Bunga di batu karang VII Bag 2
Bunga di batu karang VII Bag 2
Raden Rudira tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih terangguk-angguk.
“Tetapi jika berada di antara saudara-saudaramu itu, kau pasti akan mendapat tempat yang baik karena kelebihanmu. Bukankah mereka menyebutmu sebagai pemburu terbaik di antara mereka?”
“Ya ayah”
“Nah, karena itu, beradalah di lingkungan mereka agar kau dapat mengikuti perkembangan keadaan secara terus-menerus”
Raden Rudira tidak menyahut. Tetapi ia masih agak bingung. Apakah yang dikatakan ayahandanya itu ada sangkut pautnya dengan ceritera tentang Dipanala yang ditanyakannya itu.
“Rudira” suara ayahnya tiba-tiba menjadi dalam, “karena itu kau jangan terlampau dalam hanyut dalam kepentinganmu sendiri. Dalam pergolakan yang semakin panas ini, setiap keadaan akan menjadi sepercik api yang dapat menyala dan membakar suasana. Pertentangan yang tidak perlu harus dihindarkan. Kita harus dapat mengikat hati rakyat Surakarta, agar mereka tidak mudah dipengaruhi oleh sikap dan usaha yang tampaknya akan menguntungkan mereka”
Raden Rudira mengerutkan keningnya. Tetapi terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya ayahnya sudah mulai mempersoalkan dirinya dan tindakannya atas Ki Dipanala.
Dan dugaannya itu tidak salah. Sejenak kemudian ayahanda-nya berkata, “Rudira. Seharusnya kau pun membantu agar rakyat Surakarta menganggap bahwa para bangsawan yang kini berkuasa di bawah perintah Kangjeng Susuhunan Pakubuwana sekarang ini, adalah pelindung rakyat. Dengan demikian kau jangan menyakiti hati rakyat dan orang-orang terdekat yang dapat menimbulkan kesan kesewenang-wenangan”
Raden Rudira masih tetap berdiam diri.
“Nah, barangkali kau tahu maksudku. Kiai Danatirta adalah orang yang berpengaruh atas lingkungannya. Kau harus bersikap baik terhadapnya dan terhadap keluarganya”
Raden Rudira sama sekali masih belum menyahut. Tetapi jantungnya seakan-akan berdetak semakin cepat. Namun demikian Raden Rudira menjadi heran, bahwa ayahnya mulai dari Kiai Danatirta. Apakah ayahnya tidak akan berbicara tentang Dipanala?
“Jika kau berbuat kasar terhadap mereka, Rudira, maka orang-orang di Jati Sari akan mempunyai kesan yang kurang baik terhadap kita. Dengan demikian maka mereka akan dengan cepat dapat dipengaruhi oleh para bangsawan yang menentang kekuasaan Kangjeng Susuhunan”
Dengan suara yang dalam Raden Rudira menjawab, “Ya ayahanda” Namun ia mengharap agar ayahnya hanya sekedar membicarakan hubungannya dengan Kiai Danatirta. Dan ia mengharap agar itulah yang dimaksud dengan ceritera Dipanala. Mungkin Kiai Danatirta pernah mengeluh kepada Ki Dipanala, atau barangkali persoalan-persoalan lain yang dikemukakan kepadanya. Atau persoalannya sekedar rentetan dari persoalan yang dahulu pada saat ia hampir saja menghukum Dipanala dengan caranya.
Namun rasa-rasanya jantungnya berhenti berdenyut ketika ayahnya kemudian berkata, “Rudira, kenapa kau sakiti hati Dipanala? Tentu bukan karena sekedar dendam bahwa niatmu membawa anak gadis Danatirta itu gagal”
Rudira menjadi semakin gelisah.
“Dipanala dan Danatirta mempunyai hubungan yang rapat. Menurut katamu Sukawati sudah menyusun bentuk yang aneh yang menurut dugaanmu adalah suatu persiapan dari usaha mereka menyusun kekuatan. Apakah kau ingin Jati Sari juga membentuk dirinya menjadi padukuhan yang dibayangi oleh rahasia seperti Sukawati? Mungkin Jati Sari tidak mempunyai seorang seperti Adimas Pangeran Mangkubumi. Tetapi orang-orang Jati Sari dapat mencari hubungan dan bergabung dengan mereka”
Sekali-sekali Rudira mencoba memandang ayahnya, namun kemudian wajahnya tertunduk dalam-dalam.
“Rudira” suara Pangeran Ranakusuma menjadi dalam, “Kenapa kau mencoba membunuh Dipanala?”
Pertanyaan itu bagaikan menghentak isi dadanya. Sejenak Rudira menjadi tegang dan bahkan terbungkam.
“Kenapa?” desak ayahnya, “Katakan. Kau dan ibumu sudah mencoba melakukan pembunuhan dengan meng-upah beberapa orang penjahat. Tetapi karena mereka tidak berhasil, dan justru salah se-orang dari mereka tertangkap, maka kau telah membunuhnya”
Rudira tidak segera dapat menjawab. Wajahnya bagaikan membeku dalam ketegangan. Dengan mata yang tidak berkedip ditatapnya wajah ayahnya. Namun ketika ayahnya memandangnya ia pun segera melemparkan pandangannya dan jatuh pada ujung jari kakinya.
“Kenapa?” desak ayahnya.
“Aku, aku tidak melakukan ayah” sahut Rudira tergagap setelah ia memaksa dirinya untuk menjawab.
“Rudira, aku bukan orang yang terlampau dungu. Karena itu jangan menipu aku. Kau dan ibumu sudah bersepakat untuk membunuhnya”
Raden Rudira masih akan mengingkarinya lagi. Tetapi ayahnya kemudian melemparkan anak panah yang sudah terpotong-potong kehadapan Rudira, sehingga karena itu, maka anak muda itu pun telah terbungkam lagi.
“Agaknya dendam yang membakar jantungmu sudah kau tiup-tiupkan ke telinga ibumu sehingga ibumu telah membantumu untuk memusnahkan Dipanala, meskipun aku agak curiga, bahwa alasan itu terlampau kecil untuk mengambil keputusan untuk membunuh seseorang”
Rudira sama sekali tidak dapat menjawab lagi. Karena itu dengan mulut yang bagaikan terbungkam ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Rudira” Ia mendengar suara ayahnya, “Apakah pantas bagimu dan ibumu, bahwa karena persoalan yang kecil itu, kau sudah memutuskan untuk membunuhnya? Jika masalahnya adalah masalah Arum yang saat itu gagal kau bawa, sama sekali bukan alasan yang kuat untuk membunuhnya. Nah, apakah kau tahu alasan lain yang lebih dapat diterima dengan akal, bahwa Ki Dipanala harus dibunuh?”
Rudira sama sekali tidak menyahut
“Rudira” Ayahnya mendesak, “jawablah pertanyaanku. Apakah kau mengetahui alasan lain atau alasanmu sendiri yang lebih mantap agar orang itu dapat dibunuh?”
Rudira masih belum menjawab.
“Apakah kau tidak mendengar pertanyaanku, atau kau memang tidak dapat mengatakan apapun juga?”
“Aku tidak tahu ayah. Aku sama sekali tidak tahu”
“Jadi alasanmu satu-satunya adalah karena Dipanala selalu mengganggu niatmu? Hanya itu?”
Rudira mengangguk.
“Jika itu Rudira, kau adalah anak muda yang paling kejam dan bengis. Dipanala mempunyai keluarga. Mempunyai anak-anak yang makan karena jerih payahnya. Jika kau membunuhnya, maka anak -anak itu akan terlantar, dan kau tidak akan mendapat keuntungan apa-apa karena Danatirta sendiri akan dapat mencegahnya”
Rudira tidak dapat menjawab lagi. Dan kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk.
“Rudira” berkata ayahnya, “seharusnya untuk melakukan hal serupa itu, kau harus minta pertimbangan kepadaku, kepada ayahmu. Masalahnya adalah masalah yang besar. Jiwa manusia. Dan kau agaknya hanya berbicara dengan ibumu. Aku tidak tahu kenapa ibumu dapat menyetujui rencanamu yang bengis itu”
Rudira menjadi semakin tunduk.
“Kenapa?” tiba-tiba ayahnya membentak sehingga Raden Rudira menjadi terkejut karenanya. Tetapi ia sama sekali tidak dapat menjawabnya.
“Rudira, aku ingin mendengar jawabmu. Sebelum kau menjawab dengan jawaban yang dapat aku mengerti, kau masih harus tetap duduk di situ”
Dada Raden Rudira menjadi berdebar-debar. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Ibunda justru menganjurkan aku membunuhnya ayah”
“He?” Ayahnya terkejut. Tetapi kesan di wajahnya itu pun segera lenyap. Bahkan wajah Pangeran Ranakusuma itu seakan-akan menjadi semakin terang.
Raden Rudira yang mencoba memandang wajah ayahnya sekilas menjadi heran Ayahnya tampaknya menjadi tidak marah lagi kepadanya. Bahkan kemudian ia melihat Pangeran Ranakusuma itu tersenyum. Katanya, “Jadi ibundamu yang menganjurkan kepadamu agar Dipanala dibunuh saja?”
Raden Rudira menjadi ragu-ragu. Lalu jawabnya, “Ya ayah. Ibunda lah yang menganjurkan agar aku membunuh Dipanala”
“Apakah alasan ibumu?”
“Dipanala dapat mengganggu semua cita-citaku. Ia adalah orang yang berbahaya karena mulutnya berbisa” Raden Rudira berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia bertanya dengan hati yang kosong, “Kenapa ayahanda selalu mendengarkan kata-katanya? Ibunda kadang-kadang merasakan suatu kejanggalan, seakan-akan Dipanala lah yang menentukan semua keputusan di sini. Ayahanda selalu menuruti pendapatnya, meskipun pendapat itu bertentangan dengan kepentinganku dan kepentingan ibunda”
“He?” Sekali lagi Pangeran Ranakusuma terkejut. Namun kesan itu pun segera lenyap pula dari wajahnya.
Namun demikian, terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya. Bahkan kemudian timbul pertanyaan di dalam dirinya, “Apakah Galihwarit mengetahui hubunganku dengan adiknya?”
Tetapi ia pun kemudian menjawabnya sendiri, “Tentu tidak. Jika demikian tentu bukan Dipanala yang akan dibunuhnya”
Sejenak Pangeran Ranakusuma itu merenung. Sekali-sekali dipandanginya kepala Rudira yang tertunduk. Kemudian dilemparkannya pandangannya itu jauh menembus kegelapan di luar daun pintu yang terbuka.
Namun dalam ada itu tumbuh pula persoalan di dalam dirinya dibumbui oleh perasaan yang selama ini dicobanya untuk menekan dalam-dalam di dalam lubuk hatinya, apabila ia melihat sikap dan rias isterinya itu agak berlebih-lebihan jika ia pergi mengunjungi pertemuan dan kadang-kadang makan dan minum bersama orang-orang asing itu. Dengan atau tidak dengan dirinya. Bahkan dengan bercermin kepada diri sendiri, maka timbul pertanyaan pula, “Apakah isteriku juga menyimpan suatu rahasia yang diketahui oleh Dipanala sehingga ia akan membunuhnya?”
Sejenak kemudian Pangeran Ranakusuma itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada anaknya, “Rudira. Kenapa kau tidak membicarakan rencanamu itu dengan ayahmu?”
Rudira tidak berani menengadahkan wajahnya, dan sama sekali tidak menjawab.
Tetapi kata ayahnya lebih lanjut sama sekali tidak diduganya. “Jika kau membicarakannya dengan aku, mungkin aku akan dapat memberimu jalan sehingga kau tidak akan gagal”
Tiba-tiba saja Raden Rudira mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah ayahnya dengan penuh pertanyaan. Tetapi ayahnya itu justru tersenyum kepadanya, “Kau tidak percaya?”
