakin membara, sehingga pada suatu saat, kemungkinan yang paling dekat adalah meledaknya api itu dan membakar seluruh Surakarta. Karena itu, kalian harus mempersiapkan diri. Siapa tahu, bahwa tenaga kalian yang lemah itu diperlukan bersama dengan anak-anak muda yang lain”
Buntal mengangkat wajahnya sejenak, lalu kepala itu tertunduk lagi. Ada semacam perasaan malu yang menyelinap di sudut hati. Selagi orang-orang di Surakarta mempersoalkan negara dan bangsanya, ia dicengkam oleh kegilaannya sendiri.
Demikianlah, maka ketiga anak-anak muda itu di hari-hari berikutnya berlatih semakin mantap. Dengan susah payah Buntal berusaha untuk menghilangkan kesan kemurungan dari wajahnya. Meskipun demikian, di luar sadarnya. kadang-kadang ia memandang Arum dari kejauhan. Baik selagi ia berlatih dalam olah kanuragan, maupun apabila gadis itu mengambil air untuk mencuci mangkuk di dapur.
Buntal menarik nafas dalam-dalam. la tidak dapat menentang gerak alamiah bagi seorang laki-laki. Yang dapat dilakukannya adalah sekedar membatasi diri dengan nalar seperti yang dikatakan oleh gurunya, meskipun dalam persoalan yang berbeda.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa suasana menjadi semakin buruk. Udara Surakarta seakan-akan menjadi semakin panas. Beberapa orang Pangeran tidak dapat menerima keadaan yang sedang dihadapinya, namun beberapa orang yang lain justru memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya bagi keuntungan diri sendiri.
Demikianlah yang terjadi di istana Ranakusuman. Istana itu nampaknya semakin lama menjadi semakin cerah. Barang-barang pecah belah yang selamanya belum pernah dimiliki oleh Pangeran yang manapun juga, telah terdapat di Ranakusuman. Hadiah yang mengalir seperti mengalirnya Kali Bengawan yang diterima oleh Raden Ayu Galihwarit, membuat istana Rana-kusuman menjadi semakin cemerlang.
Namun dalam pada itu, Raden Rudira pun menjadi semakin manja. Kekayaan yang ada pada keluarganya membuatnya menjadi semakin sombong dan bahkan ia merasa menjadi seorang putera Pangeran yang paling kaya di seluruh Surakarta, tanpa mengerti dari mana kekayaan itu didapatnya.
Ia hanya pernah mendengar ibunya berkata kepada ayahandanya, “Sikap kakanda yang bersahabat terhadap orang asing itu ternyata menguntungkan sekali. Aku sering menerima hadiah yang tidak aku mengerti darimana dan dari siapa, meskipun aku tahu, pasti dari salah seorang sahabat kakanda itu”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam, ia memang telah terjerumus ke dalam sikap yang menguntungkan orang-orang asing itu. Bukan saja karena Pangeran Ranakusuma tidak mempunyai keyakinan yang teguh atas kemampuan Surakarta untuk tegak sebagai suatu negara yang berkuasa, namun rumahnya seakan-akan sudah menjadi ajang pertemuan bagi orang-orang asing itu. Isterinya yang ramah dan mempunyai kelincahan bergaul membual istana Ranakusuman menjadi sering dikunjungi oleh orang-orang asing.
Karena itu. Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak mengerti kenapa isterinya kadang-kadang mengingkarinya. Isterinya mengatakan kepadanya, bahwa kadang-kadang ia tidak mengerti dari siapa hadiah-hadiah itu datang, meskipun isterinyalah yang lebih banyak berhubungan dengan orang-orang asing itu.
Dan bagi Raden Ayu Galihwarit, hubungannya dengan orang-orang asing itu banyak memberikan pengalaman baru. Pengalaman rohaniah dan jasmaniah, sehingga ia mengenal adat dari orang-orang asing itu di dalam tata pergaulannya serba sedikit. Hubungan tata pergaulan yang belum pernah dialami sebelumnya.
Bersambung ke Bagian 3
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
“Tetapi pada suatu saat, mereka akan melenyapkan pengaruh ini, karena pengaruh itu terjadi bukan karena persoalan yang wajar. Bukan karena aku orang tua, bukan karena aku sudah terlalu lama berada di Dalem Ranakusuman, dan bukan karena nasehat-nasehatku mempunyai pengaruh yang sangat baik, atau bukan karena aku seorang yang pandai dan mumpuni” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya.
Sambil berbaring terbayang kembali peristiwa-peristiwa yang pernah dialaminya. Peristiwa yang hanya karena kebetulan saja ia berkesempatan untuk mengambil keuntungan daripadanya.
Dipanala menarik nafas dalam-dalam Namun ia tidak mencoba untuk membayangkan kembali apa yang sudah terjadi dengan Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit.
Namun, betapa Ki Dipanala dicengkam oleh kegelisahan, tetapi oleh lelah dan udara yang dingin segar, maka Ki Dipanala itu pun terlena meskipun hanya sebentar.
Dan ternyata bahwa Ki Dipanala pun telah terbangun lebih dahulu. Dibiarkannya saja Sura masih terbaring diatas tikar sambil memejamkan matanya. Agaknya ia dapat juga tidur nyenyak dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
Namun tidak lama kemudian, Sura pun sudah terbangun pula. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pakiwan untuk membersihkan dirinya dan membenahi pakaiannya.
“Kita pergi ke Dalem Ranakusuman Ki Dipanala” bertanya Sura.
“Sepagi ini?”
“Tidak ada pagi tidak ada sore bagiku sekarang”
Ki Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya. Kegelisahan yang sangat telah merayapi dada Sura begitu ia terbangun dari tidurnya. Ia justru ingin segera masuk ke halaman istana Ranakusuman. Ia ingin segera mengerti, akibat atau hukuman apa lagi yang akan diterimanya. Dan apakah masih ada kesempatan baginya untuk meninggalkan halaman itu tanpa meninggalkan kepalanya. Karena agaknya Raden Rudira benar-benar menganggapnya sebagai seorang pengkhianat.
“Baiklah Sura” berkata Ki Dipanala, “Memang tidak ada batasan waktu bagimu sekarang. Marilah, aku antarkan kau masuk ke halaman itu”
“Jika aku masih mendapat kesempatan” berkata Sura, “Aku akan segera meninggalkan Ranakusuman bersama seluruh keluargaku”
“Kau belum mempersiapkan tempat untuk keluargamu Sura?”
“Aku mempunyai sekedar warisan meskipun hanya sejengkal. Dan aku sudah memperluasnya sedikit dengan uang yang aku terima selama aku menjilat di Ranakusuman”
“Apakah rumah warisan itu sudah siap kau pergunakan?”
