Bunga di Batu karang VI bag 2
Bunga di batu karang VI bag 2
“Kenapa?” bertanya Juwiring, “Ayahanda dan ibunda Galihwarit menghadiahkannya kepadamu”
Arum tidak menjawab. Tetapi sekali lagi kain itu diraihnya dan dibentangkannya diatas amben sambil tersenyum-senyum.
Buntal yang duduk di sudut ruangan merasa seakan-akan ia dihadapkan pada sebuah cermin untuk melihat dirinya sendiri. Tidak ada seorang pun yang mengirimkan apapun kepadanya seperti Juwiring. Tidak ada sanak keluarganya yang memiliki sesuatu untuk diberikannya kepada Arum. Apalagi kain sebagus itu, dan sebenarnyalah akan membuat Arum semakin cantik. Bahkan untuk dianya sendiri, ia kini menggantungkan sama sekali kepada pemberian Kiai Danatirta.
Buntal menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa dirinya menjadi semakin kecil di sisi Juwiring. Juwiring putera seorang Pangeran yang kaya. Meskipun ia tersisih, tetapi ayahnya masih juga memberikan barang-barang sejumlah itu. Ia tidak dapat membayangkan, berapa nilai barang-barang itu. Apalagi Pangeran Ranakusuma masih juga menyertakan uang di dalam kampil untuk Kiai Danatirta.
Buntal terkejut ketika Juwiring berkata, “He Buntal, kau dapat memilih. Manakah yang paling sesuai bagimu?”
Anak muda itu memaksa bibirnya untuk tersenyum. Katanya, “Aku sesuai dengan semuanya itu”
Juwiring tertawa pendek. Lalu, “Kita akan memilih sendiri mana yang kita sukai dari kiriman-kiriman ini” ia berhenti sejenak, lalu, “dan yang paling berhak memilih lebih dahulu adalah Buntal, selain yang memang khusus untuk Arum, karena Barang-barang ini hampir saja lenyap dibawa penyamun. Bukan saja Barang-barang ini, tetapi bahkan jiwa paman Dipanala sendiri”
“Ya” sahut Arum, “tanpa kau kakang Buntal, maka kita tidak akan melihat paman Dipanala membawa barang-barang ini sampai ke padepokan”
“Ah” Buntal berdesah, “hanya suatu kebetulan”
“Bukan suatu kebetulan saja. Jika kau tidak tertarik kepada orang yang berpakaian petani itu, maka yang terjadi akan berbeda sekali”
Buntal tidak menyahut.
“Nah pilihlah. Kemudian aku akan memilih pula setelah Kiai Danatirta dan tentu saja kita tidak akan dapat melupakan paman Dipanala. Hidupnya sendiri tidak begitu baik. Ia menerima upah yang sangat sedikit dari ayahanda. Tetapi ia adalah orang yang setia”
Dalam pada itu, selagi anak-anak muda di dalam sedang sibuk membicarakan Ki Dipanala, di pendapa, Kiai Danatirta mulai bertanya bersungguh-sungguh, “Dipanala. Apakah kau benar-benar tidak dapat menduga, siapakah yang sudah melakukannya dan apakah kau tidak mendapatkan tanda apapun dalam perkelahian itu?”
Ki Dipanala memandang pintu yang sudah tertutup. Kemudian ia berkata lambat, “Mungkin aku dapat menduga kakang. Tetapi sekedar menduga. Jika dugaanku salah, maka aku sudah berdosa menuduh orang yang tidak bersalah”
“Tetapi bukankah kau belum berbuat apa-apa” sahut Kiai Danatirta, “Kita baru menduga. Tentu saja dugaan kita mungkin keliru”
Ki Dipanala itu pun tiba-tiba berdiri. Katanya, “Aku membawa anak panah yang menghunjam di dada orang yang terbunuh itu”
Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menyahut Ki Dipanala sudah melangkah turun dari pendapa.
Dari pelana yang dilepasnya dari punggung kudanya, ia mengambil sepucuk anak panah dan dibawanya naik ke pendapa. Ia berhenti sejenak di bawah nyala pelita. Sambil mengerutkan keningnya ia mengamat-amatinya dengan saksama.
“Kau mengenalnya?” bertanya Kiai Danatirta.
Ki Dipanala pun kemudian duduk kembali di hadapan Kiai Danatirta. Keningnya masih berkerut-merut Sedang tatapan matanya menjadi agak tegang,
“Bagaimana?”Kiai Danatirta mendesak.
“Kakang, ada semacam perasaan takut padaku untuk menerima kenyataan ini. Aku memang sudah mencurigainya. Pemberian Pangeran Ranakusuma yang berlebih-lebihan dan caranya melepaskan aku pergi ketika aku berangkat”
“Jadi bagaimana?”
“Semula aku tidak memikirkannya, bahwa Raden Ayu Galihwarit berusaha memperlambat keberangkatanku. Ada-ada saja alasannya, sehingga aku akhirnya berangkat sesudah lewat tengah hari, bahkan sudah sore hari. Dengan demikian menurut perhitungan mereka, aku akan sampai di bulak Jati Sari setelah gelap”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk ketika Ki Dipanala menceriterakan kembali, bagaimana sikap Raden Ayu Galihwarit sebelum ia berangkat.
“Dan anak panah itu?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia mengamat-amati anak panah yang bernoda darah itu.
“Ada seribu anak panah yang mirip bentuknya” berkata Ki Dipanala.
“Ya” sahut Kiai Danatirta, “barangkali kau tidak akan dapat mengenal anak panah sebuah demi sebuah. Tetapi apakah sepintas lalu, kau pernah melihat anak panah seperti itu?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin belum. Tetapi aku sudah dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi sebelumnya, sehingga karena itu, aku merasa seakan-akan aku mengenal anak panah ini”
Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Katanya, “Ya, kau memang takut melihat kenyataan. Kau kecewa sekali bahwa hal semacam itu sudah terjadi atasmu, sehingga kau berusaha untuk mengaburkan penglihatanmu atas kenyataan itu. Ternyata kau masih seorang yang setia terhadap Pangeran Ranakusuma. meskipun ada semacam persoalan yang bergejolak di dalam hatimu. Tetapi kesetiaanmu ternyata berbeda dengan kesetiaan Sura pada waktu itu dan mungkin Mandra pada waktu ini. Kau adalah seorang yang benar-benar setia. Bukan sekedar menjilat dan menundukkan kepala dalam-dalam. Tetapi kau berani menyebut kesalahan dan kecurangan keluarga istana Ranakusuman justru karena kesetiaanmu itu. Tetapi tidak banyak orang yang mengerti, bahwa demikianlah adanya. Justru karena itulah, maka kau menjadi orang yang paling dibenci di Ranakusuman”
“Mungkin kakang benar. Aku memang cemas dan bahkan takut melihat perkembangan yang terjadi di istana Ranakusuman. Mungkin aku memang orang yang setia, yang ingin memperingatkan dengan niat baik. Kadang-kadang aku mencoba mencegah dan bahkan aku menghalang-halangi”
“Kenapa mereka tidak mengusir kau saja daripada mereka harus bertindak kasar dan licik semacam itu? Meskipun kau belum mengatakan, tetapi aku sudah menduga, apa yang ada di dalam hatimu. Yang menakut-nakutimu dan yang membual kau menghindari penglihatanmu atas kenyataan itu”
Ki Dipanala tidak menyahut.
“Ki Dipanala, apakah anak panah itu. anak panah Raden Rudira?”
Ki Dipanala tidak segera menyahut. Wajahnya menjadi kemerah-merahan. Sesuatu agaknya sedang bergejolak di dalam hatinya.
Sejenak kemudian terdengar suaranya parau, “Aku tidak tahu kakang. Aku tidak tahu”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kali ini kau tidak usah mengingkari kata hatimu Dipanala. Kau sudah berada di ujung tanduk seekor kerbau liar yang dungu. Kau harus melihat kenyataan itu dengan dada terbuka”
Ki Dipanala tidak segera menjawab.
“Menurut urutan ceriteramu Dipanala, ternyata bahwa orang-orang di istana Ranakusuman, Setidak-tidaknya sebagian dari mereka memang berusaha membunuhmu. Kau tidak disukai di Ranakusuman, tetapi mereka tidak dapat mengusirmu. Dan kau juga tidak dapat meninggalkan mereka seperti Sura, karena kau bukan sekedar penjilat yang akan lari jika tidak ada lagi tulang-tulang yang dilemparkan kepadanya. Kau adalah seorang yang sadar akan diri dan harga dirimu” Kiai Danatirta berhenti sejenak! lalu, “Namun demikian kau pun harus melihat kenyataan yang dapat terjadi”
Ki Dipanala menjadi tegang sejenak. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil.
“Dipanala. Sebenarnya kau dan aku sependapat. Setidak-tidaknya kita menduga, benar atau salah, bahwa ada yang dengan sengaja menjerumuskan kau ke dalam suatu perangkap pembunuhan. Salah atau benar, kita sama-sama menduga bahwa yang berusaha menutup mulut penyamun itu untuk selama-lamanya adalah orang-orang Ranakusuman. Karena kita tahu, bahwa Raden Rudira adalah seorang pemburu yang cakap, maka ia akan dapat membidik dengan tepat meskipun di malam hari”
Kepala Ki Dipanala menjadi semakin tunduk. Kata-kata Kiai Danatirta itu bagaikan guruh yang melingkar-lingkar di kepalanya. Namun ia tidak dapat lari dari suara itu, karena di dalam hatinya suara itu pun telah berkumandang sebelum Kiai Danatirta mengucapkannya.
“Bagaimana menuruti pendapatmu Dipanala?” Ki Dipanala masih terdiam sejenak.
“Apakah kau tidak berani melihat hal itu?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam sekali. Katanya, “Aku memang takut melihatnya. Tetapi aku tidak dapat lari dari pengakuan itu”
“Kau sependapat?”
Ki Dipanala menganggukkan kepalanya, “Ya kakang”
“Nah, jika kau sependapat, maka kita akan dapat melihat lebih jauh lagi. Kenapa di saat kau dijerumuskan ke dalam tangan para penyamun justru kau harus membawa barang-barang yang cukup banyak beserta uang sekampil?”
Ki Dipanala menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu kakang. Mungkin orang-orang yang ingin membunuhku itu benar-benar membuat kesan, seakan-akan aku telah dirampok”
“Jika barang-barang itu hilang, atau jika kau sama sekali tidak membawa apa-apa, bukankah sama saja akibatnya bagi orang lain yang menemukan kau mati di tengah bulak?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi ia menggeleng, “Aku tidak mengerti. Perhitungan apakah yang membuat mereka berbuat demikian”
“Kita memang tidak dapat menebak semua teka-teki dari percobaan pembunuhan ini. Tetapi bersyukurlah kepada Tuhan bahwa kau telah terlepas dari bencana”
Ki Dipanala tidak segera menyahut. Namun ia pun menyadari bahwa ia masih dilindungi oleh Tuhan Yang Tunggal, sehingga ia selamat dari tangan para penyamun itu, dengan membiarkan Buntal tetap berada di sawah meskipun langit menjadi buram, karena ia melihat orang yang berpakaian seperti petani dari Sukawati itu.
“Semua itu adalah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” katanya di dalam hati.
“Dipanala” berkata Kiai Danatirta kemudian, “Jika kita tetap tidak dapat memecahkan teka-teki tentang barang-barang yang justru kau bawa, apakah kau dapat mencari alasan, kenapa kau akan dibunuhnya? Apakah sekedar karena kau pernah berusaha mencegah Raden Rudira membawa Arum?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku dan Sura memang pernah diikat pada sebatang pohon di halaman istana Pangeran Ranakusuma. Aku dan Sura akan mendapat hukuman cambuk di hadapan para abdi di Ranakusuman”
“Tetapi bukankah keluarga Sura dan keluargamu tinggal di dalam dan di belakang halaman istana itu?”
Ki Dipanala mengangguk.
“Jadi bagaimana jika keluargamu, anak-anakmu dan anak-anak Sura melihatnya?”
“Mungkin memang itulah yang dimaksudkannya”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam.
“Tetapi aku dapat memaksa Pangeran Ranakusuma dan isterinya yang cantik itu untuk mengurungkan niatnya” desis Dipanala.