Raden Rudira tidak menyahut. Ia masih belum mengerti tangkapan yang sebenarnya dari ayahanda itu.
“Rudira” berkata ayahnya kemudian, “Kau menjadi bingung?”
“Aku tidak mengerti ayahanda, perasaan apakah yang sekarang bergolak di dalam hatiku”
“Kau memang sedang bingung. Tetapi baiklah. Dengarlah. Aku akan membantumu jika kau dapat mengatakan alasan, kenapa ibumu menganjurkan kepadamu untuk membunuh Dipanala? Apakah benar bahwa hal itu sekedar karena cintanya dan kasih sayangnya kepadamu? Jika demikian, maka ia dapat mengambil jalan lain. Karena itu, untuk kepentinganmu dan kepentingan ibundamu sendiri Rudira, cobalah, usahakanlah mengerti, apakah alasan ibumu yang sebenarnya”
“Apakah aku harus bertanya kepada ibunda?”
“Terserahlah kepadamu. Tetapi hati-hati. Jangan menyakiti hati ibundamu. Ia memang sangat mengasihimu” ayahandanya berhenti sejenak, lalu, “Jika aku mengetahui alasan yang sebenarnya itu. Maka aku akan menentukan sikap. Jika masalahnya memang penting sekali dan wajar, aku akan menolongmu”
Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, pergilah. Tetapi untuk selanjutnya kau harus berhati-hati. Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan kau sendiri dan dapat menimbulkan kesan yang tidak baik. Jika terjadi sesuatu, dan rakyat yang bodoh itu dapat dibakar, maka kita akan menjadi sasaran pertama apabila kita selalu menyakiti hati mereka”
Raden Rudira mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya ayah. Aku akan mengingat semuanya”
Sejenak kemudian maka Raden Rudira pun segera minta diri, sementara ayahandanya masih duduk di tempatnya. Jika Rudira berhasil menemukan alasan ibundanya yang sebenarnya, dan alasan itu benar-benar dapat dimengertinya, maka hal itu pasti akan menenteramkannya. Ia tidak akan selalu dikejar oleh perasaan curiga dan cemas. Ia akan dapat berbuat sesuatu dengan mantap, karena sebenarnyalah Ki Dipanala tidak berguna lagi baginya sekarang. Hubungannya dengan adik kandung Raden Ayu Galihwarit telah berjalan dengan lancar tanpa diketahui oleh siapapun, kecuali oleh Ki Dipanala.
“Jika Galihwarit mengetahuinya dan terlebih-lebih lagi suami adik kandungnya itu, maka keadaan pasti akan bergejolak. Suaminya itu pasti akan menentukan sikap dan barangkali kami terpaksa melakukan perang tanding” berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hatinya, “Tetapi itu tentu memalukan sekali meskipun aku dapat berbuat lebih dahulu dengan bantuan kumpeni”
Sejenak kemudian Pangeran Ranakusuma itu pun segera berkemas. Ia memang benar-benar harus pergi ke istana meskipun hanya sekedar untuk mendengarkan perkembangan terakhir dari Kerajaan Surakarta di bawah pemerintahan Kangjeng Susuhunan Pakubuwana. Namun yang semakin lama tampak menjadi semakin suram karena selalu dibayang-bayangi oleh kekuasaan asing yang semakin dalam mencengkeram kekuasaan di Surakarta.
Dalam pada itu Raden Rudira duduk termenung di ruang belakang. Tetapi ia selalu saja gelisah karena kata-kata ayahnya.
Tetapi tidak seperti yang dikehendaki oleh ayahnya, agar ia dapat mengemukakan alasan ibunya seperti yang dikehendaki oleh ayahandanya, tetapi hatinya justru ditumbuhi oleh kecurigaan. Bahkan setiap kali timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah benar ada alasan rahasia yang tidak dikatakan oleh ibunda tentang rencana pembunuhan itu? Jika demikian apakah alasan itu dapat langsung aku tanyakan kepada ibunda?”
Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang ibunya yang cantik dan masih tampak selalu muda itu berada di antara orang asing yang meskipun tidak banyak jumlahnya, tetapi cukup mencemaskannya.
“Apa saja yang dilakukan oleh ibunda dan kadang-kadang bersama ayahanda di dalam pertemuan-pertemuan serupa itu? Apalagi jika ibunda pergi seorang diri?”
Perasaan kasih seorang ibu kepada anaknya, terasa setiap saat membelai hati Raden Rudira, Namun setiap kali ia selalu dicemaskan oleh tindak dan sikap ibunya. Bahkan kadang-kadang ia tidak rela apabila ibundanya pergi dan duduk di dalam sebuah kereta bersama orang asing itu, meskipun kadang-kadang ibunya berkata kepadanya sebelum ia bertanya, “Bagi mereka, hal serupa itu adalah menjadi kebiasaan. Mereka bukan orang-orang yang lekas menjadi cemburu seperti kita. Mereka menganggap persahabatan sebagai sesuatu yang harus dihormati, seperti mereka menghormati diri mereka sendiri. Karena itulah maka tidak seorang pun dari mereka yang berbuat tidak senonoh”
Raden Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Mereka menghormati persahabatan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian mereka tentu akan menghormati keluarga dan ikatan keluarga sahabat-sahabat mereka. Dan mereka pun akan menghormati ibunda dan ayahanda, apalagi ayahanda adalah seorang Pangeran”
Meskipun demikian hati Raden Rudira tidak juga menjadi tenteram. Sebagai seorang anak laki-laki yang dewasa, ia dapat membayangkan kemungkinan yang dapat timbul. Tetapi setiap kali terngiang kata-kata ibunya, “Mereka menghormati persahabatan seperti dirinya sendiri. Seperti dirinya sendiri”
Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia kemudian berdiri dam melangkah keluar, dilihatnya bayangan lampu obor yang menyala di sudut istananya bergetar oleh angin malam yang lembut.
Tanpa maksud tertentu Rudira berjalan saja di halaman di sebelah rumahnya. Dingin malam yang semakin menggigit terasa membuat hatinya agak sejuk. Ketika ia kemudian menengadah-kan kepalanya, dilihatnya bintang-bintang gemerlapan di langit yang seakan-akan tanpa batas.
Rudira terkejut ketika seseorang menyapanya dari kegelapan.
Namun mendengar suaranya yang agak parau, Rudira segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah Mandra.
“Apakah tuan menghadap ayahanda?” bertanya Mandra. Raden Rudira menganggukkan kepalanya.
“Apakah yang ditanyakan oleh ayahanda tuan kepada tuan ada hubungannya dengan kegagalan kita?”
Sekali lagi Raden Rudira mengangguk sambil menjawab, “Ya. Ayah bertanya tentang penyamun itu, tentang anak panah yang ternyata telah disimpan oleh Dipanala, dan kemudian ayah langsung menunjuk hidungku sambil bertanya, “Kenapa kau berusaha membunuh Dipanala?”
“Apakah tuan mengiyakan?”
“Sebenarnya aku ingin mengingkarinya seperti pesan ibunda. Tetapi aku tidak berhasil. Ayah mempunyai alasan yang kuat untuk menuduh aku”
Mandra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia bertanya, “Dengan demikian apakah ayahanda tuan juga menyebut namaku?”
“Tidak”
“Tetapi Pangeran Ranaku-suma tentu mengetahuinya. Jika yang seorang Raden Rudira, maka yang seorang tentu aku”
“Apaboleh buat”
“Tetapi, tetapi apakah ayahanda marah?”
Rudira menggeleng. Kata-nya, “Aku harus mengetahui alasan ibunda yang sebenarnya, kenapa ibunda pun dengan sangat bernafsu ingin membunuh Ki Dipanala. Aku pun mulai mempertimbangkannya, jika tidak ada alasan yang kuat, ibunda tentu tidak akan mengambil langkah demikian”
Mandra pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula sambil berkata, “Ya. Tentu ada alasan yang cukup kuat”
“Itulah yang harus aku tanyakan kepada ibunda”
Mandra tidak menyahut. Tetapi menurut dugaannya, alasan itu memang dapat saja alasan yang lain, tetapi mungkin juga bagi seorang ibu yang sangat memanjakan anaknya, kegagalan Rudira di Jati Aking, membuatnya marah sekali sehingga tampak di luar sadarnya ia memerintahkan agar orang yang bernama Dipanala itu dibunuh saja. Tetapi tidak mustahil pula bahwa memang ada alasan lain yang cukup kuat bagi Raden Ayu Galihwarit.
“Aku memerlukan waktu” berkata Rudira kepada pengiringnya yang-setia itu.
“Tetapi tidak terlalu lama. Keadaan kota ini bagaikan bisul yang akan pecah. Dan itu dapat terjadi siang, malam, pagi atau sore”
Raden Rudira mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi kenapa justru ibunda semakin sering pergi dengan atau tidak dengan ayahanda? Kumpeni sama sekali tidak menghiraukan keadaan yang sebenarnya terjadi di Surakarta. Mereka masih saja mengadakan bujana makan dan minum. Justru semakin lama bagaikan orang-orang yang tidak mempunyai persoalan sama sekali selain makan, minum bersenang-senang dan seakan-akan melepaskan semua kekangan nafsunya”
“Ya, demikianlah agaknya”
Namun ternyata kata-kata Raden Rudira itu telah mengejut-kan dirinya sendiri. Tiba-tiba saja kecurigaannya menjadi semakin memuncak. Sekali lagi terngiang kata-katanya sendiri yang seolah-olah begitu saja terlontar dari sela-sela bibirnya, “Makan, minum, bersenang-senang dan seakan-akan melepaskan semua kekangan nafsunya”
“Apakah betul begitu?” Ia bertanya kepada diri sendiri.
Namun pertanyaan yang lain telah membuat hatinya semakin gelisah, “Jika tidak, apa saja yang mereka lakukan? Pada suatu saat mereka tentu akan jemu makan dan minum betapa enak dan beraneka macamnya makanan. Tetapi mereka tentu mencari kepuasan yang lain, tidak sekedar makan minum”
Terasa bulu-bulu Raden Rudira meremang. Sekilas terbayang wajah ibunya yang cantik dan masih selalu tampak muda. Pakaian dan rias yang berlebih-lebihan.
“Apakah ayahanda tidak pernah merasa cemburu, atau justru karena dengan demikian ayah akan mendapatkan apa yang dikehendakinya. Jabatan, kekuasaan dan segala macam benda yang selama ini belum pernah kita miliki?”
“Tidak. Tentu tidak” tiba-tiba saja hatinya melonjak, “Ayah tentu tidak akan mengorbankan harga dirinya sampai serendah itu. Apalagi ayahanda adalah seorang Pangeran. Jika terjadi sesuatu yang menyimpang dari keterangan ibunda, bahwa mereka menghormati persahabatan seperti dirinya sendiri, maka ayahanda tentu akan bertindak. Tentu ayahanda tidak akan menjual harga dirinya, berapapun juga mereka akan membeli”
Tiba-tiba terasa hati Raden Rudira itu menjadi panas. Ia tidak mau, meskipun sekedar di dalam angan-angan, ibunya akan membagi kasih sayangnya. Ibunya mencintainya dan mencintai ayahandanya. Dan tidak boleh ada sangkutan kasih yang lain pada ibunya, apapun alasannya. Sadar atau tidak sadar, jujur atau tidak jujur.
Tetapi Raden Rudira bahkan telah dicengkam oleh perasaan curiga yang amat sangat. Dan perasaan itu bagaikan mengorek dasar hatinya yang manja.
