Bunga di batu karang V bag 3
Bunga di batu karang V Bag 3
Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak menghiraukan, apabila di dalam pertemuan-pertemuan resmi para Pangeran, beberapa orang isteri Pangeran duduk mempercakapkannya. Sambil berbisik-bisik mereka memandanginya dengan sudut mata.
“Mereka adalah orang-orang yang dengki dan iri hati” berkata Raden Ayu Galihwarit di dalam hatinya.
Namun di saat-saat terakhir. Raden Ayu Galihwarit merasa terganggu oleh sikap Dipanala. Sepeninggal Sura, rasa-rasanya Dipanala justru dengan sengaja berbuat banyak hal yang membuatnya berdebat. Setiap kali ia menjadi curiga apabila Dipanala menghadap Pangeran Ranakusuma untuk kepentingan apapun, sehingga setiap kali ia selalu berusaha mengetahui atau mendengar percakapan mereka.
Tetapi demikian juga agaknya Pangeran Ranakusuma. Ia tidak pernah membiarkan Dipanala menghadap isterinya untuk kepentingan apapun, sehingga setiap abdi terdekatnya dan pelayan dalam, dipesannya agar mendengar apa saja yang dikatakan oleh Dipanala kepada siapapun juga.
Ternyata betapa kebencian memuncak di hati Pangeran Ranakusuma serta Raden Ayu Galihwarit, namun mereka tidak dapat berbuat banyak atas orang itu. Mereka tidak dapat mengusir dan apalagi menghukumnya.
Hal itu sama sekali tidak dapat dimengerti oleh Raden Rudira. Baginya Dipanala bagaikan duri di dalam daging. Setiap kali orang itu menghalang-halangi niatnya, ayahanda dan ibundanya tidak dapat mencegahnya. Jika dahulu sebelum Sura meninggal-kan istana, Dipanala jarang atau hampir tidak pernah mencampuri persoalan ayahanda dan ibunda, namun kini, Dipanala justru menjadi lebih sering menghadap.
“Aku harus mengetahui, kenapa setan itu tidak disingkirkan atau dibunuh saja oleh ayahanda Ranakusuma. Kenapa ia masih-bebas berkeliaran dan bahkan kadang-kadang dipanggil menghadap oleh ayahanda dan ibunda?” bertanya Raden Rudira di dalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa Dipanala memang sering dipanggil baik oleh Pangeran Ranakusuma, maupun oleh Raden Ayu Galihwarit. Namun sebenarnya Dipanala sama sekali tidak sedang diajak berunding. Bahkan Pangeran Ranakusuma selalu mengancamnya dan menakut-nakutinya.
Ki Dipanala sendiri memang tidak pernah berniat jahat. Ia menyadari keadaannya dan sama sekali tidak timbul niatnya untuk mencelakakan orang lain. Tetapi kadang-kadang ia berani juga mencegah niat yang bertentangan dengan nuraninya.
“Kau terlalu banyak mencampuri persoalanku Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma kepada Ki Dipanala pada suatu saat.
“Apa yang sudah hamba lakukan Pangeran? Hamba tidak pernah berbuat apa-apa”
“Kau sudah membuat anakku membencimu. Dan kadang-kadang kau berani berterus terang memperingatkan tingkah lakuku di hadapan anak itu. Kau tidak usah mengurusi hubunganku dengan asing, atau hubungan Rudira dengan Juwiring dan petani dari Sukawati itu. Kau harus merasa berterima kasih bahwa kau dapat hidup layak di belakang istana ini. Aku masih tetap memberikan penghasilanmu, meskipun kau sama sekali tidak bermanfaat bagiku”
“Justru karena hamba masih selalu menerima pemberian tuanku itulah, hamba kadang-kadang ingin juga memberikan sedikit bahan pertimbangan. Juga atas hubungan tuan dengan orang asing itu dan niat Raden Rudira yang tidak ada bedanya untuk mencelakakan kakandanya. Hamba tahu, bahwa Raden Rudira menaruh perasaan cemburu, karena di padepokan itu ada seorang gadis cantik yang bernama Arum. Tetapi sebenarnyalah bahwa tidak ada hubungan apapun antara Raden Juwiring dengan Arum”
Kedua orang yang sedang berbicara itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara Raden Ayu Galihwarit, “Dipanala. Aku akan memberimu tambahan penghasilan jika kau berjanji tidak akan mengganggu gugat masalah-masalah kami. Masalah kakanda Pangeran dalam hubungannya dengan orang asing itu, dan masalah anakku. Bahkan sebaiknya kau membujuk Kiai Danatirta, agar ia mau menyerahkan anaknya kemari. Aku memang memerlukannya. Sedang hubungan kakanda Pangeran dengan orang asing itu mendatangkan banyak keuntungan bagi kami, bagi rumah tangga kami. Istana kami adalah istana yang paling cerah dari semua istana Kapangeranan di Surakarta. Sahabat-sahabat kakanda Pangeran telah mengirimkan hadiah yang tidak ternilai dan yang sebelumnya belum pernah kita lihat dan apalagi kita miliki”
Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Raden Ayu Galihwarit sejenak. Sekilas Dipanala melihat kecantikan yang memancar di wajah itu. Meskipun Raden Ayu Galihwarit sudah memiliki dua orang anak yang menjelang dewasa, namun ia sendiri masih tampak segar dan cantik.
Tetapi kecantikan lahiriah itu sama sekali tidak bersumber pada kecantikan rohaniah.
Kulitnya yang kuning bersih tidak mencerminkan hatinya yang sebenarnya buram, yang dikuasai oleh nafsu ketamakan yang tiada taranya. Ketamakan akan harta dan kekayaan, sehingga apapun yang ada padanya telah dikorbankannya untuk mendapatkan kekayaan dan harta benda yang diinginkan.
“Pangeran” berkata Ki Dipanala kemudian, “hamba senang sekali apabila hamba mendapatkan tambahan penghasilan yang dapat memperbaiki kehidupan hamba sekeluarga. Tetapi hamba pun cemas melihat mendung yang mengambang diatas Surakarta sekarang ini. Orang asing itu tidak disukai oleh beberapa orang Pangeran”
“Bodoh sekali. Itu adalah suatu kebodohan” Raden Ayu Galihwarit lah yang menjawab, “Apakah keberatan mereka atas kehadiran orang-orang asing itu? Hanya karena mereka tidak berhasil bersahabat dengan mereka dan tidak pernah mendapatkan pemberian apapun juga, mereka menganggap bahwa orang-orang asing itu tidak disenangi di Surakarta”
Ki Dipanala tidak segera menjawab. Sudut pandangan Raden Ayu Galihwarit berbeda dari sudut pandangan dan sikap pemerintahan di Surakarta. Namun agaknya Raden Ayu Galihwarit itu sama sekali tidak mau tahu, apakah sebenarnya yang telah terjadi di Surakarta ini.
“Sudahlah Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian, “Seperti yang aku katakan, kau jangan terlampau banyak mencampuri persoalan kami. Aku tidak senang. Kau mengerti?”
“Hamba Pangeran. Hamba tidak akan banyak mencampuri persoalan yang ada di istana ini. Namun perkenankanlah hamba memperingatkan, bahwa sikap Pangeran Mangkubumi terhadap orang-orang asing itu menjadi semakin tegas”
“Aku sudah mengerti…!!!” Pangeran Ranakusuma membentak. Namun suaranya kemudian menurun, “Tetapi ia tidak akan berbuat apa-apa”
“Mudah-mudahan” sahut Dipanala.
“Seandainya ia akan berbuat sesuatu, apakah yang dapat dilakukan? Meskipun ia seorang Pangeran yang pilih tanding, tetapi ia akan berdiri seorang diri. Dan ia tidak akan berani menentang kekuasaan Susuhunan Paku Buwana, sehingga apabila Susuhunan Paku Buwana sudah menentukan, maka semua Pangeran akan tunduk?”
“Tetapi bagaimana dengan beberapa orang Pangeran yang telah meninggalkan kota dan melakukan perlawanan?”
“O, apakah yang dapat mereka lakukan? Mereka hanya berlari-lari dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, dan sama sekali jauh dari kota Surakarta. Sebentar lagi mereka akan digiring dan dipaksa untuk menyerah”
“Tetapi jika kemudian di antara mereka terdapat Pangeran Mangkubumi?”
Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab Raden Ayu Galihwarit telah menyahut, “Apa bedanya Pangeran Mangkubumi dengan yang lain-lain itu?”
Ki Dipanala memandang Raden Ayu Galihwarit sejenak, lalu berpindah kepada Pangeran Ranakusuma, “Apakah benar Pangeran dan Raden Ayu tidak tahu kelebihan Pangeran Mangkubumi”
“Cukup, cukup” bentak Pangeran Ranakusuma, “kenapa kau mengajukan pertanyaan yang gila itu?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Baginya hal itu merupakan pengakuan, betapa Pangeran Ranakusuma segan kepada saudara mudanya itu. Namun ternyata bahwa Raden Ayu Galihwarit lah yang menjawab, “Aku tahu, kelebihan Pangeran Mangkubumi adalah pada ilmu kanuragan. Meskipun ia kebal atas segala macam senjata tajam, namun ia tidak akan dapat melawan senjata orang kulit putih itu. Sebutir peluru akan menembus jantungnya, dan ia akan mati seperti kebanyakan orang mati. Dan ia tidak akan dapat hidup kembali”
Tiba-tiba saja kepala Pangeran Ranakusuma tertunduk dalam-dalam. Ada sesuatu yang bergolak di dadanya. Bagaimanapun juga, ia tidak dapat ingkar bahwa kulitnya tidak seputih kulit orang asing itu. Meskipun seandainya ia tidak memperhitungkan warna kulit, namun ia tahu benar niat kedatangan orang-orang asing itu di Surakarta. Seperti Pangeran Mangkubumi maka ia pun merasa cemas melihat perkembangan Surakarta. Tetapi kadang-kadang semuanya itu lenyap jika ia melihat kepada dirinya sendiri. Apakah arti pengabdiannya kepada Surakarta, jika kedatangan orang asing itu menguntungkan dirinya. Pribadinya.
“Apakah yang dapat aku petik dari kekuasaan Surakarta ini sekarang secara langsung?” pertanyaan itu kadang-kadang melonjak di hatinya, “sedangkan orang-orang asing ini banyak memberikan sesuatu yang memang aku perlukan, dan yang diperlukan oleh isteriku”
Tetapi jika kemudian terbayang pergaulan yang terlalu rapat antara orang-orang asing itu dengan isterinya. maka hatinya menjadi berdebar-debar pula.
Namun untuk mengusir perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya, tiba-tiba Pangeran Ranakusuma berteriak, “Pergi, pergi kau Dipanala. Awas jika kau masih mengganggu kami. Aku dapat berbuat baik, tetapi aku juga dapat berbuat kasar”
“Ampun tuan” berkata Ki Dipanala kemudian. Tetapi ia masih juga berkata, “Sebelum hamba mohon diri, hamba mohon agar tuanku bertanya kepada puteranda Raden Rudira. apakah yang diketahuinya tentang Sukawati”
“Diam, diam” Pangeran Ranakusuma berteriak, “Aku tidak mau mendengar lagi tentang adinda Pangeran Mangkubumi”
“Tidak Pangeran, bukan tentang Pangeran Mangkubumi itu sendiri, tetapi tentang orang-orang di daerah Sukawati dan sekitarnya. Daerah kalenggahan Pangeran Mangkubumi”
“Aku tidak mau mendengar. Pergi”
Ki Dipanala pun mengangguk dalam-dalam. Kemudian ia berdesis, “Ampun tuan. Sekarang perkenankanlah hamba mengundurkan diri”
Pangeran Ranakusuma tidak menjawab, sedang Raden Ayu Galihwarit berdiri dengan gelisah. Orang itu memang berbahaya baginya. Dan tiba-tiba saja ia mengumpat di dalam hati, “Kenapa orang itu tidak disambar petir saja kepalanya?”
Dari lubang pintu yang terbuka Raden Ayu Galihwarit melihat Ki Dipanala keluar dari serambi belakang. Langkahnya lurus menuju ke pintu butulan di dinding belakang. Orang itu sama sekali tidak berpaling.
Namun terasa sesuatu berdesir di hati Raden Ayu Galihwarit ketika ia melihat seorang raksasa berdiri bertolak pinggang memandangi langkah Ki Dipanala. Tetapi raksasa itu sama sekali tidak berbuat apa-apa.