“Itulah yang aku heran. Kadang-kadang kau berhasil memaksakan pendapatmu” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Tetapi hal itu pulalah agaknya yang telah membuat mereka ingin membunuhmu. Memang ada dua kemungkinan. Raden Rudira yang membencimu karena ayahandanya selalu mendengarkan kata-katamu atau Pangeran Ranakusuma sendiri atau Raden Ayu Galihwarit lah yang ingin membunuhmu, karena kau terlampau berpengaruh atas mereka karena sesuatu sebab”
“Agaknya kedua-duanya kakang. Meskipun yang satu tidak tahu alasan yang tepat dari yang lain, namun ada semacam pertemuan pendapat, bahwa aku memang harus dilenyapkan. Raden Rudira tentu tahu rencana ini, ternyata jika dugaan kita benar, maka ia telah membunuh penyamun itu. Menurut dugaanku pula Raden Ayu Galihwarit pun tahu akan rencana ini, karena ia telah memperlambat keberangkatanku”
“Bagaimana dengan Pangeran Ranakusuma?”
Ki Dipanala menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu kakang. Tetapi tampaknya Pangeran Ranakusuma acuh tidak acuh saja atas rencana ini”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk pula. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi apakah alasan Raden Ayu Galihwarit? Apakah seperti juga Raden Rudira yang sakit hati karena Pangeran Ranakusuma selalu mendengar kata-katamu, “
Ki Dipanala terdiam sejenak. Sekali lagi ia berpaling memandang piatu yang sudah tertutup.
“Kakang, dimanakah anak-anak itu?”
“Mereka ada di dalam. Agaknya mereka sedang sibuk dengan barang-barang kiriman yang kau bawa. Selama ini mereka hanya mengenal kain lurik yang kasar. Sedang yang kau bawa adalah kain yang halus dan barang-barang yang jarang dan bahkan hampir tidak pernah dilihat oleh Arum dan Buntal”
Ki Dipanala mengangguk-angguk pula. Tetapi seakan-akan ia tidak yakin bahwa anak-anak itu tidak mendengar pembicaraan itu.
“Ada yang ingin aku katakan kakang. Tetapi aku berharap agar anak-anak itu tidak mendengarnya. Pengaruhnya agak kurang baik bagi mereka”
Kiai Danatirta pun mengangguk. Agaknya yang akan dikatakan oleh Ki Dipanala adalah suatu rahasia yang lama disimpannya.
“Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya kepada siapapun. Juga kepada kakang, orang yang paling aku percaya. Tetapi karena tindakan yang telah diambilnya adalah suatu pembunuhan, maka ada baiknya orang lain mengetahuinya. Jika pada suatu saat aku benar-benar mati, maka ada orang yang tahu alasan sebenarnya atas kematianku itu”
Kiai Danatirta merenungi wajah Ki Dipanala sejenak. Kemudian ia pun berdiri sambil berkata, “Coba aku lihat anak-anak itu”
Ketika Kiai Danatirta masuk ke ruang dalam, maka ternyata ruangan itu sudah sepi. Barang-barang yang-semula di bentang selembar demi selembar, telah tersusun rapi dan diletakkan dalam tumpukan yang teratur di geledeg. Bahkan di sampingnya terletak kampil yang berisi uang.
Kiai Danatirta menarik nafas. Anak-anak, itu tentu menganggap bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan mengusik Barang-barang itu. Apalagi mengambilnya, karena padepokan ini memang tidak pernah kehilangan karena tangan seseorang. Jika ada barang yang hilang itu hanyalah disebabkan kekurang telitian dari antara mereka yang menyimpan Barang-barang itu dan barang itu tidak dapat diketemukan lagi. Tetapi mungkin sebulan dua bulan barang yang hilang itu tanpa disengaja telah dijumpai oleh seseorang yang justru tidak sedang mencarinya.
Dengan hati-hati Kiai Danatirta pergi ke bilik Arum. Dilihatnya dari sela-sela daun pintu yang tidak tertutup rapat, gadis itu telah terbaring di pembaringannya meskipun agaknya belum tertidur.
Dari bilik Arum, Kiai Danatirta pergi ke bilik Juwiring dan Buntal. Keduanya pun sudah ada pula di dalam biliknya, meskipun keduanya masih berbicara tentang sesuatu.
Kiai Danatirta itu pun segera kembali ke pendapa. Mereka sengaja berbicara di pendapa, tidak di pringgitan, agar tidak mudah orang lain ikut mendengarnya justru karena pendapa itu terbuka.
“Kakang” berkata Ki Dipanala kemudian, “sebenarnya ceritera ini sudah berlangsung lama. Dan karena ceritera inilah maka aku seakan mempunyai pengaruh di Ranakusuman meskipun aku tidak disukai oleh siapapun juga”
Kiai Danatirta tidak menyahut. Dibiarkannya Ki Dipanala meneruskan ceriteranya.
“Adalah suatu kebetulan pula bahwa aku melihat hal itu terjadi. Dan karena itu pula aku seakan-akan mempunyai perbawa atas Raden Ayu Galihwarit. Sebenarnya aku sama sekali tidak berniat untuk memerasnya. Aku sudah berjanji untuk merahasiakan apa yang sudah terjadi itu. Namun agaknya Raden Ayu. Galihwarit selalu dihantui oleh bayangannya sendiri, la selalu curiga kepadaku. Bertahun-tahun hal itu terjadi. Tetapi pada suatu saat, karena persoalan-persoalan lain yang berkembang, agaknya sampai juga suatu keputusan pada Raden Ayu Galihwarit untuk membunuhku”
Kiai Danatirta hanya mengangguk-angguk saja. Ia ingin segera mendengar ceritera yang sesungguhnya, sehingga Raden Ayu Galihwarit harus mengambil sikap itu. Membunuh atau mendengar setiap pendapat Dipanala.
“Pada saat itu. Raden Ayu Galihwarit sedang berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk menyingkirkan Juwiring. Dengan berbagi macam cara dan hasutan, sehingga akhirnya Pangeran Ranakusuma mulai mendengar kata-kata itu” Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu, “Namun di samping itu, Raden Ayu Galihwarit mulai dihinggapi penyakit yang sekarang menjadi semakin parah”
Kiai Danatirta hanya mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk saja.
“Pada suatu malam, selagi aku pergi ke tempat seorang saudaraku, aku melihat sebuah kereta berhenti di pinggir jalan di pinggir kota, di bawah bayangan kegelapan. Aku menjadi curiga. Semula aku mengira saisnya tentu sedang mempunyai kepentingan di kegelapan. Dan menurut dugaanku kereta yang bagus itu tentu kosong. Jika ada penumpangnya, sais itu tentu tidak akan berani berhenti. Apalagi menurut dugaanku kereta itu tentu kereta seorang perwira kumpeni” Ki Dipanala berhenti sejenak, kemudian diteruskannya, “Tetapi kemudian aku melihat sais itu berdiri bersandar sebatang pohon agak jauh dari keretanya. Kemudian berjalan mondar-mandir. Aku menjadi semakin heran. Timbullah keinginanku untuk mengetahui, apakah yang sebenarnya sudah terjadi. Karena itu, dengan diam-diam aku mendekati kereta itu tanpa diketahui oleh saisnya” tiba-tiba saja Ki Dipanala menjadi tegang. Katanya, “Kakang, peristiwa berikutnya adalah peristiwa yang paling kotor yang pernah aku lihat”
“Apa?”
“Setelah aku berhasil mendekati kereta yang memang berada di kegelapan itu, aku mendengar suara di dalamnya. Suara seorang perempuan dan seorang laki-laki. Menilik warna suaranya tentu seorang laki-laki asing” nafas Ki Dipanala serasa menjadi semakin cepat mengalir, “Kakang, aku tidak tahan menyaksikan hal serupa itu. Orang asing itu telah mengotori kota ini dengan kebiadaban. Aku mengira bahwa mereka yang katanya membawa peradaban yang tinggi, ternyata memiliki tata kesopanan yang sangat rendah. Mereka akan mencemarkan nama kota ini dengan perbuatan yang kotor di jalan-jalan. Karena itu, dengan tidak sabar aku meloncat. Dengan sekuat tenaga aku tarik pintu kereta yang sekaligus terbuka” Dada Ki Dipanala menjadi seakan-akan berdebaran meskipun ia hanya sekedar berceritera. Lalu suaranya menjadi terputus-putus, “Tetapi, tetapi sama sekali tidak aku duga. Ketika pintu itu terbuka, seseorang telah terdorong dan jatuh keluar. Seorang perempuan. Kemudian disusul seorang laki-laki asing meloncat pula. Tetapi, yang sama sekali tidak aku duga. ternyata perempuan itu bukannya perempuan yang aku sangka diambilnya di pinggir jalan. Perempuan itu adalah Raden Ayu Galihwarit yang sejak sore pergi memenuhi undangan perwira asing yang mengadakan pertemuan makan bersama dengan beberapa orang bangsawan. Tetapi karena kesibukannya, maka Pangeran Ranakusuma sendiri tidak dapat datang dan membiarkan isterinya dijemput dan diantar kembali ke istana Ranakusuman. Tetapi agaknya yang mengantar Raden Ayu Galihwarit saat itu adalah seorang perwira kumpeni yang, gila dan setengah mabuk”
Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa bulu-bulunya meremang juga. Itulah sebabnya maka istana Ranakusuman menjadi penuh dengan berbagai macam barang-barang hadiah dari orang-orang asing itu. Barang-barang yang tidak terdapat di Surakarta sendiri.
Sejenak kemudian, setelah menarik nafas dalam-dalam, Ki Dipanala meneruskan, “Kakang dapat membayangkan, bagaimana perasaan Raden Ayu Galihwarit yang kemudian dibantu oleh orang asing itu berdiri memandang aku. Meskipun di dalam kegelapan, tetapi ia segera mengenal aku pula.
“Dipanala” katanya dengan suara gemetar.
Aku menjadi bingung. Tetapi aku pun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Ya Raden Ayu”
Sejenak Raden Ayu Galihwarit memandang aku. Kemudian terdengar la menggeram, “Apakah kau sudah gila?”
“Maaf Raden Ayu, hamba tidak tahu”
“Gila. Kenapa kau mencampuri persoalan orang lain. Seandainya kau tidak tahu siapa yang ada di dalam, apakah hubunganmu dengan hal ini?”
“Ampun Raden Ayu. Hamba adalah seorang penghuni kota ini. Hamba tersinggung bahwa hal ini sudah terjadi di jalan-jalan raya di kota Surakarta yang amat hamba junjung tinggi ini”
“Tetapi itu bukan urusanmu”
“Terdorong oleh rasa tanggung jawab hamba semata-mata, atas kota ini”
“Kakang Danatirta, sebenarnya aku sudah akan berlutut minta maaf kepada Raden Ayu Galihwarit. Tetapi orang asing yang agaknya sudah dapat mempergunakan bahasa kita itu ikut memaki. “Kau memang anjing tidak tahu diri” katanya. Dan Raden Ayu itu tidak melindungi aku sama sekali, bahkan ia pun memaki, “Kau merupakan malapetaka bagiku Dipanala”
“Ampun Raden Ayu, hamba tidak akan berbuat apa-apa. Hamba akan pergi dan melupakan apa yang pernah hamba lihat ini”
Raden Ayu Galihwarit memandangku dengan tajamnya. Namun agaknya Raden Ayu Galihwarit tidak mempercayaiku.
“He anjing busuk” berkata kumpeni itu, “Kau berani mengganggu Raden Ayu dan aku ya? Kau sudah menghina aku”
“Ia sangat berbahaya bagiku” berkata Raden Ayu Galihwarit kepada orang asing itu.
“Jadi apakah maksud Raden Ayu orang ini dilenyapkan saja?”
Dadaku berdesir mendengar pertanyaan itu. Dan apalagi setelah aku mendengar jawabnya, “Terserahlah kepada tuan”
Hatiku bergejolak mendengar orang asing itu tertawa. Apalagi ketika tiba-tiba saja tangannya meraba sesuatu di balik bajunya. Aku tahu, bahwa ia mengambil senjata api. Jika senjata api itu meletus, sebutir peluru akan menembus dadaku dan aku akan mati seketika, sedang tidak akan seorang pun di sekitar tempat itu yang akan berani berbuat sesuatu, karena mereka sadar bahwa suara itu adalah suara senjata yang sangat menakutkan.
Tetapi alangkah takutnya aku kepada mati pada waktu itu. Kematian bagiku lebih menakutkan daripada kumpeni itu dan juga daripada Raden Ayu Galihwarit. Itulah sebabnya aku tiba-tiba saja berbuat sesuatu untuk menghindarkan diri dari kematian.
