Bunga di batu karang VI bag 3

Bunga di batu karang VI Bag 3

“Aku akan segera membunuhmu” ia menggeram sambil melangkah maju. “Semakin cepat semakin baik”

Dan tiba-tiba saja bahwa orang itu menarik sebuah pisau belati dari balik bajunya

Raden Ayu Galihwarit mundur selangkah sambil membenahi pakaiannya. Kilatan pisau itu mendebarkan jantungnya. Ia mengharap bahwa aku dapat memenangkan perkelahian yang sebentar lagi tentu akan terjadi. Dengan demikian maka ia berharap dapat terlepas dari nafsu sais yang gila itu.

“Tetapi apakah Dipanala tidak akan melakukan kegilaan yang sama?” Raden Ayu Galihwarit mungkin bertanya kepada diri sendiri.

Tetapi agaknya baginya aku masih lebih baik dari sais yang ganas itu. Selain ia memang sudah mengenal diriku ini dengan baik, maka aku pun adalah seorang, hamba istananya dan bekas seorang prajurit pula yang memiliki tingkatan yang tidak terlampau rendah.

Sejenak kemudian maka Raden Ayu Galihwarit melangkah semakin surut melekat di sudut dinding ketika ia melihat sais itu meloncat menerkam aku sambil mengayunkan pisaunya. Tetapi aku sudah bersedia sepenuhnya. Bahkan ketika aku meloncat mengelak, aku telah menarik kerisku dari wrangkanya.

Sejenak kemudian terjadi-lah perkelahian yang seru. Ternyata sais itu bukannya sekedar seorang sais yang hanya pandai mengendalikan kuda. Ternyata ia adalah seorang yang mengenal dengan baik tata olah kanuragan, sehingga ia untuk beberapa lamanya mampu mengimbangi ilmuku.

Tetapi aku adalah bekas seorang prajurit yang pernah mendapat kepercayaan dari atasanku di medan-medan perang. Dengan bekal yang ada padaku, ternyata aku memiliki beberapa keunggulan. Meskipun orang itu memiliki ilmu yang sudah lengkap, tetapi ia masih jauh dari aneka warna pengalaman, sehingga masih banyak kesempatan bagiku untuk menembus pertahanannya.

Demikianlah, maka akhirnya aku pun sampai pada puncak dari perkelahian itu. Setelah aku mengetahui kelemahan dan kekuatan yang ada padanya, maka aku pun segera berusaha mengakhirinya.

Meskipun semula terasa agak sulit, namun akhirnya aku berhasil mendesak dan menguasainya sehingga saat-saat yang menentukan itu datang.

Tiba-tiba saja sais itu menjadi pucat. Dengan suara terbata-bata ia berkata, “Apakah benar-benar kau akan membunuhku?”

Tidak ada kegilaan seperti perasanku pada saat itu. Aku sama sekali tidak lagi dapat mengekang diri. Meskipun sais yang tidak menyangka mendapat lawan yang dapat mengalahkannya itu benar-benar menjadi cemas akan dirinya, namun aku tidak menghiraukannya lagi.

“Jangan bunuh aku”

Aku masih mendengar suaranya. Tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku desak ia ke sudut dan aku tidak mau mendengar lagi ia berkata separah katapun. Karena itu, maka ketika aku melihat mulutnya mulai bergerak di saat-saat yang paling menentukan, aku tidak mau menunggu. Sebuah tikaman yang tepat telah menghunjam di dadanya.

Yang terdengar kemudian adalah orang itu mengerang. Ketika aku menarik kerisku, ia pun terjerembab jatuh. Mati.

Sejenak aku berdiri dengan tangan bergetar. Baru sesaat kemudian aku sadar, bahwa di ruang itu ada seorang perempuan yang gemetar ketakutan.

Ketika aku memandang sela-sela daun pintu yang tidak tertutup rapat, maka senja pun sudah menjadi semakin suram. Ternyata aku tidak berkelahi terlalu lama.

“Raden Ayu harus segera kembali ke istana Ranakusuman” Aku berkata kepada perempuan itu. Aku sudah tidak begitu jelas lagi melihat perubahan wajahnya di dalam keremangan malam yang sudah turun perlahan-lahan.

“Bagaimana aku akan pulang?” bertanya Raden Ayu.

“Terserah kepada Raden Ayu. Tugasku sudah selesai”

“Tetapi, apa yang dapat aku katakan kepada Pangeran Ranakusuma tentang diriku”

“Terserah kepada Raden Ayu”

“Tidak. Aku memerlukan pendapatmu”

Aku tidak peduli. Tetapi ketika aku melangkah pergi, Raden Ayu Ranakusuma telah menahanku, bahkan berpegangan lenganku.

“Aku tidak dapat pulang sendiri dan aku tidak mempunyai alasan untuk mengatakan sesuatu kepada Pangeran Ranakusuma”

“Terserah kepada Raden Ayu. Itu bukan urusanku”

“Dipanala, Dipanala. Jangan tinggalkan aku sendiri di sini” tangisnya sambil berpegangan lenganku erat-erat.

Untunglah bahwa aku sudah setua ini. Atau aku memang bukan sejenis orang yang memiliki darah yang terlampau panas, sehingga aku tidak mudah dibakar oleh nafsu yang gila itu meskipun Raden Ayu Ranakusuma agaknya sudah benar-benar kehilangan keseimbangan berpikir. Pada saat itu Raden Ayu Galihwarit pasti sudah kehilangan nalarnya sehingga untuk membawanya pulang dan menyerahkannya dengan selamat dan alasan-alasan yang dapat diterima oleh Pangeran Ranakusuma, apapun imbalannya pasti akan diberikan. Namun justru karena itu aku menjadi semakin muak. Hampir saja aku lemparkan perempuan itu. Untunglah bahwa aku segera sadar, bahwa aku adalah hambanya. Aku adalah seorang abdi Ranakusuman.

Karena itu, maka aku pun mencoba untuk menenangkan diri dan pengendapan perasaan. Dalam keremangan yang semakin kelam aku masih melihat sesosok tubuh yang terbujur di lantai bergelimang darah.