“Siap atau tidak siap. Soalnya, semakin lama aku tinggal di Ranakusuman, maka kemungkinan-kemungkinan yang buruk akan selalu dapat terjadi. Kadang-kadang aku pun kehilangan pengendalian diri apabila aku melihat tampang Mandra”
Ki Dipanala mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Sura, bagaimana ia merasa dirinya didesak oleh Mandra dan tersingkir karenanya. Ketika mula-mula Raden Rudira menjumpai Arum di bulak Jati Sari, sebelum mereka selalu dihantui oleh wajah Petani dari Sukawati, maka Sura masih menjadi orang pertama di antara para pengiring dan pengawal di Ranakusuman. Namun kini Sura hampir sudah tidak berarti lagi, bahkan hampir saja ia mengalami hukuman cambuk yang sangat pedih.
Demikianlah keduanya pun segera kembali masuk ke halaman Ranakusuman lewat regol depan. Para penjaga yang melihat kedatangan mereka hanya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata keduanya adalah orang-orang aneh di dalam pandangan mereka. Bahkan seakan-akan keduanya dengan sengaja hilir mudik memamerkan diri.
Namun ketika salah seorang abdi berdesis di samping Sura yang kebetulan lewat, “Kau datang kembali Sura?” Maka Sura menjawab tanpa berhenti, “Untuk yang terakhir kalinya”
“Mudah-mudahan kau dapat keluar lagi dari halaman ini” sahut abdi itu. Tetapi Sura sudah semakin jauh sehingga ia sama sekali tidak mendengarnya.
Dalam pada itu, Ki Dipanala lah yang berusaha untuk dapat menghadap Pangeran Ranakusuma. Lewat seorang Pelayan Dalam, Ki Dipanala menyampaikan permohonan untuk mendapat waktu beberapa saat saja.
“Ampun tuan” berkata Pelayan Dalam itu sambil berjongkok dan menyembah.
“Persetan dengan Dipanala. Katakan kepadanya, aku tidak mempunyai waktu. Suruh ia pergi sampai saatnya aku memanggilnya”
Pelayan Dalam itu membungkukkan kepalanya. Tetapi sebelum ia pergi Raden Ayu Galihwarit berkata, “Berilah orang itu waktu barang sekejap kangmas. Aku ingin mendengar, apa yang akan dikatakannya”
Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah isterinya sejenak, namun ketika Galihwarit tersenyum, Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Aku hanya mempunyai waktu sedikit”
Pelayan Dalam itu membungkuk sekali lagi sambil menyembah, kemudian bergeser surut sambil berjongkok. Baru ketika ia sudah menuruni tangga, ia pun berdiri terbungkuk-bungkuk.
Ki Dipanala dan Sura pun kemudian dibawanya menghadap. Namun ketika Pangeran Ranakusuma yang duduk di serambi belakang melihat kehadiran dua orang itu ia mengerutkan keningnya. Kemudian tampak semburat merah terlintas di wajahnya sambil menggeram di dalam hati, “Apakah Dipanala itu sekarang mulai memeras? Aku kira ia tidak akan berbuat sejahat itu waktu itu. Kalau saja aku tahu, aku pasti sudah membunuhnya, “
Pangeran Ranakusuma masih belum beranjak ketika kedua orang itu kemudian seolah-olah merangkak dan duduk di hadapannya,
Sejenak kedua orang itu duduk sambil menundukkan kepalanya. Sebelum Pangeran Ranakusuma bertanya sesuatu, mereka berdua sama sekali tidak berani berkata apapun juga.
Baru kemudian Pangeran Ranakusuma bertanya, “Apakah maksudmu memohon waktu untuk menghadap?”
Ki Dipanala mengangkat wajahnya. Namun sebelum ia berkata sesuatu, dilihatnya Raden Ayu Galihwarit sudah berdiri di belakang Pangeran Ranakusuma. Perempuan bangsawan itu memandanginya sejenak dengan sorot mata yang penuh kecurigaan.
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Dan terdengar Pangeran Ranakusuma membentaknya, “Cepat, katakan. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayanimu”
“Maaf tuan” berkata Ki Dipanala, “hamba berdua memberanikan diri untuk memohon waktu sekedar. Sebenarnya bukanlah hamba yang mempunyai kepentingan, tetapi Sura. Sura lah yang ingin menyampaikan suatu permohonan kepada tuan”
Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Sura yang masih tetap menunduk itu sejenak. Lalu tiba-tiba ia membentak, “Cepat, cepat katakan”
“Ampun Pangeran” Sura terkejut sehingga ia tergeser sejengkal surut. Hamba ingin mengajukan permohonan kehadapan tuan”
“Katakan, katakan”
“Ya tuan” suara Sura bergetar juga betapapun ia berusaha untuk berbuat setenang-tenangnya, “hamba sudah cukup lama bekerja dan mengabdi di hadapan Pangeran. Namun agaknya akhir-akhir ini hamba tidak lagi mampu mengikuti perkembang-an yang terjadi di Dalem Kapangeranan ini, khususnya Raden Rudira, sehingga seakan-akan hamba tidak lagi diperlukan di sini, bahkan menurut istilah yang dipergunakan oleh Raden Rudira, hamba telah berkhianat. Maka dengan tidak mengurangi perasaan terima kasih bahwa selama ini hamba seakan-akan telah mendapatkan tempat berteduh di Dalem Ranakusuman ini, maka perkenankanlah kini hamba mohon diri. Semisal hamba ini selembar daun, maka agaknya daun itu sudah menguning dan sampai saatnya lepas dari tangkainya”
Terasa sesuatu berdesir di hati Pangeran Ranakusuma. Bagaimanapun juga, Sura adalah orangnya yang sudah lama sekali bekerja padanya dan kemudian mendapat kepercayaan mengasuh dan melindungi anak laki-lakinya. Namun sampai pada suatu saat, orang itu telah dianggap berkhianat oleh anak laki-lakinya itu.
Meskipun demikian Pangeran Ranakusuma telah berusaha menyembunyikan perasaannya itu. Bahkan dengan kasar ia membentak, “Jika kau merasa telah berada di rumah ini untuk waktu yang lama kenapa kau berkhianat?”
“Pangeran, benar-benar tidak terlintas di hati hamba, bahwa hamba akan berkhianat. Hamba yang sudah merasa mapan menjadi abdi di Dalem Kapangeranan ini, kenapa hamba harus berkhianat? Namun barangkali bahwa hamba telah mencoba memberikan pendapat hamba itulah, maka terutama Raden Rudira menganggap hamba tidak lagi tunduk kepada perintahnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa hamba ingin Raden Rudira tidak mendapatkan kesulitan di hari mendatang, terlebih-lebih lagi sehubungan dengan Petani dari Sukawati yang menurut pendapat hamba adalah tidak lain adalah dari Pangeran Mangkubumi itu sendiri”
“Bohong, bohong” tiba-tiba saja terdengar suara Rudira dari dalam biliknya. Tanpa menghiraukan orang-orang yang ada di ruangan itu, ia langsung melangkah kehadapan Sura dengan wajah yang merah padam. Bahkan dengan serta merta ia mengayunkan kakinya menghantam pundak Sura.