Ketika aku melihat tangan orang asing itu menggenggam benda yang menakutkan itu tiba-tiba saja aku kehilangan pertimbangan lain. Aku menganggap bahwa membela diri adalah jalan satu-satunya untuk melepaskan diri dari ketakutanku akan mati. Karena itu ketika orang asing itu mengacungkan senjatanya kepadaku, tiba-tiba saja aku meloncat. Dengan kakiku aku berhasil menghantam perge-langan tangannya sehingga senjata itu terloncat dari tangannya sebelum meledak.
Tetapi orang asing itu sama sekali tidak kehilangan akal. iapun segera mencabut pedangnya yang panjang. Dengan serta merta ia mencoba menusuk dadaku dengan pedang itu. Untunglah aku masih sempat menghindar. Namun ia benar-benar bertekad membunuhku, sehingga ia pun segera memburu.
Aku pun telah bertekad membela diriku. Karena itu maka tiba- tiba saja kerisku sudah berada di dalam genggaman tanganku.
Ternyata bahwa orang asing itu tidak begitu pandai berkelahi. Ia hanya dapat mengayun-ayunkan pedangnya. Tetapi kakinya seolah-olah mati. Ia mempercayakan tata geraknya pada gerak tangannya. Tetapi aku tidak demikian bodohnya. Aku mempergunakan semua anggauta badan kita. Kaki dan tangan. Karena itu, ketika aku meloncat-loncat ia menjadi bingung.
Aku sendiri tidak ingat lagi. Aku sadar ketika aku mendengar orang asing itu mengeluh tertahan. Suaranya serak dan kemudian hilang ditelan sepinya malam. Yang terdengar kemudian adalah suara tubuh itu roboh di tanah. Mati. Ternyata aku telah menusuknya tepat di dadanya.
Raden Ayu Galihwarit melihat perkelahian itu dengan tubuh gemetar. Dengan suara yang parau ia berkata, “Kau gila Dipanala. Kau dapat dibunuh oleh kumpeni. Kau sudah membunuh seorang perwira. Dan kau akan menebus kebodohanmu”
“Tidak ada orang yang melihat pembunuhan ini”
“Aku dan sais itu”
Aku berpaling. Aku lihat sais itu pun ketakutan berdiri di sisi sebatang pohon yang besar.
“Sais itu tidak mengenal hamba” kataku. Aku tidak tahu dari mana aku mempunyai keberanian untuk berbantah dengan Raden Ayu Galihwarit.
“Aku mengenalmu. Aku dapat mengatakan kepada Pangeran Ranakusuma dan kepala pimpinan kumpeni bahwa kau telah membunuh salah seorang dari mereka”
“Raden Ayu tidak akan mengatakannya”
“Kenapa tidak? Aku akan mengatakannya. Dan kau akan digantung di alun-alun, atau dipancung di perapatan”
Tetapi aku tetap menggeleng dan berkata perlahan-lahan, “Jangan terlalu keras Raden Ayu. Hamba tidak mau sais itu mendengar dan mengetahui tentang hamba”
“Aku akan mengatakan. Aku akan mengatakan”
“Raden Ayu tidak akan mengatakan. Baik kepada kumpeni, kepada Pangeran Ranakusuma maupun kepada sais itu. Bukankah dengan demikian Raden Ayu akan membuka rahasia Raden Ayu sendiri? Selama ini Pangeran Ranakusuma kadang-kadang bertanya-tanya juga, kenapa Raden Ayu sering sekali mengunjungi makan bersama dengan orang-orang asing itu meskipun pada saat-saat Pangeran Ranakusuma berhalangan. Ternyata justru saat-saat yang demikian itulah yang menyenangkan bagi Raden Ayu. Apakah Raden Ayu tidak mengetahui, bahwa perasaan seorang suami kadang-kadang tergetar jika isterinya berbuat seperti apa yang Raden Ayu lakukan meskipun tidak melihatnya sendiri? Apakah Raden Ayu tidak mencemaskan kemungkinan yang buruk bagi Raden Ayu jika Pangeran Ranakusuma mengetahui hal ini”
“Tidak ada yang mengetahuinya”
“Hamba dan sais itu. Jika tuan berusaha menjerumuskan hamba ke tiang gantungan atau hukuman apapun, maka hamba pun akan sampai hati pula mengatakan kepada siapapun tentang Raden Ayu”
“Kumpeni tidak akan percaya. Seandainya percaya, maka mereka pasti akan merahasiakannya, karena banyak sekali di antara mereka yang terlibat dalam keadaan yang sama. Bahkan bukan dengan aku sendiri. Ada puteri-puteri bangsawan yang lain yang melakukan seperti yang aku lakukan”
“Tetapi Raden Ayu lah yang paling menonjol di antara mereka itu”
“Tutup mulutmu”
“Dan Raden Ayu pun akan menutup mulut. Jika Raden Ayu sampai hati membunuh hamba, hamba pun akan sampai hati mengatakan yang terjadi. Mungkin Kumpeni tidak akan mempercayai bahwa ada perwira-perwiranya yang berbuat demikian, atau dengan sengaja menyembunyikan kenyataan itu, karena sebagian besar dari mereka terlibat. Namun hati Pangeran Ranakusuman pasti akan terketuk. Jika Pangeran Ranakusuma menangkap getaran isyarat dalam lubuk hatinya, maka tuan akan mengalami nasib yang kurang baik. Bukankah isteri Pangeran Ranakusuma tidak hanya seorang? Dan bukankah isteri yang lain meskipun tidak selincah Raden Ayu tetapi ia adalah seorang isteri yang setia? Dan apakah tuan tahu, betapa pahitnya perasaan seorang suami jika mengetahui bahwa isterinya tidak setia seperti Raden Ayu meskipun Pangeran Rana Kusuma adalah seorang suami yang longgar, yang memberi banyak kesempatan kepada Raden Ayu untuk keluar rumah tanpa suaminya. Apalagi tuan sudah berbuat tidak senonoh dengan seorang asing, seorang bule”
“Diam, diam”
“Jangan berteriak.” Aku mencegah. Tetapi wajah Raden Ayu Galihwarit menjadi pucat.
“Nah Raden Ayu” kataku kemudian, “terserahlah kepada Raden Ayu. Sebelum ada orang yang mengetahui tentang aku, maka aku akan pergi. Tetapi jika hamba ditangkap oleh siapapun juga karena membunuh kumpeni, hamba akan mengatakannya juga kepada siapapun. bahwa tuan sudah berbuat sesat. Maka nama Raden Ayu, seorang puteri bangsawan yang menjadi isteri seorang Pangeran pula akan tercemar. Dan tuan akan tersisih dari pergaulan. Mungkin Raden Ayu akan disingkirkan dari Ranakusuman dan ayahanda Raden Ayu tidak akan menerima Raden Ayu lagi. Dengan demikian Raden Ayu akan dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada Raden Ayu. Terasing dan dihinakan oleh seluruh rakyat Surakarta. Yang terbayang pada Raden Ayu hanyalah tinggal satu jalan, semakin jauh terperosok ke dalam kesesatan”
“Tidak, tidak” tiba-tiba Raden Ayu Galihwarit menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Terdengar isak tangisnya tertahan-tahan.
“Sudahlah Raden Ayu” kataku kemudian aku akan pergi dan hentikan semuanya yang pernah Raden Ayu lakukan, mumpung belum ada seorang pun yang mengetahui dari keluarga tuan. Dari keluarga Ranakusuman, apalagi putera Raden Ayu yang meningkat dewasa itu”
Aku tidak menghiraukannya lagi. Aku pun segera pergi meninggalkannya. Meninggalkan Raden Ayu Galihwarit yang sering disebut Raden Ayu Sontrang itu, dan mayat seorang kumpeni di pinggir jalan yang sepi. Aku tidak peduli lagi kepada sais yang aku sangka ketakutan itu”
“Kenapa sekedar kau sangka?” tiba-tiba Kiai Danatirta bertanya.
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Kiai Danatirta sejenak, lalu, “Ceriteranya masih panjang kakang. Apakah kakang tidak menjadi jemu?”
“Ceriterakanlah” berkata Kiai Danatirta kemudian. Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. “Aku ingin mendengar kelanjutan ceriteramu. Nanti saja kau makan hidangan yang ada. Sekarang kau berceritera terus”
Ki Dipanala tersenyum. Namun dari matanya memancar perasaannya yang pahit mengenangkan apa yang pernah terjadi itu.
“Jadi, aku sudah membunuh seorang kumpeni kakang”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah yang ingin aku katakan. Jadi perwira kumpeni yang mati itu kaulah yang membunuhnya?”
Ki Dipanala mengangguk.
“Ternyata Raden Ayu Galihwarit benar-benar tidak membuka rahasiamu”
“Ya kakang. Raden Ayu Galihwarit tidak membuka rahasiaku. Ia tidak mengatakannya kepada siapapun. Dan aku pun memenuhi janjiku pula. Aku merahasiakannya. Tidak seorang pun yang pernah mengetahui hal itu terjadi. Kepada kakang pun baru sekarang aku mengatakannya” Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu, “Agaknya sesuatu telah menggerakkan hati Pangeran Ranakusuma. Tetapi, meskipun ia mulai curiga, bahkan anak laki-lakinya itu pun mulai bertanya-tanya tentang tabiat ibunya, namun Pangeran Ranakusuma itu masih saja membiarkannya berbuat demikian. Mungkin Pangeran itu ingin menemukan bukti-bukti yang mantap”
“Jadi Raden Ayu itu tidak sembuh meskipun kau pernah menemukannya?”
“Hanya untuk beberapa waktu. Tetapi penyakit, itu kambuh kembali. Namun aku semula tidak mempedulikannya lagi. Aku tidak akan mencampuri persoalannya. Jika aku membunuh orang asing itu, sama sekali bukan karena aku ingin mencampuri persoalan Raden Ayu Galihwarit meskipun hatiku menjadi sakit sekali”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk.
“Dan sais itu pun tidak mengatakan kepada siapapun juga tentang kau dan tentang Raden Ayu Sontrang?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sekarang tidak dapat berkata kepada siapapun juga”
“Kenapa?”
“Ia sudah mati”
“Mati?”
“Ya”
“Apakah Raden Ayu Galihwarit mencurigainya dan menyuruh seseorang membunuhnya”
Sejenak Ki Dipanala termenung. Namun kemudian katanya-lambat, “Akulah yang membunuhnya”
“Kenapa kau?”
“Sais itu sebenarnya sama sekali tidak ketakutan ketika aku membunuh orang asing itu. Meskipun ia tidak mengatakan kepada siapapun juga, namun ia mempunyai maksud tertentu” Ki Dipanala berhenti sejenak, “kakang, bukankah saat itu Surakarta menjadi gempar? Tetapi saat itu Raden Ayu Galihwarit mengatakan, bahwa ia tidak tahu menahu tentang pembunuhan itu. Tiba-tiba saja ketika orang asing itu mengantarkannya pulang seperti dipesankan oleh Pangeran Ranakusuma. ia sudah diserang oleh seseorang yang tidak dikenalnya”
“Tetapi” Kiai Danatirta memotong, “Apakah tidak seorang pun yang bertanya, kenapa kereta itu lewat jalan yang sepi di pinggir kota?”
“Beberapa orang telah mencurigai sais itu kakang. Bahwa ia dengan sengaja telah mengumpankan perwira kumpeni itu. Mereka mempertimbangkan, bahwa orang-orang yang duduk di dalam kereta, tidak mengetahui, jalan manakah yang sudah mereka lewati karena mereka tidak memperhatikannya. Apalagi orang asing itu masih belum begitu mengenal jalan-jalan di Surakarta. Tetapi Raden Ayu Galihwarit yang mencemaskan nasibnya sendiri, bahwa sais itu akan berceritera tentang dirinya, mencoba membelanya. Menurut Raden Ayu Galihwarit, orang asing itu memang ingin melihat beberapa bagian dari kota Surakarta”
“Di malam hari?”
“Di siang hari ia tidak mempunyai waktu lagi. Apalagi malam masih belum terlampau larut”
“Apa tidak ada seorang pun yang justru mencurigai Raden Ayu Galihwarit?”
“Kumpeni-kumpeni itu yakin, kalau perempuan bangsawan itu dapat dipercaya”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Lalu, “Tetapi bagaimana sais itu kemudian terbunuh? Apakah Raden Ayu Galihwarit mengupahmu?”
Ki Dipanala menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak menerima upah dan aku memang bukan seorang pembunuh. Tetapi agaknya Raden Ayu Galihwarit tidak mau melibatkan orang lain lagi di dalam persoalan ini. Itulah sebabnya ia datang kepadaku dan minta kepadaku, agar aku membunuh sais itu”
“Apakah sais itu akan membuka rahasia?”