“Antarkan aku pulang” sekali lagi aku mendengar tangis Raden Ayu Galihwarit.

Akhirnya aku pun berpikir, bagaimana membawa Raden Ayu itu kembali ke rumahnya.

“Marilah, hamba antar Raden Ayu pulang dengan kereta itu” Aku pun kemudian mengambil keputusan.

“Tetapi apa yang akan aku katakan kepada Pangeran Ranakusuma?”

“Raden Ayu dapat mengatakan apa saja”

“Ya, tetapi apa? Dan kenapa tiba-tiba kau membawa kereta ini kembali ke Ranakusuman? Dan bagaimana dengan mayat sais itu?”

“Raden Ayu dapat mengirimkan utusan kepada orang yang mempunyai kereta itu. Orang itu tentu akan berkata bahwa bukan dia yang menyuruh sais itu menjemput Raden Ayu”

“Lalu kenapa kau yang membawa itu, dan kenapa sais itu mati?”

“Sais itu menipu Raden Ayu”

“Ia memang menipu, maksudku memeras. Tetapi bagaimana aku harus mengatakan?”

“Sais itu menipu, kemudian ingin merampok Raden Ayu. Ketika kereta ini dipacu. Raden Ayu melihat hamba di pinggir jalan. Raden Ayu berteriak memanggil, dan hamba sempat menghentikan kereta itu. Hamba bunuh sais nya dan hamba membawa Raden Ayu kembali”

“Tetapi kenapa di rumah ini”

“Ia mencoba bersembunyi”

“Lalu apakah alasanmu bahwa kau berada di jalan yang dilalui kereta ini”

“Serahkan kepada hamba”

Sejenak Raden Ayu Galihwarit berpikir. Namun kemudian ia pun berkata sambil mengangguk kecil, “Baiklah. Mudah-mudahan kangmas Ranakusuma tidak bertanya terlampau banyak”

“Mudah-mudahan”

Raden Ayu Galihwarit pun kemudian berjalan tertatih-tatih ke kereta yang masih ada di tepi jalan. Aku mengikutinya dengan hati yang berdebar-debar. Namun aku pun mulai berpikir, apakah yang harus aku katakan kepada Pangeran Ranakusuma.

Ternyata bahwa usaha Raden Ayu Galihwarit untuk membersihkan dirinya berhasil. Seorang kumpeni datang ke Ranakusuman sambil memaki-maki. Ia merasa menyesal bahwa keretanya telah dipergunakan oleh sais itu untuk merampok.

“Untunglah bahwa usaha itu gagal” katanya dengan nada yang kaku.

Kedatangan orang asing itu memang mempengaruhi sikap Pangeran Ranakusuma. Ia percaya bahwa isterinya telah tertipu dan aku yang kebetulan melihatnya telah menolongnya.

“Tentu sais itu pula yang menjebak kawanku, perwira yang terbunuh itu” berkata orang asing itu, “Tetapi agaknya ia belum sempat merampok saat itu. Sejak saat itu sebenarnya aku sudah curiga, tetapi Raden Ayu sendiri yang mengatakan bahwa sais itu tidak bersalah”

Demikianlah semua kesalahan telah berhasil dilemparkan kepada sais yang mati itu. Dan aku pun terlepas pula dari segala sangkut paut dan keterlibatan atas kematian sais itu. Sementara Raden Ayu Galihwarit pun berhasil menghindarkan diri dari kemarahan Pangeran Ranakusuma”

Kiai Danatirta mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Jadi itulah agaknya yang menjadi sebab, kenapa Raden Ayu Galihwarit tidak dapat berbuat apa-apa atasmu”

“Demikianlah agaknya kakang”

“Sayang, bahwa ia justru tidak melakukannya karena ia merasa berterima kasih kepadamu. Jika demikian, maka ia akan menghentikan semua kelakuannya yang binal itu, dan berbuat baik kepadamu dengan jujur. Ternyata bahwa yang dilakukan justru kebalikan dari itu. Ia sama sekali tidak merasa menyesal dan bahkan menganggap kau sebagai orang yang paling berbahaya baginya”

“Ternyata demikian yang terjadi kakang. Meskipun di antara kami dengan diam-diam ada semacam perjanjian, bahwa kami tidak akan saling membuka rahasia, namun agaknya Raden Ayu Galihwarit menganggap bahwa dengan membunuhku, maka persoalannya menjadi lebih jernih. Ia akan berhasil melenyapkan semua rahasia yang hanya aku ketahui, jika rahasia itu aku bawa mati seperti sais itu pula”

Kiai Danatirta masih mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Ternyata Raden Ayu Galihwarit adalah orang yang sangat berbahaya. Lebih berbahaya dari yang aku duga. Ia sampai hati melakukan pembunuhan meskipun tidak dengan tangan sendiri. Sudah barang tentu bahwa nasib Raden Juwiring pun pada suatu saat terancam pula olehnya”

“Ya kakang. Kemungkinan itu memang dapat terjadi”

Kiai Danatirta pun terdiam sejenak. Wajahnya yang tenang dan dalam itu tiba-tiba seakan-akan bergejolak. Tetapi hanya sejenak, karena sejenak kemudian maka perasaan yang melonjak sesaat itu pun segera dapat dikuasainya kembali.

Namun demikian bagi Dipanala masih ada persoalan yang dihadapinya. Setelah ia terlepas dari maut, lalu apakah yang akan dilakukannya?

Karena itu, maka ia pun kemudian minta pertimbangan kepada Kiai Danatirta tentang persoalannya itu. Persoalan yang sangat rumit baginya.

“Apakah aku masih akan kembali ke istana Ranakusuman kakang?”

Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit bagi Ki Dipanala untuk menentukan sikap. Jika ia tidak kembali ke Ranakusuman, maka Raden Ayu Galihwarit pasti akan menjadi semakin cemas akan dirinya sendiri. Raden Ayu itu tentu menduga, bahwa Dipanala mengetahui bahwa ia telah berusaha membunuhnya. Dengan demikian, maka nafsu membunuh itu akar, menjadi semakin bergejolak di dalam hatinya, dan sebelum ia berhasil, ia pasti tidak akan berhenti, karena masalahnya akan menyangkut namanya dan kedudukannya. Apalagi keluarga Dipanala masih tinggal di belakang istana Ranakusuman, sehingga mungkin Raden Ayu yang garang itu akan melepaskan dendamnya kepada keluarga Dipanala, atau mempergunakan keluarga itu untuk memaksakan kehendaknya atas Dipanala.
Tetapi jika ia kembali ke Ranakusuman, maka ia pun akan berada di dalam bahaya.

Namun setelah berpikir sejenak, Kiai Danatirta itu berkata, “Sebaiknya kau kembali Dipanala?”

Ki Dipanala memandang wajah Kiai Danatirta yang dalam, itu.

“Berbuatlah seolah-olah kau tidak mengetahui apa yang telah terjadi atasmu. Kau tidak usah menyinggung-nyinggung masalah itu sebagai masalah yang menyangkut keluarga Ranakusuman”

“Tetapi bukankah Raden Rudira mengetahui, bahwa aku sudah mengalami? Jika aku diam sama sekali, apakah hal itu justru tidak mencurigakan bagi mereka”

“Maksudku, kau jangan menyinggung nama penghuni Ranakusuman. Kau dapat melaporkan bahwa kau telah dirampok di perjalanan. Kau dapat mengatakan apa yang terjadi. Tetapi kau tidak tahu siapakah yang lelah melakukan itu”

Ki Dipanala mengangguk-angguk.

“Namun bagaimanapun juga, kau harus berhati-hati. Usaha itu tentu tidak akan berhenti sampai sekian. Semakin lama kau pasti dianggapnya sebagai orang yang semakin berbahaya bagi Raden Ayu Galihwarit”

“Ki Dipanala mengangguk-angguk. la sadar sesadar-sadarnya, bahwa kini ia benar-benar di dalam kesulitan, apapun yang dilakukannya.

“Ki Dipanala” berkata Kiai Danatirta kemudian, “Aku adalah orang tua. Mungkin aku tidak mempunyai kemampuan apapun juga untuk membantumu. Tetapi karena sedikit banyak persoalan ini menyangkut hubunganmu dengan padepokan ini, maka jika kau sempat, katakanlah kesulitan-kesulitanmu kepadaku”

“Ah, kakang tidak terlibat. Semuanya adalah hasil perbuatanku sendiri. Dan aku memang harus mempertanggung jawabkannya”

“Tetapi kemarahan Raden Rudira kepadamu terutama karena kau telah menentang niatnya untuk membawa Arum. Bahwa ibu dan ayahnya mengurungkan niatnya untuk menderamu di halaman Ranakusuman, bukannya karena mereka melarang, tetapi mereka takut jika kau membuka rahasia itu kepada setiap orang”

Ki Dipanala mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Terima kasih kakang. Sebenarnyalah bahwa aku memerlukan perlindungan. Pada suatu saat mungkin aku memang harus menyingkirkan keluargaku dari rumah yang sekarang aku diami”

“Memang mungkin mereka mengusirnya. Tetapi jika mereka sudah berhasil membinasakan kau”

“Bukan saja karena Raden Ayu Galihwarit ingin membunuhku. Tetapi kota Surakarta memang menjadi semakin panas. Pengaruh orang asing yang semakin lama menjadi semakin terasa menjerat kaki dan tangan kita sendiri, telah menumbuhkan persoalan baru. Beberapa orang Pangeran tidak menerima keadaan ini. Dan menurut Raden Rudira yang baru datang dari Sukawati, aku mendengar bisik-bisik di antara para pelayan dan hamba yang lain yang mendengarnya, bahwa keadaan Sukawati terasa sangat aneh. Rakyat Sukawati seakan-akan bukan lagi merupakan rakyat biasa seperti yang kita lihat di padukuhan-padukuhan lain. Rakyat Sukawati mempunyai bentuknya tersendiri”

“Bagaimana dengan rakyat Sukawati itu?”

“Mereka memiliki sifat-sifat yang aneh. Seorang pengiring yang mengikuti Raden Rudira ke daerah Sukawati mengatakan bahwa ia seakan-akan masuk ke dalam suatu mimpi yang menggetarkan. Seakan-akan setiap orang di Sukawati adalah prajurit-prajurit yang siap untuk bertempur”

“Tentu itulah sikap Pangeran Mangkubumi. Jika Raden Rudira mengatakan hal itu kepada ayahanda Pangeran Ranakusuma, maka kumpeni pun tentu akan segera mendengarnya”

“Tetapi Sukawati sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Mereka sama sekali tidak gentar menghadapi kemungkinan yang manapun jika Pangeran Mangkubumi memang sudah bersikap demikian”

“Sebenarnyalah harapan kita tergantung kepadanya”

“Menilik suasananya kakang, agaknya bagaikan bisul yang sudah masak. Entah pagi, entah sore, maka bisul itu akan segera pecah”

“Apakah kau sudah merasakan?”

“Ya kakang. Baru-baru ini datang utusan kumpeni dari Semarang. Tentu ada persoalan yang akan berkembang lagi. Dan aku yakin bahwa hal itu pasti akan menyangkut persoalan Pangeran Mangkubumi dan segala kegiatannya”

“Tentu kita tidak akan dapat tinggal diam. Jika angin bertiup maka kita harus bersikap. Tetap tegak atas kemampuan diri atau merunduk ke arah angin. Dan orang asing itu adalah angin yang sangat deras.

Ki Dipanala mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku berada di padang ilalang”

“Yang akan merunduk karena hembusan angin”

“Ya kakang. Aku mengetahui dengan pasti sikap Pangeran Ranakusuma”

“Kau tidak dapat memberikan pendapat? Bukankah sampai sekarang suaramu masih di dengar?”

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi persoalannya hampir sama dengan persoalan Raden Ayu Galihwarit”

“He?” Kiai Danatirta terkejut.