Sura terdorong surut. Meskipun ia mampu bertahan apabila ia mau, tetapi ia terjatuh berguling. Namun kemudian dengan tergesa-gesa ia bangkit dan duduk kembali sambil menundukkan kepalanya.
Agaknya Raden Rudira masih belum puas. Ia telah dikecewakan oleh ayahnya, karena ia tidak boleh memukul kedua orang itu dengan rotan selagi mereka terikat di pohon sawo. Namun sebelum ia berbuat lebih jauh Ki Dipanala berkata, “Ampun tuan. Hamba mengharap bahwa tuan mencegah tindakan puteranda lebih jauh lagi”
Terasa sesuatu bergetar di hati Pangeran Ranakusuma. Ada sesuatu yang seakan-akan menekan hatinya sehingga terasa nafasnya menjadi sesak.
“Persetan” Raden Rudira menggeram. Namun Pangeran Ranakusuma kemudian mencegahnya, “Rudira. Cobalah berbuat dengan nalar. Kau sudah menjadi semakin dewasa. Unsur dari perbuatanmu sebaiknya bukan saja penimbangan perasaan, tetapi juga nalar. Jika kau tidak mampu mendapatkan keseimbangan nalar dan perasanmu, maka semisal timbangan, kau akan menjadi berat sebelah, sehingga tindakan-tindakan yang lahir darimu, bukannya tindakan-tindakan yang terpuji”
Wajah Raden Rudira yang merah menjadi semakin merah. Ditatapnya wajah ibunya yang penuh dengan kebimbangan, la mengharap bahwa kali ini ibunya dapat membantunya. Tetapi ia menjadi sangat kecewa ketika ibunya berkata, “Bersabarlah Rudira. Seperti kata ayahandamu, kau sudah menjadi semakin dewasa”
Kata-kata ibunya itu membuat dada Raden Rudira menjadi semakin pepat. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan ketika sekilas ia memandang wajah ibunya, wajah itu bukan saja dibayangi oleh kebimbangan, tetapi rasa-rasanya Raden Ayu Sontrang bagaikan berdiri di depan sarang hantu. Ketakutan.
Raden Rudira benar-benar tidak dapat mengerti, apakah sebabnya bahwa ayah dan ibunya sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa di hadapan Dipanala. Namun Raden Rudira tidak ingin bertanya di hadapan kedua orang itu. Karena itu, maka sambil menghentakkan kakinya, ia pun segera pergi meninggalkan mereka yang masih terpancang di tempat masing-masing.
“Sura” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian setelah Rudira pergi, “ada bermacam-macam tanggapan terhadapmu sekarang. Tetapi baiklah, aku mengambil kesimpulan, bahwa sebenarnya kau memang sudah tidak diperlukan lagi di rumah ini. Karena itu, jika memang kau kehendaki, aku tidak berkeberatan kau pergi meninggalkan tempat pengabdianmu yang sudah kau lakukan bertahun-tahun, karena tiba-tiba saja kau telah dicengkam oleh mimpi yang kau anggap dapat memberi kepuasan batiniah itu”
Sura tidak menyahut. Rasa-rasanya memang terlampau berat untuk meninggalkan pengabdian yang sudah lama dilakukan dengan penuh kesetiaan bahkan seakan-akan tanpa sempat memikirkan benar dan salah.
“Nah, jika kau memang akan pergi, pergilah. Tetapi ingat Sura. Kau pernah menjadi abdi yang setia di rumah ini. Aku pun merasa seakan-akan kau telah termasuk di dalam lingkup keluarga. Tetapi kau ternyata tidak menyesuaikan dirimu lagi. Itu tidak apa. Tetapi kau jangan sebenarnya berkhianat. Pengkhianatan adalah bentuk yang paling jahat dari hubungan antar manusia. Apakah kau mengerti?”
“Ya Pangeran. Hamba mengerti”
“Dan kau Dipanala? Apakah kau juga akan berkhianat?”
Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak tuan. Memang tidak terlintas di hati hamba untuk berkhianat. Dan Sura pun tidak. Karena hamba sadar, pengkhianatan yang sebenarnya adalah perbuatan bukan saja yang paling jahat dari hubungan antar manusia, tetapi juga yang paling licik, pengecut, dan segala macam istilah yang paling buruk. Namun sayang sekali, bahwa setiap orang mempunyai penilaian yang berbeda-beda tentang arti dari pengkhianatan itu. Bahkan sebagian orang melihat pernyataan kebenaran justru sebagai suatu pengkhianatan”
“Diam, diam” Pangeran Ranakusuma membentak keras sekali sehingga Dipanala terkejut karenanya. Namun ia masih tetap dapat menguasai perasaannya. Bahkan ia masih sempat memandang wajah Raden Ayu Galihwarit yang menjadi pucat karenanya.
Namun Dipanala itu kemudian berkata, “Ampun tuan. Hamba akan berusaha mengartikan pengkhianatan itu sebagaimana yang tuan kehendaki”
Hampir saja Pangeran Ranakusuma kehilangan kesabarannya. Untunglah bahwa ia masih menyadari keadaannya, sehingga ia masih tetap berhasil menguasai dirinya. Bahkan tiba-tiba saja terasa tangan isterinya. Raden Ayu Galihwarit meraba pundaknya sambil berkata, “Sudahlah kangmas. Biarkan mereka pergi. Mereka tidak lagi kita perlukan”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang akan pergi hanyalah Sura saja. Biarlah Dipanala tetap berada di rumah ini. Aku masih mengharap bahwa ia menemukan dirinya kembali sebagai seorang pemomong yang sudah puluhan tahun berada di sini. Dengan umurnya yang semakin tua, ia seharusnya menjadi semakin mendekatkan dirinya pada ketenangan. Bukan justru sebaliknya”
Ki Dipanala mengangguk-angguk. Katanya, “Hamba tuan. Memang hamba tidak berniat untuk meninggalkan istana ini. Hamba akan mencoba menyesuaikan diri hamba yang menjadi semakin tua ini”
“Baiklah, suruh Sura pergi jika itu yang dikehendaki. Aku mengijinkan ia membawa semua miliknya yang ada di pondoknya di halaman Kapangeranan ini” Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak, lalu katanya kepada Sura, “mudah-mudahan kau menemukan hari-hari tuamu tanpa keprihatinan yang semakin mencengkam karena pokalmu sendiri”
“Ya tuan. Hamba akan mencoba hidup sebagai seorang petani di padukuhan hamba dengan secuwil sawah dan pategalan”
“Tetapi kau dapat menjadi orang yang berbahaya bagi padukuhanmu, justru karena kau merasa memiliki kelebihan dari orang lain. Selama ini kau hidup dengan bekal kemampuanmu berkelahi. Kebiasaan itu tidak akan dapat lenyap sehari dua hari. Dan malanglah nasib tetangga-tetanggamu itu”
Sura menarik nafas dalam-dalam. Tetapi peringatan itu justru menjadi cambuk baginya, bahwa ia adalah manusia biasa yang harus dapat hidup sebagai manusia biasa yang lain. Kelebihan itu adalah suatu kebetulan saja. Tetapi dengan kelebihan itu ia tidak akan dapat hidup terpisah dari manusia yang lain.