Ki Dipanala mengangguk, “sais itu mengancam akan membuka rahasia”
“Ia memeras?”
“Ya”
“Barangkali itulah yang ditakutkan atasmu. Mungkin pada suatu saat kau akan memerasnya juga. Setelah sais itu, maka datang giliranmu untuk disingkirkan”
Ki Dipanala mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kakang benar”
“Apakah sais itu memeras harta benda Ranakusuman”
“Jika demikian, aku sudah berjanji untuk tidak mencampuri persoalan itu. Tetapi sikapnya yang sangat menyinggung perasaan itulah yang membuat aku marah dan membunuhnya. Apalagi ia dengan sengaja melawan aku. Karena itu, sebenarnya ia bukan seorang penakut yang gemetar melihat aku membunuh orang asing itu”
“Jadi apa yang diperas?”
“Itulah yang gila, sais yang masih muda itu telah memeras Raden Ayu Galihwarit”
“Ya, tetapi apakah yang ingin didapatkannya dari Raden Ayu itu?”
“Raden Ayu itu sendiri”
“He” Kiai Danatirta benar-benar terkejut mendengar jawaban Ki Dipanala.
“Ya kakang. Yang diinginkan oleh sais itu adalah Raden Ayu Galihwarit yang meskipun lebih tua daripada sais itu, namun kesegarannya telah membuat sais itu menjadi gila. Sais itu ingin berbuat terlalu banyak atas Raden Ayu Galihwarit seperti orang asing yang telah aku bunuh itu”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap dadanya. Katanya, “Apakah dunia ini benar-benar sudah hampir kiamat? Kenapa hal yang serupa itu dapat terjadi diatas bumi Surakarta ini”
“Ya kakang. Itulah yang telah memuakkan aku. Jika Raden Ayu Galihwarit menolak, maka ia akan membuka rahasia pembunuhan itu kepada kumpeni dan kepada Pangeran Ranakusuma serta membuka rahasia hubungan Raden Ayu Galihwarit dengan orang-orang asing yang banyak diketahuinya”
“Dan kau percaya begitu saja? Mungkin itu hanya sekedar ceritera Raden Ayu Galihwarit untuk memaksamu membunuh sais itu”
“Semula aku menyangka demikian kakang. Tetapi ternyata tidak. Ketika hal itu aku tanyakan langsung kepada Raden Ayu Galihwarit, maka ia bersedia membuktikan apa yang dikatakannya”
“Apa yang sudah dilakukannya?”
“Ia memberitahukan kepadaku, apa yang harus dilakukannya untuk memenuhi niat sais yang gila itu. Sais itu akan menjemput Raden Ayu Galihwarit seolah-olah ia mendapat perintah dari kumpeni. Raden Ayu Galihwarit harus berusaha agar ia pergi seorang diri tanpa emban atau pengawal seperti yang sering dilakukan jika ia dijemput oleh orang-orang asing dari rumahnya. Orang asing yang banyak memberi harapan bagi Pangeran Ranakusuma dan banyak memberikan kecemerlangan bagi istananya, sehingga Pangeran Ranakusuma tidak dapat melarang, jika isterinya pergi mengunjungi pertemuan yang diselenggara-kan oleh kumpeni, apalagi penyelenggaraan itu dilakukan di rumah para bangsawan pula” Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu, “Tetapi saat yang ditentukan itu sama sekali bukan atas perintah kumpeni tetapi atas kehendak sais itu sendiri”
“O. Dosa itu berkembang begitu cepatnya”
“Ya kakang. Dan aku harus melindungi dosaku dengan dosa baru yang harus aku lakukan. Aku harus membunuh lagi”
Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku harus menunggu di tempat yang sudah ditentukan oleh sais itu sendiri menurut petunjuk Raden Ayu Galihwarit, yang ternyata adalah sebuah pondok kosong milik orang tua sais yang gila itu. Di dalam pondok itu aku harus menanti dengan hati yang berdebar”
“Dan mereka datang?” Kiai Danatirta menjadi tidak sabar.
“Ya. Ketika senja mulai turun aku mendengar derap kaki kuda. Justru sebelum gelap. Langit masih merah oleh sisa cahaya matahari yang tersangkut di tepi gumpalan awan yang mengapung di langit”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam.
“Sebenarnyalah bahwa dada ini akan retak oleh kemuakan ketika aku mendengar mereka mendekati pintu rumah sais yang kosong itu” Ki Dipanala berhenti sejenak. Kemudian katanya, “Silahkan Raden Ayu” berkata sais itu di luar pintu. Suaranya benar-benar membuat kepala pening kakang”
Kiai Danatirta menahan nafasnya.
Dan Ki Dipanala meneruskan, “Aku mencoba menahan nafas ketika aku mendengar pintu berderit terbuka. Dan aku dengar Raden Ayu Galihwarit mengumpat, “Kau gila. Kau akan dibunuh oleh Pangeran Ranakusuma”
Tetapi sais itu tertawa, “Tuan tidak akan mengatakannya seperti yang dikatakan oleh pembunuh orang asing itu”
“Gila, kau dengar percakapan kami”
“Aku dengar Raden Ayu”
“Tetapi kalau kau masih menggangguku, kau akan menyesal” berkata Raden Ayu itu.
“Kenapa tidak. Setiap saat kita dapat singgah ke rumah ini. Jika tuan puteri akan melayani orang-orang bule itu, tuan puteri akan aku persilahkan singgah dahulu. Bukankah aku berkulit sawo matang seperti Raden Ayu, dan orang-orang asing itu berkulit semerah kulit manggis dan jauh lebih kasar dari kulitku”
“Gila, kau memang gila. Aku tidak mau berbuat gila seperti itu?”
“Raden Ayu tidak mempunyai pilihan lain”
“O” terdengar Raden Ayu Galihwarit menahan tangisnya.
“Jangan menangis Raden Ayu. Marilah kita hayati satu-satunya pilihan yang dapat tuan puteri lakukan agar aku tidak mengambil keputusan lain”
“Kau lebih baik membunuh aku, “ tangis Raden Ayu itu.
“Silahkan duduk. Bukankah aku harus mengantar Raden Ayu kembali setelah gelap? Sebaiknya kita tidak membuang waktu”
Aku mendengar suara Raden Ayu Galihwarit gemetar. Mula-mula aku menjadi ragu-ragu untuk bertindak. Mungkin Raden Ayu itu memang harus menanggung dosanya dan mendapat hukuman karenanya.
Tetapi aku tidak dapat menahan perasaan muak yang menyesak dada ini, sehingga karena itu, maka nafasku pun menjadi tersengal-sengal.
Bahkan bukan saja perasaan muak. tetapi juga oleh kekhawatiran, bahwa apabila orang itu dikecewakan oleh Raden Ayu Galihwarit pada suatu saat, dimana puteri bangsawan itu sudah tidak dapat bertahan lagi mengalami pemerasan yang paling parah itu, maka ia akan sampai pada suatu keputusan untuk membuka rahasia Raden Ayu Galihwarit dan rahasiaku sendiri. Sais yang gila itu tentu tidak akan mempedulikan lagi, malapetaka apa yang akan aku alami dan kehinaan yang akan dihayati oleh Raden Ayu Galihwarit. Meskipun jika Raden Ayu Galihwarit membuka rahasia tentang sais itu sendiri, ia akan dapat dihukum mati pula”
Kiai Danatirta masih mengangguk-angguk. Tetapi terasa kulit di seluruh tubuhnya meremang. Yang terjadi itu adalah hukuman yang paling laknat bagi Raden Ayu Galihwarit.
“Dan kau tidak membiarkannya terjadi?”
Ki Dipanala menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Hatiku bagaikan terpecah-pecah. Aku tidak dapat membiarkannya terjadi. Ketika kegilaan sais itu menjadi semakin meretakkan dada ini, tiba-tiba saja aku sudah meloncat masuk ke ruangan itu. Meskipun Raden Ayu Galihwarit mengetahui bahwa aku ada di rumah itu pula, tetapi kehadiranku di ruang itu membuatnya terpekik kecil. Sejenak wajahnya menjadi merah. Namun kemudian sepercik harapan tampak di matanya.
Sais itu pun terkejut bukan kepalang. Seperti yang aku duga. bahwa ia tidak akan menjadi ketakutan dan berdiri gemetar. Ternyata kehadiranku membuatnya marah bukan buatan.
“Kau” geramnya.
“Aku pun sudah dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap, sehingga aku menjawab kasar Aku datang untuk menghentikan kegilaan ini”
“Kau sudah membunuh orang asing itu. Apakah kau juga aku membunuh aku” sais itu bertanya.
“Ya”
Tetapi ternyata orang itu tidak takut sama sekali. Bahkan ia pun tertawa sambil berkata, “Kau sangka aku menjadi ketakutan seperti yang kau lihat di bawah pohon pada saat kau membunuh orang asing itu”
“Aku tidak peduli”
“Jangan menyesal kalau kaulah yang akan mati. Memang sepantasnya kau mati, supaya tidak ada orang lain yang akan memeras lagi kepada Raden Ayu Galihwarit, karena jika kau berhasil membunuh aku, maka kaulah yang akan melakukannya”
“Aku bukan binatang buas yang pantas diburu” Tetapi ia masih juga tertawa. Suara tertawanya yang tidak begitu keras itu membuatku semakin terbakar. Karena itulah maka aku pun kemudian kehilangan pengamatan diri. Apalagi tidak ada jalan yang memang lebih baik dari membungkam untuk selama-lamanya.
Dengan demikian, maka aku pun berkata langsung kepadanya, “Sekarang aku tidak mempunyai pilihan lain. Membunuh kau atau aku akan terbunuh. Jika kau tetap hidup, artinya akan sama saja dengan kematian bagiku, karena kau tidak akan lagi menyembunyikan rahasia yang pernah kau lihat itu”
“Ya. Aku akan membunuhmu atau akan menyeretmu di belakang keretaku sehingga kulitmu akan terkelupas di sepanjang jalan kita ini. Bila kau masih hidup, maka kumpeni lah yang akan menyelesaikanmu meskipun terlebih dahulu luka-lukamu akan dibasahi dengan air garam”
Memang mengerikan sekali jika hal itu benar-benar terjadi. Diseret di belakang kereta yang dilarikan kencang-kencang.
“Nah, kau memang tidak ada pilihan lain” katanya, “dan Raden Ayu Galihwarit pasti akan tetap berdiam diri”
Aku sudah tidak dapat menahan kemarahan di dalam dada. Tetapi aku masih dapat berpikir sehingga aku tidak mau tenggelam dalam kehilangan nalar karena kemarahanku.
Meskipun aku sudah siap, tetapi aku tidak segera menyerangnya. Aku menunggu sampai orang itu pun menjadi sangat marah dan akan lebih baik kalau sais itulah yang kehilangan nalar dan bertempur dalam nyala kemarahan yang tidak terkendali.
“Ayo, apa lagi yang kau tunggu?” katanya.
“Kumpeni” jawabku, “Bukankah kereta itu kereta seorang perwira kumpeni? Mungkin yang sudah mati aku bunuh, tetapi mungkin kereta orang lain. Tetapi pasti bukan keretamu sendiri. Orang yang memiliki kereta itu pasti akan mencarimu. Mereka pasti akan melihat kereta berhenti di pinggir jalan itu dan mencarimu ke rumah ini”
“Aku akan selamat. Raden Ayu Galihwarit tentu akan tetap diam dan melindungi aku”
“Tidak. Raden Ayu Galihwarit sebenarnya dapat berterus terang saja kepada kumpeni karena semua yang kau kehendaki masih belum terlanjur terjadi. Mereka tidak akan menyampaikan rahasia itu kepada Pangeran Ranakusuma, karena mereka sendiri akan terlibat di dalamnya. Dan sudah tentu bahwa karena kau terlampau banyak mengetahui, maka kau pun akan dibunuhnya juga”
“Gila” Orang itu menggeretakkan giginya.
“Jangan menyesal”
“Persetan dengan kau. Apapun yang akan terjadi atasku tetapi niatku tidak boleh gagal. Kau akan aku bunuh, dan aku akan melaksanakan niatku. Aku tidak peduli kepada kereta itu dan kepada kumpeni yang akan mencarinya”
“Omong kosong. Kau tidak akan berani melakukan karena itu akan berarti kematianmu”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya ia telah benar-benar menjadi marah.
Bersambung ke Bagian 3
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
“Kenapa?” bertanya Juwiring, “Ayahanda dan ibunda Galihwarit menghadiahkannya kepadamu”
Arum tidak menjawab. Tetapi sekali lagi kain itu diraihnya dan dibentangkannya diatas amben sambil tersenyum-senyum.