“Tetapi bukan secara kebetulan. Pangeran Ranakusuma memang melakukannya dengan sengaja meskipun akhirnya ia terjerat oleh kebiasaannya itu. Aku pernah dijadikan penghubung antara Pangeran Ranakusuma dengan Raden Ayu Retnasasi”

“Raden Ayu Retnasasi? Aku pernah mendengar namanya. Tetapi bukankah Pangeran Ranakusuma memang beristeri lebih dari seorang?”

“Jika Raden Ayu Retnasasi itu orang lain, maka persoalannya tidak akan terlampau sulit. Pangeran Ranakusuma dapat mengawininya. Mungkin Raden Ayu Galihwarit akan marah, tetapi tidak akan bertahan lama dan persoalannya akan berkembang seperti yang pernah terjadi. Tetapi yang lebih parah adalah karena Raden Ayu Retnasasi adalah adik kandung Raden Ayu Galihwarit sendiri”

“He, itu pun suatu kegilaan yang berlebih-lebihan”

“Demikianlah keadaan istana Ranakusuman”

“Jika terjadi sesuatu dengan Raden Ayu Retnasasi apakah yang dapat dilakukan oleh Pangeran Ranakusuma?”

“Tidak apa-apa. Raden Ayu Retnasasi sudah bersuami”

“O” Kiai Danatirta memijit-mijit keningnya sambil menggeleng-geleng lemah, “Bukan main. Aku ingat sekarang. Raden Ayu Retnasasi agak berbeda dari kakaknya Raden Ayu Galihwarit yang juga disebut Raden Ayu Sontrang. Raden Ayu Retnasasi bertubuh kecil, tetapi lincah seperti burung sikatan”

“Ya. Begitulah kira-kira”

“Ternyata keluarga yang tampaknya menyilaukan itu, agaknya adalah keluarga yang rapuh sekali. Pada saatnya akan datang kekecewaan yang mencengkam seisi rumah itu”

“Termasuk aku kakang, karena aku pun sudah terlibat begitu jauh dari seluruh persoalan yang ada di istana itu”

“Tetapi kau dapat menyingkir Dipanala”

“Terlambat kakang. Aku harus mempertanggung jawabkan semua yang pernah aku lakukan selama aku berhubungan dengan Keluarga itu. Bahkan hampir saja aku digilasnya. Tetapi agaknya lambat laun hal itu akan terjadi juga, karena mereka tentu tidak akan berhenti berusaha”

“Tetapi kau tidak akan sekedar menundukkan kepala sambil mengacukan ibu jarimu untuk mempersilahkan mereka memenggal lehermu. Apalagi kau memiliki senjata yang dalam keadaan yang paling berbahaya masih dapat kau pergunakan”

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam.

“Namun adalah kewajibanmu untuk berusaha melindungi dirimu sendiri. Kau memang harus berhati-hati sekali”

“Kali ini agaknya Pangeran Ranakusuma belum terlibat dalam usaha untuk menyingkirkan aku. Tetapi lain kali. mungkin ialah yang melakukannya, dan tentu jauh lebih cermat dari usaha isterinya”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk pula, tetapi ia tidak menyahut, sehingga dengan demikian keduanya pun berdiam diri untuk beberapa saat lamanya.

Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin malam. Angin yang dingin berhembus menyentuh kulit. Di kejauhan terdengar derik bilalang bersahut-sahutan disela-sela rintih angkup yang samar-samar.

“Sudahlah” berkata Kiai Danatirta kemudian, “beristirahatlah. Kau tentu lelah setelah menyelesaikan perjalanan yang kurang menyenangkan itu. Apalagi kau masih harus berkelahi”

Ki Dipanala tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih kakang”

“Tidurlah di gandok kiri”

“Terima kasih”

Ketika Ki Dipanala berdiri bersama-sama dengan Kiai Danatirta, maka ia berkata, “Aku akan membawa anak panah itu kembali besok. Aku akan berpura-pura tidak tahu, siapakah pemilik anak panah itu, dan aku tidak akan mengatakan bahwa Buntal terlibat dalam perkelahian ini.

Kiai Danatirta tersenyum, “Cobalah, mudah-mudahan pancinganmu mengena”

Demikianlah maka keduanya pun kemudian meninggalkan pendapa. Ki Dipanala pergi ke gandok kiri. sedang Kiai Danatirta masuk ke ruang dalam.

Ternyata bahwa kedua anak-anak muda itu sudah tidur. Juwiring tidur sambil memegang bajunya yang dilepasnya. Agaknya ia merasa udara terlalu panas malam itu, sedang Buntal pun juga tidak berbaju.

Sambil mengangguk-angguk Kiai Danatirta meninggalkan bilik itu. Ia berhenti ketika ia melihat bilik Arum masih terbuka sedikit. Dari celah-celah pintu itu ia melihat Arum terbaring di pembaringannya. Tetapi agaknya ia masih belum tidur.

Arum terkejut ketika ia mendengar pintu itu berderit perlahan-lahan. Dengan cekatan ia meloncat bangkit. Namun gadis itu pun menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Kiai Danatirta berdiri di muka pintu.

“Ayah mengejutkan aku” gadis itu bersungut-sungut.

Kiai Danatirta tersenyum. Kemudian ia bertanya, “Kenapa kau belum tidur?”

“Belum ayah. Udara panas sekali malam ini”

“Kau memikirkan kiriman itu? Bukankah kau mendapat kiriman khusus dari Raden Ayu Ranakusuma, di samping kiriman-kiriman yang lain”

“Ah” desis gadis itu.

“Kain itu tentu bagus sekali”

“Ah” sekali lagi Arum berdesis.

“Tidurlah” berkata Kiai Danatirta kemudian.

Arum pun segera membaringkan dirinya. Ia hanya berpaling sambil tersenyum ketika ia melihat ayahnya menutup pintu biliknya rapat-rapat.

Sejenak kemudian Kiai Danatirta pun masuk pula ke dalam biliknya. Tetapi seperti Ki Dipanala, maka orang tua itu tidak segera dapat tertidur. Angan-angannya berterbangan mengitari setiap persoalan yang seakan-akan saling susul menyusul dengan cepatnya. Arum, Juwiring, Buntal, Sura, Dipanala kemudian tentang Surakarta dan kumpeni.