Demikianlah, maka pada hari itu, Sura benar-benar meninggalkan halaman Ranakusuman. Dengan sebuah pedati ia membawa barang-barangnya yang tidak begitu berarti. Namun ketika pedati itu meninggalkan regol Ranakusuman, terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya. Seakan-akan ia kini merasa menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang mengerti hubungannya antara dia dengan Tuhan Yang Menciptakannya, dan antara dia dengan sesama manusia dan lingkungannya.
Sura sendiri, tidak tahu, darimanakah ia menemukan kesadaran itu justru setelah ia mengalami benturan yang dahsyat ketika, ia sama sekali tidak berdaya melawan petani dari Sukawati itu.
Namun hatinya masih bergejolak ketika ia melihat Mandra yang berdiri di sebelah regol sambil bertolak pinggang memandanginya. Suara tertawanya yang semakin lama menjadi semakin keras terasa menggelitik hati. Tetapi ketika ia melihat Ki Dipanala berdiri dengan tenangnya justru di sebelah Mandra itu terasa hatinya bagaikan disentuh oleh titik air yang sejuk dingin.
Namun demikian di sepanjang jalan. Sura tidak habis berpikir, apakah sebabnya Dipanala mempunyai pengaruh yang begitu besar, meskipun jelas, bahwa ia bukan orang yang disenangi oleh Pangeran Ranakusuma, apalagi oleh Raden Rudira.
“Apakah benar-benar ia mempunyai ilmu semacam ilmu sihir yang mampu mempengaruhi perasaan orang lain dengan tatapan mata nya?” pertanyaan itu masih saja selalu terngiang di hatinya.
Namun Sura pun kemudian tidak mempedulikannya lagi. Kini ia sudah tidak mempunyai hubungan apapun juga dengan istana Ranakusuman. Dengan Raden Rudira dan dengan Mandra.
Tetapi tiba-tiba terlintas di kepalanya bayangan seorang dari keluarga Ranakusuman yang justru tidak tinggal di istana itu. Seorang anak muda yang meskipun agak mirip dengan Raden Rudira pada bentuk lahiriahnya, namun mempunyai sikap dan pandangan hidup yang berbeda. Jauh berbeda.
Tiba-tiba saja timbul keinginan Sura untuk menemui Raden Juwiring. bahkan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk lebih dekat lagi dengan putera Pangeran Ranakusuma yang pernah disingkirkannya itu.
“Aneh, kenapa saat itu Ki Dipanala justru membawanya pergi? Padahal ia mempunyai pengaruh yang kuat terhadap Pangeran Ranakusuma dan Raden Ayu Galihwarit. Jika ia menghendaki maka ia pasti akan dapat mencegahnya, sehingga Raden Juwiring masih akan tetap berada di istana. Demikian juga dengan orang-orang lain yang telah tersingkir”
Namun Sura tidak kunjung menemukan jawabnya, sehingga ia sampai ke padukuhannya dan memulai suatu kehidupan baru sebagai seorang petani.
Mula-mula memang agak canggung hidup di dalam dunia yang baru baginya. Seperti kata Pangeran Ranakusuma, memang ada tersembul nafsu untuk menguasai orang-orang di sekitarnya justru karena ia merasa memiliki kelebihan.
Tetapi untunglah, bahwa ia menyadarinya sehingga ia selalu berhasil menahan diri dan mencoba hidup seperti orang kebanyakan. Meskipun kadang-kadang sebagai orang baru ia mendapat berbagai macam kesulitan karena ada juga orang erang yang keras kepala dan menganggap Sura sebagai seorang yang tidak pantas berada di antara mereka. Namun Sura telah berhasil melampaui masa itu. Bahkan ia lelah berhasil luluh di dalam kehidupan para petani tanpa memperlihatkan kekerasan dan kemampuannya.
Meskipun demikian ia masih belum berhasil melupakan keinginannya untuk menemui Raden Juwiring di padepokan Jati Aking.
“Pada suatu saat aku akan pergi ke padepokan itu” berkata Sura di dalam hatinya, “mudah-mudahan kehadiranku di padepokan itu tidak menimbulkan persoalan bagi Raden Juwiring. Sebab kebencian Raden Rudira terhadap kakaknya itu pun melonjak setinggi langit, sehingga dapat saja ia menuduh kakaknya telah berhubungan dengan aku, seorang pengkhianat”
Dan keragu-raguan semacam itulah yang selalu menunda-nunda kepergian Sura ke padepokan Jati Aking di Jati Sari.
Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang berada di Jati Aking ternyata mempergunakan waktunya sebaik-baiknya. Mereka dengan tekun melatih diri, seakan-akan ada firasat yang membisikkan ke telinga mereka, bahwa sesuatu akan terjadi.
Bahkan kadang-kadang Kiai Danatirta menjadi heran, kesungguhan yang luar biasa, bahkan agak berlebih-lebihan telah mendorong Buntal berlatih tanpa mengenal waktu. Bukan saja di saat-saat seharusnya ia berlatih di malam hari, atau di saat-saat lain yang ditentukan oleh gurunya. Tetapi juga di saat-saat ia seharusnya beristirahat setelah ia bekerja keras di sawah, kadang-kadang dipergunakannya juga untuk mematangkan ilmu yang dikuasainya.
Namun di dalam tangkapan gurunya, Buntal anak muda yang sedang tumbuh itu, memang sedang dibakar oleh gairah yang menyala-nyala di dalam dadanya. Sekali-sekali Kiai Danatirta terpaksa memperingatkan, agar kemauan yang begitu keras itu tidak justru mengganggu kesehatannya.