Karena itu, maka terbersit suatu keinginan di dalam hatinya untuk sekali-sekali mengetahui meskipun dari kejauhan, apakah yang sebenarnya dilakukan oleh ibunda di dalam pertemuan-pertemuan serupa itu.
“O” Raden Rudira mengeluh di dalam hati, “Apakah aku sudah kehilangan kepercayaan kepada ibunda?”
Tetapi Raden Rudira. tidak dapat menyingkirkan keinginan itu. Bahkan semakin ia mencoba melupakannya, rasa-rasanya bagaikan semakin dalam menghunjam ke dalam jantungnya.
Dalam pada itu, pengaruh perkembangan hubungan antara pimpinan pemerintahan di Surakarta dan kumpeni mempunyai pengaruh di dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa orang bangsawan dengan tegas menunjukkan penolakan atas pengaruh yang semakin besar mencengkam Surakarta, sedang beberapa orang Pangeran yang lain dengan senang hati menerima keadaan itu sebagai suatu karunia bagi mereka yang haus akan kekayaan dan kemewahan yang melimpah-limpah, tanpa menghiraukan kemungkinan apapun yang dapat terjadi atas bangsa dan negaranya.
Pertentangan itulah yang bagaikan jalur yang menyelusur dari atas sampai ke bawah. Pengaruh para Pangeran ternyata mempunyai warna tersendiri di daerah palenggahan mereka atau di daerah pengaruh mereka masing-masing.
Dan itulah yang menyedihkan. Mereka yang tidak banyak mengerti tentang persoalan yang menyangkut pemerintahan dan hubungannya dengan perkembangan tanah mereka, menjadi terpecah pula. Sebagian dengan sadar menentukan sikap, dan yang sebagian lagi tanpa memikirkan sebab dan akibatnya, langsung saja berpihak.
Dalam keseluruhan Surakarta sudah mulai retak. Para bangsawan saling mencurigai di antara mereka. Dan demikian juga rakyat di suatu daerah terhadap rakyat di daerah yang lain. Seakan-akan mereka bukan lagi terdiri dari kesatuan yang selama ini telah bersama-sama membina Surakarta dengan segala keprihatinan.
Di Jati Aking, udara yang panas itu pun sudah terasa semakin. panas. Dengan demikian maka baik Raden Juwiring maupun Buntal telah menempa diri sejauh-jauh dapat dilakukan dengan cara masing-masing. Buntal masih saja mengisi segenap waktunya tanpa mengenal lelah, sedang Juwiring mempergunakan cara yang lebih sederhana namun mempunyai hasil yang cukup mengagumkan. Sedang Arum di bawah bimbingan khusus dari Kiai Danatirta, justru karena ia seorang gadis, meningkat dengan cepatnya pula mengiringi kemajuan kedua saudara angkatnya meskipun mereka adalah laki-laki.
Namun sejalan dengan kemajuan mereka di dalam olah kanuragan, maka di mata Buntal, Arum pun berkembang seperti kuncup yang mulai mekar. Baunya yang semerbak dan warnanya yang cerah semakin menumbuhkan kesan yang lain. di dalam dirinya. Tetapi setiap kali ia masih saja harus mengusap dadanya, betapa ia merasa dirinya terlampau kecil. Di antara dirinya dan gadis itu seakan-akan telah berdiri seorang raksasa yang perkasa. Raden Juwiring.
Setiap kali Buntal melihat Arum memakai pakaiannya yang paling bagus, yang diterimanya dari Raden Ayu Galihwarit, hatinya menjadi berdebar-debar. Sekali-sekali teringat pula olehnya Raden Rudira yang setiap saat dapat datang ke padukuhan ini atas perintah ayahandanya untuk mengambil gadis itu. Dengan umpan yang tidak ternilai harganya atau dengan kekerasan. Tetapi seandainya Raden Rudira itu tidak datang lagi ke padepokan ini maka di sini masih ada Raden Juwiring.
Namun hal itu telah mendorongnya untuk menempa diri tanpa mengenal batas waktu. Kapan saja ia ingin, maka hal itu dilakukannya. Bahkan kadang-kadang di tengah malam, selagi ia terbangun dari tidurnya dan ia tidak berhasil memejamkan matanya kembali, ma ka ia pun kemudian pergi ke tempat yang sepi dan jarang disentuh kaki para penghuni padepokan itu, apalagi di malam hari, untuk melakukan latihan seorang diri.
“Meskipun aku keturunan pidak pedarakan, tetapi aku tidak mau kalah dengan keturunan bangsawan” katanya di dalam hati. Namun apabila kemudian ia sadar, ia menjadi malu sendiri, seakan-akan ia telah memusuhi Raden Juwiring yang bersikap terlalu baik kepadanya.
“Gila” desisnya, “hatiku sudah dicengkam oleh kuasa iblis yang paling jahat. Tidak demikian seharusnya aku bersikap, di dalam perbuatan dan angan-angan terhadap saudara angkat apabila aku seseorang yang jujur”
Namun setiap kali persoalan itu kembali menggelitik hatinya.
Adalah suatu hal yang mengejutkannya ketika pada suatu hari Kiai Danatirta telah memanggilnya bersama Raden Juwiring. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh Kiai Danatirta itu pun berkata, “Anak-anakku, ternyata keadaan kini menjadi semakin gawat. Di sebelah Timur telah timbul kegelisahan yang sangat. Mungkin masih belum terasa dari daerah yang aman seperti Jati Sari. Namun kadang-kadang telah terjadi bentrokan yang gawat. Masih sering terjadi kesalah pahaman, sehingga seakan-akan yang terjadi adalah perselisihan di antara rakyat Surakarta. Seolah-olah terjadi perselisihan antara padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, tetapi tidak demikian yang sebenarnya. Persoalannya jauh lebih dalam dari persoalan padukuhan yang kecil dan barangkali persoalan kerusuhan biasa”
Raden Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Apakah sebabnya yang terjadi adalah demikian ayah? Bukankah dengan demikian para petani lah yang menjadi korban tanpa menyentuh sasarannya. Bukankah kerusuhan yang demikian itu tidak akan berarti apa-apa bagi kumpeni?”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Jika yang terjadi demikian, memang Kumpeni tidak akan merasa terguncang sama sekali. Bahkan mereka dapat memanfaatkan bentrokan-bentrokan kecil yang telah terjadi itu. Tetapi bagaimanapun juga yang telah terjadi itu merupakan persoalan. Jika para bangsawan masih saja berbeda sikap dan pendirian, maka hal serupa itu masih saja akan terjadi. Yang parah adalah apabila Kumpeni justru dapat mengambil keuntungan dan meniupkan pertentangan di antara kita menjadi lebih besar lagi”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dengan suara yang dalam Raden Juwiring berkata, “Dengan menyesal aku harus menyaksikan sikap ayahanda yang condong berpihak kepada kumpeni”
“Ya” sahut Kiai Danatirta, “Tetapi tanpa sesadarnya. Raden Ayu Galihwarit lah yang telah mendorongnya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Dipanala, bahwa pemberian kumpeni yang berlimpah-limpah itu agaknya telah mengaburkan sikap satria yang seharusnya dimiliki oleh para bangsawan di Surakarta”
Raden Juwiring mengangguk-angguk. Tetapi wajahnya menjadi semakin buram. Agaknya sesuatu sedang bergejolak di dalam hatinya.
“Anak-anakku” berkata Kiai Danatirta kemudian, “dalam keadaan yang gawat ini, sebenarnya Surakarta memerlukan seorang yang kuat. Seorang yang dapat berdiri diatas segala kepentingan, sehingga justru tidak terjadi benturan di antara kita sendiri. Dan jauh sebelum semuanya terjadi, kita harus sudah memilih tempat. Dan aku percaya, bahwa Ki Demang di Sambi Sari akan sependapat dengan kita. Sebelum kita semua terlambat, kita harus mengambil sikap, agar apabila banjir bandang melanda Surakarta, kita tidak akan sekedar hanyut dan hilang tenggelam tanpa arti. Kita harus merupakan butir-butir air dalam arus banjir bandang, atau menjadi sebutir debu dari batu karang yang tidak tergoyahkan”
Kedua anak-anak muda ku mengangguk-angguk. Mereka mengerti sikap guru dan sekaligus ayah angkatnya. Dalam keadaan yang paling gawat dan menentukan, mereka tidak dapat menunggu.
Dan ternyata bahwa Kiai Danatirta pun kemudian berkata, “Karena itu anak-anakku, jika kita ingin menentukan sikap, maka kita harus memilih sekarang, juga. Kita sudah dapat menduga, siapakah yang dapat dijadikan sandaran di dalam saat yang paling gawat”
Juwiring mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu. Dan Kiai Danatirta berkata selanjutnya, “Anak-anakku. Sebenarnya aku ingin mendengar pendapatmu. Yang kita kenal dan pasti, ada dua pihak yang berdiri berseberangan di Surakarta. Katakanlah, bahwa yang satu pihak telah dipengaruhi oleh kehadiran orang asing itu dan justru membantunya memper-sempit kemerdekaan diri, sedang yang lain berdiri pada atas yang sewajarnya di bumi sendiri. Bukan untuk sesuatu yang berlebih-lebihan. Mereka yang tidak dapat menerima pengaruh yang semakin besar dari orang asing itu tidak menginginkan sesuatu di luar haknya. Mereka hanya ingin agar rumah tangganya tidak terganggu. Dan itu adalah wajar sekali”
Wajah Raden Juwiring menjadi semakin berkerut.
“Sekarang, menurut pendapatmu, dimana kita harus berdiri? Aku tahu bahwa Juwiring menghadapi masalah yang cukup berat bagi dirinya sendiri, karena kebetulan ia adalah putera Pangeran Ranakusuma”
Wajah Raden Juwiring pun menjadi semakin tunduk.
“Karena itu” berkata Kiai Danatirta lebih lanjut, “pikirkanlah sebaik-baiknya. Dimanakah kau akan berdiri. Tentu kau tidak akan dapat menjawabnya sekarang. Aku tidak mau kau meng-ambil keputusan yang tergesa-gesa. Hal ini akan menyangkut masalah yang sangat luas bagimu”
Juwiring menarik nafas dalam-dalam.
“Namun sementara itu Juwiring, aku ingin memberitahukan kepada kalian, bahwa aku berniat untuk menghubungi Pangeran Mangkubumi atau orang-orangnya di Sukawati. Aku ingin mendapat penjelasan, apakah yang telah mereka lakukan, karena menurut pendengaranku, mereka telah mempersiapkan diri jika terjadi sesuatu”
Juwiring pun kemudian mengangkat wajahnya. Dengan ragu-ragu ia, berkata, “Ayah, aku memang menjadi bingung sekali. Tetapi pada dasarnya aku adalah salah seorang yang lahir dan dibesarkan diatas bumi Surakarta. Itulah yang mendorong aku untuk mencintai tanah ini. Meskipun aku wajib mencintai ayah dan ibunda, tetapi apakah salahnya bahwa aku tidak menempuh jalan yang sama seperti yang dilakukan oleh ayahanda Pangeran Ranakusuma. Apalagi seperti ibunda Galihwarit”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata, “Kau tergesa-gesa Juwiring. Jika aku mengambil sikap itu adalah sikap padepokan Jati Aking. Tetapi aku tidak mengharuskan kau bersikap seperti aku. Aku tidak akan marah dan apalagi mengingkari kau sebagai murid dan anak angkatku. Aku menghargai perbedaan pendirian. Jika kita memang harus menempuh jalan yang berbeda, kita akan berjalan diatas jalan kita masing-masing. Tetapi jika kita bersetuju untuk menempuh satu jalan, aku akan senang sekali”
“Ayah, aku seolah-olah tidak mempunyai tempat lagi di rumah ayahanda Pangeran Ranakusuma. Karena itu, aku tidak akan dapat berada di dalam lingkungannya”
“Apakah itu alasanmu? Sekedar untuk menempatkan diri dalam lingkungan yang baru karena kau kehilangan tempat di lingkunganmu yang lama?”