Menjelang dini hari, barulah Kiai Danatirta dapat tidur sejenak. Karena sebentar kemudian ayam jantan telah berkokok saling sahut menyahut.

Dalam pada itu, Raden Rudira dan Mandra masih berada di simpang empat di luar kota. Mereka duduk sambil berbincang, meskipun keduanya tampak gelisah.

“Kenapa sampai gagal, Mandra?” bertanya Rudira geram.

“Aku tidak menyangka Raden. Tetapi menurut pengamatanku ada seseorang yang ikut serta dalam perkelahian itu”

“Ya”

“Apakah Raden mengetahui-nya?”

Raden Rudira menggelengkan kepalanya. Katanya, “Dari mana aku tahu. Di dalam malam gelap dan jarak yang tidak terlalu dekat”

“Tetapi Raden dapat membidik dengan tepat”

“Untuk membidik seseorang aku hanya memerlukan bentuknya. Bukan garis-garis wajahnya”

“Tetapi apakah Raden tidak keliru?”

“Aku yakin tidak. Aku adalah pemburu yang baik”

“Ya. Raden adalah seorang pemburu yang baik” gumam Mandra, “mudah-mudahan Dipanala tidak mengetahui apakah yang sebenarnya lelah terjadi”

“Lalu apa yang akan kita katakan kepada ibunda?”

“Apa yang ada saja tuan. Mungkin usaha ini harus diulangi.

Raden Rudira merenung sejenak, lalu tiba-tiba saja ia berkata, “Kenapa kau suruh cucurut-cucurut itu melakukan tugas yang penting ini Mandra, sehingga kita telah melewatkan kesempatan yang bagus ini”

“Maaf Raden. Aku kira mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik. Tetapi jika tidak ada orang lain yang ikut campur aku kira Dipanala sudah terbunuh”

“Aku harus tahu siapakah orang itu”

“Dari siapa tuan akan tahu?”

Raden Rudira merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Dipanala pasti akan kembali ke Ranakusuman. Ia akan berceritera tentang perjalanannya”

“Apakah jika ia mengetahui bahwa kita terlibat di dalamnya ia masih juga akan kembali?”

Raden Rudira tidak segera menyahut. Namun sekali lagi ia menggeram, “Kau memang terlampau bodoh untuk memilih orang”

“Aku minta maaf Raden”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun bergumam seperti kepada diri sendiri, “Mudah-mudahan Dipanala kembali ke Ranakusuman. Ia akan berceritera, siapakah yang membantunya”

“Mudah-mudahan ia masih berani kembali ke Ranakusuman”

“Ia harus kembali” bentak Raden Rudira, “Jika ia tidak kembali, berarti ia mengetahui bahwa kita sudah terlibat. Dan itu berbahaya sekali. Kita harus memburunya kemana ia pergi dan membunuhnya”

“Ya, ya Raden. Kita harus membunuhnya”

“Tetapi apa yang sekarang harus kita lakukan?” Raden Rudira menahan kemarahan yang masih bersarang di dadanya. Tetapi ia tidak mau menyakiti hati Mandra agar ia pun tidak berkhianat.

“Marilah kita kembali. Tuan akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi”

Raden Rudira menarik nafas dalam. Lalu, “Marilah kita segera kembali. Mudah-mudahan kita masih menemukan jalan yang sebaik kali ini, agar kita tidak usah memburunya seperti memburu kijang di hutan perburuan itu.

Keduanya pun kemudian dengan lesu pergi ke kuda mereka yang tertambat di pohon perdu. Dengan lesu pula mereka meloncat naik dan berjalan memasuki kota Surakarta.

Kota yang masih lengang itu udaranya terasa sangat panas sepanas hati mereka karena kegagalan yang dialaminya untuk yang kesekian kalinya.

“Pada suatu saat aku harus berhasil” geram Raden Rudira di dalam hati, “Jika besok Dipanala kembali dan menyebut orang yang membantunya itu, aku akan segera mengambil sikap. Sebaiknya tidak tanggung-tanggung”

Dalam pada itu, semalam suntuk Raden Ayu Galihwarit sama sekali tidak dapat tertidur sekejappun. Dengan gelisah ia menunggu kedatangan puteranya yang mengawasi tugas orang-orang yang mencegat Dipanala.

Semakin dekat fajar menyingsing. Raden Ayu Galihwarit menjadi semakin cemas. Jika terjadi sesuatu dengan Raden Rudira dan rahasia itu dapat diketahui oleh Dipanala, maka orang itu pasti akan membuka segala rahasianya pula, meskipun itu akan berakibat mati bagi Dipanala, karena dalam keadaan yang memaksa Raden Ayu Galihwarit pasti akan membuka rahasia Dipanala pula, karena Dipanala sudah membunuh seorang perwira kumpeni.

Tetapi jika Pangeran Ranakusuma dan terlebih-lebih anak laki-lakinya ini mendengar rahasianya, maka ia pun pasti akan terhina untuk selama-lamanya. Ia akan tersisih dari pergaulan yang wajar para bangsawan dan ia pasti akan diusir dari Ranakusuman. Meskipun Pangeran Ranakusuma adalah seorang bangsawan yang tidak terlampau ketat memegang kebiasaan yang berlaku bagi isteri-isterinya, karena hubungannya yang luas dengan orang-orang asing, namun apakah ia akan dapat membiarkan isterinya berbuat terlampau jauh. Dan apakah kata putera laki-lakinya tentang dirinya?”

Kegelisahan itu memuncak ketika ayam jantan sudah mulai berkokok bersahut-sahutan menjelang pagi. Namun Raden Rudira dan Mandra masih juga belum kembali.

Dalam kegelisahan yang tidak tertahankan lagi, maka Raden Ayu Galihwarit pun segera bangkit dan keluar dari biliknya.

Beberapa orang abdi melihatnya dengan heran. Tidak menjadi kebiasaan Raden Ayu Galihwarit bangun terlampau pagi, karena ia adalah seorang perempuan bangsawan yang mendambakan kamukten yang berlebih-lebihan, sehingga sama sekali tidak terlintas di dalam angan-angannya untuk berbuat sesuatu yang dianggapnya dapat merendahkan martabat kebangsawanannya.