“Mandra” desis Raden Ayu Galihwarit di dalam hatinya, “sepeninggal Sura, orang itulah yang dipercaya oleh Rudira”
Sejenak Raden Ayu Galihwarit berdiri membeku. Terbersit di dalam hatinya, “Jika Dipanala tidak juga disambar petir, kenapa tidak ada orang yang membinasakannya saja? Dengan demikian semua persoalan yang diketahuinya tentang diriku akan ikut terkubur bersamanya”
Raden Ayu Galihwarit itu menggigit bibirnya. Namun pikiran itu tiba-tiba saja melekat di hatinya. Dan ia mempunyai kekuatan untuk melakukannya. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang gagah dan berani bersama beberapa orang pengiringnya.
Namun untuk beberapa lamanya, ia masih harus menyimpan pikiran itu sebaik-baiknya sebelum dipertimbangkannya masak-masak.
Tetapi dari hari ke hari Dipanala benar-benar merupakan duri di pusat jantungnya. Setiap detak dan setiap tarikan nafas terasa jantungnya menjadi pedih. Kenangan mengenai peristiwa itu benar-benar telah menghantuinya.
“Jika Dipanala menjadi gila, maka aku pun akan dibuatnya gila pula. Lenyaplah semua rencana dan harapan yang telah tersusun ini” namun kemudian, “Tetapi jika ia ingin mencelaka-kan aku, kenapa tidak sekarang, atau saat aku mengusir Juwiring atau karena perbuatan-perbuatanku yang lain?”
Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Memang terasa olehnya bahwa sampai saat ini Ki Dipanala tidak berniat berbuat jahat kepadanya. Namun dalam keadaan yang terpaksa maka orang itu dapat menjadi orang yang paling berbahaya baginya.
“Rudira akan dapat menyelesaikannya” berkata Raden Ayu Galihwarit di dalam hati, “bersama Mandra, Dipanala bukan lawan yang berat baginya meskipun Ki Dipanala pernah menjadi seorang prajurit. Tetapi akan lebih baik apabila Mandra dan Rudira sendiri tidak ikut menangani, agar tidak menambah beban lagi bagiku jika usaha ini gagal. Mereka dapat mencari seseorang yang dapat dipercaya. Atau katakanlah sekelompok kecil orang-orang yang diperhitungkan dapat melakukan tugas itu”
Demikianlah ternyata bahwa di dalam tubuh Raden Ayu Galihwarit yang cantik itu tersimpan hati yang keras dan hitam. Dan agaknya, pikiran itu tetap dipertimbangkannya. Semakin hari justru terasa semakin mendesak. Apalagi setiap kali ia masih melihat Ki Dipanala berada di halaman istana Ranakusuman seolah-olah tidak terjadi sesuatu apapun atasnya.
“Orang itu memang berhati batu” berkata Raden Ayu Galihwarit di dalam hatinya” Ia sama sekali tidak merasa bahwa ia tidak diperlukan lagi di sini. Agaknya Sura yang kasar itu masih juga memiliki perasaan, sehingga karena itu ia minta diri untuk meninggalkan istana ini. Tetapi Ki Dipanala tidak. Ia masih tetap saja berkeliaran setiap hari”
Namun hal itu agaknya telah mematangkan rencananya untuk melenyapkan saja Ki Dipanala itu.
Untuk melakukan hal itu Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak berbicara lebih dahulu dengan suaminya. Ia tidak ingin Pangeran Ranakusuma bertanya kepadanya, dan mendesaknya, kenapa hal itu dilakukannya. Karena itu, maka satu-satunya orang yang dibawanya berbicara adalah anak laki-lakinya, Raden Rudira.
Tetapi ternyata bahwa Raden Rudira pun bertanya kepada ibunya, “Kenapa orang itu harus dilenyapkan ibu?”
“Ia sangat berbahaya bagi kita Rudira”
“Ya, tetapi kenapa? Aku sudah lama merasakan bisa ludahnya. Seakan-akan ayahan-da tidak dapat ingkar akan kata-katanya”
Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku tidak tahu Rudira. Mungkin ada rahasia yang tersimpan antara ayahandamu dan Ki Dipanala. Tetapi yang pasti, kehadirannya sangat merugikan aku dan terutama kau. Jika orang itu dilenyapkan, maka banyak hal yang dapat kau kerjakan tanpa gangguan. Sebab sebenarnyalah jika ayahanda berkeberatan tentang apa pun juga, asalnya dari mulut Dipanala itu pula”
Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Aku dapat membunuhnya bersama Mandra”
Raden Ayu Galihwarit memandanginya sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Mungkin kau dan Mandra dapat melaku-kannya Rudira. Tetapi sebaiknya bukan kau tangani sendiri. Semula aku juga ragu-ragu. Apakah kau sendiri bersama Mandra atau orang lain. Tetapi jika gagal karena sesuatu sebab, maka kau tidak akan dapat ingkar lagi bahwa kau sudah berusaha membunuhnya”
“Tetapi jika orang lain ibunda” jawab Rudira, “persoalannya hampir sama saja. Jika ia tertangkap, maka ia akan berceritera tentang kita, bahwa kitalah yang telah menyuruhnya membunuh Ki Dipanala”
“Amat-amati dari kejauhan. Jika ia gagal, kau dapat menyelesaikannya. Bukankah kau pandai berburu”
“Maksud ibu, aku harus membunuh Dipanala dengan panah?”
“Jika mungkin. Jika tidak, maka orang-orang yang harus membunuh Dipanala itulah yang harus kau bunuh?”
Raden Rudira mengangguk-angguk. la sadar, bahwa dengan demikian mereka akan menghilangkan jejak. Karena itu, sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku mengerti ibu, tetapi apakah ayahanda sudah mengetahui rencana ini?”
“Aku tidak usah mohon kepada ayahandamu. Sebenarnya ayahandamu juga berniat demikian. Tetapi karena ada semacam hubungan yang sudah terlampau lama terjalin, maka ayahanda-mu tidak akan sampai hati melakukannya. Namun jika Dipanala itu masih saja berada di istana ini, ia akan menjadi iblis yang paling jahat”
Raden Rudira masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jadi, aku harus mencari orang yang mampu melakukannya dan dapat dipercaya”
“Ya”
Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia berkata, “Aku akan berbicara dengan Mandra. Mungkin ia dapat menemukan orangnya. Tentu tidak hanya seorang Ki Dipanala adalah bekas seorang prajurit. Tentu ia memiliki kemampuan untuk berkelahi. Mungkin Mandra harus menyiapkan tiga atau empat orang yang yakin akan dapat membunuh Dipanala itu”
Raden Ayu Galihwarit mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita sudah mulai. Kita tidak boleh berhenti sampai di tengah. Jika Dipanala sudah tersingkir, akan datang giliran Juwiring sehingga ia tidak akan dapat lagi menuntut hak atas warisan ayahandamu. Tetapi selama Dipanala masih ada, semuanya itu pasti akan dihalanginya”
Rudira mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah ibu, serahkan semuanya kepadaku. Aku dan Mandra akan menyelesaikan sebaik-baiknya, meskipun barangkali aku memerlukan uang yang cukup untuk mengupah orang-orang yang akan melakukan pembunuhan itu”
“Jangan cemas” sahut ibunya, “Aku akan menyediakan uang berapa saja yang kau perlukan”
Rudira termenung sejenak. Kemudian ia pun minta diri kepada ibunya untuk menemui Mandra.
“Kau harus secepatnya mengatakan kepadaku jika kau sudah mendapatkan orang itu” pesan ibunya.
“Baik ibu. Aku akan segera memberitahukan”
Demikianlah Rudira pergi menemui Mandra tanpa orang lain yang mendengar percakapan mereka. Meskipun sebenarnya bagi Rudira, Mandra yang sekarang ini masih belum sebaik Sura sebelum ia berkhianat, namun agaknya orang ini pun cukup memadai juga.
“Kenapa bukan aku sendiri?” bertanya Mandra.
“Kau sudah cukup dikenal, bahwa kau adalah pengiringku. Aku juga sudah minta kepada ibunda, karena bukan aku dan kau. Tetapi ibunda ragu-ragu. Dan ibunda memutuskan untuk mengambil orang lain, tetapi di bawah pengawasan kita” lalu diceriterakannya apa yang harus dilakukan seandainya usaha itu mengalami kegagalan.
“Tidak mungkin gagal” berkata Mandra, “meskipun Dipanala seorang bekas prajurit tetapi ia menjadi semakin tua. Kemampuannya tidak lagi berkembang, justru menurun karena ia tidak berusaha mematangkan pelepasan tenaga cadangan”
“Tetapi bagaimanapun juga ia cukup berbahaya”
“Baiklah. Aku akan mencari tiga atau empat orang yang sama sekali belum dikenal”
“Ya. Kita akan mengatur segala sesuatunya. Ayahanda atau ibunda akan menyuruh Ki Dipanala pergi ke Jati Aking untuk menyampaikan sesuatu kepada kangmas Juwiring. Pada saat itulah, Ki Dipanala harus dibinasakan”
Mandra mengangguk-angguk.
“Kau harus menyiapkan orang itu di bulak Jati Sari. Lebih baik jika kau beri pakaian kepada mereka seperti petani dari Sukawati itu. Jika mungkin seseorang melihat meskipun dari kejauhan, maka ia akan dapat mengatakannya”
“Lebih baik kita lakukan di malam hari”
“Tentu, Tetapi ada kalanya di malam hari orang pergi ke sawah melihat air”
Mandra mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baik, baik. Aku akan melakukan dengan cermat. Tetapi tentu dengan kerja sama yang baik dengan ibunda Raden Rudira supaya waktu yang ditentukan itu tidak meleset”
“Tentu. Pada saatnya kita akan menyusun rencana sebaik-baiknya”
Dengan demikian, maka diluar pengetahuan Pangeran Ranakusuma, Raden Ayu Galihwarit dan anak laki-lakinya sedang menyusun rencana untuk membunuh Dipanala, orang yang dianggap paling berbahaya baginya.
Akhirnya Mandra dan Rudira menemukan juga orang yang dapat dipercayanya untuk melakukan tugas itu. Mereka adalah kawan-kawan Mandra yang hidup dalam dunia yang gelap, sebagai orang yang mendapatkan nafkahnya dengan cara yang dikutuk oleh sesama.
“Tetapi kau harus berhasil” berkata Mandra kepada mereka.
Salah seorang dari mereka tertawa. Katanya, “Pekerjaan itu sama sekali bukan pekerjaan yang sulit bagi kami. Membunuh Dipanala apakah sukarnya?”
“Jangan berkata begitu” sahut Mandra, “kadang-kadang ada masalah lain yang berada di luar perhitungan”
“Jangan cemas. Pokoknya kami akan membunuhnya, dan kami harus mendapat upah seperti yang kami minta”
“Aku sudah menyanggupi. Tetapi jika gagal, kalian harus melarikan diri. Jangan sampai ada di antara kalian yang tertangkap hidup dan mengatakan, bahwa akulah yang menyuruh kalian melakukan pembunuhan itu”
“Kami bukan anak-anak lagi. Kenapa kalian harus mengatakan pesan itu?”
“Jangan sombong. Kelemahanmu justru karena kau terlampau sombong. Aku tahu, bahwa kau memiliki kemampuan. Tetapi yang kau hadapi jangan kau anggap ringan, agar kau tidak terjerumus dalam kegagalan”
“Kau terlalu banyak bicara. Nah, beritahukan waktunya, kapan kami harus mencegatnya di bulak Jati Sari”
“Kami akan mengatur sebaik-baiknya”
Demikianlah, maka semuanya segera diatur serapi-rapinya. Raden Ayu Galihwarit berusaha untuk mengetahui dengan pasti, kapan Ki Dipanala akan pergi ke Jati Aking.
“Sudah lama kita tidak mengirimkan perbekalan bagi Juwiring” berkata Raden Ayu Galihwarit.
Pangeran Ranakusuma menjadi heran. Biasanya Galihwarit tidak pernah mempersoalkan perbekalan bagi Juwiring yang tinggal di Jati Aking. Tetapi tiba-tiba kali ini ia mempersoalkannya.