“Kau harus menjaga keseimbangan hasrat dan batas kemampuan wadagmu Buntal” berkata gurunya, “Aku senang sekali melihat perkembangan yang pesat padamu dan pada Juwiring, tetapi aku tidak dapat membiarkan kau tenggelam dalam latihan yang berlebih-lebihan. Dengan demikian, jika terjadi sesuatu dengan kesehatanmu, akulah yang harus mempertanggung jawabkannya”
Setiap kali Buntal hanya menganggukkan kepalanya saja. Kemudian menunduk dalam-dalam.
“Kau mengerti?”
Sekali lagi Buntal mengangguk sambil berdesis lambat sekali, “Ya guru. Aku mengerti”
Tetapi setiap kali, tanpa disadarinya, terasa sesuatu yang memacunya untuk berlatih lebih banyak. Dan hampir di luar sadarnya, kadang-kadang terbersit perasaan, “Aku tidak boleh kalah dari Raden Juwiring. Raden Juwiring adalah seorang bangsawan, sedang aku adalah seorang pidak-pedarakan yang di ketemukan di pinggir jalan. Jika aku tidak dapat mengimbangi ilmunya, maka aku adalah seorang anak muda yang tidak akan berarti apa-apa dipadepokan ini”
Namun setiap kali Buntal menjadi malu sendiri. Apalagi apabila terpandang olehnya tatapan mata Arum yang lunak sejuk seperti tatapan mata ayahnya, Kiai Danatirta.
Meskipun Buntal mempergunakan waktu yang lebih banyak dari Raden Juwiring untuk berlatih, namun hampir tidak dapat dimengerti oleh Buntal sendiri, bahwa setiap kali mereka berlatih bersama, ilmunya ternyata tidak lebih matang dari ilmu Raden Juwiring. Ia hanya mempunyai kelebihan tenaga sedikit saja dari putera Pangeran itu, namun justru kemampuan menguasai tata gerak dan kecepatan, Raden Juwiring masih melampauinya.
Dan itulah kelebihan Raden Juwiring dari Buntal. Raden Juwiring seakan-akan tidak menghiraukan sama sekali, jika Buntal mempergunakan hampir setiap waktu untuk menempa diri. Raden Juwiring kadang-kadang pergi saja berjalan-jalan di kebun belakang dan duduk di bawah batang-batang kayu yang rindang, atau tinggal di dalam biliknya, berbaring sambil memandangi atap biliknya.
Tetapi Buntal tidak tahu, bahwa Raden Juwiring pun mempergunakan waktu-waktu senggangnya untuk mematangkan ilmunya. Tetapi ia mempunyai cara yang lain dari cara yang dipakai oleh Buntal.
Raden Juwiring ternyata tidak mempercayakan diri pada tenaga wadagnya semata-mata. Tetapi ia mempergunakan otaknya pula. Sambil duduk di bawah pohon yang rindang di sore hari di kebun belakang, atau jauh malam hari, bahkan menjelang dini hari di dalam biliknya, Raden Juwiring bermain-main dengan rontal dan kertas-kertas yang berwarna kekuning-kuningan. Dibuatnya beberapa buah gambar yang meskipun kurang baik namun dapat menyatakan gejolak di dalam batinnya mengenai tata gerak ilmunya. Raden Juwiring ternyata tidak hanya berlatih dengan badannya, tetapi ia mampu membuat rencana tata gerak yang bermanfaat bagi ilmunya. Kadang-kadang dipadukannya beberapa macam unsur gerak yang ada dan yang pernah dipelajarinya.
Bahkan dengan unsur-unsur gerak alam dan binatang. Dan itulah sebabnya Raden Juwiring sering duduk termenung merenungi burung-burung yang berterbangan. Burung-burung kecil yang lincah cekatan menyambar bilalang. Tetapi juga burung elang yang dengan garangnya menyambar anak ayam. Bahkan juga bagaimana seekor domba membenturkan kepalanya pada lawannya jika terpaksa mereka berlaga. Ayam jantan, dan kadang-kadang dilihatnya kerbau jantan yang sedang-marah.
Bukan saja binatang yang ada di sekitarnya. Tetapi terbayang juga, bagaimana seekor harimau menerkam mangsanya dan bagaimana seekor kelinci menghindarkan diri justru menyusup di bawah kaki binatang-binatang yang menerkamnya. Betapa lucunya gerak seekor kera namun betapa gesitnya ia memanjat, menangkap sesuatu dan berloncatan.
Itulah yang selalu dipikirkan oleh Raden Juwiring. Dan hal itu sama sekali tidak terlintas di kepala Buntal. Dan perbedaan perhatian itulah yang merupakan perbedaan kepribadian mereka. Buntal lebih senang langsung memantapkan tata gerak dan kekuatan jasmaniahnya, namun Raden Juwiring memperkaya tata gerak dari paduan gerak yang beraneka macam dan kegunaannya yang berlain-lainan.
Namun mereka berdua berkembang dengan pesatnya menurut jalur yang digariskan oleh gurunya, Kiai Danatirta.
Sebagai seorang yang berpengalaman, maka Kiai Danatirta melihat perbedaan di dalam diri kedua muridnya itu. Namun Kiai Danatirta tidak melihat keberatannya sama sekali atas perkembangan kepribadian masing-masing. Bahkan di dalam latihan-latihan bersama Kiai Danatirta dapat memanfaatkan kemajuan kedua muridnya itu dan meramunya dalam satu ciri-ciri ilmu yang tidak terpisah. Hanya karena perbedaan kepribadian itu sajalah, tampak perbedaan pula dalam ungkapan inti ilmu perguruan Jati Aking, namun pada dasarnya keduanya sama.
Berbeda dari keduanya adalah Arum. Ia langsung mendapat tuntunan dari ayahnya menurut petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehatnya. Arum lebih mementingkan pada kecepatan bergerak dan kemampuannya menguasai arah gerak. Kadang-kadang ia justru dapat mengambil keuntungan dari serangan lawannya karena dorongan gerak serangan itu sendiri. Dalam keadaan yang khusus Arum mendapat latihan untuk mempergunakan tenaga dorong lawannya. Bahkan Arum mampu mempergunakan tenaga lawannya untuk melemparkan dirinya sendiri apabila diperlukan, dan dalam kesempatan tertentu Arum dapat merobohkan lawannya karena ayunan tenaga lawan itu sendiri.
Bagaimanapun juga, maka Kiai Danatirta tidak mau meninggalkan keturunannya sendiri di dalam olah kanuragan. Sejalan dengan kemajuan yang dicapai oleh Juwiring dalam keragaman unsur geraknya beserta kegunaannya, dan sejalan dengan kemajuan kekuatan tenaga Buntal, maka Arum adalah seorang gadis yang lincah cekatan, seperti seekor kijang di padang rumput yang hijau segar.