Buntal yang duduk di sudut ruangan merasa seakan-akan ia dihadapkan pada sebuah cermin untuk melihat dirinya sendiri. Tidak ada seorang pun yang mengirimkan apapun kepadanya seperti Juwiring. Tidak ada sanak keluarganya yang memiliki sesuatu untuk diberikannya kepada Arum. Apalagi kain sebagus itu, dan sebenarnyalah akan membuat Arum semakin cantik. Bahkan untuk dianya sendiri, ia kini menggantungkan sama sekali kepada pemberian Kiai Danatirta.
Buntal menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa dirinya menjadi semakin kecil di sisi Juwiring. Juwiring putera seorang Pangeran yang kaya. Meskipun ia tersisih, tetapi ayahnya masih juga memberikan barang-barang sejumlah itu. Ia tidak dapat membayangkan, berapa nilai barang-barang itu. Apalagi Pangeran Ranakusuma masih juga menyertakan uang di dalam kampil untuk Kiai Danatirta.
Buntal terkejut ketika Juwiring berkata, “He Buntal, kau dapat memilih. Manakah yang paling sesuai bagimu?”
Anak muda itu memaksa bibirnya untuk tersenyum. Katanya, “Aku sesuai dengan semuanya itu”
Juwiring tertawa pendek. Lalu, “Kita akan memilih sendiri mana yang kita sukai dari kiriman-kiriman ini” ia berhenti sejenak, lalu, “dan yang paling berhak memilih lebih dahulu adalah Buntal, selain yang memang khusus untuk Arum, karena Barang-barang ini hampir saja lenyap dibawa penyamun. Bukan saja Barang-barang ini, tetapi bahkan jiwa paman Dipanala sendiri”
“Ya” sahut Arum, “tanpa kau kakang Buntal, maka kita tidak akan melihat paman Dipanala membawa barang-barang ini sampai ke padepokan”
“Ah” Buntal berdesah, “hanya suatu kebetulan”
“Bukan suatu kebetulan saja. Jika kau tidak tertarik kepada orang yang berpakaian petani itu, maka yang terjadi akan berbeda sekali”
Buntal tidak menyahut.
“Nah pilihlah. Kemudian aku akan memilih pula setelah Kiai Danatirta dan tentu saja kita tidak akan dapat melupakan paman Dipanala. Hidupnya sendiri tidak begitu baik. Ia menerima upah yang sangat sedikit dari ayahanda. Tetapi ia adalah orang yang setia”
Dalam pada itu, selagi anak-anak muda di dalam sedang sibuk membicarakan Ki Dipanala, di pendapa, Kiai Danatirta mulai bertanya bersungguh-sungguh, “Dipanala. Apakah kau benar-benar tidak dapat menduga, siapakah yang sudah melakukannya dan apakah kau tidak mendapatkan tanda apapun dalam perkelahian itu?”
Ki Dipanala memandang pintu yang sudah tertutup. Kemudian ia berkata lambat, “Mungkin aku dapat menduga kakang. Tetapi sekedar menduga. Jika dugaanku salah, maka aku sudah berdosa menuduh orang yang tidak bersalah”
“Tetapi bukankah kau belum berbuat apa-apa” sahut Kiai Danatirta, “Kita baru menduga. Tentu saja dugaan kita mungkin keliru”
Ki Dipanala itu pun tiba-tiba berdiri. Katanya, “Aku membawa anak panah yang menghunjam di dada orang yang terbunuh itu”
Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menyahut Ki Dipanala sudah melangkah turun dari pendapa.
Dari pelana yang dilepasnya dari punggung kudanya, ia mengambil sepucuk anak panah dan dibawanya naik ke pendapa. Ia berhenti sejenak di bawah nyala pelita. Sambil mengerutkan keningnya ia mengamat-amatinya dengan saksama.
“Kau mengenalnya?” bertanya Kiai Danatirta.
Ki Dipanala pun kemudian duduk kembali di hadapan Kiai Danatirta. Keningnya masih berkerut-merut Sedang tatapan matanya menjadi agak tegang,
“Bagaimana?”Kiai Danatirta mendesak.
“Kakang, ada semacam perasaan takut padaku untuk menerima kenyataan ini. Aku memang sudah mencurigainya. Pemberian Pangeran Ranakusuma yang berlebih-lebihan dan caranya melepaskan aku pergi ketika aku berangkat”
“Jadi bagaimana?”
“Semula aku tidak memikirkannya, bahwa Raden Ayu Galihwarit berusaha memperlambat keberangkatanku. Ada-ada saja alasannya, sehingga aku akhirnya berangkat sesudah lewat tengah hari, bahkan sudah sore hari. Dengan demikian menurut perhitungan mereka, aku akan sampai di bulak Jati Sari setelah gelap”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk ketika Ki Dipanala menceriterakan kembali, bagaimana sikap Raden Ayu Galihwarit sebelum ia berangkat.
“Dan anak panah itu?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia mengamat-amati anak panah yang bernoda darah itu.
“Ada seribu anak panah yang mirip bentuknya” berkata Ki Dipanala.
“Ya” sahut Kiai Danatirta, “barangkali kau tidak akan dapat mengenal anak panah sebuah demi sebuah. Tetapi apakah sepintas lalu, kau pernah melihat anak panah seperti itu?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin belum. Tetapi aku sudah dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi sebelumnya, sehingga karena itu, aku merasa seakan-akan aku mengenal anak panah ini”
Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Katanya, “Ya, kau memang takut melihat kenyataan. Kau kecewa sekali bahwa hal semacam itu sudah terjadi atasmu, sehingga kau berusaha untuk mengaburkan penglihatanmu atas kenyataan itu. Ternyata kau masih seorang yang setia terhadap Pangeran Ranakusuma. meskipun ada semacam persoalan yang bergejolak di dalam hatimu. Tetapi kesetiaanmu ternyata berbeda dengan kesetiaan Sura pada waktu itu dan mungkin Mandra pada waktu ini. Kau adalah seorang yang benar-benar setia. Bukan sekedar menjilat dan menundukkan kepala dalam-dalam. Tetapi kau berani menyebut kesalahan dan kecurangan keluarga istana Ranakusuman justru karena kesetiaanmu itu. Tetapi tidak banyak orang yang mengerti, bahwa demikianlah adanya. Justru karena itulah, maka kau menjadi orang yang paling dibenci di Ranakusuman”
“Mungkin kakang benar. Aku memang cemas dan bahkan takut melihat perkembangan yang terjadi di istana Ranakusuman. Mungkin aku memang orang yang setia, yang ingin memperingatkan dengan niat baik. Kadang-kadang aku mencoba mencegah dan bahkan aku menghalang-halangi”
“Kenapa mereka tidak mengusir kau saja daripada mereka harus bertindak kasar dan licik semacam itu? Meskipun kau belum mengatakan, tetapi aku sudah menduga, apa yang ada di dalam hatimu. Yang menakut-nakutimu dan yang membual kau menghindari penglihatanmu atas kenyataan itu”
Ki Dipanala tidak menyahut.
“Ki Dipanala, apakah anak panah itu. anak panah Raden Rudira?”
Ki Dipanala tidak segera menyahut. Wajahnya menjadi kemerah-merahan. Sesuatu agaknya sedang bergejolak di dalam hatinya.
Sejenak kemudian terdengar suaranya parau, “Aku tidak tahu kakang. Aku tidak tahu”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kali ini kau tidak usah mengingkari kata hatimu Dipanala. Kau sudah berada di ujung tanduk seekor kerbau liar yang dungu. Kau harus melihat kenyataan itu dengan dada terbuka”
Ki Dipanala tidak segera menjawab.
“Menurut urutan ceriteramu Dipanala, ternyata bahwa orang-orang di istana Ranakusuman, Setidak-tidaknya sebagian dari mereka memang berusaha membunuhmu. Kau tidak disukai di Ranakusuman, tetapi mereka tidak dapat mengusirmu. Dan kau juga tidak dapat meninggalkan mereka seperti Sura, karena kau bukan sekedar penjilat yang akan lari jika tidak ada lagi tulang-tulang yang dilemparkan kepadanya. Kau adalah seorang yang sadar akan diri dan harga dirimu” Kiai Danatirta berhenti sejenak! lalu, “Namun demikian kau pun harus melihat kenyataan yang dapat terjadi”
Ki Dipanala menjadi tegang sejenak. Namun kemudian kepalanya terangguk-angguk kecil.
“Dipanala. Sebenarnya kau dan aku sependapat. Setidak-tidaknya kita menduga, benar atau salah, bahwa ada yang dengan sengaja menjerumuskan kau ke dalam suatu perangkap pembunuhan. Salah atau benar, kita sama-sama menduga bahwa yang berusaha menutup mulut penyamun itu untuk selama-lamanya adalah orang-orang Ranakusuman. Karena kita tahu, bahwa Raden Rudira adalah seorang pemburu yang cakap, maka ia akan dapat membidik dengan tepat meskipun di malam hari”
Kepala Ki Dipanala menjadi semakin tunduk. Kata-kata Kiai Danatirta itu bagaikan guruh yang melingkar-lingkar di kepalanya. Namun ia tidak dapat lari dari suara itu, karena di dalam hatinya suara itu pun telah berkumandang sebelum Kiai Danatirta mengucapkannya.
“Bagaimana menuruti pendapatmu Dipanala?” Ki Dipanala masih terdiam sejenak.
“Apakah kau tidak berani melihat hal itu?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam sekali. Katanya, “Aku memang takut melihatnya. Tetapi aku tidak dapat lari dari pengakuan itu”
“Kau sependapat?”
Ki Dipanala menganggukkan kepalanya, “Ya kakang”
“Nah, jika kau sependapat, maka kita akan dapat melihat lebih jauh lagi. Kenapa di saat kau dijerumuskan ke dalam tangan para penyamun justru kau harus membawa barang-barang yang cukup banyak beserta uang sekampil?”
Ki Dipanala menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu kakang. Mungkin orang-orang yang ingin membunuhku itu benar-benar membuat kesan, seakan-akan aku telah dirampok”
“Jika barang-barang itu hilang, atau jika kau sama sekali tidak membawa apa-apa, bukankah sama saja akibatnya bagi orang lain yang menemukan kau mati di tengah bulak?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi ia menggeleng, “Aku tidak mengerti. Perhitungan apakah yang membuat mereka berbuat demikian”
“Kita memang tidak dapat menebak semua teka-teki dari percobaan pembunuhan ini. Tetapi bersyukurlah kepada Tuhan bahwa kau telah terlepas dari bencana”
Ki Dipanala tidak segera menyahut. Namun ia pun menyadari bahwa ia masih dilindungi oleh Tuhan Yang Tunggal, sehingga ia selamat dari tangan para penyamun itu, dengan membiarkan Buntal tetap berada di sawah meskipun langit menjadi buram, karena ia melihat orang yang berpakaian seperti petani dari Sukawati itu.
“Semua itu adalah kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” katanya di dalam hati.
“Dipanala” berkata Kiai Danatirta kemudian, “Jika kita tetap tidak dapat memecahkan teka-teki tentang barang-barang yang justru kau bawa, apakah kau dapat mencari alasan, kenapa kau akan dibunuhnya? Apakah sekedar karena kau pernah berusaha mencegah Raden Rudira membawa Arum?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku dan Sura memang pernah diikat pada sebatang pohon di halaman istana Pangeran Ranakusuma. Aku dan Sura akan mendapat hukuman cambuk di hadapan para abdi di Ranakusuman”
“Tetapi bukankah keluarga Sura dan keluargamu tinggal di dalam dan di belakang halaman istana itu?”
Ki Dipanala mengangguk.
“Jadi bagaimana jika keluargamu, anak-anakmu dan anak-anak Sura melihatnya?”
“Mungkin memang itulah yang dimaksudkannya”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam.
“Tetapi aku dapat memaksa Pangeran Ranakusuma dan isterinya yang cantik itu untuk mengurungkan niatnya” desis Dipanala.