“Siapakah yang akan pergi mengirimkan perbekalan?” bertanya Pangeran Ranakusuma yang mulai curiga, bahwa kesempatan ini akan dipergunakan oleh Raden Rudira, karena menurut keterangan yang didengarnya Rudira telah tertarik pada gadis padepokan Jati Aking yang bernama Arum, yang membuat Rudira dan Juwiring, dua orang saudara seayah, menjadi semakin renggang.
Tetapi jawaban Raden Ayu Galihwarit ternyata tidak diduganya sama sekali, “Bukankah biasanya Ki Dipanala juga yang membawanya ke Jati Aking?”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia terlampau berprasangka terhadap isteri dan anaknya. Isteri yang justru paling berpengaruh atasnya.
“Baiklah” berkata Pangeran Ranakusuma, “biarlah dipersiapkan perbekalan bagi Juwiring. Biarlah Ki Dipanala membawanya ke Jati Aking”
“Semuanya sudah siap. Tentu kita tidak usah mengirimkan beras, karena Jati Sari adalah lumbung beras yang subur”
“Apakah aku pernah mengirimkan beras ke Jati Aking?” bertanya Pangeran Ranakusuma.
“Tidak. Memang tidak. Maksudku, biarlah Ki Dipanala membawa beberapa lembar kain dan uang. Ki Danatirta tentu memerlukan uang untuk membeayai padepokannya. Mungkin beberapa lembar juga untuk gadis itu”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya isterinya menyebut gadis itu juga. Namun dengan demikian Raden Ayu Galihwarit telah menghilangkan kecurigaan Pangeran Ranakusuma, tentang hal yang lain-lain. Menurut dugaannya, Raden Ayu Galihwarit sedang mengambil hati gadis itu. yang dengan perlahan-lahan akan dipancing ke rumah ini. Tentu saja bagi Raden Rudira.
Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak berkeberatan dengan cara itu. Asal Rudira tidak melakukan kekerasan dan merampas gadis itu dari padepokan Kiai Danatirta. Jika dengan cara itu, Arum berhasil diambil masuk ke istana Ranakusuman dan tidak menumbuhkan persoalan apapun dengan Kiai Danatirta, maka Pangeran Ranakusuma tidak akan mencegahnya.
“Mungkin Danatirta memang perlu disumbat mulutnya dengan uang atau Barang-barang lainnya, sehingga ia tidak berkeberatan melepaskan anaknya. Sedang gadis itu sendiri tidak akan banyak menimbulkan persoalan apabila ayahnya sudah menyerahkannya” berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hatinya. Karena bagi beberapa orang bangsawan hal serupa itu bukannya hal yang baru pertama kali akan terjadi. “Bahkan kadang-kadang jika seorang gadis sudah mengandung, maka diserahkannya gadis itu kepada abdinya sebagai triman untuk mendapat pengesahan perkawinan.
Ternyata Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak menduga, bahwa saat yang ditentukan untuk mengutus Ki Dipanala ke Jati Aking itu menjadi perhatian Raden Rudira dan Mandra. Merekapun segera menyiapkan segala sesuatunya. Orang-orang yang ditugaskannya untuk membunuh Dipanala itu pun sudah diberitahukannya.
“Jika kalian berempat gagal, maka hancurlah semua rencana. Kalian pun akan digantung karena kalian berusaha membunuh seseorang jika kalian tertangkap”
Salah seorang dari orang-orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau memang banyak bicara Mandra”
“Kaulah yang terlampau sombong” jawab Mandra, “Kau tahu bahwa aku dapat membunuh orang seperti kau dengan mudah. Tetapi aku tidak menganggap pekerjaan ini terlampau ringan”
Orang itu masih tertawa. Namun katanya, “Baiklah. Aku akan bertindak hati-hati sekali”
“Jangan lupa, pakai pakaian seperti yang aku katakan”
“Agar ujud kami tidak seperti perampok. Tetapi seperti petani biasa, begitu maksudmu?”
“Sebagian begitu”
“Tetapi bagimu sebenarnya lebih aman jika kami berpakaian seperti yang kami pakai. Justru kami akan mempertegas bentuk kami sebagai perampok. Orang-orang akan mengatakan, jika ada. yang melihat, bahwa Ki Dipanala telah dirampok orang. Dan habis perkara”
Mandra mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ada niat lain pada Raden Rudira. Ia ingin memberikan kesan, bahwa petani perantau yang mengaku dari Sukawati itu dan kawan-kawannya ternyata telah merampok Dipanala pula di bulak Jati Sari.
Demikianlah semuanya sudah ditentukan. Tetapi ternyata sangat sulitlah bagi Raden Ayu Galihwarit untuk memaksakan keinginannya agar Ki Dipanala dapat pergi ke Jati Aking di malam hari. Yang dapat diusahakan hanyalah memperlambat persiapan agar Dipanala berangkat di sore hari.
“Tunggulah sebentar” berkata Raden Ayu Galihwarit ketika Dipanala mohon diri kepada Pangeran Ranakusuma untuk berangkat ke Jati Aking, “Aku masih mempunyai selembar kain lurik yang halus untuk anak Danatirta itu”
“Pemberian Pangeran Ranakusuma sudah terlampau banyak kali ini Raden Ayu” berkata Ki Dipanala.
“Aku sudah menyediakannya, dan aku ingin memberikan kepadanya”
Ki Dipanala tidak dapat menolak lagi. Ia pun terpaksa menunggu beberapa saat ketika Raden Ayu Galihwarit masih berpura-pura mencarinya.
“Aku sudah menyediakannya. Aku simpan kain itu baik-baik. Tetapi karena itu aku justru lupa, dimana aku menyimpannya”
Ki Dipanala hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sedang Pangeran Ranakusuma pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu, bahwa isterinya akan menjadi sangat kecewa jika kain yang sudah lama disediakan itu tidak dapat dibawa serta.
Meskipun demikian ketika Raden Ayu Galihwarit terlalu lama belum juga dapat menemukannya, Pangeran Ranakusuma berkata, “Biarlah lain kali Dipanala membawanya. Ia masih akan pergi lagi ke Jati Aking”
“Tidak. Tidak untuk lain kali. Tetapi aku ingin kain itu segera sampai ke tangan gadis itu”
Ketika kain yang dicari itu ketemu, maka matahari sudah mulai condong ke Barat. Sejenak Raden Ayu Galihwarit memberikan beberapa pesan agar disampaikan kepada Kiai Danatirta.
“Katakan kepadanya” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Aku sama sekali tidak mempunyai maksud apa-apa. Persoalannya lepas sama sekali dengan persoalan yang pernah timbul karena tingkah Rudira. Aku benar-benar ingin memberikan sesuatu tanpa pamrih apapun juga”
“Baik Raden Ayu. Biarlah hamba sampaikan kepada Kiai Danatirta dan kepada anak gadis itu sendiri”
“Dan pesanku kepada Juwiring” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Ia berada di padepokan Jati Aking untuk mempelajari ilmu kajiwan dan kesusasteraan. Jangan terlampau banyak membuang waktunya untuk belajar bertani. Itu tidak penting baginya kelak. Jika ternyata kita melihat hasil yang baik, maka pada saatnya Juwiring kembali ke istana ini, Rudira lah yang akan mempelajari ilmu yang serupa”
Ki Dipanala dan Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Sejenak mereka saling berpandangan, seakan-akan mereka mendapat kesan yang sama, bahwa sebenarnya Raden Ayu Galihwarit memang ingin memisahkan Juwiring dari Arum dan memberikan kesempatan kepada Raden Rudira, meskipun cara yang dipakainya adalah cara yang tampaknya wajar sekali, bahkan terlalu baik terhadap anak tirinya.
Demikianlah mereka berbicara beberapa saat lamanya. Kemudian Ki Dipanala pun minta diri kepada kedua suami isteri itu.
“Hamba akan sampai di Jati Aking senja hari Pangeran” berkata Dipanala.
“Kau akan bermalam?”
“Ya. Hamba memang sering bermalam di padepokan itu”
“Baiklah”
“Tetapi, masih ada satu yang terlupa” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Aku masih mempunyai sesuatu buat anak-anakmu”
“O, terima kasih. Hamba akan langsung berangkat ke Jati Aking. Besok jika hamba kembali, hamba akan menghadap lagi”
“Ah, kau. Jangan terlalu malas. Bukankah kau dapat melintas halaman belakang dan lewat pintu butulan sejenak menyerahkannya kepada anak-anakmu”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun mengangguk sambil menjawab, “Hamba mengucapkan beribu terima kasih”
Maka dengan demikian sebelum berangkat Ki Dipanala masih harus pulang sejenak, untuk menyerahkan sebuah bungkusan kecil kepada anak-anaknya.
“O, jadi ayah belum berangkat?” bertanya anaknya yang kebetulan ada di halaman.
“Segera akan berangkat. Simpanlah”
“Apakah ini ayah?”
“Nanti kau akan tahu. Ayah akan segera berangkat”
“Apakah aku boleh membukanya”
“Bukalah di dalam rumah. Ayah tergesa-gesa sekali”
“Dimanakah ayah membeli ini?”
“Bukan ayah yang membeli. Tetapi itu adalah hadiah dari Raden Ayu Galihwarit”
“O, hadiah dari Raden Ayu Galihwarit” anaknya pun kemudian berlari menghambur masuk ke dalam rumah untuk segera mengetahui isi bingkisan kecil itu.
Ki Dipanala pun kemudian dengan tergesa-gesa kembali ke istana Ranakusuman untuk sekali lagi mohon diri dan memberitahukan bahwa hadiah itu sudah diserahkannya kepada anak-anaknya.
Ketika kudanya mulai berlari di luar regol istana Ranakusuman Ki Dipanala menengadahkan wajahnya ke langit. Matahari sudah semakin condong. Karena itu maka katanya di dalam hati, “Aku akan sampai ke Jati Aking sesudah padepokan itu menjadi gelap. Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengejutkan kakang Danatirta”
Sekali Ki Dipanala berpaling. Diamatinya sebungkus kain di bagian belakang kudanya. Kemudian dirabanya sebuah kampil kulit yang diikatkan di lambung kuda itu pula. Di dalam kampil itu disimpannya uang yang harus diserahkannya kepada Kiai Danatirta.
“Banyak sekali yang harus aku bawa kali ini” berkata Ki Dipanala di dalam hati. Sebenarnya ia merasa heran, kenapa tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit menjadi begitu baik terhadapnya. Masih terasa tali-tali yang mengikatnya pada sebatang pohon sawo ketika Raden Rudira menjadi sangat marah kepadanya. Hampir saja ia menjadi pengewan-ewan. Dan sekarang, tiba-tiba anak-anaknya pun telah menerima hadiah dari Raden Ayu yang garang itu.
Tetapi Ki Dipanala sama sekali tidak mengerti bahwa jumlah Barang-barang dan uang yang dibawanya adalah jumlah yang dijanjikan oleh Raden Rudira kepada keempat kawan-kawan Mandra. Jika mereka dapat membunuh Dipanala maka apa yang dibawanya dapat diambilnya. Uang dan barang-barang yang sebelumnya sudah disetujui jumlahnya.
Bagi Ki Dipanala, Raden Ayu Sontrang itu sedang berusaha untuk membujuk secara halus, agar Arum akhirnya dapat juga diambil ke istana bagi Raden Rudira. Tidak lebih dari dugaan itu. Meskipun dugaan itu sudah cukup membuatnya berkeluh kesah.
“Apakah yang dapat aku katakan kepada kakang Danatirta jika ia pun menaruh curiga pula?” Ki Dipanala bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi Ki Dipanala pun kemudian menggelengkan kepalanya. Dipacunya kudanya semakin cepat. Seleret teringat pula olehnya bulak Jati Sari yang panjang itu.
“Jika ada seseorang yang mengetahui aku membawa barang-barang dan uang, ada juga bahayanya bulak panjang di Jati Sari itu” katanya di dalam hati. Tetapi bagi Ki Dipanala, hal itu tidak begitu dihiraukannya meskipun sekali-sekali ia menyentuh hulu keris yang diselipkan di lambungnya.
Demikianlah kuda itu berpacu semakin lama seakan-akan menjadi semakin cepat. Apalagi ketika Ki Dipanala sudah meninggalkan pintu gerbang kota. Kudanya berlari seperti anak panah yang lepas dari busurnya.