Dalam ujudnya masing-masing, ketiga murid Kiai Danatirta itu berkembang dengan pesatnya, justru oleh dorongan di dalam diri murid-murid itu sendiri. Memang kadang-kadang ada juga kecemasan di hati orang tua itu, bahwa murid-muridnya sudah terjerumus ke dalam suatu pacuan yang berbahaya. Namun atas kebijaksanaannya, Kiai Danatirta mampu mengarahkannya sesuai dengan ajaran-ajaran keagamaan dari padepokan Jati Aking. Murid-muridnya bukan saja mendapat tempaan kanuragan, tetapi mereka mendapat pengarahan yang mantap di bidang rohamiah. Mereka langsung diperkenalkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka ditunjukkan, bahwa pertanggungan jawab tertinggi dari perbuatan manusia adalah pertanggungan jawab terhadap Tuhannya. Dan manusia tidak akan dapat mempergunakan cara yang bagaimanapun juga untuk ingkar dari pertanggungan jawab yang sebenarnya, karena Tuhan mengetahui dengan pasti apa yang sudah berlaku pada setiap orang di muka bumi.
Meskipun demikian, Buntal adalah seorang anak muda yang lengkap. Yang utuh. Jasmaniah dan rohaniah. Itulah sebabnya maka Buntal pun mengenal apa yang dikenal oleh orang lain.
Di waktu matahari terbit, Buntal kadang-kadang berdiri di ujung halaman sambil memandang cahaya yang kemerah-merahan di langit. Ujung pegunungan nampak seperti seonggok batu akik yang berukir dalam berbagai warna antara hijau dan merah.
Juga di malam hari Buntal kadang-kadang merenungi kilauan bintang yang berhamburan di langit. Dikala bulan terang, anak muda itu mampu juga menangkap sesuatu yang menyentuh perasaannya.
Ternyata bahwa Buntal, seorang anak muda yang ditemukan di pinggir jalan itu, mempunyai selera rohaniah yang lengkap.
Dan karena itulah ia mengenal bentuk-bentuk keindahan.
Bukan saja bentuk-bentuk keindahan yang tersebar di sekitarnya, namun ada sesuatu yang indah yang setiap hari direnunginya. Semakin lama justru menjadi semakin memikat.
Yang lebih indah dari yang paling indah dari alam di sekitarnya itu adalah Arum yang mekar seperti mekarnya bunga menur yang berwarna putih. Betapapun juga ia mencoba mengelak, namun ia selalu dibayangi oleh kenyataan itu.
Berterima kasihlah Buntal, bahwa Tuhan telah rezeki berbentuk mata yang dapat melihat, melihat keindahan dari alam di sekitarnya. Namun keindahan yang satu ini ternyata telah membuatnya selalu berdebar-debar. Selalu cemas dan kadang-kadang menjadi bingung. Sebenarnya ia pun mengucapkan terima kasih bahwa setiap hari ia dapat menikmati keindahan itu. Tetapi tanpa disadarinya, ia dirayapi oleh suatu keinginan, bukan saja menikmatinya sebagai suatu bentuk keindahan, namun lebih daripada itu.
“O, aku menjadi semakin gila” keluh Buntal. Sudah beberapa lama ia bertahan dan bahkan mencoba mengusir perasaan itu. Namun yang terlontar dari dirinya adalah kemauan yang semakin keras untuk melatih diri. Seolah-olah ia sedang berpacu untuk mencapai garis batas terlebih dahulu dengan taruhan yang tiada taranya.
“Tidak. Arum bukan barang taruhan. Ia dapat menentukan sikapnya sendiri. Dan tidak seorang pun dapat merubah keputusan yang akan diambilnya”
Demikianlah ketenangan padepokan itu rasa-rasanya mulai terganggu. Terasa dadanya bergetar jika ia melihat Arum sedang bergurau dengan Juwiring.
“Sejak aku pertama kali menginjakkan kakiku di padepokan ini, keduanya telah sering bergurau” Buntal ingin mencoba mempergunakan nalarnya. Namun setiap kali ia tenggelam dalam arus perasaannya.
Tetapi Buntal selalu menekan perasaan itu dalam-dalam di dasar hatinya. Endapan yang semakin lama menjadi semakin tebal itu tidak luput dari tatapan mata hati Kiai Danatirta. Gurunya itu melihat, bahwa Buntal semakin lama menjadi semakin dalam terendam oleh kediaman yang murung.
Justru karena itulah, maka Buntal pun kadang-kadang tampak menyendiri duduk sambil merenungi bintik-bintik di kejauhan. Namun sejenak kemudian ia pun segera berlari ke bangsal tempat berlatih. Dicurahkannya segenap kemurungannya pada gerak-gerak jasmaniahnya. Seolah-olah anak muda itu tidak mengenal lelah sama sekali.
Di saat-saat yang demikian itu, kedua saudara seperguruannya kadang-kadang memperhatikannya juga. Bahkan di dalam hati mereka pun tumbuh berbagai macam pertanyaan, apakah sebenarnya yang telah bergolak di hati anak muda itu.
Buntal terkejut ketika pada suatu ketika ia sedang melarikan diri di dalam bangsal latihan itu. seseorang telah menyapanya, “Buntal”
Buntal mulai menahan tenaganya, sehingga akhirnya ia berhenti. Ketika ia berpaling dilihatnya Arum berdiri di sudut bilik itu.
Buntal menarik nafas. Tetapi nafas itu setiap kali seakan-akan saling memburu.
“Apakah kau tidak lelah?”
Buntal memandang Arum sejenak. Dan Arum yang kini bukan lagi Arum yang manja yang berlari-larian di pematang sambil menyingsingkan kain panjangnya. Meskipun setiap kali Arum masih juga pergi ke sawah mengantarkan makanan, tetapi sikapnya sudah lain dari Arum yang terkejut melihat kehadirannya diatas gardu sawahnya.
“Kau berlatih terlampau banyak Buntal”
Buntal menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Tidak Arum. Aku belum lelah”
“Kau memiliki tenaga dan ketahanan nafas yang luar biasa. Tetapi kau harus beristirahat. Setiap kali kau mempunyai waktu tertuang, kau selalu berada di dalam bangsal ini”
Buntal tidak menyahut.
“Beristirahatlah”
Buntal masih tetap diam.
“Marilah. Kita pergi ke dapur. Makan sudah tersedia”
Buntal memandang Arum dengan tajamnya, dan di luar sadarnya ia bertanya, “Dimana Raden Juwiring”
Arum mengerutkan keningnya. Sebelum ia menjawab, dengan tergesa-gesa Buntal menyambung, “Maksudku, apakah ia akan makan bersama kita?”
“Ya. Kakang Juwiring sudah ada di dapur”
Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya, “baiklah. Aku akan membersihkan diri dahulu”
Arum menganggukkan kepalanya. Dipandanginya langkah Buntal yang lesu dengan kepala tunduk. Sama sekali tidak segairah ketika ia berlatih seperti yang baru saja dilakukannya di bangsal ini.