“Tidak ayah, bukan itu. Tetapi aku merasa bahwa aku tidak sesuai lagi dengan lingkungan ayahanda bukan karena aku disingkirkan, tetapi juga karena sikap ayahanda terhadap Kumpeni dan pengaruhnya”
“Jadi bukan semata-mata sebuah luapan dendam terhadap kedudukanmu dalam keluargamu?”
“Sama sekali bukan ayah”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Meskipun demikian kau masih mempunyai kesempatan yang panjang untuk memikirkannya” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “semen-tara itu, hubungan yang aku inginkan dengan Sukawati, akan aku teruskan”
Sejenak Kiai Danatirta termangu-mangu. Namun kemudian katanya selanjutnya, “Anak-anakku. Aku ingin kalianlah yang pergi ke Sukawati. Apalagi setelah aku mendengar isi hati Juwiring. Sambil berjalan ke Sukawati ia dapat berpikir dan memperbincangkan kedudukannya di dalam lingkungannya dengan kau Buntal. Bersikaplah jujur terhadap diri sendiri, sehingga semua tindakan yang akan kalian lakukan adalah tindakan yang berakar di dalam hati” Kedua anak muda itu tidak menjawab, “Apakah kalian sanggup melakukannya?”
Buntal lah yang lebih dahulu menjawab meskipun nada suaranya agak dalam, “Tentu kami akan bersedia ayah. Seperti yang selalu ayah pesankan kepada kami, bahwa tanah yang kami injak, air yang kami minum dan butir-butir beras yang kami makan adalah bagian dari bumi yang mengandung kami, seperti seorang ibu yang mengandung dan kemudian membesarkan anaknya. Adalah wajib bagi kami untuk berbuat sesuatu terhadapnya sesuai dengan tuntutan keadaan dan kemampuan kami masing-masing”
“Bagus Buntal” Kiai Danatirta mengangguk-angguk, “Jika demikian, aku percaya kepada kalian berdua. Kalian adalah anak-anakku yang akan pergi ke Sukawati. Aku sudah tidak sangsi lagi. Jika Pangeran Mangkubumi tidak ada, maka bertemulah dengan orang-orang yang dipercayanya atau Ki Demang di Sukawati”
“Bagaimana kami dapat menghadap Pangeran Mangkubumi ayah?”
Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Dalam keadaan seperti ini, tentu setiap orang mempunyai prasangka terhadap orang-orang yang tidak dikenalnya.
Karena itu, setelah merenung sejenak, maka Kiai Danatirta pun berkata, “Kau harus menemukan jalan yang tepat. Jika tidak, kau tidak akan sampai padanya” orang itu berhenti sejenak, lalu, “Aku mempunyai seorang sahabat yang tinggal di Sukawati. Aku berharap bahwa ia pun ikut di dalam arus pergolakan yang telah terjadi di daerah itu. Menurut pendengaranku, orang-orang Sukawati bukan saja mempersiapkan segala jenis senjata, tetapi mereka pun sibuk menyempurnakan ilmu mereka lahir dan batin. Beberapa orang lelah menempa diri di dalam olah kanuragan. Yang lain mengasingkan diri di lereng-lereng gunung dan tebing-tebing untuk mendapatkan jalan terang dan petunjuk, namun juga untuk membajakan ilmu mereka dan menyadap kekuatan alam di sekitarnya”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sahabatku adalah seorang yang memiliki kemampuan yang cukup. Itulah sebabnya aku mengharap bahwa ia pun mempergunakan kemampuan itu untuk kepentingan tanah kelahiran ini” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Orang itu bernama Kiai Sarpa Srana, yang sering disebut orang Kiai Sarpa Ireng. Ia adalah seorang yang menguasai hubungan dengan ular. Seakan ia dapat berbicara dengan segala jenis ular. Ia dapat mempergunakan racun ular untuk kepentingan yang dianggapnya baik”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk pula.
“Temuilah Kiai Sarpa Ireng. Katakanlah bahwa kau berdua adalah muridku. Katakanlah apa maksud kedatanganmu. Mudah-mudahan orang itu dapat menolongmu”
Juwiring mengangkat kepalanya, lalu katanya, “Kami siap melakukannya ayah. Kapankah kami harus berangkat?”
“Jika matahari besok terbit, kalian berangkat dari padepokan ini. Sekarang kalian sempat menyediakan bekal secukupnya. Sukawati tidak terlalu jauh, meskipun bukan jarak yang dekat”
“Baiklah ayah. Kami akan berkemas”
“Kalian bukan saja harus menyediakan bekal, tetapi juga alat untuk menjaga diri”
“Senjata?”
“Ya”
“Pedang maksud ayah, atau tombak”
Kiai Danatirta menggeleng. Jawabnya, “Bukan senjata yang justru dapat mengundang kesulitan. Bawalah senjata yang dapat kalian sembunyikan”
“Pisau?”
“Semacam itu. Kau dapat membawa sebilah keris dan beberapa buah pisau kecil. Bukan semata-mata karena kalian ingin berkelahi. Tetapi keadaan ternyata sangat gawat. Semakin lama semakin panas. Jika karena sesuatu hal, di daerah Sukawati kau bertemu dengan kumpeni yang memiliki senjata yang dapat meledak dan membunuh dari jarak yang jauh, kau dapat melawannya dengan pisau-pisau kecil itu jika perlu, meskipun jangkau lontaran tanganmu tidak sejauh jangkau peluru”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka memang sudah melatih diri melontarkan pisau-pisau kecil untuk menghadapi lawan pada jarak yang tidak dapat dijangkau dengan tangan. Dan jika mereka bertemu dengan Kumpeni, maka mereka mempunyai senjata yang dapat menyerang mereka dari jarak yang jauh.
Meskipun demikian Buntal masih juga bertanya, “Ayah, apakah Kumpeni akan pergi ke Sukawati?”
“Hanya suatu kemungkinan Buntal. Menurut pendengaranku, Kumpeni sangat membenci daerah itu. Jika mereka datang kesana, maka akan mungkin sekali timbul bentrokan karena orang-orang Sukawati juga membenci mereka sampai ke ujung rambut”
Buntal mengangguk-angguk. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia mendengar juga dari Ki Dipanala atau kadang-kadang justru dari para pedagang yang keluar masuk kota Surakarta, bahwa keadaan memang memanjat semakin panas.
“Nah, sekarang kalian dapat beristirahat” berkata Kiai Danatirta, “besok pagi-pagi kalian akan berangkat”
Kedua anak-anak muda itu pun kemudian meninggalkan gurunya yang telah mengangkat mereka menjadi anak-anaknya. Perintahnya memberikan sesuatu yang terasa lain di hati kedua anak-anak muda itu. Jika selama ini mereka ditempa untuk melatih diri di dalam ruangan yang tertutup dan hampir tidak dilihat orang lain, maka kini mereka mendapat tugas untuk pergi keluar dari lingkungan mereka, meskipun tugas itu sekedar tugas yang pendek dan hampir tidak memerlukan kemampuan apapun juga, karena mereka hanya sekedar pergi untuk menemui seseorang seperti jika mereka di hari-hari yang senggang mengunjungi kakek dan nenek di padukuhan lain.
Selagi mereka berdua berada di bilik mereka, maka kedua anak-anak itu pun mulai berbincang. Meskipun Kiai Danatirta tidak menyebutkan dengan jelas, tetapi mereka sudah dapat menangkap maksud-gurunya menyuruh mereka berdua menghadap Pangeran Mangkubumi atau orang yang dianggapnya berwenang.
“Apa yang akan kita katakan?” bertanya Buntal.
“Kita akan berterus terang. Kita akan menyerahkan semuanya kepada Pangeran Mangkubumi. Maksudku, kita menyediakan diri untuk melakukan segala perintahnya. Bukankah menurut tangkapanmu juga demikian yang dimaksud oleh ayah?”
“Ya. Tetapi yang siap untuk melakukan segalanya barulah kita di padepokan ini, sedangkan rakyat Jati Sari masih memerlukan banyak persoalan”
“Jika Pangeran Mangkubumi menerima penyerahan kita, maka kita akan segera mulai. Tentu rakyat Jati Sari tidak akan dapat menyamai rakyat Sukawati. Tetapi persiapan yang sedikit itu tentu akan banyak membantu menghadapi arus kekuasaan asing di bumi Surakarta. Setidak-tidaknya kita dapat memberikan gambaran siapakah yang akan kita lawan, dan kemampuan yang ada pada mereka.
Senjata mereka yang ganas itu dan cara mereka menyerang lawan-lawannya”
“Aku kira Pangeran Mangkubumi tidak akan menolak meskipun tentu ada juga kecurigaannya terhadap kita dan padepokan Jati Aking”
Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Ya, karena di Jati Aking ada aku. Dan aku adalah Putera Pangeran Rana-kusuma. Setiap orang di Surakarta mengetahui, bagaimanakah sikap ayahanda terhadap orang asing itu”
Buntal tidak menyahut lagi. Ia tidak ingin mengorek luka itu lebih dalam lagi. Bagaimanapun juga ia dapat merasakan betapa berat persoalan yang dihadapi oleh Raden Juwiring. Di satu pihak, ia merasa ikut bertanggung jawab meskipun hanya seperti setitik air, bahwa Surakarta harus dipertahankan. Bukan hanya sekedar bentuk lahiriahnya saja, tetapi juga kekuasaan dan hakekat dari kekuasaan itu. Tetapi di pihak yang lain, ia merasa wajib juga berbakti kepada ayahandanya dan menurut perintahnya. Jika ayahandanya memerlukan untuk ikut berjalan diatas jalan yang dibuatnya, maka Raden Juwiring akan berdiri di simpang jalan. Jalan yang ditunjukkan oleh ayahnya dan jalan yang telah diyakininya.
Keduanya pun kemudian berdiam diri untuk sejenak. Dan yang mula-mula berkata adalah Juwiring, “Sebaliknya kita berkemas. Mungkin kita akan bermalam beberapa malam di Sukawati. Mungkin kita harus menunggu Pangeran Mangkubumi sehari dua hari”
Buntal menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baiklah. Apakah kita akan membawa pakaian beberapa potong?”
“Ya. Sepotong baju, sepotong celana dan sehelai kain panjang. Itu saja”
Buntal mengangguk-angguk. Tetapi seperti kata gurunya, ia harus menyiapkan bukan saja pakaian, tetapi juga senjata.
Karena itu, maka Buntal pun kemudian mempersiapkan pisau-pisaunya. Ia masih mempunyai kesempatan untuk mencobanya sekali lagi. Di dalam ruang latihannya Buntal mulai berlatih. Selain untuk membiasakan jari-jari tangannya, ia merasa perlu mengisi waktunya yang seakan-akan berjalan terlampau lambat. Hampir ia tidak sabar menunggu malam menjelang pagi.
Demikianlah maka akhirnya waktu yang ditunggunya itu datang juga. Malam itu Buntal hanya tertidur beberapa saat saja. Menjelang fajar ia sudah terbangun dan kemudian berwudhuk sebelum melakukan kewajibannya sebagai seseorang hamba yang mengakui adanya Tuhan. Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ternyata Juwiring pun telah melakukannya pula dalam waktu yang hampir bersamaan, sehingga sejenak kemudian mereka pun segera bersiap untuk melakukan perjalanan yang tidak diketahui apakah yang akan terjadi di sepanjang jalan karena keadaan yang tidak menentu. Mungkin mereka tidak akan menjumpai apapun di perjalanan bahkan mungkin seseorang yang baik hati akan memberinya beberapa butir buah kelapa muda. Tetapi mungkin juga mereka akan bertemu dengan segerombolan perampok yang memanfaatkan setiap keadaan untuk kepentingan mereka sendiri, atau mereka akan berpapasan dengan sekelompok peronda yang di antaranya terdapat beberapa orang Kumpeni.