“Itulah yang aku heran. Kadang-kadang kau berhasil memaksakan pendapatmu” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Tetapi hal itu pulalah agaknya yang telah membuat mereka ingin membunuhmu. Memang ada dua kemungkinan. Raden Rudira yang membencimu karena ayahandanya selalu mendengarkan kata-katamu atau Pangeran Ranakusuma sendiri atau Raden Ayu Galihwarit lah yang ingin membunuhmu, karena kau terlampau berpengaruh atas mereka karena sesuatu sebab”
“Agaknya kedua-duanya kakang. Meskipun yang satu tidak tahu alasan yang tepat dari yang lain, namun ada semacam pertemuan pendapat, bahwa aku memang harus dilenyapkan. Raden Rudira tentu tahu rencana ini, ternyata jika dugaan kita benar, maka ia telah membunuh penyamun itu. Menurut dugaanku pula Raden Ayu Galihwarit pun tahu akan rencana ini, karena ia telah memperlambat keberangkatanku”
“Bagaimana dengan Pangeran Ranakusuma?”
Ki Dipanala menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu kakang. Tetapi tampaknya Pangeran Ranakusuma acuh tidak acuh saja atas rencana ini”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk pula. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi apakah alasan Raden Ayu Galihwarit? Apakah seperti juga Raden Rudira yang sakit hati karena Pangeran Ranakusuma selalu mendengar kata-katamu, “
Ki Dipanala terdiam sejenak. Sekali lagi ia berpaling memandang piatu yang sudah tertutup.
“Kakang, dimanakah anak-anak itu?”
“Mereka ada di dalam. Agaknya mereka sedang sibuk dengan barang-barang kiriman yang kau bawa. Selama ini mereka hanya mengenal kain lurik yang kasar. Sedang yang kau bawa adalah kain yang halus dan barang-barang yang jarang dan bahkan hampir tidak pernah dilihat oleh Arum dan Buntal”
Ki Dipanala mengangguk-angguk pula. Tetapi seakan-akan ia tidak yakin bahwa anak-anak itu tidak mendengar pembicaraan itu.
“Ada yang ingin aku katakan kakang. Tetapi aku berharap agar anak-anak itu tidak mendengarnya. Pengaruhnya agak kurang baik bagi mereka”
Kiai Danatirta pun mengangguk. Agaknya yang akan dikatakan oleh Ki Dipanala adalah suatu rahasia yang lama disimpannya.
“Sebenarnya aku tidak ingin mengatakannya kepada siapapun. Juga kepada kakang, orang yang paling aku percaya. Tetapi karena tindakan yang telah diambilnya adalah suatu pembunuhan, maka ada baiknya orang lain mengetahuinya. Jika pada suatu saat aku benar-benar mati, maka ada orang yang tahu alasan sebenarnya atas kematianku itu”
Kiai Danatirta merenungi wajah Ki Dipanala sejenak. Kemudian ia pun berdiri sambil berkata, “Coba aku lihat anak-anak itu”
Ketika Kiai Danatirta masuk ke ruang dalam, maka ternyata ruangan itu sudah sepi. Barang-barang yang-semula di bentang selembar demi selembar, telah tersusun rapi dan diletakkan dalam tumpukan yang teratur di geledeg. Bahkan di sampingnya terletak kampil yang berisi uang.
Kiai Danatirta menarik nafas. Anak-anak, itu tentu menganggap bahwa tidak akan ada seorang pun yang akan mengusik Barang-barang itu. Apalagi mengambilnya, karena padepokan ini memang tidak pernah kehilangan karena tangan seseorang. Jika ada barang yang hilang itu hanyalah disebabkan kekurang telitian dari antara mereka yang menyimpan Barang-barang itu dan barang itu tidak dapat diketemukan lagi. Tetapi mungkin sebulan dua bulan barang yang hilang itu tanpa disengaja telah dijumpai oleh seseorang yang justru tidak sedang mencarinya.
Dengan hati-hati Kiai Danatirta pergi ke bilik Arum. Dilihatnya dari sela-sela daun pintu yang tidak tertutup rapat, gadis itu telah terbaring di pembaringannya meskipun agaknya belum tertidur.
Dari bilik Arum, Kiai Danatirta pergi ke bilik Juwiring dan Buntal. Keduanya pun sudah ada pula di dalam biliknya, meskipun keduanya masih berbicara tentang sesuatu.
Kiai Danatirta itu pun segera kembali ke pendapa. Mereka sengaja berbicara di pendapa, tidak di pringgitan, agar tidak mudah orang lain ikut mendengarnya justru karena pendapa itu terbuka.
“Kakang” berkata Ki Dipanala kemudian, “sebenarnya ceritera ini sudah berlangsung lama. Dan karena ceritera inilah maka aku seakan mempunyai pengaruh di Ranakusuman meskipun aku tidak disukai oleh siapapun juga”
Kiai Danatirta tidak menyahut. Dibiarkannya Ki Dipanala meneruskan ceriteranya.
“Adalah suatu kebetulan pula bahwa aku melihat hal itu terjadi. Dan karena itu pula aku seakan-akan mempunyai perbawa atas Raden Ayu Galihwarit. Sebenarnya aku sama sekali tidak berniat untuk memerasnya. Aku sudah berjanji untuk merahasiakan apa yang sudah terjadi itu. Namun agaknya Raden Ayu. Galihwarit selalu dihantui oleh bayangannya sendiri, la selalu curiga kepadaku. Bertahun-tahun hal itu terjadi. Tetapi pada suatu saat, karena persoalan-persoalan lain yang berkembang, agaknya sampai juga suatu keputusan pada Raden Ayu Galihwarit untuk membunuhku”
Kiai Danatirta hanya mengangguk-angguk saja. Ia ingin segera mendengar ceritera yang sesungguhnya, sehingga Raden Ayu Galihwarit harus mengambil sikap itu. Membunuh atau mendengar setiap pendapat Dipanala.
“Pada saat itu. Raden Ayu Galihwarit sedang berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk menyingkirkan Juwiring. Dengan berbagi macam cara dan hasutan, sehingga akhirnya Pangeran Ranakusuma mulai mendengar kata-kata itu” Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu, “Namun di samping itu, Raden Ayu Galihwarit mulai dihinggapi penyakit yang sekarang menjadi semakin parah”
Kiai Danatirta hanya mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk saja.
“Pada suatu malam, selagi aku pergi ke tempat seorang saudaraku, aku melihat sebuah kereta berhenti di pinggir jalan di pinggir kota, di bawah bayangan kegelapan. Aku menjadi curiga. Semula aku mengira saisnya tentu sedang mempunyai kepentingan di kegelapan. Dan menurut dugaanku kereta yang bagus itu tentu kosong. Jika ada penumpangnya, sais itu tentu tidak akan berani berhenti. Apalagi menurut dugaanku kereta itu tentu kereta seorang perwira kumpeni” Ki Dipanala berhenti sejenak, kemudian diteruskannya, “Tetapi kemudian aku melihat sais itu berdiri bersandar sebatang pohon agak jauh dari keretanya. Kemudian berjalan mondar-mandir. Aku menjadi semakin heran. Timbullah keinginanku untuk mengetahui, apakah yang sebenarnya sudah terjadi. Karena itu, dengan diam-diam aku mendekati kereta itu tanpa diketahui oleh saisnya” tiba-tiba saja Ki Dipanala menjadi tegang. Katanya, “Kakang, peristiwa berikutnya adalah peristiwa yang paling kotor yang pernah aku lihat”
“Apa?”
“Setelah aku berhasil mendekati kereta yang memang berada di kegelapan itu, aku mendengar suara di dalamnya. Suara seorang perempuan dan seorang laki-laki. Menilik warna suaranya tentu seorang laki-laki asing” nafas Ki Dipanala serasa menjadi semakin cepat mengalir, “Kakang, aku tidak tahan menyaksikan hal serupa itu. Orang asing itu telah mengotori kota ini dengan kebiadaban. Aku mengira bahwa mereka yang katanya membawa peradaban yang tinggi, ternyata memiliki tata kesopanan yang sangat rendah. Mereka akan mencemarkan nama kota ini dengan perbuatan yang kotor di jalan-jalan. Karena itu, dengan tidak sabar aku meloncat. Dengan sekuat tenaga aku tarik pintu kereta yang sekaligus terbuka” Dada Ki Dipanala menjadi seakan-akan berdebaran meskipun ia hanya sekedar berceritera. Lalu suaranya menjadi terputus-putus, “Tetapi, tetapi sama sekali tidak aku duga. Ketika pintu itu terbuka, seseorang telah terdorong dan jatuh keluar. Seorang perempuan. Kemudian disusul seorang laki-laki asing meloncat pula. Tetapi, yang sama sekali tidak aku duga. ternyata perempuan itu bukannya perempuan yang aku sangka diambilnya di pinggir jalan. Perempuan itu adalah Raden Ayu Galihwarit yang sejak sore pergi memenuhi undangan perwira asing yang mengadakan pertemuan makan bersama dengan beberapa orang bangsawan. Tetapi karena kesibukannya, maka Pangeran Ranakusuma sendiri tidak dapat datang dan membiarkan isterinya dijemput dan diantar kembali ke istana Ranakusuman. Tetapi agaknya yang mengantar Raden Ayu Galihwarit saat itu adalah seorang perwira kumpeni yang, gila dan setengah mabuk”
Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa bulu-bulunya meremang juga. Itulah sebabnya maka istana Ranakusuman menjadi penuh dengan berbagai macam barang-barang hadiah dari orang-orang asing itu. Barang-barang yang tidak terdapat di Surakarta sendiri.
Sejenak kemudian, setelah menarik nafas dalam-dalam, Ki Dipanala meneruskan, “Kakang dapat membayangkan, bagaimana perasaan Raden Ayu Galihwarit yang kemudian dibantu oleh orang asing itu berdiri memandang aku. Meskipun di dalam kegelapan, tetapi ia segera mengenal aku pula.
“Dipanala” katanya dengan suara gemetar.
Aku menjadi bingung. Tetapi aku pun kemudian mengangguk sambil menjawab, “Ya Raden Ayu”
Sejenak Raden Ayu Galihwarit memandang aku. Kemudian terdengar la menggeram, “Apakah kau sudah gila?”
“Maaf Raden Ayu, hamba tidak tahu”
“Gila. Kenapa kau mencampuri persoalan orang lain. Seandainya kau tidak tahu siapa yang ada di dalam, apakah hubunganmu dengan hal ini?”
“Ampun Raden Ayu. Hamba adalah seorang penghuni kota ini. Hamba tersinggung bahwa hal ini sudah terjadi di jalan-jalan raya di kota Surakarta yang amat hamba junjung tinggi ini”
“Tetapi itu bukan urusanmu”
“Terdorong oleh rasa tanggung jawab hamba semata-mata, atas kota ini”
“Kakang Danatirta, sebenarnya aku sudah akan berlutut minta maaf kepada Raden Ayu Galihwarit. Tetapi orang asing yang agaknya sudah dapat mempergunakan bahasa kita itu ikut memaki. “Kau memang anjing tidak tahu diri” katanya. Dan Raden Ayu itu tidak melindungi aku sama sekali, bahkan ia pun memaki, “Kau merupakan malapetaka bagiku Dipanala”
“Ampun Raden Ayu, hamba tidak akan berbuat apa-apa. Hamba akan pergi dan melupakan apa yang pernah hamba lihat ini”
Raden Ayu Galihwarit memandangku dengan tajamnya. Namun agaknya Raden Ayu Galihwarit tidak mempercayaiku.
“He anjing busuk” berkata kumpeni itu, “Kau berani mengganggu Raden Ayu dan aku ya? Kau sudah menghina aku”
“Ia sangat berbahaya bagiku” berkata Raden Ayu Galihwarit kepada orang asing itu.
“Jadi apakah maksud Raden Ayu orang ini dilenyapkan saja?”
Dadaku berdesir mendengar pertanyaan itu. Dan apalagi setelah aku mendengar jawabnya, “Terserahlah kepada tuan”
Hatiku bergejolak mendengar orang asing itu tertawa. Apalagi ketika tiba-tiba saja tangannya meraba sesuatu di balik bajunya. Aku tahu, bahwa ia mengambil senjata api. Jika senjata api itu meletus, sebutir peluru akan menembus dadaku dan aku akan mati seketika, sedang tidak akan seorang pun di sekitar tempat itu yang akan berani berbuat sesuatu, karena mereka sadar bahwa suara itu adalah suara senjata yang sangat menakutkan.
Tetapi alangkah takutnya aku kepada mati pada waktu itu. Kematian bagiku lebih menakutkan daripada kumpeni itu dan juga daripada Raden Ayu Galihwarit. Itulah sebabnya aku tiba-tiba saja berbuat sesuatu untuk menghindarkan diri dari kematian.