“Apakah ada sesuatu yang mengganggu perasaannya?” Arum bertanya kepada diri sendiri. Tetapi sudah barang tentu bahwa ia tidak akan dapat menemukan jawabnya.
Dengan langkah yang berat Buntal pergi ke pakiwan. Ia berdiri saja sejenak di bawah sejuknya dedaunan sebelum ia membersih-kan dirinya. Dibiarkannya keringatnya susut. Dan barulah kemudian ia mencuci muka, kaki dan tangannya.
Ketika kemudian ia memasuki pintu dapur, hatinya tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Dilihat Arum dan Juwiring duduk di amben yang panjang. Agaknya keduanya sedang asyik berbincang.
Pembicaraan keduanya berhenti ketika mereka melihat Buntal masuk. Sambil tersenyum Juwiring berkata, “Marilah. Aku menunggumu. Bukankah kita akan makan bersama-sama seperti biasanya?”
Buntal menganggukkan kepalanya. Dicobanya pula untuk tersenyum sambil menjawab, “Aku agak lupa waktu karena aku berada di bangsal latihan”
“Arum menyusulmu?”
“Ya” jawab Buntal pendek.
Keduanya pun kemudian makan bersama, dan seperti biasanya Arum melayani kedua saudara seperguruannya dan yang telah dijadikannya saudara angkatnya itu.
Demikianlah, dari hari ke hari, kediaman Buntal menjadi semakin menarik perhatian. Juwiring yang masih juga selalu bersama-sama pergi ke sawah menjadi heran. Meskipun setiap kali Buntal masih berusaha menunjukkan senyum dan tawanya, tetapi rasa-rasanya senyum dan tertawa itu hambar.
Ternyata bahwa yang paling besar menaruh perhatian atas keadaan Buntal adalah justru gurunya. Karena itu, tanpa disangka-sangka oleh Buntal, gurunya telah memanggilnya bersama dengan kedua saudara angkatnya.
Dan tanpa diduganya pula, maka Kiai Danatirta telah langsung bertanya kepadanya, “Buntal. Jangan kau merasa tersinggung jika aku memerlukan bertanya kepadamu. Kau adalah tidak ubahnya dengan anakku sendiri. Karena itu pengamatanku atasmu tidak ada bedanya dengan pengamatanku atas Arum dan Juwiring”
Kiai Danatirta terdiam sesaat, lalu, “Akhir-akhir ini Buntal, aku melihat sesuatu yang lain padamu. Sesuatu yang perlahan-lahan tumbuh pada sikap dan kebiasaanmu. Mungkin kau sendiri tidak menyadari. Tetapi bagaimanapun juga, pasti ada sebab yang membuat kau menjadi demikian. Mungkin sebab itu seharusnya dapat diabaikan. Namun mungkin pula, bahwa aku, guru dan sekaligus orang tuamu, saudara-saudaramu. dapat membantumu menemukan jalan yang baik, yang dapat membawamu keluar dari suasana yang sekarang. Suasana yang tampaknya tidak begitu cerah seperti di hari-hari yang lewat”
Terasa dada Buntal menjadi berdeburan. Seakan-akan isi dadanya telah bergolak dengan dahsyatnya.
Dan dalam pada itu Kiai Danatirta meneruskan, “Jangan kau simpan persoalan itu di dalam hatimu Buntal. Jika demikian kau akan menjadi tertekan sendiri, sedang saudara-saudaramu dan aku tidak dapat ikut memecahkannya. Karena itu, katakanlah. Kami bukan orang lain lagi bagimu”
Kepala Buntal tertunduk dalam-dalam. Bagaimana mungkin ia akan dapat mengatakan persoalannya itu. Persoalan yang bagi dirinya sendiri masih dianggapnya sebagai suatu persoalan yang gila. Dan nalarnya pun menganggapnya bahwa perasaan yang tumbuh di dalam dirinya itu adalah perasaan yang tidak waras.
“Kau tidak usah merasa segan terhadap kami Buntal” berkata Juwiring kemudian, “anggaplah aku sebagai saudara tuamu dan Arum sebagai adikmu. Kami sudah meningkat dewasa, dan karena itu, kami sudah mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang barangkali dapat membantumu”
Jika sekiranya Buntal masih kanak-kanak, ingin rasanya ia menjerit dan menangis sekeras-kerasnya untuk melepaskan himpitan di dalam hati.
Tetapi dalam keadaannya kini, ia tidak akan dapat melakukannya. Ia adalah seorang laki-laki dewasa yang sudah ditempa di padepokan Jati Aking. Karena itu, ia bukan lagi seorang anak yang cengeng yang menangis meronta-ronta jika hatinya tersentuh sedikit saja.
Namun Buntal menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berdiam diri. Ia harus menjawab pertanyaan gurunya dan saudara-saudara angkatnya. Karena itu, Buntal terpaksa berbohong, “Ayah” suaranya bergetar di bibirnya, “sebenarnya apa yang tersangkut di dalam hati ini tidak pantas aku katakan”
“Tetapi juga tidak sebaiknya kau simpan di dalam hati sedang wajahmu hampir setiap saat tampak muram. Dalam perkembang-an berikutnya, hatimu akan terpengaruh dan kau dapat terperosok ke dalam suatu keadaan yang tidak menguntungkan bagimu sendiri”
Buntal mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ayah, tiba-tiba saja sebuah kenangan tentang keluargaku lelah membayangi aku untuk beberapa hari terakhir. Ada semacam kerinduan yang tidak dapat aku singkirkan, meskipun aku tahu. bahwa aku tidak akan pernah dapat menjumpai mereka lagi.
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Itulah agaknya yang merisaukan hatimu”
Buntal tidak menyahut. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk. Tiba-tiba saja ia merasa suatu beban baru telah tersangkut di hatinya. Ia sudah berbohong. Dan kebohongan itu harus dipertahankan. Bahkan untuk menyembunyikan suatu kebohongan ia kadang-kadang harus mengatakan kebohongan- kebohongan yang lain.
Buntal tiba-tiba merasa denyut jantungnya menjadi semakin cepat. Namun ia tidak akan berani mengatakan perasaannya yang sebenarnya.