Di perjalanan Ki Dipanala seakan-akan tidak berhenti sama sekali untuk beristirahat. Hanya jika kudanya terasa terlalu lelah berlari, maka dikuranginya kecepatannya sedikit, dan sekali diberinya kesempatan kudanya minum beberapa teguk air jernih dari parit di pinggir jalan yang dilaluinya.
Meskipun demikian, maka seperti yang sudah diperhitungkan bahwa ketika ia mulai memasuki daerah Jati Sari, maka gelap malam pun mulai turun perlahan-lahan.
Tetapi jaraknya sudah tidak terlampau jauh lagi. Ki Dipanala pun mulai merasa tenteram, bahwa ia akan dapat menyampaikan Barang-barang itu kepada yang berhak.
Dalam keremangan malam yang semakin temaram Ki Dipanala memandang bulak Jati Sari yang panjang. Di ujung bulak itu terletak salah satu desa kecil dari kelompok pedukuhan Jati Sari. Dan di seberang bulak sempit berikutnya terletak padepokan kecil Jati Aking.
Sementara itu, di sebuah batu ditanggul parit yang membujur di sepanjang bulak itu duduk seseorang yang berpakaian seperti pakaian seorang petani. Tetapi dengan kain yang membelit lambung dan sebuah tutup kepala bambu yang lebar, agaknya petani itu baru saja menempuh sebuah perjalanan yang jauh.
Ia telah duduk diatas batu itu sejak senja mulai turun. Sekali-sekali ia mengedarkan pandangan matanya ke daerah di sekitarnya. Sawah yang terbentang luas. Batang-batang padi yang hijau segar. Satu dua masih dilihatnya beberapa orang berjalan pulang ke desanya masing-masing yang terpencar di sekitar bulak yang luas itu.
“Tentu ada di antara mereka yang sudah melihat aku duduk disini” berkata petani itu di dalam hatinya. Dan ia pun tetap duduk saja Di tempatnya ketika seorang petani Jati Sari lewat di jalan di hadapannya”
Petani Jati Sari itu pun tidak berhenti dan tidak menyapanya. Ia belum mengenal orang itu. Ia hanya dapat menduga bahwa orang itu adalah seseorang yang sedang beristirahat setelah lelah berjalan.
Dan karena petani yang sedang beristirahat itu tidak mengatakan apa-apa, maka menurut pendapatnya, ia memang tidak memerlukan bantuan apapun juga.
Namun ketika senja menjadi gelap, ternyata bahwa petani itu tidak hanya seorang diri. Ternyata dua orang lainnya telah menyusulnya dan kemudian duduk di pematang, terlindung oleh batang-batang padi, dan seorang lagi duduk di seberang jalan, sehingga jumlah mereka semuanya adalah empat orang.
“Apakah orang itu justru sudah lewat?” bertanya salah seorang dari antara mereka kepada kawannya.
Petani yang bertudung lebar dan duduk diatas batu itulah yang menyahut, “Aku berada di sini sejak senja. Ia belum lewat”
Kawannya menarik nafas. Katanya, “Jika kita terlambat, kita harus menempuh jalan lain”
“Apa?” bertanya kawannya.
“Mendatangi padepokan itu”
“Gila. Kau sangka di padepokan itu tidak ada orang lain?”
“Cantrik-cantrik maksudmu? Yang biasanya hanya menyabit rumput? Mereka sama sekali tidak berarti”
“Raden Juwiring?”
“Ah, kita buat ia pingsan dengan sebuah pukulan di tengkuk. Kemudian kita bunuh Dipanala. Kita rampas kembali semua Barang-barang dan uang yang sudah diserahkan kepada Danatirta. Dan jika ada, justru kekayaan padepokan itu dapat kita bawa sama sekali”
“Kau memang gila”
Percakapan itu tiba-tiba terhenti ketika mereka mendengar derap kaki kuda di kejauhan. Sejenak mereka mengangkat kepala untuk mendengarnya. Ketika mereka sudah pasti, maka orang yang berpakaian petani itu berkata, “Bersembunyilah. Aku akan menghentikannya”
Yang lain pun segera bersembunyi rapat-rapat. Mereka berjongkok di dalam lumpur berlindung batang-batang padi. Gelap malam yang semakin buram telah menyembunyikan orang-orang itu semakin rapat.
Sejenak kemudian derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Meskipun sudah menjadi pekerjaan dan kebiasaan mereka merampok dan menyamun, namun kali ini keempat orang itu masih juga berdebar-debar, karena yang bakal mereka hadapi adalah Ki Dipanala.
“Ia sudah semakin tua” desis salah seorang dari mereka tanpa disadari.
“Kenapa?” bertanya kawannya.
“Ia tidak akan dapat apa-apa untuk membela dirinya”
“Kau takut?”
“Tidak. Sebaliknya. Kenapa kita harus menyembunyikan diri dan menyergap dengan tiba-tiba”
Kawannya memandanginya sejenak. Namun tiba-tiba kawannya itu tersenyum sambil berbisik, “Kau berdebar-debar. Jangan ingkar. Aku juga”
“Ah” Tetapi ia tidak menyahut. Derap kuda itu terdengar semakin keras seperti detak jantungnya yang menjadi semakin berdentangan di dalam dadanya.
Memang terasa aneh sekali, bahwa kedatangan orang setua Dipanala masih juga mendebarkan jantung. Apalagi mereka berempat, yang selama ini telah menyimpan banyak sekali pengalaman bagaimana mereka harus melayani orang-orang yang akan disamunnya.
Dalam keremangan malam yang menjadi semakin gelap, orang yang duduk diatas batu itu masih juga melihat seekor kuda yang tegar berlari. Semakin lama semakin dekat.
Dan tiba-tiba saja ia berdiri. Dilepaskan tudungnya yang lebar serta dilambaikannya sebagai suatu isyarat.
Bukan saja kuda yang berlari itulah yang agak terkejut karenanya, tetapi Dipanala juga terkejut karena tiba-tiba saja orang yang semula duduk diam itu meloncat ke tengah-tengah jalan yang dilaluinya.
Dengan serta-merta Ki Dipanala menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu berdiri tegak sambil meringkik. Tetapi sesaat kemudian kuda itu sudah dapat dikuasainya dan menjadi tenang kembali.
“Ki Sanak” berkata orang yang berpakaian petani dengan tudung yang besar itu, “Apakah Ki Sanak akan pergi ke Jati Aking?”
Ki Dipanala menjadi ragu-ragu sejenak. Lalu ia pun bertanya, “Siapakah kau?”
“Aku petani dari Sukawati.
“He?” Ki Dipanala menjadi ragu-ragu. Dicobanya mengamati wajah orang itu. Ia belum pernah mengenal orang yang berdiri di tengah jalan itu. Meskipun wajahnya yang samar di bawah bayangan kegelapan, namun Ki Dipanala pasti, bahwa ia belum pernah melihat orang itu.
Namun nama petani dari Sukawati seperti yang pernah didengarnya membuat hatinya menjadi berdebar-debar. Nama itu menurut pendengarannya mempunyai arti yang tersendiri.
Sebagai bekas seorang prajurit Ki Dipanala mempunyai naluri yang tajam dalam menghadapi persoalan-persoalan yang meragukannya. Karena itu, sebelum ia berbuat sesuatu, maka ia pun memandang ke sekitarnya tanpa disengajanya.
“He, kenapa kau tidak turun dari kuda?”. berkata orang yang berdiri di tengah-tengah jalan itu.
“Apakah maksudmu menghentikan aku?” bertanya Ki Dipanala.
“Turunlah. Kita akan berbicara. Aku mempunyai beberapa pesan yang harus kau sampaikan kepada Juwiring”
Ki Dipanala menjadi semakin ragu-ragu. Sejenak ia seakan-akan membeku diatas punggung kudanya.
“Turunlah, “
Hampir saja Ki Dipanala meloncat turun, jika tangannya tidak menyentuh kampil uang yang diikat di lambung kuda itu, serta beberapa macam barang yang harus diberikannya kepada Juwiring, Kiai Danatirta dan Arum.
“Turunlah, “
“Katakanlah pesan itu” berkata Ki Dipanala kemudian, “Aku akan segera melanjutkan perjalanan”
“Turunlah. Kau harus berbuat sopan terhadapku”
“Siapa kau sebenarnya?”
“Petani dari Sukawati”
Sekali lagi jantung Ki Dipanala dijamah oleh kebimbangan yang sangat. Tetapi ia masih tetap bertahan duduk diatas kudanya sambil menjawab, “Kenapa aku harus turun dari kuda jika aku berhadapan dengan seorang petani meskipun dari Sukawati?”
“Kau belum pernah mendengar siapakah petani dari Sukawati itu?”
Ki Dipanala menggeleng, “Aku belum pernah mendengar”
“Aku adalah Pangeran Mangkubumi”
“Bohong” tiba-tiba Ki Dipanala berteriak. Kini ia yakin bahwa ia berhadapan dengan bahaya. Katanya, “Pangeran Mangkubumi yang berpakaian petani tidak akan berkata bahwa inilah Pangeran Mangkubumi. Apakah arti pakaian petani baginya jika ia masih menyebut dirinya Pangeran Mangkubumi”
Namun ternyata penyamun itu masih dapat menjawab dengan tenang, “Kepada orang lain aku tidak memperkenalkan diriku yang sebenarnya. Tetapi karena aku mempunyai kepentingan dengan, kau dan Juwiring, maka aku mengatakan siapakah aku. Bukankah Juwiring sudah mengetahui bahwa petani di Sukawati itu sebenarnya adalah Pangeran Mangkubumi?”
Tetapi Ki Dipanala masih juga menjawab dengan keyakinan, “Jika benar kau Pangeran Mangkubumi, kau tidak akan menunggu aku lewat, karena kau tidak tahu bahwa aku lewat”
“Kau lupa bahwa aku mempunyai aji Sapta Pameling dan Sapta Pangrungu, Sapta Pangganda dan Sapta Pangrasa. Aku tahu bahwa kau akan lewat dan karena itu aku menunggumu di sini”
“Sekali lagi kau berbuat kesalahan. Jika kau mempunyai aji Sapta Pameling, maka kau tidak memerlukan aku untuk menyampaikan pesanmu kepada Raden Juwiring. Kau dapat duduk di sini dan memanggil Raden Juwiring menghadap dengan aji Sapta Pamelingmu”
Orang yang mengaku petani dari Sukawati itu diam sejenak. Namun kemudian sambil menggeretakkan giginya ia berkata, “Turun dari kudamu. Aku tidak peduli apakah kau percaya tentang aku atau tidak”
“Katakan, apa maksudmu” jawab Ki Dipanala tegas.
“Turun dahulu, sebelum aku menyeretmu”
“Aku tidak akan turun”
Orang itu menggeram. Selangkah ia maju, namun Ki Dipanala pun segera mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Kini ia benar-benar harus berbuat sesuatu untuk mempertahankan tugasnya, dan sudah barang tentu mempertahankan hidupnya.
Sejenak kemudian, petani itu berdiri tegak. Tetapi ia tidak mau kehilangan korbannya. Jika kuda itu meloncat dan berlari, maka akan lepaslah ia dari tangannya. Karena itu selagi hal itu belum terjadi maka ia pun segera memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Dada Ki Dipanala menjadi berdebar-debar. Ia benar-benar berhadapan dengan empat orang penyamun. Namun demikian timbul juga pertanyaan di dalam hati, “Darimana orang ini mengetahui beberapa masalah mengenai Petani dari Sukawati, Raden Juwiring dan bahwa aku akan lewat membawa Barang-barang dan uang bagi padepokan Jati Aking.
Sekilas memang terlintas di dalam benaknya, bahwa di istana Ranakusuman banyak terdapat orang yang tidak menyukainya. Orang-orang yang menjilat dan bahkan Pangeran Ranakusuma berdua. Apalagi Raden Rudira dan orang-orang yang berdiri di belakangnya. Salah seorang dari mereka dapat saja berhubungan dengan para penyamun dan memberitahukan bahwa ia membawa Barang-barang berharga ke Jati Aking.
Tetapi di saat yang gawat itu ia tidak dapat sekedar mencari-cari, siapakah yang telah berbuat jahat dan berkhianat atasnya itu. Yang harus dilakukannya adalah mempertahankan barang-barang yang menjadi tanggung jawabnya.
Bersambung ke Bunga di batu karang VI
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak menghiraukan, apabila di dalam pertemuan-pertemuan resmi para Pangeran, beberapa orang isteri Pangeran duduk mempercakapkannya. Sambil berbisik-bisik mereka memandanginya dengan sudut mata.