Ketika aku melihat tangan orang asing itu menggenggam benda yang menakutkan itu tiba-tiba saja aku kehilangan pertimbangan lain. Aku menganggap bahwa membela diri adalah jalan satu-satunya untuk melepaskan diri dari ketakutanku akan mati. Karena itu ketika orang asing itu mengacungkan senjatanya kepadaku, tiba-tiba saja aku meloncat. Dengan kakiku aku berhasil menghantam perge-langan tangannya sehingga senjata itu terloncat dari tangannya sebelum meledak.
Tetapi orang asing itu sama sekali tidak kehilangan akal. iapun segera mencabut pedangnya yang panjang. Dengan serta merta ia mencoba menusuk dadaku dengan pedang itu. Untunglah aku masih sempat menghindar. Namun ia benar-benar bertekad membunuhku, sehingga ia pun segera memburu.
Aku pun telah bertekad membela diriku. Karena itu maka tiba- tiba saja kerisku sudah berada di dalam genggaman tanganku.
Ternyata bahwa orang asing itu tidak begitu pandai berkelahi. Ia hanya dapat mengayun-ayunkan pedangnya. Tetapi kakinya seolah-olah mati. Ia mempercayakan tata geraknya pada gerak tangannya. Tetapi aku tidak demikian bodohnya. Aku mempergunakan semua anggauta badan kita. Kaki dan tangan. Karena itu, ketika aku meloncat-loncat ia menjadi bingung.
Aku sendiri tidak ingat lagi. Aku sadar ketika aku mendengar orang asing itu mengeluh tertahan. Suaranya serak dan kemudian hilang ditelan sepinya malam. Yang terdengar kemudian adalah suara tubuh itu roboh di tanah. Mati. Ternyata aku telah menusuknya tepat di dadanya.
Raden Ayu Galihwarit melihat perkelahian itu dengan tubuh gemetar. Dengan suara yang parau ia berkata, “Kau gila Dipanala. Kau dapat dibunuh oleh kumpeni. Kau sudah membunuh seorang perwira. Dan kau akan menebus kebodohanmu”
“Tidak ada orang yang melihat pembunuhan ini”
“Aku dan sais itu”
Aku berpaling. Aku lihat sais itu pun ketakutan berdiri di sisi sebatang pohon yang besar.
“Sais itu tidak mengenal hamba” kataku. Aku tidak tahu dari mana aku mempunyai keberanian untuk berbantah dengan Raden Ayu Galihwarit.
“Aku mengenalmu. Aku dapat mengatakan kepada Pangeran Ranakusuma dan kepala pimpinan kumpeni bahwa kau telah membunuh salah seorang dari mereka”
“Raden Ayu tidak akan mengatakannya”
“Kenapa tidak? Aku akan mengatakannya. Dan kau akan digantung di alun-alun, atau dipancung di perapatan”
Tetapi aku tetap menggeleng dan berkata perlahan-lahan, “Jangan terlalu keras Raden Ayu. Hamba tidak mau sais itu mendengar dan mengetahui tentang hamba”
“Aku akan mengatakan. Aku akan mengatakan”
“Raden Ayu tidak akan mengatakan. Baik kepada kumpeni, kepada Pangeran Ranakusuma maupun kepada sais itu. Bukankah dengan demikian Raden Ayu akan membuka rahasia Raden Ayu sendiri? Selama ini Pangeran Ranakusuma kadang-kadang bertanya-tanya juga, kenapa Raden Ayu sering sekali mengunjungi makan bersama dengan orang-orang asing itu meskipun pada saat-saat Pangeran Ranakusuma berhalangan. Ternyata justru saat-saat yang demikian itulah yang menyenangkan bagi Raden Ayu. Apakah Raden Ayu tidak mengetahui, bahwa perasaan seorang suami kadang-kadang tergetar jika isterinya berbuat seperti apa yang Raden Ayu lakukan meskipun tidak melihatnya sendiri? Apakah Raden Ayu tidak mencemaskan kemungkinan yang buruk bagi Raden Ayu jika Pangeran Ranakusuma mengetahui hal ini”
“Tidak ada yang mengetahuinya”
“Hamba dan sais itu. Jika tuan berusaha menjerumuskan hamba ke tiang gantungan atau hukuman apapun, maka hamba pun akan sampai hati pula mengatakan kepada siapapun tentang Raden Ayu”
“Kumpeni tidak akan percaya. Seandainya percaya, maka mereka pasti akan merahasiakannya, karena banyak sekali di antara mereka yang terlibat dalam keadaan yang sama. Bahkan bukan dengan aku sendiri. Ada puteri-puteri bangsawan yang lain yang melakukan seperti yang aku lakukan”
“Tetapi Raden Ayu lah yang paling menonjol di antara mereka itu”
“Tutup mulutmu”
“Dan Raden Ayu pun akan menutup mulut. Jika Raden Ayu sampai hati membunuh hamba, hamba pun akan sampai hati mengatakan yang terjadi. Mungkin Kumpeni tidak akan mempercayai bahwa ada perwira-perwiranya yang berbuat demikian, atau dengan sengaja menyembunyikan kenyataan itu, karena sebagian besar dari mereka terlibat. Namun hati Pangeran Ranakusuman pasti akan terketuk. Jika Pangeran Ranakusuma menangkap getaran isyarat dalam lubuk hatinya, maka tuan akan mengalami nasib yang kurang baik. Bukankah isteri Pangeran Ranakusuma tidak hanya seorang? Dan bukankah isteri yang lain meskipun tidak selincah Raden Ayu tetapi ia adalah seorang isteri yang setia? Dan apakah tuan tahu, betapa pahitnya perasaan seorang suami jika mengetahui bahwa isterinya tidak setia seperti Raden Ayu meskipun Pangeran Rana Kusuma adalah seorang suami yang longgar, yang memberi banyak kesempatan kepada Raden Ayu untuk keluar rumah tanpa suaminya. Apalagi tuan sudah berbuat tidak senonoh dengan seorang asing, seorang bule”
“Diam, diam”
“Jangan berteriak.” Aku mencegah. Tetapi wajah Raden Ayu Galihwarit menjadi pucat.
“Nah Raden Ayu” kataku kemudian, “terserahlah kepada Raden Ayu. Sebelum ada orang yang mengetahui tentang aku, maka aku akan pergi. Tetapi jika hamba ditangkap oleh siapapun juga karena membunuh kumpeni, hamba akan mengatakannya juga kepada siapapun. bahwa tuan sudah berbuat sesat. Maka nama Raden Ayu, seorang puteri bangsawan yang menjadi isteri seorang Pangeran pula akan tercemar. Dan tuan akan tersisih dari pergaulan. Mungkin Raden Ayu akan disingkirkan dari Ranakusuman dan ayahanda Raden Ayu tidak akan menerima Raden Ayu lagi. Dengan demikian Raden Ayu akan dapat membayangkan apa yang akan terjadi pada Raden Ayu. Terasing dan dihinakan oleh seluruh rakyat Surakarta. Yang terbayang pada Raden Ayu hanyalah tinggal satu jalan, semakin jauh terperosok ke dalam kesesatan”
“Tidak, tidak” tiba-tiba Raden Ayu Galihwarit menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Terdengar isak tangisnya tertahan-tahan.
“Sudahlah Raden Ayu” kataku kemudian aku akan pergi dan hentikan semuanya yang pernah Raden Ayu lakukan, mumpung belum ada seorang pun yang mengetahui dari keluarga tuan. Dari keluarga Ranakusuman, apalagi putera Raden Ayu yang meningkat dewasa itu”
Aku tidak menghiraukannya lagi. Aku pun segera pergi meninggalkannya. Meninggalkan Raden Ayu Galihwarit yang sering disebut Raden Ayu Sontrang itu, dan mayat seorang kumpeni di pinggir jalan yang sepi. Aku tidak peduli lagi kepada sais yang aku sangka ketakutan itu”
“Kenapa sekedar kau sangka?” tiba-tiba Kiai Danatirta bertanya.
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Kiai Danatirta sejenak, lalu, “Ceriteranya masih panjang kakang. Apakah kakang tidak menjadi jemu?”
“Ceriterakanlah” berkata Kiai Danatirta kemudian. Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. “Aku ingin mendengar kelanjutan ceriteramu. Nanti saja kau makan hidangan yang ada. Sekarang kau berceritera terus”
Ki Dipanala tersenyum. Namun dari matanya memancar perasaannya yang pahit mengenangkan apa yang pernah terjadi itu.
“Jadi, aku sudah membunuh seorang kumpeni kakang”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah yang ingin aku katakan. Jadi perwira kumpeni yang mati itu kaulah yang membunuhnya?”
Ki Dipanala mengangguk.
“Ternyata Raden Ayu Galihwarit benar-benar tidak membuka rahasiamu”
“Ya kakang. Raden Ayu Galihwarit tidak membuka rahasiaku. Ia tidak mengatakannya kepada siapapun. Dan aku pun memenuhi janjiku pula. Aku merahasiakannya. Tidak seorang pun yang pernah mengetahui hal itu terjadi. Kepada kakang pun baru sekarang aku mengatakannya” Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu, “Agaknya sesuatu telah menggerakkan hati Pangeran Ranakusuma. Tetapi, meskipun ia mulai curiga, bahkan anak laki-lakinya itu pun mulai bertanya-tanya tentang tabiat ibunya, namun Pangeran Ranakusuma itu masih saja membiarkannya berbuat demikian. Mungkin Pangeran itu ingin menemukan bukti-bukti yang mantap”
“Jadi Raden Ayu itu tidak sembuh meskipun kau pernah menemukannya?”
“Hanya untuk beberapa waktu. Tetapi penyakit, itu kambuh kembali. Namun aku semula tidak mempedulikannya lagi. Aku tidak akan mencampuri persoalannya. Jika aku membunuh orang asing itu, sama sekali bukan karena aku ingin mencampuri persoalan Raden Ayu Galihwarit meskipun hatiku menjadi sakit sekali”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk.
“Dan sais itu pun tidak mengatakan kepada siapapun juga tentang kau dan tentang Raden Ayu Sontrang?”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sekarang tidak dapat berkata kepada siapapun juga”
“Kenapa?”
“Ia sudah mati”
“Mati?”
“Ya”
“Apakah Raden Ayu Galihwarit mencurigainya dan menyuruh seseorang membunuhnya”
Sejenak Ki Dipanala termenung. Namun kemudian katanya-lambat, “Akulah yang membunuhnya”
“Kenapa kau?”
“Sais itu sebenarnya sama sekali tidak ketakutan ketika aku membunuh orang asing itu. Meskipun ia tidak mengatakan kepada siapapun juga, namun ia mempunyai maksud tertentu” Ki Dipanala berhenti sejenak, “kakang, bukankah saat itu Surakarta menjadi gempar? Tetapi saat itu Raden Ayu Galihwarit mengatakan, bahwa ia tidak tahu menahu tentang pembunuhan itu. Tiba-tiba saja ketika orang asing itu mengantarkannya pulang seperti dipesankan oleh Pangeran Ranakusuma. ia sudah diserang oleh seseorang yang tidak dikenalnya”
“Tetapi” Kiai Danatirta memotong, “Apakah tidak seorang pun yang bertanya, kenapa kereta itu lewat jalan yang sepi di pinggir kota?”
“Beberapa orang telah mencurigai sais itu kakang. Bahwa ia dengan sengaja telah mengumpankan perwira kumpeni itu. Mereka mempertimbangkan, bahwa orang-orang yang duduk di dalam kereta, tidak mengetahui, jalan manakah yang sudah mereka lewati karena mereka tidak memperhatikannya. Apalagi orang asing itu masih belum begitu mengenal jalan-jalan di Surakarta. Tetapi Raden Ayu Galihwarit yang mencemaskan nasibnya sendiri, bahwa sais itu akan berceritera tentang dirinya, mencoba membelanya. Menurut Raden Ayu Galihwarit, orang asing itu memang ingin melihat beberapa bagian dari kota Surakarta”
“Di malam hari?”
“Di siang hari ia tidak mempunyai waktu lagi. Apalagi malam masih belum terlampau larut”
“Apa tidak ada seorang pun yang justru mencurigai Raden Ayu Galihwarit?”
“Kumpeni-kumpeni itu yakin, kalau perempuan bangsawan itu dapat dipercaya”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Lalu, “Tetapi bagaimana sais itu kemudian terbunuh? Apakah Raden Ayu Galihwarit mengupahmu?”
Ki Dipanala menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak menerima upah dan aku memang bukan seorang pembunuh. Tetapi agaknya Raden Ayu Galihwarit tidak mau melibatkan orang lain lagi di dalam persoalan ini. Itulah sebabnya ia datang kepadaku dan minta kepadaku, agar aku membunuh sais itu”
“Apakah sais itu akan membuka rahasia?”