Tetapi betapa terkejut kedua anak-anak muda itu ketika tiba-tiba saja pintu bilik mereka itu terbuka. Ketika mereka serentak berpaling dilihatnya seseorang berdiri di muka pintu.
“Aku sudah siap. Bukankah kita akan berangkat pagi ini?”
“Arum” desis Juwiring dan Buntal hampir berbareng.
“Bukankah kita akan pergi ke Sukawati?” bertanya Arum.
“Kamilah yang akan pergi. Tetapi kau tidak”
“Aku juga. Ayah menyuruh kita bertiga pergi di pagi ini”
Juwiring dan Buntal saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Juwiring berkata, “Tidak Arum. Tentu ayahmu tidak akan membiarkan kau pergi”
“Ayah menyuruh aku pergi bersama kalian ke Sukawati meng-hadap Pangeran Mangkubumi. Aku tahu benar. Bukankah kita harus lebih dahulu menemui Kiai Sarpasrana dan mengatakan maksud kedatangan kita?”
Sekali lagi kedua anak muda itu saling berpandangan. Arum mengerti perincian tugas mereka, sehingga dengan demikian mereka menjadi ragu-ragu. Apakah benar Kiai Danatirta telah memerintahkan Arum untuk pergi bersama mereka.
“Kenapa kalian menjadi bingung. Ayah tidak membedakan aku dengan kalian. Meskipun aku seorang gadis, tetapi aku juga mendapat tuntunan dari ayah dalam olah kanuragan. Aku juga diajarinya melontarkan pisau-pisau kecil jika aku bertemu dengan Kumpeni yang mempunyai senjata yang dapat meledak dan melontarkan sebutir peluru api. Tetapi jika aku mendapat kesempatan, maka pisauku pun mampu membunuh mereka sebelum mereka berhasil meledakkan senjata mereka itu”
Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Dalam keragu-raguan ia pun berkata, “Baiklah Arum. Aku akan menemui Kiai Danatirta sejenak.
“Buat apa kau menemuinya? Aku sudah minta diri atas nama kalian”
“Ah, kau aneh” sahut Buntal, “Tentu kita harus mohon diri dan barangkali masih ada pesan-pesannya terakhir sebelum kita berangkat”
“Ah, kalian seperti seorang gadis yang mau ngunggah-unggahi. Akulah seorang gadis. Tetapi aku tidak cengeng seperti kalian”
“Kau memang aneh Arum. Minta diri dan mohon restu bukan suatu sikap yang cengeng” sahut Juwiring, “adalah wajar sekali jika kita menghadap ayah dan minta diri serta mohon restu agar perjalanan kita selamat. Juga barangkali pesan-pesan terakhir-nya, apakah yang sebaiknya kita lakukan dan kita sampaikan kepada Pangeran Mangkubumi agar Pangeran itu yakin bahwa niat kita adalah baik bagi Pangeran Mangkubumi dan bagi bumi Surakarta ini”
Arum tidak menyahut. Tetapi ia berdiri saja di muka pintu.
“Marilah Arum. Jika memang Kiai Danatirta menyuruh kita bertiga pergi, marilah kita bersama-sama mohon restunya”
Arum mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata sambil bersungut-sungut, “Pergilah menghadap. Aku sudah minta diri. Kalian agaknya tidak percaya kepadaku”
Bersambung keBagian 3
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
Raden Rudira tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih terangguk-angguk.
“Tetapi jika berada di antara saudara-saudaramu itu, kau pasti akan mendapat tempat yang baik karena kelebihanmu. Bukankah mereka menyebutmu sebagai pemburu terbaik di antara mereka?”
“Ya ayah”
“Nah, karena itu, beradalah di lingkungan mereka agar kau dapat mengikuti perkembangan keadaan secara terus-menerus”
Raden Rudira tidak menyahut. Tetapi ia masih agak bingung. Apakah yang dikatakan ayahandanya itu ada sangkut pautnya dengan ceritera tentang Dipanala yang ditanyakannya itu.
“Rudira” suara ayahnya tiba-tiba menjadi dalam, “karena itu kau jangan terlampau dalam hanyut dalam kepentinganmu sendiri. Dalam pergolakan yang semakin panas ini, setiap keadaan akan menjadi sepercik api yang dapat menyala dan membakar suasana. Pertentangan yang tidak perlu harus dihindarkan. Kita harus dapat mengikat hati rakyat Surakarta, agar mereka tidak mudah dipengaruhi oleh sikap dan usaha yang tampaknya akan menguntungkan mereka”
Raden Rudira mengerutkan keningnya. Tetapi terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya ayahnya sudah mulai mempersoalkan dirinya dan tindakannya atas Ki Dipanala.
Dan dugaannya itu tidak salah. Sejenak kemudian ayahanda-nya berkata, “Rudira. Seharusnya kau pun membantu agar rakyat Surakarta menganggap bahwa para bangsawan yang kini berkuasa di bawah perintah Kangjeng Susuhunan Pakubuwana sekarang ini, adalah pelindung rakyat. Dengan demikian kau jangan menyakiti hati rakyat dan orang-orang terdekat yang dapat menimbulkan kesan kesewenang-wenangan”
Raden Rudira masih tetap berdiam diri.
“Nah, barangkali kau tahu maksudku. Kiai Danatirta adalah orang yang berpengaruh atas lingkungannya. Kau harus bersikap baik terhadapnya dan terhadap keluarganya”
Raden Rudira sama sekali masih belum menyahut. Tetapi jantungnya seakan-akan berdetak semakin cepat. Namun demikian Raden Rudira menjadi heran, bahwa ayahnya mulai dari Kiai Danatirta. Apakah ayahnya tidak akan berbicara tentang Dipanala?
“Jika kau berbuat kasar terhadap mereka, Rudira, maka orang-orang di Jati Sari akan mempunyai kesan yang kurang baik terhadap kita. Dengan demikian maka mereka akan dengan cepat dapat dipengaruhi oleh para bangsawan yang menentang kekuasaan Kangjeng Susuhunan”
Dengan suara yang dalam Raden Rudira menjawab, “Ya ayahanda” Namun ia mengharap agar ayahnya hanya sekedar membicarakan hubungannya dengan Kiai Danatirta. Dan ia mengharap agar itulah yang dimaksud dengan ceritera Dipanala. Mungkin Kiai Danatirta pernah mengeluh kepada Ki Dipanala, atau barangkali persoalan-persoalan lain yang dikemukakan kepadanya. Atau persoalannya sekedar rentetan dari persoalan yang dahulu pada saat ia hampir saja menghukum Dipanala dengan caranya.
Namun rasa-rasanya jantungnya berhenti berdenyut ketika ayahnya kemudian berkata, “Rudira, kenapa kau sakiti hati Dipanala? Tentu bukan karena sekedar dendam bahwa niatmu membawa anak gadis Danatirta itu gagal”
Rudira menjadi semakin gelisah.
“Dipanala dan Danatirta mempunyai hubungan yang rapat. Menurut katamu Sukawati sudah menyusun bentuk yang aneh yang menurut dugaanmu adalah suatu persiapan dari usaha mereka menyusun kekuatan. Apakah kau ingin Jati Sari juga membentuk dirinya menjadi padukuhan yang dibayangi oleh rahasia seperti Sukawati? Mungkin Jati Sari tidak mempunyai seorang seperti Adimas Pangeran Mangkubumi. Tetapi orang-orang Jati Sari dapat mencari hubungan dan bergabung dengan mereka”
Sekali-sekali Rudira mencoba memandang ayahnya, namun kemudian wajahnya tertunduk dalam-dalam.
“Rudira” suara Pangeran Ranakusuma menjadi dalam, “Kenapa kau mencoba membunuh Dipanala?”
Pertanyaan itu bagaikan menghentak isi dadanya. Sejenak Rudira menjadi tegang dan bahkan terbungkam.
“Kenapa?” desak ayahnya, “Katakan. Kau dan ibumu sudah mencoba melakukan pembunuhan dengan meng-upah beberapa orang penjahat. Tetapi karena mereka tidak berhasil, dan justru salah se-orang dari mereka tertangkap, maka kau telah membunuhnya”
Rudira tidak segera dapat menjawab. Wajahnya bagaikan membeku dalam ketegangan. Dengan mata yang tidak berkedip ditatapnya wajah ayahnya. Namun ketika ayahnya memandangnya ia pun segera melemparkan pandangannya dan jatuh pada ujung jari kakinya.
“Kenapa?” desak ayahnya.
“Aku, aku tidak melakukan ayah” sahut Rudira tergagap setelah ia memaksa dirinya untuk menjawab.
“Rudira, aku bukan orang yang terlampau dungu. Karena itu jangan menipu aku. Kau dan ibumu sudah bersepakat untuk membunuhnya”
Raden Rudira masih akan mengingkarinya lagi. Tetapi ayahnya kemudian melemparkan anak panah yang sudah terpotong-potong kehadapan Rudira, sehingga karena itu, maka anak muda itu pun telah terbungkam lagi.
“Agaknya dendam yang membakar jantungmu sudah kau tiup-tiupkan ke telinga ibumu sehingga ibumu telah membantumu untuk memusnahkan Dipanala, meskipun aku agak curiga, bahwa alasan itu terlampau kecil untuk mengambil keputusan untuk membunuh seseorang”
Rudira sama sekali tidak dapat menjawab lagi. Karena itu dengan mulut yang bagaikan terbungkam ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Rudira” Ia mendengar suara ayahnya, “Apakah pantas bagimu dan ibumu, bahwa karena persoalan yang kecil itu, kau sudah memutuskan untuk membunuhnya? Jika masalahnya adalah masalah Arum yang saat itu gagal kau bawa, sama sekali bukan alasan yang kuat untuk membunuhnya. Nah, apakah kau tahu alasan lain yang lebih dapat diterima dengan akal, bahwa Ki Dipanala harus dibunuh?”
Rudira sama sekali tidak menyahut
“Rudira” Ayahnya mendesak, “jawablah pertanyaanku. Apakah kau mengetahui alasan lain atau alasanmu sendiri yang lebih mantap agar orang itu dapat dibunuh?”
Rudira masih belum menjawab.
“Apakah kau tidak mendengar pertanyaanku, atau kau memang tidak dapat mengatakan apapun juga?”
“Aku tidak tahu ayah. Aku sama sekali tidak tahu”
“Jadi alasanmu satu-satunya adalah karena Dipanala selalu mengganggu niatmu? Hanya itu?”
Rudira mengangguk.
“Jika itu Rudira, kau adalah anak muda yang paling kejam dan bengis. Dipanala mempunyai keluarga. Mempunyai anak-anak yang makan karena jerih payahnya. Jika kau membunuhnya, maka anak -anak itu akan terlantar, dan kau tidak akan mendapat keuntungan apa-apa karena Danatirta sendiri akan dapat mencegahnya”
Rudira tidak dapat menjawab lagi. Dan kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk.
“Rudira” berkata ayahnya, “seharusnya untuk melakukan hal serupa itu, kau harus minta pertimbangan kepadaku, kepada ayahmu. Masalahnya adalah masalah yang besar. Jiwa manusia. Dan kau agaknya hanya berbicara dengan ibumu. Aku tidak tahu kenapa ibumu dapat menyetujui rencanamu yang bengis itu”
Rudira menjadi semakin tunduk.
“Kenapa?” tiba-tiba ayahnya membentak sehingga Raden Rudira menjadi terkejut karenanya. Tetapi ia sama sekali tidak dapat menjawabnya.