Seperti orang yang sedang dicengkam oleh kebingungan yang sangat. Raden Ayu Galihwarit duduk di ruang depan, meskipun ia belum membenahi dirinya. Dan hal itu pun adalah di luar kebiasaannya, ia belum keluar dari biliknya sebelum ia yakin bahwa ia sudah menjadi sangat cantik.

Raden Ayu Galihwarit tersentak ketika ia melihat regol terbuka. Yang, pertama dilihatnya adalah kepala seekor kuda yang tersembul dari sela pintu. Namun Raden Ayu Galihwarit sudah mengenal kuda itu baik-baik. Kuda itu adalah kuda puteranya Raden Rudira.

Karena itu, maka Raden Ayu Galihwarit pun segera berdiri dan melangkah dengan tergesa-gesa ke tangga depan. Demikian Raden Rudira masuk, maka ia pun segera memanggilnya.

Raden Rudira berpaling mendengar suara ibunya. Dan ia pun segera berbelok ke tangga pendapa Ranakusuman diikuti oleh Mandra.

Dengan tidak sabar Raden Ayu Galihwarit menyongsong kedatangan anaknya. Hampir berlari-lari ia turun tangga dan berdiri di bawah kuncung.

Demikian Raden Rudira meloncat dari kudanya, ibunya segera bertanya, “Bagaimana?”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia berpaling kepada Mandra. namun orang itu sedang menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Bagaimana?” sekali lagi Raden Ayu Galihwarit berdesis.

“Aku berhasil mengawasi mereka ibu” jawab Raden Rudira.

“Sst, jangan terlampau keras. Ayahanda masih tidur di dalam biliknya. Ia tidak boleh mengetahui rencana ini”

Raden Rudira mengangguk. Namun terasa tenggorokannya bagaikan tersumbat. Ternyata terlampau berat baginya untuk mengatakan kegagalannya.

Tetapi ia tidak dapat mengelak lagi. Ketika ibunya mendesaknya, maka ia pun harus menceriterakan apa yang sudah terjadi.

Tiba-tiba saja wajah Raden Ayu Galihwarit yang gelisah itu menjadi pucat. Dengan suara yang terputus-putus ia bertanya, “Jadi, jadi Dipanala itu masih hidup?”

“Ya. Aku menyesal sekali bahwa aku gagal lagi kali ini”

“Bodoh sekali. Kenapa kalian tidak berhasil membunuh kelinci yang akan dapat menjadi sebuas serigala itu?”

“Sekarang kami gagal ibu, tetapi percayalah bahwa pada suatu saat ia akan mati. Akulah orang yang paling mendendamnya. Akulah yang akan selalu berusaha memusnahkannya”

“Jangan menunggu ia menerkam aku”

“Kenapa dengan ibu?” bertanya Raden Rudira.

Pertanyaan itu telah mengejutkan Raden Ayu Galihwarit. Namun dengan tergesa-gesa ia menyambung, “Tidak. Maksudku, menerkam kita semuanya. Ia akan dapat berkhianat seperti Sura”

“Ibunda dan ayahanda terlalu memanjakannya. Aku sudah ingin menderanya dengan rotan sambil mengikatnya pada pohon sawo kecik itu. Tetapi ayahanda dan ibunda melarangnya”

Dada Raden Ayu Galihwarit menjadi semakin berdebar-debar. Katanya, “Itu tidak bijaksana. Jika didengar oleh Pangeran-Pangeran yang lain, maka kita seakan-akan menjadi orang yang paling kejam di Surakarta”

Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam.

“Tetapi orang itu harus dimusnahkan” gumam Raden Ayu Galihwarit. Lalu, “Kenapa bukan Dipanala saja yang kau bunuh dengan panahmu. Jika kau berhasil membidik orang itu, kau pun pasti berhasil membunuh Dipanala”

“Tetapi orang yang tertangkap itu akan sangat berbahaya ibu. Ia dapat mengatakan siapakah yang menyuruhnya”

“Orang itu pun kau bunuh pula”

“Itulah yang sulit. Orang yang berkelahi di pihak Dipanala itu mempunyai kesempatan untuk menyeretnya dan memukulnya hingga pingsan. Kemudian menyembunyikannya di balik tanggul. Tentu aku tidak dapat mendekatinya, agar aku tidak dapat dikenai oleh orang yang memihak Dipanala itu, karena aku belum pasti dapat membunuhnya”

“Siapakah orang itu?”

“Aku tidak mengenalnya di dalam gelap dan jarak yang tidak cukup dekat”

Raden Ayu Galihwarit menundukkan kepalanya. Persoalan itu justru membuatnya semakin gelisah. Namun tiba-tiba saja ia menggeram, “Tetapi orang itu harus dibunuh. Segera” Ketika ia menyadari keadaannya, ia menyambung, “Jika tidak, maka semua keinginanmu pasti akan dihalang-halanginya. Sebenarnya aku tidak berkeberatan jika kau mengambil gadis itu Mungkin ia berguna bagiku dan bagimu. Apa salahnya kau mengambil seorang gadis padepokan, karena kau putera seorang Pangeran?”

Ternyata kata-kata itu berhasil membakar hati Raden Rudira, sehingga ia pun menyahut, “Ya. Ia akan aku bunuh segera. Jika aku tidak berbuat cepat, maka gadis itu akan menjadi selir kangmas Juwiring, karena mereka tinggal bersama-sama di padepokan itu”

Raden Ayu Galihwarit tidak menghiraukan kata-kata itu. Baginya yang penting adalah, Dipanala terbunuh.

“Jika Dipanala kembali, ia tentu akan berceritera tentang orang yang menolongnya itu” berkata Raden Rudira kemudian.

“Apakah mungkin orang yang selalu kau sebut-sebut sebagai petani dari Sukawati itu?” bertanya ibunya.