“Buntal” berkata gurunya, “Aku dapat mengerti. Memang sebuah kenangan kadang-kadang tiba-tiba saja mempengaruhi perasaan kita. Namun kau harus mampu membuat pertimbangan-pertimbangan dengan nalar, agar hidupmu tidak disaput oleh kenangan dan bayangan-bayangan yang terpisah dari kehidupanmu yang sebenarnya”
Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita sudah lama berkumpul di padepokan ini. Dan kita harus melihat kenyataan ini. Orang tuamu sekarang adalah aku, dan saudara-saudaramu adalah Juwiring dan Arum. Memang kita tidak dapat membendung hadirnya sebuah kenangan pada diri kita, seperti kita membendung air di parit-parit. Namun kita harus mampu menguasai perasaan kita dan membuat pertimbangan-pertimbangan dengan nalar” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Memang ada semacam kerinduan apabila kenangan itu hinggap pada diri kita. Kerinduan pada masa lampau. Tetapi kita harus sadar, bahwa kita tidak akan dapat kembali kepada masa lampau itu”
Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ditatapnya wajah Kiai Danatirta yang bersungguh-sungguh. Dan Buntal pun merasa bersalah pula, bahwa ia telah memaksa orang tua itu menasehatinya sedang persoalan yang sebenarnya adalah persoalan yang lain.
“Nah, cobalah” berkata Kiai Danatirta mudah-mudahan kau berhasil. Mudah-mudahan kau dapat menjadikan masa lampaumu sebagai kenangan yang dapat mendorongmu menjelang masa depan yang cerah”
“Ya ayah” jawab Buntal dengan suara gemetar.
“Pandanglah saudara-saudaramu. Juwiring juga mempunyai kenangan yang dapat membuatnya rindu pada masa lampaunya di istana Ranakusuman. Arum juga mempunyai masa lampaunya sendiri dalam pelukan kasih sayang ibunya. Dan kau pun mempunyai kerinduan pada masa lampau itu. Tetapi masa lampau itu jangan merusak masa kini dan apalagi menyuramkan masa-masa datangmu”
Buntal menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk mengambil arti dari nasehat gurunya, meskipun persoalan yang sebenarnya, berbeda dengan yang sedang dialaminya.
“Nah, kita akan semakin banyak mengisi waktu kita dengan latihan-latihan kanuragan” berkata Kiai Danatirta kemudian, “dengan demikian kalian telah membangun hari depan kalian, di samping ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Kalian tidak boleh melupakan membaca kitab suci yang berisi nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk tentang hidup dan jawaban dari persoalan-persoalan kita”
Ketiga anak-anak muda itu pun mengangguk-angguk. Di padepokan itu mereka memang mendapat ilmu yang hampir menyeluruh. Agama, pengetahuan dan Kanuragan.
“Nah” berkata Ki Danatirta kemudian, “Kalian boleh mendengar serba sedikit, apa yang terjadi di Surakarta. Keadaan agaknya menjadi semakin panas. Orang asing itu menjadi semakin deksura. Kekuasaan Surakarta menjadi semakin terbatas. Dan itulah yang menyebabkan beberapa orang Pangeran tidak mau menerima keadaan ini. Bagaikan api semakin lama menjadi semakin membara, sehingga pada suatu saat, kemungkinan yang paling dekat adalah meledaknya api itu dan membakar seluruh Surakarta. Karena itu, kalian harus mempersiapkan diri. Siapa tahu, bahwa tenaga kalian yang lemah itu diperlukan bersama dengan anak-anak muda yang lain”
Buntal mengangkat wajahnya sejenak, lalu kepala itu tertunduk lagi. Ada semacam perasaan malu yang menyelinap di sudut hati. Selagi orang-orang di Surakarta mempersoalkan negara dan bangsanya, ia dicengkam oleh kegilaannya sendiri.
Demikianlah, maka ketiga anak-anak muda itu di hari-hari berikutnya berlatih semakin mantap. Dengan susah payah Buntal berusaha untuk menghilangkan kesan kemurungan dari wajahnya. Meskipun demikian, di luar sadarnya. kadang-kadang ia memandang Arum dari kejauhan. Baik selagi ia berlatih dalam olah kanuragan, maupun apabila gadis itu mengambil air untuk mencuci mangkuk di dapur.
Buntal menarik nafas dalam-dalam. la tidak dapat menentang gerak alamiah bagi seorang laki-laki. Yang dapat dilakukannya adalah sekedar membatasi diri dengan nalar seperti yang dikatakan oleh gurunya, meskipun dalam persoalan yang berbeda.
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa suasana menjadi semakin buruk. Udara Surakarta seakan-akan menjadi semakin panas. Beberapa orang Pangeran tidak dapat menerima keadaan yang sedang dihadapinya, namun beberapa orang yang lain justru memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya bagi keuntungan diri sendiri.
Demikianlah yang terjadi di istana Ranakusuman. Istana itu nampaknya semakin lama menjadi semakin cerah. Barang-barang pecah belah yang selamanya belum pernah dimiliki oleh Pangeran yang manapun juga, telah terdapat di Ranakusuman. Hadiah yang mengalir seperti mengalirnya Kali Bengawan yang diterima oleh Raden Ayu Galihwarit, membuat istana Rana-kusuman menjadi semakin cemerlang.
Namun dalam pada itu, Raden Rudira pun menjadi semakin manja. Kekayaan yang ada pada keluarganya membuatnya menjadi semakin sombong dan bahkan ia merasa menjadi seorang putera Pangeran yang paling kaya di seluruh Surakarta, tanpa mengerti dari mana kekayaan itu didapatnya.
Ia hanya pernah mendengar ibunya berkata kepada ayahandanya, “Sikap kakanda yang bersahabat terhadap orang asing itu ternyata menguntungkan sekali. Aku sering menerima hadiah yang tidak aku mengerti darimana dan dari siapa, meskipun aku tahu, pasti dari salah seorang sahabat kakanda itu”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam, ia memang telah terjerumus ke dalam sikap yang menguntungkan orang-orang asing itu. Bukan saja karena Pangeran Ranakusuma tidak mempunyai keyakinan yang teguh atas kemampuan Surakarta untuk tegak sebagai suatu negara yang berkuasa, namun rumahnya seakan-akan sudah menjadi ajang pertemuan bagi orang-orang asing itu. Isterinya yang ramah dan mempunyai kelincahan bergaul membual istana Ranakusuman menjadi sering dikunjungi oleh orang-orang asing.
Karena itu. Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak mengerti kenapa isterinya kadang-kadang mengingkarinya. Isterinya mengatakan kepadanya, bahwa kadang-kadang ia tidak mengerti dari siapa hadiah-hadiah itu datang, meskipun isterinyalah yang lebih banyak berhubungan dengan orang-orang asing itu.
Dan bagi Raden Ayu Galihwarit, hubungannya dengan orang-orang asing itu banyak memberikan pengalaman baru. Pengalaman rohaniah dan jasmaniah, sehingga ia mengenal adat dari orang-orang asing itu di dalam tata pergaulannya serba sedikit. Hubungan tata pergaulan yang belum pernah dialami sebelumnya.
Bersambung ke Bagian 3
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
Komentar
Posting Komentar