“Mereka adalah orang-orang yang dengki dan iri hati” berkata Raden Ayu Galihwarit di dalam hatinya.
Namun di saat-saat terakhir. Raden Ayu Galihwarit merasa terganggu oleh sikap Dipanala. Sepeninggal Sura, rasa-rasanya Dipanala justru dengan sengaja berbuat banyak hal yang membuatnya berdebat. Setiap kali ia menjadi curiga apabila Dipanala menghadap Pangeran Ranakusuma untuk kepentingan apapun, sehingga setiap kali ia selalu berusaha mengetahui atau mendengar percakapan mereka.
Tetapi demikian juga agaknya Pangeran Ranakusuma. Ia tidak pernah membiarkan Dipanala menghadap isterinya untuk kepentingan apapun, sehingga setiap abdi terdekatnya dan pelayan dalam, dipesannya agar mendengar apa saja yang dikatakan oleh Dipanala kepada siapapun juga.
Ternyata betapa kebencian memuncak di hati Pangeran Ranakusuma serta Raden Ayu Galihwarit, namun mereka tidak dapat berbuat banyak atas orang itu. Mereka tidak dapat mengusir dan apalagi menghukumnya.
Hal itu sama sekali tidak dapat dimengerti oleh Raden Rudira. Baginya Dipanala bagaikan duri di dalam daging. Setiap kali orang itu menghalang-halangi niatnya, ayahanda dan ibundanya tidak dapat mencegahnya. Jika dahulu sebelum Sura meninggal-kan istana, Dipanala jarang atau hampir tidak pernah mencampuri persoalan ayahanda dan ibunda, namun kini, Dipanala justru menjadi lebih sering menghadap.
“Aku harus mengetahui, kenapa setan itu tidak disingkirkan atau dibunuh saja oleh ayahanda Ranakusuma. Kenapa ia masih-bebas berkeliaran dan bahkan kadang-kadang dipanggil menghadap oleh ayahanda dan ibunda?” bertanya Raden Rudira di dalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa Dipanala memang sering dipanggil baik oleh Pangeran Ranakusuma, maupun oleh Raden Ayu Galihwarit. Namun sebenarnya Dipanala sama sekali tidak sedang diajak berunding. Bahkan Pangeran Ranakusuma selalu mengancamnya dan menakut-nakutinya.
Ki Dipanala sendiri memang tidak pernah berniat jahat. Ia menyadari keadaannya dan sama sekali tidak timbul niatnya untuk mencelakakan orang lain. Tetapi kadang-kadang ia berani juga mencegah niat yang bertentangan dengan nuraninya.
“Kau terlalu banyak mencampuri persoalanku Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma kepada Ki Dipanala pada suatu saat.
“Apa yang sudah hamba lakukan Pangeran? Hamba tidak pernah berbuat apa-apa”
“Kau sudah membuat anakku membencimu. Dan kadang-kadang kau berani berterus terang memperingatkan tingkah lakuku di hadapan anak itu. Kau tidak usah mengurusi hubunganku dengan asing, atau hubungan Rudira dengan Juwiring dan petani dari Sukawati itu. Kau harus merasa berterima kasih bahwa kau dapat hidup layak di belakang istana ini. Aku masih tetap memberikan penghasilanmu, meskipun kau sama sekali tidak bermanfaat bagiku”
“Justru karena hamba masih selalu menerima pemberian tuanku itulah, hamba kadang-kadang ingin juga memberikan sedikit bahan pertimbangan. Juga atas hubungan tuan dengan orang asing itu dan niat Raden Rudira yang tidak ada bedanya untuk mencelakakan kakandanya. Hamba tahu, bahwa Raden Rudira menaruh perasaan cemburu, karena di padepokan itu ada seorang gadis cantik yang bernama Arum. Tetapi sebenarnyalah bahwa tidak ada hubungan apapun antara Raden Juwiring dengan Arum”
Kedua orang yang sedang berbicara itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara Raden Ayu Galihwarit, “Dipanala. Aku akan memberimu tambahan penghasilan jika kau berjanji tidak akan mengganggu gugat masalah-masalah kami. Masalah kakanda Pangeran dalam hubungannya dengan orang asing itu, dan masalah anakku. Bahkan sebaiknya kau membujuk Kiai Danatirta, agar ia mau menyerahkan anaknya kemari. Aku memang memerlukannya. Sedang hubungan kakanda Pangeran dengan orang asing itu mendatangkan banyak keuntungan bagi kami, bagi rumah tangga kami. Istana kami adalah istana yang paling cerah dari semua istana Kapangeranan di Surakarta. Sahabat-sahabat kakanda Pangeran telah mengirimkan hadiah yang tidak ternilai dan yang sebelumnya belum pernah kita lihat dan apalagi kita miliki”
Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya wajah Raden Ayu Galihwarit sejenak. Sekilas Dipanala melihat kecantikan yang memancar di wajah itu. Meskipun Raden Ayu Galihwarit sudah memiliki dua orang anak yang menjelang dewasa, namun ia sendiri masih tampak segar dan cantik.
Tetapi kecantikan lahiriah itu sama sekali tidak bersumber pada kecantikan rohaniah.
Kulitnya yang kuning bersih tidak mencerminkan hatinya yang sebenarnya buram, yang dikuasai oleh nafsu ketamakan yang tiada taranya. Ketamakan akan harta dan kekayaan, sehingga apapun yang ada padanya telah dikorbankannya untuk mendapatkan kekayaan dan harta benda yang diinginkan.
“Pangeran” berkata Ki Dipanala kemudian, “hamba senang sekali apabila hamba mendapatkan tambahan penghasilan yang dapat memperbaiki kehidupan hamba sekeluarga. Tetapi hamba pun cemas melihat mendung yang mengambang diatas Surakarta sekarang ini. Orang asing itu tidak disukai oleh beberapa orang Pangeran”
“Bodoh sekali. Itu adalah suatu kebodohan” Raden Ayu Galihwarit lah yang menjawab, “Apakah keberatan mereka atas kehadiran orang-orang asing itu? Hanya karena mereka tidak berhasil bersahabat dengan mereka dan tidak pernah mendapatkan pemberian apapun juga, mereka menganggap bahwa orang-orang asing itu tidak disenangi di Surakarta”
Ki Dipanala tidak segera menjawab. Sudut pandangan Raden Ayu Galihwarit berbeda dari sudut pandangan dan sikap pemerintahan di Surakarta. Namun agaknya Raden Ayu Galihwarit itu sama sekali tidak mau tahu, apakah sebenarnya yang telah terjadi di Surakarta ini.
“Sudahlah Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian, “Seperti yang aku katakan, kau jangan terlampau banyak mencampuri persoalan kami. Aku tidak senang. Kau mengerti?”
“Hamba Pangeran. Hamba tidak akan banyak mencampuri persoalan yang ada di istana ini. Namun perkenankanlah hamba memperingatkan, bahwa sikap Pangeran Mangkubumi terhadap orang-orang asing itu menjadi semakin tegas”
“Aku sudah mengerti…!!!” Pangeran Ranakusuma membentak. Namun suaranya kemudian menurun, “Tetapi ia tidak akan berbuat apa-apa”
“Mudah-mudahan” sahut Dipanala.
“Seandainya ia akan berbuat sesuatu, apakah yang dapat dilakukan? Meskipun ia seorang Pangeran yang pilih tanding, tetapi ia akan berdiri seorang diri. Dan ia tidak akan berani menentang kekuasaan Susuhunan Paku Buwana, sehingga apabila Susuhunan Paku Buwana sudah menentukan, maka semua Pangeran akan tunduk?”
“Tetapi bagaimana dengan beberapa orang Pangeran yang telah meninggalkan kota dan melakukan perlawanan?”
“O, apakah yang dapat mereka lakukan? Mereka hanya berlari-lari dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain, dan sama sekali jauh dari kota Surakarta. Sebentar lagi mereka akan digiring dan dipaksa untuk menyerah”
“Tetapi jika kemudian di antara mereka terdapat Pangeran Mangkubumi?”
Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab Raden Ayu Galihwarit telah menyahut, “Apa bedanya Pangeran Mangkubumi dengan yang lain-lain itu?”
Ki Dipanala memandang Raden Ayu Galihwarit sejenak, lalu berpindah kepada Pangeran Ranakusuma, “Apakah benar Pangeran dan Raden Ayu tidak tahu kelebihan Pangeran Mangkubumi”
“Cukup, cukup” bentak Pangeran Ranakusuma, “kenapa kau mengajukan pertanyaan yang gila itu?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Baginya hal itu merupakan pengakuan, betapa Pangeran Ranakusuma segan kepada saudara mudanya itu. Namun ternyata bahwa Raden Ayu Galihwarit lah yang menjawab, “Aku tahu, kelebihan Pangeran Mangkubumi adalah pada ilmu kanuragan. Meskipun ia kebal atas segala macam senjata tajam, namun ia tidak akan dapat melawan senjata orang kulit putih itu. Sebutir peluru akan menembus jantungnya, dan ia akan mati seperti kebanyakan orang mati. Dan ia tidak akan dapat hidup kembali”
Tiba-tiba saja kepala Pangeran Ranakusuma tertunduk dalam-dalam. Ada sesuatu yang bergolak di dadanya. Bagaimanapun juga, ia tidak dapat ingkar bahwa kulitnya tidak seputih kulit orang asing itu. Meskipun seandainya ia tidak memperhitungkan warna kulit, namun ia tahu benar niat kedatangan orang-orang asing itu di Surakarta. Seperti Pangeran Mangkubumi maka ia pun merasa cemas melihat perkembangan Surakarta. Tetapi kadang-kadang semuanya itu lenyap jika ia melihat kepada dirinya sendiri. Apakah arti pengabdiannya kepada Surakarta, jika kedatangan orang asing itu menguntungkan dirinya. Pribadinya.
“Apakah yang dapat aku petik dari kekuasaan Surakarta ini sekarang secara langsung?” pertanyaan itu kadang-kadang melonjak di hatinya, “sedangkan orang-orang asing ini banyak memberikan sesuatu yang memang aku perlukan, dan yang diperlukan oleh isteriku”
Tetapi jika kemudian terbayang pergaulan yang terlalu rapat antara orang-orang asing itu dengan isterinya. maka hatinya menjadi berdebar-debar pula.
Namun untuk mengusir perasaan yang bercampur aduk di dalam hatinya, tiba-tiba Pangeran Ranakusuma berteriak, “Pergi, pergi kau Dipanala. Awas jika kau masih mengganggu kami. Aku dapat berbuat baik, tetapi aku juga dapat berbuat kasar”
“Ampun tuan” berkata Ki Dipanala kemudian. Tetapi ia masih juga berkata, “Sebelum hamba mohon diri, hamba mohon agar tuanku bertanya kepada puteranda Raden Rudira. apakah yang diketahuinya tentang Sukawati”
“Diam, diam” Pangeran Ranakusuma berteriak, “Aku tidak mau mendengar lagi tentang adinda Pangeran Mangkubumi”
“Tidak Pangeran, bukan tentang Pangeran Mangkubumi itu sendiri, tetapi tentang orang-orang di daerah Sukawati dan sekitarnya. Daerah kalenggahan Pangeran Mangkubumi”
“Aku tidak mau mendengar. Pergi”
Ki Dipanala pun mengangguk dalam-dalam. Kemudian ia berdesis, “Ampun tuan. Sekarang perkenankanlah hamba mengundurkan diri”
Pangeran Ranakusuma tidak menjawab, sedang Raden Ayu Galihwarit berdiri dengan gelisah. Orang itu memang berbahaya baginya. Dan tiba-tiba saja ia mengumpat di dalam hati, “Kenapa orang itu tidak disambar petir saja kepalanya?”
Dari lubang pintu yang terbuka Raden Ayu Galihwarit melihat Ki Dipanala keluar dari serambi belakang. Langkahnya lurus menuju ke pintu butulan di dinding belakang. Orang itu sama sekali tidak berpaling.
Namun terasa sesuatu berdesir di hati Raden Ayu Galihwarit ketika ia melihat seorang raksasa berdiri bertolak pinggang memandangi langkah Ki Dipanala. Tetapi raksasa itu sama sekali tidak berbuat apa-apa.