Dada Raden Rudira berdesir. Namun ia pun kemudian menjawab, “Tentu bukan. Ia memerlukan waktu untuk mengalahkan lawan-lawannya. Tentu tidak demikian dengan petani dari Sukawati itu. Dengan gerak yang sederhana ia berhasil memaksa Sura untuk menyerah dan tidak berdaya lagi”

“Ya, Dipanala akan berceritera. Tetapi apakah ia akan berani kembali kemari?”

“Ia tidak tahu bahwa akulah yang membunuh tangkapannya. Jika ia tidak kembali kemari, artinya ia mengetahui rahasia ini”

“O” Raden Ayu Galihwarit menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

“Kenapa ibu?”

“Aku kasihan kepadamu. Jika ia tahu akan rahasia ini, maka namamu akan tercemar”

“Jangan hiraukan. Aku dapat menyebutnya sebagai fitnah belaka karena ia tidak akan dapat membuktikannya”

Raden Ayu Galihwarit menganggukkan kepalanya. Namun kemudian ia menundukkan wajahnya dalam-dalam.

“Sudahlah ibu” berkata Rudira, “Jangan hiraukan lagi. Aku akan menyelesaikan semuanya. Sekarang aku akan menyingkirkan kuda ini”

Raden Ayu Galihwarit mengangguk pula meskipun terasa hatinya menjadi semakin parah. Tetapi ia masih mempunyai harapan bahwa Rudira akan segera menyelesaikannya.

“Tentu Dipanala tidak mengetahui bahwa yang membunuh tangkapannya itu adalah Rudira” berkata Raden Ayu Sontrang di dalam hatinya.

Demikianlah Raden Rudira dan Mandra pun meninggalkan Raden Ayu Galihwarit. Sejenak Raden Ayu itu masih berdiri di tempatnya. Namun ketika dilihatnya seorang juru taman menyapu halaman, maka ia pun segera menyadari keadaannya. Dengan tergesa-gesa ia masuk ke ruang dalam. Sejenak ia berdiri di muka bilik suaminya. Dari sela-sela pintu ia melihat di pembaringan di sebelah pintu itu, Pangeran Ranakusuma masih terbaring diam.

“Kamas Ranakusuma masih tertidur. Tetapi pintu biliknya sudah terbuka. Tentu ia sudah pergi ke pakiwan dan tidak rapat menutup pintu biliknya” pikir Raden Ayu Galihwarit.

Tetapi Raden Ayu Galihwarit terkejut ketika ia mendengar suara suaminya yang masih berbaring, “Masuklah”

Perlahan-lahan Raden Ayu Galihwarit melangkah maju. Hatinya yang gelisah menjadi semakin gelisah.

“Apakah Pangeran Ranakusuma mengetahui pembicaraanku dengan Rudira?”Ia bertanya kepada diri sendiri.

Ketika Raden Ayu Galihwarit sudah berdiri di depan pintu dalam bilik, Pangeran Ranakusuma pun segera bangkit. Sambil duduk di bibir pembaringannya ia bertanya, “Kau bangun terlalu pagi hari ini, apakah ada sesuatu yang penting?”

Raden Ayu Galihwarit menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak kangmas. Tetapi tiba-tiba saja. aku menjadi gelisah. Biasanya aku melepaskan Rudira pergi berburu dengan hati yang tenang”

“Apakah anak itu pergi berburu?” Raden Ayu Galihwarit mengangguk.

“Berbeda dengan kebiasaannya, ia membawa beberapa orang pengiring”

“Aku sudah bertanya kepadanya. Tetapi kini ia mempergunakan cara lain. Orang yang berjumlah semakin banyak, akan mengganggu binatang buruannya”

“Apakah ia mendapat sesuatu?”

Raden Ayu Galihwarit menggeleng. Jawabnya, “Tidak”

Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Akhirnya sama saja. Dengan atau tidak dengan pengiring, ia tidak mendapat seekor kelinci pun”

Raden Ayu Galihwarit tidak menyahut. Tetapi kepalanya tertunduk untuk menyembunyikan getar di dalam hatinya.

“Dimana Rudira sekarang?”

“Di belakang, kangmas”

“Tingkah lakunya menjadi semakin aneh sekarang. Dahulu ia berburu di malam hari. Kadang-kadang dua tiga malam ia berada di hutan buruan. Bahkan dahulu ia sering membawa seekor rusa atau Setidak-tidaknya kulitnya, jika rusanya sudah dimakan bersama pengiring-pengiringnya di tengah-tengah hutan. Tetapi akhir-akhir ini ia tidak berhasil mendapatkan apa-apa. Menurut penilaianku ia adalah seorang pembidik yang baik. Tetapi ia malas sekali mengikuti buruannya”

Raden Ayu Galihwarit tidak menyahut, ia ingin segera diperkenankan meninggalkan suaminya yang masih tetap duduk di bibir pembaringannya.

Raden Ayu Galihwarit menarik nafas lega ketika Pangeran Ranakusuma berkata, “Apakah kau akan mandi?”

“Ya kangmas, aku belum mandi”

“Mandilah. Suruhlah seseorang menyediakan air panas buatku”

“Baiklah Pangeran” sahut Raden Ayu Galihwarit sambil bergeser surut.

Tetapi ketika ia sampai di pintu Pangeran Ranakusuma memanggilnya sambil ber-tanya, “Apakah Dipanala sudah kembali?”

“Sepengetahuanku belum kangmas” jawab Raden Ayu Galihwarit dengan dada yang semakin berdebar-debar. Rasa-rasanya lantai yang dipijaknya menjadi panas.

“Kenapa belum?”

“Bukankah sudah menjadi kebiasaannya bermalam di padepokan itu? Bahkan pernah ia bermalam sampai dua malam berturut-turut”

Pangeran Ranakusuma mengangguk. Lalu katanya, “Mandilah”

Dengan tergesa-gesa Raden Ayu Galihwarit pun segera meninggalkannya sebelum Pangeran Ranakusuma bertanya lebih banyak lagi.

Dalam pada itu, selagi Raden Ayu Galihwarit kemudian sibuk mempercantik dirinya.

Sementara itu di padepokan Jati Aking Ki Dipanala pun sedang berkemas, ia benar-benar ingin kembali ke Ranakusuman, justru secepat-cepatnya.