“Rudira, aku ingin mendengar jawabmu. Sebelum kau menjawab dengan jawaban yang dapat aku mengerti, kau masih harus tetap duduk di situ”
Dada Raden Rudira menjadi berdebar-debar. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Ibunda justru menganjurkan aku membunuhnya ayah”
“He?” Ayahnya terkejut. Tetapi kesan di wajahnya itu pun segera lenyap. Bahkan wajah Pangeran Ranakusuma itu seakan-akan menjadi semakin terang.
Raden Rudira yang mencoba memandang wajah ayahnya sekilas menjadi heran Ayahnya tampaknya menjadi tidak marah lagi kepadanya. Bahkan kemudian ia melihat Pangeran Ranakusuma itu tersenyum. Katanya, “Jadi ibundamu yang menganjurkan kepadamu agar Dipanala dibunuh saja?”
Raden Rudira menjadi ragu-ragu. Lalu jawabnya, “Ya ayah. Ibunda lah yang menganjurkan agar aku membunuh Dipanala”
“Apakah alasan ibumu?”
“Dipanala dapat mengganggu semua cita-citaku. Ia adalah orang yang berbahaya karena mulutnya berbisa” Raden Rudira berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia bertanya dengan hati yang kosong, “Kenapa ayahanda selalu mendengarkan kata-katanya? Ibunda kadang-kadang merasakan suatu kejanggalan, seakan-akan Dipanala lah yang menentukan semua keputusan di sini. Ayahanda selalu menuruti pendapatnya, meskipun pendapat itu bertentangan dengan kepentinganku dan kepentingan ibunda”
“He?” Sekali lagi Pangeran Ranakusuma terkejut. Namun kesan itu pun segera lenyap pula dari wajahnya.
Namun demikian, terasa sesuatu bergetar di dalam hatinya. Bahkan kemudian timbul pertanyaan di dalam dirinya, “Apakah Galihwarit mengetahui hubunganku dengan adiknya?”
Tetapi ia pun kemudian menjawabnya sendiri, “Tentu tidak. Jika demikian tentu bukan Dipanala yang akan dibunuhnya”
Sejenak Pangeran Ranakusuma itu merenung. Sekali-sekali dipandanginya kepala Rudira yang tertunduk. Kemudian dilemparkannya pandangannya itu jauh menembus kegelapan di luar daun pintu yang terbuka.
Namun dalam ada itu tumbuh pula persoalan di dalam dirinya dibumbui oleh perasaan yang selama ini dicobanya untuk menekan dalam-dalam di dalam lubuk hatinya, apabila ia melihat sikap dan rias isterinya itu agak berlebih-lebihan jika ia pergi mengunjungi pertemuan dan kadang-kadang makan dan minum bersama orang-orang asing itu. Dengan atau tidak dengan dirinya. Bahkan dengan bercermin kepada diri sendiri, maka timbul pertanyaan pula, “Apakah isteriku juga menyimpan suatu rahasia yang diketahui oleh Dipanala sehingga ia akan membunuhnya?”
Sejenak kemudian Pangeran Ranakusuma itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada anaknya, “Rudira. Kenapa kau tidak membicarakan rencanamu itu dengan ayahmu?”
Rudira tidak berani menengadahkan wajahnya, dan sama sekali tidak menjawab.
Tetapi kata ayahnya lebih lanjut sama sekali tidak diduganya. “Jika kau membicarakannya dengan aku, mungkin aku akan dapat memberimu jalan sehingga kau tidak akan gagal”
Tiba-tiba saja Raden Rudira mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah ayahnya dengan penuh pertanyaan. Tetapi ayahnya itu justru tersenyum kepadanya, “Kau tidak percaya?”
Raden Rudira tidak menyahut. Ia masih belum mengerti tangkapan yang sebenarnya dari ayahanda itu.
“Rudira” berkata ayahnya kemudian, “Kau menjadi bingung?”
“Aku tidak mengerti ayahanda, perasaan apakah yang sekarang bergolak di dalam hatiku”
“Kau memang sedang bingung. Tetapi baiklah. Dengarlah. Aku akan membantumu jika kau dapat mengatakan alasan, kenapa ibumu menganjurkan kepadamu untuk membunuh Dipanala? Apakah benar bahwa hal itu sekedar karena cintanya dan kasih sayangnya kepadamu? Jika demikian, maka ia dapat mengambil jalan lain. Karena itu, untuk kepentinganmu dan kepentingan ibundamu sendiri Rudira, cobalah, usahakanlah mengerti, apakah alasan ibumu yang sebenarnya”
“Apakah aku harus bertanya kepada ibunda?”
“Terserahlah kepadamu. Tetapi hati-hati. Jangan menyakiti hati ibundamu. Ia memang sangat mengasihimu” ayahandanya berhenti sejenak, lalu, “Jika aku mengetahui alasan yang sebenarnya itu. Maka aku akan menentukan sikap. Jika masalahnya memang penting sekali dan wajar, aku akan menolongmu”
Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, pergilah. Tetapi untuk selanjutnya kau harus berhati-hati. Jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan kau sendiri dan dapat menimbulkan kesan yang tidak baik. Jika terjadi sesuatu, dan rakyat yang bodoh itu dapat dibakar, maka kita akan menjadi sasaran pertama apabila kita selalu menyakiti hati mereka”
Raden Rudira mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya ayah. Aku akan mengingat semuanya”
Sejenak kemudian maka Raden Rudira pun segera minta diri, sementara ayahandanya masih duduk di tempatnya. Jika Rudira berhasil menemukan alasan ibundanya yang sebenarnya, dan alasan itu benar-benar dapat dimengertinya, maka hal itu pasti akan menenteramkannya. Ia tidak akan selalu dikejar oleh perasaan curiga dan cemas. Ia akan dapat berbuat sesuatu dengan mantap, karena sebenarnyalah Ki Dipanala tidak berguna lagi baginya sekarang. Hubungannya dengan adik kandung Raden Ayu Galihwarit telah berjalan dengan lancar tanpa diketahui oleh siapapun, kecuali oleh Ki Dipanala.
“Jika Galihwarit mengetahuinya dan terlebih-lebih lagi suami adik kandungnya itu, maka keadaan pasti akan bergejolak. Suaminya itu pasti akan menentukan sikap dan barangkali kami terpaksa melakukan perang tanding” berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hatinya, “Tetapi itu tentu memalukan sekali meskipun aku dapat berbuat lebih dahulu dengan bantuan kumpeni”
Sejenak kemudian Pangeran Ranakusuma itu pun segera berkemas. Ia memang benar-benar harus pergi ke istana meskipun hanya sekedar untuk mendengarkan perkembangan terakhir dari Kerajaan Surakarta di bawah pemerintahan Kangjeng Susuhunan Pakubuwana. Namun yang semakin lama tampak menjadi semakin suram karena selalu dibayang-bayangi oleh kekuasaan asing yang semakin dalam mencengkeram kekuasaan di Surakarta.
Dalam pada itu Raden Rudira duduk termenung di ruang belakang. Tetapi ia selalu saja gelisah karena kata-kata ayahnya.
Tetapi tidak seperti yang dikehendaki oleh ayahnya, agar ia dapat mengemukakan alasan ibunya seperti yang dikehendaki oleh ayahandanya, tetapi hatinya justru ditumbuhi oleh kecurigaan. Bahkan setiap kali timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah benar ada alasan rahasia yang tidak dikatakan oleh ibunda tentang rencana pembunuhan itu? Jika demikian apakah alasan itu dapat langsung aku tanyakan kepada ibunda?”
Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang ibunya yang cantik dan masih tampak selalu muda itu berada di antara orang asing yang meskipun tidak banyak jumlahnya, tetapi cukup mencemaskannya.
“Apa saja yang dilakukan oleh ibunda dan kadang-kadang bersama ayahanda di dalam pertemuan-pertemuan serupa itu? Apalagi jika ibunda pergi seorang diri?”
Perasaan kasih seorang ibu kepada anaknya, terasa setiap saat membelai hati Raden Rudira, Namun setiap kali ia selalu dicemaskan oleh tindak dan sikap ibunya. Bahkan kadang-kadang ia tidak rela apabila ibundanya pergi dan duduk di dalam sebuah kereta bersama orang asing itu, meskipun kadang-kadang ibunya berkata kepadanya sebelum ia bertanya, “Bagi mereka, hal serupa itu adalah menjadi kebiasaan. Mereka bukan orang-orang yang lekas menjadi cemburu seperti kita. Mereka menganggap persahabatan sebagai sesuatu yang harus dihormati, seperti mereka menghormati diri mereka sendiri. Karena itulah maka tidak seorang pun dari mereka yang berbuat tidak senonoh”
Raden Rudira mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Mereka menghormati persahabatan seperti dirinya sendiri. Dengan demikian mereka tentu akan menghormati keluarga dan ikatan keluarga sahabat-sahabat mereka. Dan mereka pun akan menghormati ibunda dan ayahanda, apalagi ayahanda adalah seorang Pangeran”
Meskipun demikian hati Raden Rudira tidak juga menjadi tenteram. Sebagai seorang anak laki-laki yang dewasa, ia dapat membayangkan kemungkinan yang dapat timbul. Tetapi setiap kali terngiang kata-kata ibunya, “Mereka menghormati persahabatan seperti dirinya sendiri. Seperti dirinya sendiri”
Raden Rudira menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia kemudian berdiri dam melangkah keluar, dilihatnya bayangan lampu obor yang menyala di sudut istananya bergetar oleh angin malam yang lembut.
Tanpa maksud tertentu Rudira berjalan saja di halaman di sebelah rumahnya. Dingin malam yang semakin menggigit terasa membuat hatinya agak sejuk. Ketika ia kemudian menengadah-kan kepalanya, dilihatnya bintang-bintang gemerlapan di langit yang seakan-akan tanpa batas.
Rudira terkejut ketika seseorang menyapanya dari kegelapan.
Namun mendengar suaranya yang agak parau, Rudira segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah Mandra.
“Apakah tuan menghadap ayahanda?” bertanya Mandra. Raden Rudira menganggukkan kepalanya.
“Apakah yang ditanyakan oleh ayahanda tuan kepada tuan ada hubungannya dengan kegagalan kita?”
Sekali lagi Raden Rudira mengangguk sambil menjawab, “Ya. Ayah bertanya tentang penyamun itu, tentang anak panah yang ternyata telah disimpan oleh Dipanala, dan kemudian ayah langsung menunjuk hidungku sambil bertanya, “Kenapa kau berusaha membunuh Dipanala?”
“Apakah tuan mengiyakan?”
“Sebenarnya aku ingin mengingkarinya seperti pesan ibunda. Tetapi aku tidak berhasil. Ayah mempunyai alasan yang kuat untuk menuduh aku”
Mandra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia bertanya, “Dengan demikian apakah ayahanda tuan juga menyebut namaku?”
“Tidak”
“Tetapi Pangeran Ranaku-suma tentu mengetahuinya. Jika yang seorang Raden Rudira, maka yang seorang tentu aku”
“Apaboleh buat”
“Tetapi, tetapi apakah ayahanda marah?”
Rudira menggeleng. Kata-nya, “Aku harus mengetahui alasan ibunda yang sebenarnya, kenapa ibunda pun dengan sangat bernafsu ingin membunuh Ki Dipanala. Aku pun mulai mempertimbangkannya, jika tidak ada alasan yang kuat, ibunda tentu tidak akan mengambil langkah demikian”
Mandra pun mengangguk-anggukkan kepalanya pula sambil berkata, “Ya. Tentu ada alasan yang cukup kuat”
“Itulah yang harus aku tanyakan kepada ibunda”
Mandra tidak menyahut. Tetapi menurut dugaannya, alasan itu memang dapat saja alasan yang lain, tetapi mungkin juga bagi seorang ibu yang sangat memanjakan anaknya, kegagalan Rudira di Jati Aking, membuatnya marah sekali sehingga tampak di luar sadarnya ia memerintahkan agar orang yang bernama Dipanala itu dibunuh saja. Tetapi tidak mustahil pula bahwa memang ada alasan lain yang cukup kuat bagi Raden Ayu Galihwarit.