“Mandra” desis Raden Ayu Galihwarit di dalam hatinya, “sepeninggal Sura, orang itulah yang dipercaya oleh Rudira”
Sejenak Raden Ayu Galihwarit berdiri membeku. Terbersit di dalam hatinya, “Jika Dipanala tidak juga disambar petir, kenapa tidak ada orang yang membinasakannya saja? Dengan demikian semua persoalan yang diketahuinya tentang diriku akan ikut terkubur bersamanya”
Raden Ayu Galihwarit itu menggigit bibirnya. Namun pikiran itu tiba-tiba saja melekat di hatinya. Dan ia mempunyai kekuatan untuk melakukannya. Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang gagah dan berani bersama beberapa orang pengiringnya.
Namun untuk beberapa lamanya, ia masih harus menyimpan pikiran itu sebaik-baiknya sebelum dipertimbangkannya masak-masak.
Tetapi dari hari ke hari Dipanala benar-benar merupakan duri di pusat jantungnya. Setiap detak dan setiap tarikan nafas terasa jantungnya menjadi pedih. Kenangan mengenai peristiwa itu benar-benar telah menghantuinya.
“Jika Dipanala menjadi gila, maka aku pun akan dibuatnya gila pula. Lenyaplah semua rencana dan harapan yang telah tersusun ini” namun kemudian, “Tetapi jika ia ingin mencelaka-kan aku, kenapa tidak sekarang, atau saat aku mengusir Juwiring atau karena perbuatan-perbuatanku yang lain?”
Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Memang terasa olehnya bahwa sampai saat ini Ki Dipanala tidak berniat berbuat jahat kepadanya. Namun dalam keadaan yang terpaksa maka orang itu dapat menjadi orang yang paling berbahaya baginya.
“Rudira akan dapat menyelesaikannya” berkata Raden Ayu Galihwarit di dalam hati, “bersama Mandra, Dipanala bukan lawan yang berat baginya meskipun Ki Dipanala pernah menjadi seorang prajurit. Tetapi akan lebih baik apabila Mandra dan Rudira sendiri tidak ikut menangani, agar tidak menambah beban lagi bagiku jika usaha ini gagal. Mereka dapat mencari seseorang yang dapat dipercaya. Atau katakanlah sekelompok kecil orang-orang yang diperhitungkan dapat melakukan tugas itu”
Demikianlah ternyata bahwa di dalam tubuh Raden Ayu Galihwarit yang cantik itu tersimpan hati yang keras dan hitam. Dan agaknya, pikiran itu tetap dipertimbangkannya. Semakin hari justru terasa semakin mendesak. Apalagi setiap kali ia masih melihat Ki Dipanala berada di halaman istana Ranakusuman seolah-olah tidak terjadi sesuatu apapun atasnya.
“Orang itu memang berhati batu” berkata Raden Ayu Galihwarit di dalam hatinya” Ia sama sekali tidak merasa bahwa ia tidak diperlukan lagi di sini. Agaknya Sura yang kasar itu masih juga memiliki perasaan, sehingga karena itu ia minta diri untuk meninggalkan istana ini. Tetapi Ki Dipanala tidak. Ia masih tetap saja berkeliaran setiap hari”
Namun hal itu agaknya telah mematangkan rencananya untuk melenyapkan saja Ki Dipanala itu.
Untuk melakukan hal itu Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak berbicara lebih dahulu dengan suaminya. Ia tidak ingin Pangeran Ranakusuma bertanya kepadanya, dan mendesaknya, kenapa hal itu dilakukannya. Karena itu, maka satu-satunya orang yang dibawanya berbicara adalah anak laki-lakinya, Raden Rudira.
Tetapi ternyata bahwa Raden Rudira pun bertanya kepada ibunya, “Kenapa orang itu harus dilenyapkan ibu?”
“Ia sangat berbahaya bagi kita Rudira”
“Ya, tetapi kenapa? Aku sudah lama merasakan bisa ludahnya. Seakan-akan ayahan-da tidak dapat ingkar akan kata-katanya”
Raden Ayu Galihwarit menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku tidak tahu Rudira. Mungkin ada rahasia yang tersimpan antara ayahandamu dan Ki Dipanala. Tetapi yang pasti, kehadirannya sangat merugikan aku dan terutama kau. Jika orang itu dilenyapkan, maka banyak hal yang dapat kau kerjakan tanpa gangguan. Sebab sebenarnyalah jika ayahanda berkeberatan tentang apa pun juga, asalnya dari mulut Dipanala itu pula”
Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Aku dapat membunuhnya bersama Mandra”
Raden Ayu Galihwarit memandanginya sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Mungkin kau dan Mandra dapat melaku-kannya Rudira. Tetapi sebaiknya bukan kau tangani sendiri. Semula aku juga ragu-ragu. Apakah kau sendiri bersama Mandra atau orang lain. Tetapi jika gagal karena sesuatu sebab, maka kau tidak akan dapat ingkar lagi bahwa kau sudah berusaha membunuhnya”
“Tetapi jika orang lain ibunda” jawab Rudira, “persoalannya hampir sama saja. Jika ia tertangkap, maka ia akan berceritera tentang kita, bahwa kitalah yang telah menyuruhnya membunuh Ki Dipanala”
“Amat-amati dari kejauhan. Jika ia gagal, kau dapat menyelesaikannya. Bukankah kau pandai berburu”
“Maksud ibu, aku harus membunuh Dipanala dengan panah?”
“Jika mungkin. Jika tidak, maka orang-orang yang harus membunuh Dipanala itulah yang harus kau bunuh?”
Raden Rudira mengangguk-angguk. la sadar, bahwa dengan demikian mereka akan menghilangkan jejak. Karena itu, sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku mengerti ibu, tetapi apakah ayahanda sudah mengetahui rencana ini?”
“Aku tidak usah mohon kepada ayahandamu. Sebenarnya ayahandamu juga berniat demikian. Tetapi karena ada semacam hubungan yang sudah terlampau lama terjalin, maka ayahanda-mu tidak akan sampai hati melakukannya. Namun jika Dipanala itu masih saja berada di istana ini, ia akan menjadi iblis yang paling jahat”
Raden Rudira masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jadi, aku harus mencari orang yang mampu melakukannya dan dapat dipercaya”
“Ya”
Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia berkata, “Aku akan berbicara dengan Mandra. Mungkin ia dapat menemukan orangnya. Tentu tidak hanya seorang Ki Dipanala adalah bekas seorang prajurit. Tentu ia memiliki kemampuan untuk berkelahi. Mungkin Mandra harus menyiapkan tiga atau empat orang yang yakin akan dapat membunuh Dipanala itu”
Raden Ayu Galihwarit mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita sudah mulai. Kita tidak boleh berhenti sampai di tengah. Jika Dipanala sudah tersingkir, akan datang giliran Juwiring sehingga ia tidak akan dapat lagi menuntut hak atas warisan ayahandamu. Tetapi selama Dipanala masih ada, semuanya itu pasti akan dihalanginya”
Rudira mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah ibu, serahkan semuanya kepadaku. Aku dan Mandra akan menyelesaikan sebaik-baiknya, meskipun barangkali aku memerlukan uang yang cukup untuk mengupah orang-orang yang akan melakukan pembunuhan itu”
“Jangan cemas” sahut ibunya, “Aku akan menyediakan uang berapa saja yang kau perlukan”
Rudira termenung sejenak. Kemudian ia pun minta diri kepada ibunya untuk menemui Mandra.
“Kau harus secepatnya mengatakan kepadaku jika kau sudah mendapatkan orang itu” pesan ibunya.
“Baik ibu. Aku akan segera memberitahukan”
Demikianlah Rudira pergi menemui Mandra tanpa orang lain yang mendengar percakapan mereka. Meskipun sebenarnya bagi Rudira, Mandra yang sekarang ini masih belum sebaik Sura sebelum ia berkhianat, namun agaknya orang ini pun cukup memadai juga.
“Kenapa bukan aku sendiri?” bertanya Mandra.
“Kau sudah cukup dikenal, bahwa kau adalah pengiringku. Aku juga sudah minta kepada ibunda, karena bukan aku dan kau. Tetapi ibunda ragu-ragu. Dan ibunda memutuskan untuk mengambil orang lain, tetapi di bawah pengawasan kita” lalu diceriterakannya apa yang harus dilakukan seandainya usaha itu mengalami kegagalan.
“Tidak mungkin gagal” berkata Mandra, “meskipun Dipanala seorang bekas prajurit tetapi ia menjadi semakin tua. Kemampuannya tidak lagi berkembang, justru menurun karena ia tidak berusaha mematangkan pelepasan tenaga cadangan”
“Tetapi bagaimanapun juga ia cukup berbahaya”
“Baiklah. Aku akan mencari tiga atau empat orang yang sama sekali belum dikenal”
“Ya. Kita akan mengatur segala sesuatunya. Ayahanda atau ibunda akan menyuruh Ki Dipanala pergi ke Jati Aking untuk menyampaikan sesuatu kepada kangmas Juwiring. Pada saat itulah, Ki Dipanala harus dibinasakan”
Mandra mengangguk-angguk.
“Kau harus menyiapkan orang itu di bulak Jati Sari. Lebih baik jika kau beri pakaian kepada mereka seperti petani dari Sukawati itu. Jika mungkin seseorang melihat meskipun dari kejauhan, maka ia akan dapat mengatakannya”
“Lebih baik kita lakukan di malam hari”
“Tentu, Tetapi ada kalanya di malam hari orang pergi ke sawah melihat air”
Mandra mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baik, baik. Aku akan melakukan dengan cermat. Tetapi tentu dengan kerja sama yang baik dengan ibunda Raden Rudira supaya waktu yang ditentukan itu tidak meleset”
“Tentu. Pada saatnya kita akan menyusun rencana sebaik-baiknya”
Dengan demikian, maka diluar pengetahuan Pangeran Ranakusuma, Raden Ayu Galihwarit dan anak laki-lakinya sedang menyusun rencana untuk membunuh Dipanala, orang yang dianggap paling berbahaya baginya.
Akhirnya Mandra dan Rudira menemukan juga orang yang dapat dipercayanya untuk melakukan tugas itu. Mereka adalah kawan-kawan Mandra yang hidup dalam dunia yang gelap, sebagai orang yang mendapatkan nafkahnya dengan cara yang dikutuk oleh sesama.
“Tetapi kau harus berhasil” berkata Mandra kepada mereka.
Salah seorang dari mereka tertawa. Katanya, “Pekerjaan itu sama sekali bukan pekerjaan yang sulit bagi kami. Membunuh Dipanala apakah sukarnya?”
“Jangan berkata begitu” sahut Mandra, “kadang-kadang ada masalah lain yang berada di luar perhitungan”
“Jangan cemas. Pokoknya kami akan membunuhnya, dan kami harus mendapat upah seperti yang kami minta”
“Aku sudah menyanggupi. Tetapi jika gagal, kalian harus melarikan diri. Jangan sampai ada di antara kalian yang tertangkap hidup dan mengatakan, bahwa akulah yang menyuruh kalian melakukan pembunuhan itu”
“Kami bukan anak-anak lagi. Kenapa kalian harus mengatakan pesan itu?”
“Jangan sombong. Kelemahanmu justru karena kau terlampau sombong. Aku tahu, bahwa kau memiliki kemampuan. Tetapi yang kau hadapi jangan kau anggap ringan, agar kau tidak terjerumus dalam kegagalan”
“Kau terlalu banyak bicara. Nah, beritahukan waktunya, kapan kami harus mencegatnya di bulak Jati Sari”
“Kami akan mengatur sebaik-baiknya”
Demikianlah, maka semuanya segera diatur serapi-rapinya. Raden Ayu Galihwarit berusaha untuk mengetahui dengan pasti, kapan Ki Dipanala akan pergi ke Jati Aking.
“Sudah lama kita tidak mengirimkan perbekalan bagi Juwiring” berkata Raden Ayu Galihwarit.
Pangeran Ranakusuma menjadi heran. Biasanya Galihwarit tidak pernah mempersoalkan perbekalan bagi Juwiring yang tinggal di Jati Aking. Tetapi tiba-tiba kali ini ia mempersoalkannya.
“Siapakah yang akan pergi mengirimkan perbekalan?” bertanya Pangeran Ranakusuma yang mulai curiga, bahwa kesempatan ini akan dipergunakan oleh Raden Rudira, karena menurut keterangan yang didengarnya Rudira telah tertarik pada gadis padepokan Jati Aking yang bernama Arum, yang membuat Rudira dan Juwiring, dua orang saudara seayah, menjadi semakin renggang.