“Aku tiba-tiba saja ingin segera menghadap Pangeran Ranakusuma berdua. Aku ingin tahu kesan di wajah mereka ketika mereka melihat kehadiranku. Juga anak laki-lakinya itu apabila ia berada di istananya” gumam Dipanala sambil mengusap leher kudanya.

Kiai Danatirta yang berdiri sambil bersilang tangan berkata, “Tetapi hati-hatilah Dipanala. Banyak hal yang tidak terduga-duga dapat terjadi. Tetapi juga mungkin karena kita salah menilai keadaan”

“Ya kakang. Aku akan selalu berhati-hati”

“Bukan saja karena keadaan di Ranakusuman sendiri, tetapi keadaan Surakarta pada umumnya. Jika terjadi huru hara, cobalah menghubungi kami di padepokan ini. Tetapi kau juga harus menjaga dirimu, karena dalam keadaan yang demikian, kesempatan untuk membunuhmu tanpa perkara akan menjadi semakin besar. Tidak ada orang yang sempat mengurus kematianmu jika benar-benar pecah perang karena ketidak puasan yang sudah tidak lagi dapat tertahan di dada beberapa orang Pangeran yang justru berpengaruh”

“Ya kakang. Aku akan mencoba”

“Ki Dipanala. Apakah tidak sebaiknya keluargamu sajalah yang lebih dahulu kau singkirkan?”

“Aku juga berpikir demikian kakang, tetapi tentu tidak segera agar tidak menumbuhkan kecurigaan bahwa aku akan melarikan diri karena percobaan pembunuhan yang gagal ini”

Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tentu aku tidak akan berkeberatan jika kau bawa keluargamu kemari. Arum akan mendapat kawan yang sebaya”

Ki Dipanala menarik nafas dalami. Katanya, “Terima kasih kakang. Kau terlalu baik terhadapku, terhadap keluargaku dan terhadap momonganku, Raden Juwiring”

“He, apa yang sudah aku lakukan?” bertanya Kiai Danatirta.

Ki Dipanala tersenyum.

Mereka kemudian terdiam ketika Juwiring datang mendekat. Sambil tersenyum ia berkata, “Biarlah aku memasang pelana kuda paman. Agaknya paman sedang dicari oleh Arum”

“Kenapa?” bertanya Ki Dipanala.

“Makan pagi telah tersedia”

Ki Dipanala tertawa. Dan Kiai Danatirta pun kemudian mempersilahkannya masuk ke ruang dalam.

Setelah makan pagi, maka Ki Dipanala pun segera minta diri kepada Kiai Danatirta dan ketiga anak-anak muda yang mengantar mereka sampai ke regol halaman. Dengan wajah yang cerah Ki Dipanala berkata, “Aku akan kembali ke Ranakusuman. Mudah-mudahan aku segera mendapat tugas serupa, membawa Barang-barang yang lain lagi kemari”

Juwiring pun tertawa pula. Katanya, “Tetapi paman harus membawa beberapa orang pengawal agar paman tidak dirampok orang di perjalanan. Tentu Buntal tidak dapat setiap hari menunggu kedatangan paman di sawah”

Yang mendengar kata-kata Juwiring itu pun tertawa pula. Buntal bahkan menyahut, “Aku akan menyongsong paman ke Surakarta jika aku tahu kapan paman akan datang, dan apakah paman membawa kain lurik berwarna cerah buatku”

Ki Dipanala pun tertawa pula, meskipun ia tidak dapat menyingkirkan debar dadanya karena peristiwa yang telah terjadi itu.

“Tetapi paman tidak usah membawa apa-apa lagi buatku” berkata Arum kemudian.

“Kenapa? Kain itu pemberian Raden Ayu Galihwarit. Apakah kain itu kurang baik buatmu?”

“Bukan kurang baik, tetapi terlalu baik. Dan apakah pemberian itu tidak menyimpan pamrih apapun”

Ki Dipanala tersenyum. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Tetapi jika aku yang diberinya, aku akan menerimanya dengan senang hati, apapun pamrih yang tersimpan di dalam hatinya. Asal aku tidak goyah dari sikap dan pendirianku”

“Itulah yang namanya memanfaatkan keadaan” sahut Kiai Danatirta sambil tertawa.

Demikianlah, maka ketika matahari semakin tinggi dan panasnya terasa mulai menggigit kulit, Ki Dipanala pun meninggalkan padepokan Jati Aking. Dipacunya kudanya menyusur jalan persawahan yang dilaluinya pada saat ia datang ke padepokan itu.

Ketika ia sampai Di tempat ia dicegat beberapa orang perampok yang sekaligus akan membunuhnya itu, maka ia pun berhenti. Agar tidak menimbulkan kecurigaan orang-orang yang berada di sawah masing-masing, maka ia pun membiarkan kudanya minum seteguk di parit di pinggir jalan, sementara ia memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

Ternyata di sebelah parit induk yang agak besar terdapat gerumbul-gerumbul perdu diatas tanggul. Namun agaknya tanggul itu cukup lebar untuk berpacu diatas punggung kuda.

“Dari sana anak panah itu dilepaskan” Ia bergumam. Lalu, “Ketika Buntal memburunya sambil berloncat-loncatan, mereka lari ke kuda mereka yang ditambat di balik gerumbul-gerumbul itu dan berpacu menjauh”

Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Disentuhnya sebuah batu di pinggir jalan dengan kakinya. Di situlah orang yang berpakaian petani dengan tutup kepala yang lebar itu duduk menunggunya. Tetapi ternyata orang itu telah dibinasakan oleh Raden Rudira sendiri.

Sejenak kemudian barulah Ki Dipanala meloncat ke punggung kudanya dan meneruskan perjalanannya kembali ke istana Ranakusuman. Tetapi setiap kali ia terngiang pesan Kiai Danatirta, “Hati-hatilah”

Ki Dipanala menarik napas dalam-dalam.

Di perjalanan Ki Dipanala tidak terlalu sering beristirahat.

Bersambung keBunga di batu karang VII bag 1

Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/

Komentar

Postingan Populer