“Aku memerlukan waktu” berkata Rudira kepada pengiringnya yang-setia itu.
“Tetapi tidak terlalu lama. Keadaan kota ini bagaikan bisul yang akan pecah. Dan itu dapat terjadi siang, malam, pagi atau sore”
Raden Rudira mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi kenapa justru ibunda semakin sering pergi dengan atau tidak dengan ayahanda? Kumpeni sama sekali tidak menghiraukan keadaan yang sebenarnya terjadi di Surakarta. Mereka masih saja mengadakan bujana makan dan minum. Justru semakin lama bagaikan orang-orang yang tidak mempunyai persoalan sama sekali selain makan, minum bersenang-senang dan seakan-akan melepaskan semua kekangan nafsunya”
“Ya, demikianlah agaknya”
Namun ternyata kata-kata Raden Rudira itu telah mengejut-kan dirinya sendiri. Tiba-tiba saja kecurigaannya menjadi semakin memuncak. Sekali lagi terngiang kata-katanya sendiri yang seolah-olah begitu saja terlontar dari sela-sela bibirnya, “Makan, minum, bersenang-senang dan seakan-akan melepaskan semua kekangan nafsunya”
“Apakah betul begitu?” Ia bertanya kepada diri sendiri.
Namun pertanyaan yang lain telah membuat hatinya semakin gelisah, “Jika tidak, apa saja yang mereka lakukan? Pada suatu saat mereka tentu akan jemu makan dan minum betapa enak dan beraneka macamnya makanan. Tetapi mereka tentu mencari kepuasan yang lain, tidak sekedar makan minum”
Terasa bulu-bulu Raden Rudira meremang. Sekilas terbayang wajah ibunya yang cantik dan masih selalu tampak muda. Pakaian dan rias yang berlebih-lebihan.
“Apakah ayahanda tidak pernah merasa cemburu, atau justru karena dengan demikian ayah akan mendapatkan apa yang dikehendakinya. Jabatan, kekuasaan dan segala macam benda yang selama ini belum pernah kita miliki?”
“Tidak. Tentu tidak” tiba-tiba saja hatinya melonjak, “Ayah tentu tidak akan mengorbankan harga dirinya sampai serendah itu. Apalagi ayahanda adalah seorang Pangeran. Jika terjadi sesuatu yang menyimpang dari keterangan ibunda, bahwa mereka menghormati persahabatan seperti dirinya sendiri, maka ayahanda tentu akan bertindak. Tentu ayahanda tidak akan menjual harga dirinya, berapapun juga mereka akan membeli”
Tiba-tiba terasa hati Raden Rudira itu menjadi panas. Ia tidak mau, meskipun sekedar di dalam angan-angan, ibunya akan membagi kasih sayangnya. Ibunya mencintainya dan mencintai ayahandanya. Dan tidak boleh ada sangkutan kasih yang lain pada ibunya, apapun alasannya. Sadar atau tidak sadar, jujur atau tidak jujur.
Tetapi Raden Rudira bahkan telah dicengkam oleh perasaan curiga yang amat sangat. Dan perasaan itu bagaikan mengorek dasar hatinya yang manja.
Karena itu, maka terbersit suatu keinginan di dalam hatinya untuk sekali-sekali mengetahui meskipun dari kejauhan, apakah yang sebenarnya dilakukan oleh ibunda di dalam pertemuan-pertemuan serupa itu.
“O” Raden Rudira mengeluh di dalam hati, “Apakah aku sudah kehilangan kepercayaan kepada ibunda?”
Tetapi Raden Rudira. tidak dapat menyingkirkan keinginan itu. Bahkan semakin ia mencoba melupakannya, rasa-rasanya bagaikan semakin dalam menghunjam ke dalam jantungnya.
Dalam pada itu, pengaruh perkembangan hubungan antara pimpinan pemerintahan di Surakarta dan kumpeni mempunyai pengaruh di dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa orang bangsawan dengan tegas menunjukkan penolakan atas pengaruh yang semakin besar mencengkam Surakarta, sedang beberapa orang Pangeran yang lain dengan senang hati menerima keadaan itu sebagai suatu karunia bagi mereka yang haus akan kekayaan dan kemewahan yang melimpah-limpah, tanpa menghiraukan kemungkinan apapun yang dapat terjadi atas bangsa dan negaranya.
Pertentangan itulah yang bagaikan jalur yang menyelusur dari atas sampai ke bawah. Pengaruh para Pangeran ternyata mempunyai warna tersendiri di daerah palenggahan mereka atau di daerah pengaruh mereka masing-masing.
Dan itulah yang menyedihkan. Mereka yang tidak banyak mengerti tentang persoalan yang menyangkut pemerintahan dan hubungannya dengan perkembangan tanah mereka, menjadi terpecah pula. Sebagian dengan sadar menentukan sikap, dan yang sebagian lagi tanpa memikirkan sebab dan akibatnya, langsung saja berpihak.
Dalam keseluruhan Surakarta sudah mulai retak. Para bangsawan saling mencurigai di antara mereka. Dan demikian juga rakyat di suatu daerah terhadap rakyat di daerah yang lain. Seakan-akan mereka bukan lagi terdiri dari kesatuan yang selama ini telah bersama-sama membina Surakarta dengan segala keprihatinan.
Di Jati Aking, udara yang panas itu pun sudah terasa semakin. panas. Dengan demikian maka baik Raden Juwiring maupun Buntal telah menempa diri sejauh-jauh dapat dilakukan dengan cara masing-masing. Buntal masih saja mengisi segenap waktunya tanpa mengenal lelah, sedang Juwiring mempergunakan cara yang lebih sederhana namun mempunyai hasil yang cukup mengagumkan. Sedang Arum di bawah bimbingan khusus dari Kiai Danatirta, justru karena ia seorang gadis, meningkat dengan cepatnya pula mengiringi kemajuan kedua saudara angkatnya meskipun mereka adalah laki-laki.
Namun sejalan dengan kemajuan mereka di dalam olah kanuragan, maka di mata Buntal, Arum pun berkembang seperti kuncup yang mulai mekar. Baunya yang semerbak dan warnanya yang cerah semakin menumbuhkan kesan yang lain. di dalam dirinya. Tetapi setiap kali ia masih saja harus mengusap dadanya, betapa ia merasa dirinya terlampau kecil. Di antara dirinya dan gadis itu seakan-akan telah berdiri seorang raksasa yang perkasa. Raden Juwiring.
Setiap kali Buntal melihat Arum memakai pakaiannya yang paling bagus, yang diterimanya dari Raden Ayu Galihwarit, hatinya menjadi berdebar-debar. Sekali-sekali teringat pula olehnya Raden Rudira yang setiap saat dapat datang ke padukuhan ini atas perintah ayahandanya untuk mengambil gadis itu. Dengan umpan yang tidak ternilai harganya atau dengan kekerasan. Tetapi seandainya Raden Rudira itu tidak datang lagi ke padepokan ini maka di sini masih ada Raden Juwiring.
Namun hal itu telah mendorongnya untuk menempa diri tanpa mengenal batas waktu. Kapan saja ia ingin, maka hal itu dilakukannya. Bahkan kadang-kadang di tengah malam, selagi ia terbangun dari tidurnya dan ia tidak berhasil memejamkan matanya kembali, ma ka ia pun kemudian pergi ke tempat yang sepi dan jarang disentuh kaki para penghuni padepokan itu, apalagi di malam hari, untuk melakukan latihan seorang diri.
“Meskipun aku keturunan pidak pedarakan, tetapi aku tidak mau kalah dengan keturunan bangsawan” katanya di dalam hati. Namun apabila kemudian ia sadar, ia menjadi malu sendiri, seakan-akan ia telah memusuhi Raden Juwiring yang bersikap terlalu baik kepadanya.
“Gila” desisnya, “hatiku sudah dicengkam oleh kuasa iblis yang paling jahat. Tidak demikian seharusnya aku bersikap, di dalam perbuatan dan angan-angan terhadap saudara angkat apabila aku seseorang yang jujur”
Namun setiap kali persoalan itu kembali menggelitik hatinya.
Adalah suatu hal yang mengejutkannya ketika pada suatu hari Kiai Danatirta telah memanggilnya bersama Raden Juwiring. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh Kiai Danatirta itu pun berkata, “Anak-anakku, ternyata keadaan kini menjadi semakin gawat. Di sebelah Timur telah timbul kegelisahan yang sangat. Mungkin masih belum terasa dari daerah yang aman seperti Jati Sari. Namun kadang-kadang telah terjadi bentrokan yang gawat. Masih sering terjadi kesalah pahaman, sehingga seakan-akan yang terjadi adalah perselisihan di antara rakyat Surakarta. Seolah-olah terjadi perselisihan antara padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, tetapi tidak demikian yang sebenarnya. Persoalannya jauh lebih dalam dari persoalan padukuhan yang kecil dan barangkali persoalan kerusuhan biasa”
Raden Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Apakah sebabnya yang terjadi adalah demikian ayah? Bukankah dengan demikian para petani lah yang menjadi korban tanpa menyentuh sasarannya. Bukankah kerusuhan yang demikian itu tidak akan berarti apa-apa bagi kumpeni?”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Jika yang terjadi demikian, memang Kumpeni tidak akan merasa terguncang sama sekali. Bahkan mereka dapat memanfaatkan bentrokan-bentrokan kecil yang telah terjadi itu. Tetapi bagaimanapun juga yang telah terjadi itu merupakan persoalan. Jika para bangsawan masih saja berbeda sikap dan pendirian, maka hal serupa itu masih saja akan terjadi. Yang parah adalah apabila Kumpeni justru dapat mengambil keuntungan dan meniupkan pertentangan di antara kita menjadi lebih besar lagi”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dengan suara yang dalam Raden Juwiring berkata, “Dengan menyesal aku harus menyaksikan sikap ayahanda yang condong berpihak kepada kumpeni”
“Ya” sahut Kiai Danatirta, “Tetapi tanpa sesadarnya. Raden Ayu Galihwarit lah yang telah mendorongnya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Dipanala, bahwa pemberian kumpeni yang berlimpah-limpah itu agaknya telah mengaburkan sikap satria yang seharusnya dimiliki oleh para bangsawan di Surakarta”
Raden Juwiring mengangguk-angguk. Tetapi wajahnya menjadi semakin buram. Agaknya sesuatu sedang bergejolak di dalam hatinya.
“Anak-anakku” berkata Kiai Danatirta kemudian, “dalam keadaan yang gawat ini, sebenarnya Surakarta memerlukan seorang yang kuat. Seorang yang dapat berdiri diatas segala kepentingan, sehingga justru tidak terjadi benturan di antara kita sendiri. Dan jauh sebelum semuanya terjadi, kita harus sudah memilih tempat. Dan aku percaya, bahwa Ki Demang di Sambi Sari akan sependapat dengan kita. Sebelum kita semua terlambat, kita harus mengambil sikap, agar apabila banjir bandang melanda Surakarta, kita tidak akan sekedar hanyut dan hilang tenggelam tanpa arti. Kita harus merupakan butir-butir air dalam arus banjir bandang, atau menjadi sebutir debu dari batu karang yang tidak tergoyahkan”
Kedua anak-anak muda ku mengangguk-angguk. Mereka mengerti sikap guru dan sekaligus ayah angkatnya. Dalam keadaan yang paling gawat dan menentukan, mereka tidak dapat menunggu.