Tetapi jawaban Raden Ayu Galihwarit ternyata tidak diduganya sama sekali, “Bukankah biasanya Ki Dipanala juga yang membawanya ke Jati Aking?”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia terlampau berprasangka terhadap isteri dan anaknya. Isteri yang justru paling berpengaruh atasnya.
“Baiklah” berkata Pangeran Ranakusuma, “biarlah dipersiapkan perbekalan bagi Juwiring. Biarlah Ki Dipanala membawanya ke Jati Aking”
“Semuanya sudah siap. Tentu kita tidak usah mengirimkan beras, karena Jati Sari adalah lumbung beras yang subur”
“Apakah aku pernah mengirimkan beras ke Jati Aking?” bertanya Pangeran Ranakusuma.
“Tidak. Memang tidak. Maksudku, biarlah Ki Dipanala membawa beberapa lembar kain dan uang. Ki Danatirta tentu memerlukan uang untuk membeayai padepokannya. Mungkin beberapa lembar juga untuk gadis itu”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya isterinya menyebut gadis itu juga. Namun dengan demikian Raden Ayu Galihwarit telah menghilangkan kecurigaan Pangeran Ranakusuma, tentang hal yang lain-lain. Menurut dugaannya, Raden Ayu Galihwarit sedang mengambil hati gadis itu. yang dengan perlahan-lahan akan dipancing ke rumah ini. Tentu saja bagi Raden Rudira.
Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak berkeberatan dengan cara itu. Asal Rudira tidak melakukan kekerasan dan merampas gadis itu dari padepokan Kiai Danatirta. Jika dengan cara itu, Arum berhasil diambil masuk ke istana Ranakusuman dan tidak menumbuhkan persoalan apapun dengan Kiai Danatirta, maka Pangeran Ranakusuma tidak akan mencegahnya.
“Mungkin Danatirta memang perlu disumbat mulutnya dengan uang atau Barang-barang lainnya, sehingga ia tidak berkeberatan melepaskan anaknya. Sedang gadis itu sendiri tidak akan banyak menimbulkan persoalan apabila ayahnya sudah menyerahkannya” berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hatinya. Karena bagi beberapa orang bangsawan hal serupa itu bukannya hal yang baru pertama kali akan terjadi. “Bahkan kadang-kadang jika seorang gadis sudah mengandung, maka diserahkannya gadis itu kepada abdinya sebagai triman untuk mendapat pengesahan perkawinan.
Ternyata Pangeran Ranakusuma sama sekali tidak menduga, bahwa saat yang ditentukan untuk mengutus Ki Dipanala ke Jati Aking itu menjadi perhatian Raden Rudira dan Mandra. Merekapun segera menyiapkan segala sesuatunya. Orang-orang yang ditugaskannya untuk membunuh Dipanala itu pun sudah diberitahukannya.
“Jika kalian berempat gagal, maka hancurlah semua rencana. Kalian pun akan digantung karena kalian berusaha membunuh seseorang jika kalian tertangkap”
Salah seorang dari orang-orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau memang banyak bicara Mandra”
“Kaulah yang terlampau sombong” jawab Mandra, “Kau tahu bahwa aku dapat membunuh orang seperti kau dengan mudah. Tetapi aku tidak menganggap pekerjaan ini terlampau ringan”
Orang itu masih tertawa. Namun katanya, “Baiklah. Aku akan bertindak hati-hati sekali”
“Jangan lupa, pakai pakaian seperti yang aku katakan”
“Agar ujud kami tidak seperti perampok. Tetapi seperti petani biasa, begitu maksudmu?”
“Sebagian begitu”
“Tetapi bagimu sebenarnya lebih aman jika kami berpakaian seperti yang kami pakai. Justru kami akan mempertegas bentuk kami sebagai perampok. Orang-orang akan mengatakan, jika ada. yang melihat, bahwa Ki Dipanala telah dirampok orang. Dan habis perkara”
Mandra mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ada niat lain pada Raden Rudira. Ia ingin memberikan kesan, bahwa petani perantau yang mengaku dari Sukawati itu dan kawan-kawannya ternyata telah merampok Dipanala pula di bulak Jati Sari.
Demikianlah semuanya sudah ditentukan. Tetapi ternyata sangat sulitlah bagi Raden Ayu Galihwarit untuk memaksakan keinginannya agar Ki Dipanala dapat pergi ke Jati Aking di malam hari. Yang dapat diusahakan hanyalah memperlambat persiapan agar Dipanala berangkat di sore hari.
“Tunggulah sebentar” berkata Raden Ayu Galihwarit ketika Dipanala mohon diri kepada Pangeran Ranakusuma untuk berangkat ke Jati Aking, “Aku masih mempunyai selembar kain lurik yang halus untuk anak Danatirta itu”
“Pemberian Pangeran Ranakusuma sudah terlampau banyak kali ini Raden Ayu” berkata Ki Dipanala.
“Aku sudah menyediakannya, dan aku ingin memberikan kepadanya”
Ki Dipanala tidak dapat menolak lagi. Ia pun terpaksa menunggu beberapa saat ketika Raden Ayu Galihwarit masih berpura-pura mencarinya.
“Aku sudah menyediakannya. Aku simpan kain itu baik-baik. Tetapi karena itu aku justru lupa, dimana aku menyimpannya”
Ki Dipanala hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sedang Pangeran Ranakusuma pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu, bahwa isterinya akan menjadi sangat kecewa jika kain yang sudah lama disediakan itu tidak dapat dibawa serta.
Meskipun demikian ketika Raden Ayu Galihwarit terlalu lama belum juga dapat menemukannya, Pangeran Ranakusuma berkata, “Biarlah lain kali Dipanala membawanya. Ia masih akan pergi lagi ke Jati Aking”
“Tidak. Tidak untuk lain kali. Tetapi aku ingin kain itu segera sampai ke tangan gadis itu”
Ketika kain yang dicari itu ketemu, maka matahari sudah mulai condong ke Barat. Sejenak Raden Ayu Galihwarit memberikan beberapa pesan agar disampaikan kepada Kiai Danatirta.
“Katakan kepadanya” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Aku sama sekali tidak mempunyai maksud apa-apa. Persoalannya lepas sama sekali dengan persoalan yang pernah timbul karena tingkah Rudira. Aku benar-benar ingin memberikan sesuatu tanpa pamrih apapun juga”
“Baik Raden Ayu. Biarlah hamba sampaikan kepada Kiai Danatirta dan kepada anak gadis itu sendiri”
“Dan pesanku kepada Juwiring” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Ia berada di padepokan Jati Aking untuk mempelajari ilmu kajiwan dan kesusasteraan. Jangan terlampau banyak membuang waktunya untuk belajar bertani. Itu tidak penting baginya kelak. Jika ternyata kita melihat hasil yang baik, maka pada saatnya Juwiring kembali ke istana ini, Rudira lah yang akan mempelajari ilmu yang serupa”
Ki Dipanala dan Pangeran Ranakusuma mengerutkan keningnya. Sejenak mereka saling berpandangan, seakan-akan mereka mendapat kesan yang sama, bahwa sebenarnya Raden Ayu Galihwarit memang ingin memisahkan Juwiring dari Arum dan memberikan kesempatan kepada Raden Rudira, meskipun cara yang dipakainya adalah cara yang tampaknya wajar sekali, bahkan terlalu baik terhadap anak tirinya.
Demikianlah mereka berbicara beberapa saat lamanya. Kemudian Ki Dipanala pun minta diri kepada kedua suami isteri itu.
“Hamba akan sampai di Jati Aking senja hari Pangeran” berkata Dipanala.
“Kau akan bermalam?”
“Ya. Hamba memang sering bermalam di padepokan itu”
“Baiklah”
“Tetapi, masih ada satu yang terlupa” berkata Raden Ayu Galihwarit, “Aku masih mempunyai sesuatu buat anak-anakmu”
“O, terima kasih. Hamba akan langsung berangkat ke Jati Aking. Besok jika hamba kembali, hamba akan menghadap lagi”
“Ah, kau. Jangan terlalu malas. Bukankah kau dapat melintas halaman belakang dan lewat pintu butulan sejenak menyerahkannya kepada anak-anakmu”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun mengangguk sambil menjawab, “Hamba mengucapkan beribu terima kasih”
Maka dengan demikian sebelum berangkat Ki Dipanala masih harus pulang sejenak, untuk menyerahkan sebuah bungkusan kecil kepada anak-anaknya.
“O, jadi ayah belum berangkat?” bertanya anaknya yang kebetulan ada di halaman.
“Segera akan berangkat. Simpanlah”
“Apakah ini ayah?”
“Nanti kau akan tahu. Ayah akan segera berangkat”
“Apakah aku boleh membukanya”
“Bukalah di dalam rumah. Ayah tergesa-gesa sekali”
“Dimanakah ayah membeli ini?”
“Bukan ayah yang membeli. Tetapi itu adalah hadiah dari Raden Ayu Galihwarit”
“O, hadiah dari Raden Ayu Galihwarit” anaknya pun kemudian berlari menghambur masuk ke dalam rumah untuk segera mengetahui isi bingkisan kecil itu.
Ki Dipanala pun kemudian dengan tergesa-gesa kembali ke istana Ranakusuman untuk sekali lagi mohon diri dan memberitahukan bahwa hadiah itu sudah diserahkannya kepada anak-anaknya.
Ketika kudanya mulai berlari di luar regol istana Ranakusuman Ki Dipanala menengadahkan wajahnya ke langit. Matahari sudah semakin condong. Karena itu maka katanya di dalam hati, “Aku akan sampai ke Jati Aking sesudah padepokan itu menjadi gelap. Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengejutkan kakang Danatirta”
Sekali Ki Dipanala berpaling. Diamatinya sebungkus kain di bagian belakang kudanya. Kemudian dirabanya sebuah kampil kulit yang diikatkan di lambung kuda itu pula. Di dalam kampil itu disimpannya uang yang harus diserahkannya kepada Kiai Danatirta.
“Banyak sekali yang harus aku bawa kali ini” berkata Ki Dipanala di dalam hati. Sebenarnya ia merasa heran, kenapa tiba-tiba saja Raden Ayu Galihwarit menjadi begitu baik terhadapnya. Masih terasa tali-tali yang mengikatnya pada sebatang pohon sawo ketika Raden Rudira menjadi sangat marah kepadanya. Hampir saja ia menjadi pengewan-ewan. Dan sekarang, tiba-tiba anak-anaknya pun telah menerima hadiah dari Raden Ayu yang garang itu.
Tetapi Ki Dipanala sama sekali tidak mengerti bahwa jumlah Barang-barang dan uang yang dibawanya adalah jumlah yang dijanjikan oleh Raden Rudira kepada keempat kawan-kawan Mandra. Jika mereka dapat membunuh Dipanala maka apa yang dibawanya dapat diambilnya. Uang dan barang-barang yang sebelumnya sudah disetujui jumlahnya.
Bagi Ki Dipanala, Raden Ayu Sontrang itu sedang berusaha untuk membujuk secara halus, agar Arum akhirnya dapat juga diambil ke istana bagi Raden Rudira. Tidak lebih dari dugaan itu. Meskipun dugaan itu sudah cukup membuatnya berkeluh kesah.
“Apakah yang dapat aku katakan kepada kakang Danatirta jika ia pun menaruh curiga pula?” Ki Dipanala bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi Ki Dipanala pun kemudian menggelengkan kepalanya. Dipacunya kudanya semakin cepat. Seleret teringat pula olehnya bulak Jati Sari yang panjang itu.
“Jika ada seseorang yang mengetahui aku membawa barang-barang dan uang, ada juga bahayanya bulak panjang di Jati Sari itu” katanya di dalam hati. Tetapi bagi Ki Dipanala, hal itu tidak begitu dihiraukannya meskipun sekali-sekali ia menyentuh hulu keris yang diselipkan di lambungnya.
Demikianlah kuda itu berpacu semakin lama seakan-akan menjadi semakin cepat. Apalagi ketika Ki Dipanala sudah meninggalkan pintu gerbang kota. Kudanya berlari seperti anak panah yang lepas dari busurnya.