Ki Dipanala mengangguk, “sais itu mengancam akan membuka rahasia”
“Ia memeras?”
“Ya”
“Barangkali itulah yang ditakutkan atasmu. Mungkin pada suatu saat kau akan memerasnya juga. Setelah sais itu, maka datang giliranmu untuk disingkirkan”
Ki Dipanala mengangguk-angguk. Jawabnya, “Kakang benar”
“Apakah sais itu memeras harta benda Ranakusuman”
“Jika demikian, aku sudah berjanji untuk tidak mencampuri persoalan itu. Tetapi sikapnya yang sangat menyinggung perasaan itulah yang membuat aku marah dan membunuhnya. Apalagi ia dengan sengaja melawan aku. Karena itu, sebenarnya ia bukan seorang penakut yang gemetar melihat aku membunuh orang asing itu”
“Jadi apa yang diperas?”
“Itulah yang gila, sais yang masih muda itu telah memeras Raden Ayu Galihwarit”
“Ya, tetapi apakah yang ingin didapatkannya dari Raden Ayu itu?”
“Raden Ayu itu sendiri”
“He” Kiai Danatirta benar-benar terkejut mendengar jawaban Ki Dipanala.
“Ya kakang. Yang diinginkan oleh sais itu adalah Raden Ayu Galihwarit yang meskipun lebih tua daripada sais itu, namun kesegarannya telah membuat sais itu menjadi gila. Sais itu ingin berbuat terlalu banyak atas Raden Ayu Galihwarit seperti orang asing yang telah aku bunuh itu”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam sambil mengusap dadanya. Katanya, “Apakah dunia ini benar-benar sudah hampir kiamat? Kenapa hal yang serupa itu dapat terjadi diatas bumi Surakarta ini”
“Ya kakang. Itulah yang telah memuakkan aku. Jika Raden Ayu Galihwarit menolak, maka ia akan membuka rahasia pembunuhan itu kepada kumpeni dan kepada Pangeran Ranakusuma serta membuka rahasia hubungan Raden Ayu Galihwarit dengan orang-orang asing yang banyak diketahuinya”
“Dan kau percaya begitu saja? Mungkin itu hanya sekedar ceritera Raden Ayu Galihwarit untuk memaksamu membunuh sais itu”
“Semula aku menyangka demikian kakang. Tetapi ternyata tidak. Ketika hal itu aku tanyakan langsung kepada Raden Ayu Galihwarit, maka ia bersedia membuktikan apa yang dikatakannya”
“Apa yang sudah dilakukannya?”
“Ia memberitahukan kepadaku, apa yang harus dilakukannya untuk memenuhi niat sais yang gila itu. Sais itu akan menjemput Raden Ayu Galihwarit seolah-olah ia mendapat perintah dari kumpeni. Raden Ayu Galihwarit harus berusaha agar ia pergi seorang diri tanpa emban atau pengawal seperti yang sering dilakukan jika ia dijemput oleh orang-orang asing dari rumahnya. Orang asing yang banyak memberi harapan bagi Pangeran Ranakusuma dan banyak memberikan kecemerlangan bagi istananya, sehingga Pangeran Ranakusuma tidak dapat melarang, jika isterinya pergi mengunjungi pertemuan yang diselenggara-kan oleh kumpeni, apalagi penyelenggaraan itu dilakukan di rumah para bangsawan pula” Ki Dipanala berhenti sejenak, lalu, “Tetapi saat yang ditentukan itu sama sekali bukan atas perintah kumpeni tetapi atas kehendak sais itu sendiri”
“O. Dosa itu berkembang begitu cepatnya”
“Ya kakang. Dan aku harus melindungi dosaku dengan dosa baru yang harus aku lakukan. Aku harus membunuh lagi”
Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku harus menunggu di tempat yang sudah ditentukan oleh sais itu sendiri menurut petunjuk Raden Ayu Galihwarit, yang ternyata adalah sebuah pondok kosong milik orang tua sais yang gila itu. Di dalam pondok itu aku harus menanti dengan hati yang berdebar”
“Dan mereka datang?” Kiai Danatirta menjadi tidak sabar.
“Ya. Ketika senja mulai turun aku mendengar derap kaki kuda. Justru sebelum gelap. Langit masih merah oleh sisa cahaya matahari yang tersangkut di tepi gumpalan awan yang mengapung di langit”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam.
“Sebenarnyalah bahwa dada ini akan retak oleh kemuakan ketika aku mendengar mereka mendekati pintu rumah sais yang kosong itu” Ki Dipanala berhenti sejenak. Kemudian katanya, “Silahkan Raden Ayu” berkata sais itu di luar pintu. Suaranya benar-benar membuat kepala pening kakang”
Kiai Danatirta menahan nafasnya.
Dan Ki Dipanala meneruskan, “Aku mencoba menahan nafas ketika aku mendengar pintu berderit terbuka. Dan aku dengar Raden Ayu Galihwarit mengumpat, “Kau gila. Kau akan dibunuh oleh Pangeran Ranakusuma”
Tetapi sais itu tertawa, “Tuan tidak akan mengatakannya seperti yang dikatakan oleh pembunuh orang asing itu”
“Gila, kau dengar percakapan kami”
“Aku dengar Raden Ayu”
“Tetapi kalau kau masih menggangguku, kau akan menyesal” berkata Raden Ayu itu.
“Kenapa tidak. Setiap saat kita dapat singgah ke rumah ini. Jika tuan puteri akan melayani orang-orang bule itu, tuan puteri akan aku persilahkan singgah dahulu. Bukankah aku berkulit sawo matang seperti Raden Ayu, dan orang-orang asing itu berkulit semerah kulit manggis dan jauh lebih kasar dari kulitku”
“Gila, kau memang gila. Aku tidak mau berbuat gila seperti itu?”
“Raden Ayu tidak mempunyai pilihan lain”
“O” terdengar Raden Ayu Galihwarit menahan tangisnya.
“Jangan menangis Raden Ayu. Marilah kita hayati satu-satunya pilihan yang dapat tuan puteri lakukan agar aku tidak mengambil keputusan lain”
“Kau lebih baik membunuh aku, “ tangis Raden Ayu itu.
“Silahkan duduk. Bukankah aku harus mengantar Raden Ayu kembali setelah gelap? Sebaiknya kita tidak membuang waktu”
Aku mendengar suara Raden Ayu Galihwarit gemetar. Mula-mula aku menjadi ragu-ragu untuk bertindak. Mungkin Raden Ayu itu memang harus menanggung dosanya dan mendapat hukuman karenanya.
Tetapi aku tidak dapat menahan perasaan muak yang menyesak dada ini, sehingga karena itu, maka nafasku pun menjadi tersengal-sengal.
Bahkan bukan saja perasaan muak. tetapi juga oleh kekhawatiran, bahwa apabila orang itu dikecewakan oleh Raden Ayu Galihwarit pada suatu saat, dimana puteri bangsawan itu sudah tidak dapat bertahan lagi mengalami pemerasan yang paling parah itu, maka ia akan sampai pada suatu keputusan untuk membuka rahasia Raden Ayu Galihwarit dan rahasiaku sendiri. Sais yang gila itu tentu tidak akan mempedulikan lagi, malapetaka apa yang akan aku alami dan kehinaan yang akan dihayati oleh Raden Ayu Galihwarit. Meskipun jika Raden Ayu Galihwarit membuka rahasia tentang sais itu sendiri, ia akan dapat dihukum mati pula”
Kiai Danatirta masih mengangguk-angguk. Tetapi terasa kulit di seluruh tubuhnya meremang. Yang terjadi itu adalah hukuman yang paling laknat bagi Raden Ayu Galihwarit.
“Dan kau tidak membiarkannya terjadi?”
Ki Dipanala menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Hatiku bagaikan terpecah-pecah. Aku tidak dapat membiarkannya terjadi. Ketika kegilaan sais itu menjadi semakin meretakkan dada ini, tiba-tiba saja aku sudah meloncat masuk ke ruangan itu. Meskipun Raden Ayu Galihwarit mengetahui bahwa aku ada di rumah itu pula, tetapi kehadiranku di ruang itu membuatnya terpekik kecil. Sejenak wajahnya menjadi merah. Namun kemudian sepercik harapan tampak di matanya.
Sais itu pun terkejut bukan kepalang. Seperti yang aku duga. bahwa ia tidak akan menjadi ketakutan dan berdiri gemetar. Ternyata kehadiranku membuatnya marah bukan buatan.
“Kau” geramnya.
“Aku pun sudah dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap, sehingga aku menjawab kasar Aku datang untuk menghentikan kegilaan ini”
“Kau sudah membunuh orang asing itu. Apakah kau juga aku membunuh aku” sais itu bertanya.
“Ya”
Tetapi ternyata orang itu tidak takut sama sekali. Bahkan ia pun tertawa sambil berkata, “Kau sangka aku menjadi ketakutan seperti yang kau lihat di bawah pohon pada saat kau membunuh orang asing itu”
“Aku tidak peduli”
“Jangan menyesal kalau kaulah yang akan mati. Memang sepantasnya kau mati, supaya tidak ada orang lain yang akan memeras lagi kepada Raden Ayu Galihwarit, karena jika kau berhasil membunuh aku, maka kaulah yang akan melakukannya”
“Aku bukan binatang buas yang pantas diburu” Tetapi ia masih juga tertawa. Suara tertawanya yang tidak begitu keras itu membuatku semakin terbakar. Karena itulah maka aku pun kemudian kehilangan pengamatan diri. Apalagi tidak ada jalan yang memang lebih baik dari membungkam untuk selama-lamanya.
Dengan demikian, maka aku pun berkata langsung kepadanya, “Sekarang aku tidak mempunyai pilihan lain. Membunuh kau atau aku akan terbunuh. Jika kau tetap hidup, artinya akan sama saja dengan kematian bagiku, karena kau tidak akan lagi menyembunyikan rahasia yang pernah kau lihat itu”
“Ya. Aku akan membunuhmu atau akan menyeretmu di belakang keretaku sehingga kulitmu akan terkelupas di sepanjang jalan kita ini. Bila kau masih hidup, maka kumpeni lah yang akan menyelesaikanmu meskipun terlebih dahulu luka-lukamu akan dibasahi dengan air garam”
Memang mengerikan sekali jika hal itu benar-benar terjadi. Diseret di belakang kereta yang dilarikan kencang-kencang.
“Nah, kau memang tidak ada pilihan lain” katanya, “dan Raden Ayu Galihwarit pasti akan tetap berdiam diri”
Aku sudah tidak dapat menahan kemarahan di dalam dada. Tetapi aku masih dapat berpikir sehingga aku tidak mau tenggelam dalam kehilangan nalar karena kemarahanku.
Meskipun aku sudah siap, tetapi aku tidak segera menyerangnya. Aku menunggu sampai orang itu pun menjadi sangat marah dan akan lebih baik kalau sais itulah yang kehilangan nalar dan bertempur dalam nyala kemarahan yang tidak terkendali.
“Ayo, apa lagi yang kau tunggu?” katanya.
“Kumpeni” jawabku, “Bukankah kereta itu kereta seorang perwira kumpeni? Mungkin yang sudah mati aku bunuh, tetapi mungkin kereta orang lain. Tetapi pasti bukan keretamu sendiri. Orang yang memiliki kereta itu pasti akan mencarimu. Mereka pasti akan melihat kereta berhenti di pinggir jalan itu dan mencarimu ke rumah ini”
“Aku akan selamat. Raden Ayu Galihwarit tentu akan tetap diam dan melindungi aku”
“Tidak. Raden Ayu Galihwarit sebenarnya dapat berterus terang saja kepada kumpeni karena semua yang kau kehendaki masih belum terlanjur terjadi. Mereka tidak akan menyampaikan rahasia itu kepada Pangeran Ranakusuma, karena mereka sendiri akan terlibat di dalamnya. Dan sudah tentu bahwa karena kau terlampau banyak mengetahui, maka kau pun akan dibunuhnya juga”
“Gila” Orang itu menggeretakkan giginya.
“Jangan menyesal”
“Persetan dengan kau. Apapun yang akan terjadi atasku tetapi niatku tidak boleh gagal. Kau akan aku bunuh, dan aku akan melaksanakan niatku. Aku tidak peduli kepada kereta itu dan kepada kumpeni yang akan mencarinya”
“Omong kosong. Kau tidak akan berani melakukan karena itu akan berarti kematianmu”
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun agaknya ia telah benar-benar menjadi marah.
Bersambung ke Bagian 3
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
Komentar
Posting Komentar