Di perjalanan Ki Dipanala seakan-akan tidak berhenti sama sekali untuk beristirahat. Hanya jika kudanya terasa terlalu lelah berlari, maka dikuranginya kecepatannya sedikit, dan sekali diberinya kesempatan kudanya minum beberapa teguk air jernih dari parit di pinggir jalan yang dilaluinya.
Meskipun demikian, maka seperti yang sudah diperhitungkan bahwa ketika ia mulai memasuki daerah Jati Sari, maka gelap malam pun mulai turun perlahan-lahan.
Tetapi jaraknya sudah tidak terlampau jauh lagi. Ki Dipanala pun mulai merasa tenteram, bahwa ia akan dapat menyampaikan Barang-barang itu kepada yang berhak.
Dalam keremangan malam yang semakin temaram Ki Dipanala memandang bulak Jati Sari yang panjang. Di ujung bulak itu terletak salah satu desa kecil dari kelompok pedukuhan Jati Sari. Dan di seberang bulak sempit berikutnya terletak padepokan kecil Jati Aking.
Sementara itu, di sebuah batu ditanggul parit yang membujur di sepanjang bulak itu duduk seseorang yang berpakaian seperti pakaian seorang petani. Tetapi dengan kain yang membelit lambung dan sebuah tutup kepala bambu yang lebar, agaknya petani itu baru saja menempuh sebuah perjalanan yang jauh.
Ia telah duduk diatas batu itu sejak senja mulai turun. Sekali-sekali ia mengedarkan pandangan matanya ke daerah di sekitarnya. Sawah yang terbentang luas. Batang-batang padi yang hijau segar. Satu dua masih dilihatnya beberapa orang berjalan pulang ke desanya masing-masing yang terpencar di sekitar bulak yang luas itu.
“Tentu ada di antara mereka yang sudah melihat aku duduk disini” berkata petani itu di dalam hatinya. Dan ia pun tetap duduk saja Di tempatnya ketika seorang petani Jati Sari lewat di jalan di hadapannya”
Petani Jati Sari itu pun tidak berhenti dan tidak menyapanya. Ia belum mengenal orang itu. Ia hanya dapat menduga bahwa orang itu adalah seseorang yang sedang beristirahat setelah lelah berjalan.
Dan karena petani yang sedang beristirahat itu tidak mengatakan apa-apa, maka menurut pendapatnya, ia memang tidak memerlukan bantuan apapun juga.
Namun ketika senja menjadi gelap, ternyata bahwa petani itu tidak hanya seorang diri. Ternyata dua orang lainnya telah menyusulnya dan kemudian duduk di pematang, terlindung oleh batang-batang padi, dan seorang lagi duduk di seberang jalan, sehingga jumlah mereka semuanya adalah empat orang.
“Apakah orang itu justru sudah lewat?” bertanya salah seorang dari antara mereka kepada kawannya.
Petani yang bertudung lebar dan duduk diatas batu itulah yang menyahut, “Aku berada di sini sejak senja. Ia belum lewat”
Kawannya menarik nafas. Katanya, “Jika kita terlambat, kita harus menempuh jalan lain”
“Apa?” bertanya kawannya.
“Mendatangi padepokan itu”
“Gila. Kau sangka di padepokan itu tidak ada orang lain?”
“Cantrik-cantrik maksudmu? Yang biasanya hanya menyabit rumput? Mereka sama sekali tidak berarti”
“Raden Juwiring?”
“Ah, kita buat ia pingsan dengan sebuah pukulan di tengkuk. Kemudian kita bunuh Dipanala. Kita rampas kembali semua Barang-barang dan uang yang sudah diserahkan kepada Danatirta. Dan jika ada, justru kekayaan padepokan itu dapat kita bawa sama sekali”
“Kau memang gila”
Percakapan itu tiba-tiba terhenti ketika mereka mendengar derap kaki kuda di kejauhan. Sejenak mereka mengangkat kepala untuk mendengarnya. Ketika mereka sudah pasti, maka orang yang berpakaian petani itu berkata, “Bersembunyilah. Aku akan menghentikannya”
Yang lain pun segera bersembunyi rapat-rapat. Mereka berjongkok di dalam lumpur berlindung batang-batang padi. Gelap malam yang semakin buram telah menyembunyikan orang-orang itu semakin rapat.
Sejenak kemudian derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Meskipun sudah menjadi pekerjaan dan kebiasaan mereka merampok dan menyamun, namun kali ini keempat orang itu masih juga berdebar-debar, karena yang bakal mereka hadapi adalah Ki Dipanala.
“Ia sudah semakin tua” desis salah seorang dari mereka tanpa disadari.
“Kenapa?” bertanya kawannya.
“Ia tidak akan dapat apa-apa untuk membela dirinya”
“Kau takut?”
“Tidak. Sebaliknya. Kenapa kita harus menyembunyikan diri dan menyergap dengan tiba-tiba”
Kawannya memandanginya sejenak. Namun tiba-tiba kawannya itu tersenyum sambil berbisik, “Kau berdebar-debar. Jangan ingkar. Aku juga”
“Ah” Tetapi ia tidak menyahut. Derap kuda itu terdengar semakin keras seperti detak jantungnya yang menjadi semakin berdentangan di dalam dadanya.
Memang terasa aneh sekali, bahwa kedatangan orang setua Dipanala masih juga mendebarkan jantung. Apalagi mereka berempat, yang selama ini telah menyimpan banyak sekali pengalaman bagaimana mereka harus melayani orang-orang yang akan disamunnya.
Dalam keremangan malam yang menjadi semakin gelap, orang yang duduk diatas batu itu masih juga melihat seekor kuda yang tegar berlari. Semakin lama semakin dekat.
Dan tiba-tiba saja ia berdiri. Dilepaskan tudungnya yang lebar serta dilambaikannya sebagai suatu isyarat.
Bukan saja kuda yang berlari itulah yang agak terkejut karenanya, tetapi Dipanala juga terkejut karena tiba-tiba saja orang yang semula duduk diam itu meloncat ke tengah-tengah jalan yang dilaluinya.
Dengan serta-merta Ki Dipanala menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu berdiri tegak sambil meringkik. Tetapi sesaat kemudian kuda itu sudah dapat dikuasainya dan menjadi tenang kembali.
“Ki Sanak” berkata orang yang berpakaian petani dengan tudung yang besar itu, “Apakah Ki Sanak akan pergi ke Jati Aking?”
Ki Dipanala menjadi ragu-ragu sejenak. Lalu ia pun bertanya, “Siapakah kau?”
“Aku petani dari Sukawati.
“He?” Ki Dipanala menjadi ragu-ragu. Dicobanya mengamati wajah orang itu. Ia belum pernah mengenal orang yang berdiri di tengah jalan itu. Meskipun wajahnya yang samar di bawah bayangan kegelapan, namun Ki Dipanala pasti, bahwa ia belum pernah melihat orang itu.
Namun nama petani dari Sukawati seperti yang pernah didengarnya membuat hatinya menjadi berdebar-debar. Nama itu menurut pendengarannya mempunyai arti yang tersendiri.
Sebagai bekas seorang prajurit Ki Dipanala mempunyai naluri yang tajam dalam menghadapi persoalan-persoalan yang meragukannya. Karena itu, sebelum ia berbuat sesuatu, maka ia pun memandang ke sekitarnya tanpa disengajanya.
“He, kenapa kau tidak turun dari kuda?”. berkata orang yang berdiri di tengah-tengah jalan itu.
“Apakah maksudmu menghentikan aku?” bertanya Ki Dipanala.
“Turunlah. Kita akan berbicara. Aku mempunyai beberapa pesan yang harus kau sampaikan kepada Juwiring”
Ki Dipanala menjadi semakin ragu-ragu. Sejenak ia seakan-akan membeku diatas punggung kudanya.
“Turunlah, “
Hampir saja Ki Dipanala meloncat turun, jika tangannya tidak menyentuh kampil uang yang diikat di lambung kuda itu, serta beberapa macam barang yang harus diberikannya kepada Juwiring, Kiai Danatirta dan Arum.
“Turunlah, “
“Katakanlah pesan itu” berkata Ki Dipanala kemudian, “Aku akan segera melanjutkan perjalanan”
“Turunlah. Kau harus berbuat sopan terhadapku”
“Siapa kau sebenarnya?”
“Petani dari Sukawati”
Sekali lagi jantung Ki Dipanala dijamah oleh kebimbangan yang sangat. Tetapi ia masih tetap bertahan duduk diatas kudanya sambil menjawab, “Kenapa aku harus turun dari kuda jika aku berhadapan dengan seorang petani meskipun dari Sukawati?”
“Kau belum pernah mendengar siapakah petani dari Sukawati itu?”
Ki Dipanala menggeleng, “Aku belum pernah mendengar”
“Aku adalah Pangeran Mangkubumi”
“Bohong” tiba-tiba Ki Dipanala berteriak. Kini ia yakin bahwa ia berhadapan dengan bahaya. Katanya, “Pangeran Mangkubumi yang berpakaian petani tidak akan berkata bahwa inilah Pangeran Mangkubumi. Apakah arti pakaian petani baginya jika ia masih menyebut dirinya Pangeran Mangkubumi”
Namun ternyata penyamun itu masih dapat menjawab dengan tenang, “Kepada orang lain aku tidak memperkenalkan diriku yang sebenarnya. Tetapi karena aku mempunyai kepentingan dengan, kau dan Juwiring, maka aku mengatakan siapakah aku. Bukankah Juwiring sudah mengetahui bahwa petani di Sukawati itu sebenarnya adalah Pangeran Mangkubumi?”
Tetapi Ki Dipanala masih juga menjawab dengan keyakinan, “Jika benar kau Pangeran Mangkubumi, kau tidak akan menunggu aku lewat, karena kau tidak tahu bahwa aku lewat”
“Kau lupa bahwa aku mempunyai aji Sapta Pameling dan Sapta Pangrungu, Sapta Pangganda dan Sapta Pangrasa. Aku tahu bahwa kau akan lewat dan karena itu aku menunggumu di sini”
“Sekali lagi kau berbuat kesalahan. Jika kau mempunyai aji Sapta Pameling, maka kau tidak memerlukan aku untuk menyampaikan pesanmu kepada Raden Juwiring. Kau dapat duduk di sini dan memanggil Raden Juwiring menghadap dengan aji Sapta Pamelingmu”
Orang yang mengaku petani dari Sukawati itu diam sejenak. Namun kemudian sambil menggeretakkan giginya ia berkata, “Turun dari kudamu. Aku tidak peduli apakah kau percaya tentang aku atau tidak”
“Katakan, apa maksudmu” jawab Ki Dipanala tegas.
“Turun dahulu, sebelum aku menyeretmu”
“Aku tidak akan turun”
Orang itu menggeram. Selangkah ia maju, namun Ki Dipanala pun segera mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Kini ia benar-benar harus berbuat sesuatu untuk mempertahankan tugasnya, dan sudah barang tentu mempertahankan hidupnya.
Sejenak kemudian, petani itu berdiri tegak. Tetapi ia tidak mau kehilangan korbannya. Jika kuda itu meloncat dan berlari, maka akan lepaslah ia dari tangannya. Karena itu selagi hal itu belum terjadi maka ia pun segera memberikan isyarat kepada kawan-kawannya.
Dada Ki Dipanala menjadi berdebar-debar. Ia benar-benar berhadapan dengan empat orang penyamun. Namun demikian timbul juga pertanyaan di dalam hati, “Darimana orang ini mengetahui beberapa masalah mengenai Petani dari Sukawati, Raden Juwiring dan bahwa aku akan lewat membawa Barang-barang dan uang bagi padepokan Jati Aking.
Sekilas memang terlintas di dalam benaknya, bahwa di istana Ranakusuman banyak terdapat orang yang tidak menyukainya. Orang-orang yang menjilat dan bahkan Pangeran Ranakusuma berdua. Apalagi Raden Rudira dan orang-orang yang berdiri di belakangnya. Salah seorang dari mereka dapat saja berhubungan dengan para penyamun dan memberitahukan bahwa ia membawa Barang-barang berharga ke Jati Aking.
Tetapi di saat yang gawat itu ia tidak dapat sekedar mencari-cari, siapakah yang telah berbuat jahat dan berkhianat atasnya itu. Yang harus dilakukannya adalah mempertahankan barang-barang yang menjadi tanggung jawabnya.
Bersambung ke Bunga di batu karang VI
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
Komentar
Posting Komentar