Dan ternyata bahwa Kiai Danatirta pun kemudian berkata, “Karena itu anak-anakku, jika kita ingin menentukan sikap, maka kita harus memilih sekarang, juga. Kita sudah dapat menduga, siapakah yang dapat dijadikan sandaran di dalam saat yang paling gawat”
Juwiring mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu. Dan Kiai Danatirta berkata selanjutnya, “Anak-anakku. Sebenarnya aku ingin mendengar pendapatmu. Yang kita kenal dan pasti, ada dua pihak yang berdiri berseberangan di Surakarta. Katakanlah, bahwa yang satu pihak telah dipengaruhi oleh kehadiran orang asing itu dan justru membantunya memper-sempit kemerdekaan diri, sedang yang lain berdiri pada atas yang sewajarnya di bumi sendiri. Bukan untuk sesuatu yang berlebih-lebihan. Mereka yang tidak dapat menerima pengaruh yang semakin besar dari orang asing itu tidak menginginkan sesuatu di luar haknya. Mereka hanya ingin agar rumah tangganya tidak terganggu. Dan itu adalah wajar sekali”
Wajah Raden Juwiring menjadi semakin berkerut.
“Sekarang, menurut pendapatmu, dimana kita harus berdiri? Aku tahu bahwa Juwiring menghadapi masalah yang cukup berat bagi dirinya sendiri, karena kebetulan ia adalah putera Pangeran Ranakusuma”
Wajah Raden Juwiring pun menjadi semakin tunduk.
“Karena itu” berkata Kiai Danatirta lebih lanjut, “pikirkanlah sebaik-baiknya. Dimanakah kau akan berdiri. Tentu kau tidak akan dapat menjawabnya sekarang. Aku tidak mau kau meng-ambil keputusan yang tergesa-gesa. Hal ini akan menyangkut masalah yang sangat luas bagimu”
Juwiring menarik nafas dalam-dalam.
“Namun sementara itu Juwiring, aku ingin memberitahukan kepada kalian, bahwa aku berniat untuk menghubungi Pangeran Mangkubumi atau orang-orangnya di Sukawati. Aku ingin mendapat penjelasan, apakah yang telah mereka lakukan, karena menurut pendengaranku, mereka telah mempersiapkan diri jika terjadi sesuatu”
Juwiring pun kemudian mengangkat wajahnya. Dengan ragu-ragu ia, berkata, “Ayah, aku memang menjadi bingung sekali. Tetapi pada dasarnya aku adalah salah seorang yang lahir dan dibesarkan diatas bumi Surakarta. Itulah yang mendorong aku untuk mencintai tanah ini. Meskipun aku wajib mencintai ayah dan ibunda, tetapi apakah salahnya bahwa aku tidak menempuh jalan yang sama seperti yang dilakukan oleh ayahanda Pangeran Ranakusuma. Apalagi seperti ibunda Galihwarit”
Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Namun ia masih berkata, “Kau tergesa-gesa Juwiring. Jika aku mengambil sikap itu adalah sikap padepokan Jati Aking. Tetapi aku tidak mengharuskan kau bersikap seperti aku. Aku tidak akan marah dan apalagi mengingkari kau sebagai murid dan anak angkatku. Aku menghargai perbedaan pendirian. Jika kita memang harus menempuh jalan yang berbeda, kita akan berjalan diatas jalan kita masing-masing. Tetapi jika kita bersetuju untuk menempuh satu jalan, aku akan senang sekali”
“Ayah, aku seolah-olah tidak mempunyai tempat lagi di rumah ayahanda Pangeran Ranakusuma. Karena itu, aku tidak akan dapat berada di dalam lingkungannya”
“Apakah itu alasanmu? Sekedar untuk menempatkan diri dalam lingkungan yang baru karena kau kehilangan tempat di lingkunganmu yang lama?”
“Tidak ayah, bukan itu. Tetapi aku merasa bahwa aku tidak sesuai lagi dengan lingkungan ayahanda bukan karena aku disingkirkan, tetapi juga karena sikap ayahanda terhadap Kumpeni dan pengaruhnya”
“Jadi bukan semata-mata sebuah luapan dendam terhadap kedudukanmu dalam keluargamu?”
“Sama sekali bukan ayah”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Meskipun demikian kau masih mempunyai kesempatan yang panjang untuk memikirkannya” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “semen-tara itu, hubungan yang aku inginkan dengan Sukawati, akan aku teruskan”
Sejenak Kiai Danatirta termangu-mangu. Namun kemudian katanya selanjutnya, “Anak-anakku. Aku ingin kalianlah yang pergi ke Sukawati. Apalagi setelah aku mendengar isi hati Juwiring. Sambil berjalan ke Sukawati ia dapat berpikir dan memperbincangkan kedudukannya di dalam lingkungannya dengan kau Buntal. Bersikaplah jujur terhadap diri sendiri, sehingga semua tindakan yang akan kalian lakukan adalah tindakan yang berakar di dalam hati” Kedua anak muda itu tidak menjawab, “Apakah kalian sanggup melakukannya?”
Buntal lah yang lebih dahulu menjawab meskipun nada suaranya agak dalam, “Tentu kami akan bersedia ayah. Seperti yang selalu ayah pesankan kepada kami, bahwa tanah yang kami injak, air yang kami minum dan butir-butir beras yang kami makan adalah bagian dari bumi yang mengandung kami, seperti seorang ibu yang mengandung dan kemudian membesarkan anaknya. Adalah wajib bagi kami untuk berbuat sesuatu terhadapnya sesuai dengan tuntutan keadaan dan kemampuan kami masing-masing”
“Bagus Buntal” Kiai Danatirta mengangguk-angguk, “Jika demikian, aku percaya kepada kalian berdua. Kalian adalah anak-anakku yang akan pergi ke Sukawati. Aku sudah tidak sangsi lagi. Jika Pangeran Mangkubumi tidak ada, maka bertemulah dengan orang-orang yang dipercayanya atau Ki Demang di Sukawati”
“Bagaimana kami dapat menghadap Pangeran Mangkubumi ayah?”
Kiai Danatirta mengerutkan keningnya. Dalam keadaan seperti ini, tentu setiap orang mempunyai prasangka terhadap orang-orang yang tidak dikenalnya.
Karena itu, setelah merenung sejenak, maka Kiai Danatirta pun berkata, “Kau harus menemukan jalan yang tepat. Jika tidak, kau tidak akan sampai padanya” orang itu berhenti sejenak, lalu, “Aku mempunyai seorang sahabat yang tinggal di Sukawati. Aku berharap bahwa ia pun ikut di dalam arus pergolakan yang telah terjadi di daerah itu. Menurut pendengaranku, orang-orang Sukawati bukan saja mempersiapkan segala jenis senjata, tetapi mereka pun sibuk menyempurnakan ilmu mereka lahir dan batin. Beberapa orang lelah menempa diri di dalam olah kanuragan. Yang lain mengasingkan diri di lereng-lereng gunung dan tebing-tebing untuk mendapatkan jalan terang dan petunjuk, namun juga untuk membajakan ilmu mereka dan menyadap kekuatan alam di sekitarnya”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sahabatku adalah seorang yang memiliki kemampuan yang cukup. Itulah sebabnya aku mengharap bahwa ia pun mempergunakan kemampuan itu untuk kepentingan tanah kelahiran ini” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Orang itu bernama Kiai Sarpa Srana, yang sering disebut orang Kiai Sarpa Ireng. Ia adalah seorang yang menguasai hubungan dengan ular. Seakan ia dapat berbicara dengan segala jenis ular. Ia dapat mempergunakan racun ular untuk kepentingan yang dianggapnya baik”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk pula.
“Temuilah Kiai Sarpa Ireng. Katakanlah bahwa kau berdua adalah muridku. Katakanlah apa maksud kedatanganmu. Mudah-mudahan orang itu dapat menolongmu”
Juwiring mengangkat kepalanya, lalu katanya, “Kami siap melakukannya ayah. Kapankah kami harus berangkat?”
“Jika matahari besok terbit, kalian berangkat dari padepokan ini. Sekarang kalian sempat menyediakan bekal secukupnya. Sukawati tidak terlalu jauh, meskipun bukan jarak yang dekat”
“Baiklah ayah. Kami akan berkemas”
“Kalian bukan saja harus menyediakan bekal, tetapi juga alat untuk menjaga diri”
“Senjata?”
“Ya”
“Pedang maksud ayah, atau tombak”
Kiai Danatirta menggeleng. Jawabnya, “Bukan senjata yang justru dapat mengundang kesulitan. Bawalah senjata yang dapat kalian sembunyikan”
“Pisau?”
“Semacam itu. Kau dapat membawa sebilah keris dan beberapa buah pisau kecil. Bukan semata-mata karena kalian ingin berkelahi. Tetapi keadaan ternyata sangat gawat. Semakin lama semakin panas. Jika karena sesuatu hal, di daerah Sukawati kau bertemu dengan kumpeni yang memiliki senjata yang dapat meledak dan membunuh dari jarak yang jauh, kau dapat melawannya dengan pisau-pisau kecil itu jika perlu, meskipun jangkau lontaran tanganmu tidak sejauh jangkau peluru”
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mereka memang sudah melatih diri melontarkan pisau-pisau kecil untuk menghadapi lawan pada jarak yang tidak dapat dijangkau dengan tangan. Dan jika mereka bertemu dengan Kumpeni, maka mereka mempunyai senjata yang dapat menyerang mereka dari jarak yang jauh.
Meskipun demikian Buntal masih juga bertanya, “Ayah, apakah Kumpeni akan pergi ke Sukawati?”
“Hanya suatu kemungkinan Buntal. Menurut pendengaranku, Kumpeni sangat membenci daerah itu. Jika mereka datang kesana, maka akan mungkin sekali timbul bentrokan karena orang-orang Sukawati juga membenci mereka sampai ke ujung rambut”
Buntal mengangguk-angguk. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi ia mendengar juga dari Ki Dipanala atau kadang-kadang justru dari para pedagang yang keluar masuk kota Surakarta, bahwa keadaan memang memanjat semakin panas.
“Nah, sekarang kalian dapat beristirahat” berkata Kiai Danatirta, “besok pagi-pagi kalian akan berangkat”
Kedua anak-anak muda itu pun kemudian meninggalkan gurunya yang telah mengangkat mereka menjadi anak-anaknya. Perintahnya memberikan sesuatu yang terasa lain di hati kedua anak-anak muda itu. Jika selama ini mereka ditempa untuk melatih diri di dalam ruangan yang tertutup dan hampir tidak dilihat orang lain, maka kini mereka mendapat tugas untuk pergi keluar dari lingkungan mereka, meskipun tugas itu sekedar tugas yang pendek dan hampir tidak memerlukan kemampuan apapun juga, karena mereka hanya sekedar pergi untuk menemui seseorang seperti jika mereka di hari-hari yang senggang mengunjungi kakek dan nenek di padukuhan lain.
Selagi mereka berdua berada di bilik mereka, maka kedua anak-anak itu pun mulai berbincang. Meskipun Kiai Danatirta tidak menyebutkan dengan jelas, tetapi mereka sudah dapat menangkap maksud-gurunya menyuruh mereka berdua menghadap Pangeran Mangkubumi atau orang yang dianggapnya berwenang.
“Apa yang akan kita katakan?” bertanya Buntal.
“Kita akan berterus terang. Kita akan menyerahkan semuanya kepada Pangeran Mangkubumi. Maksudku, kita menyediakan diri untuk melakukan segala perintahnya. Bukankah menurut tangkapanmu juga demikian yang dimaksud oleh ayah?”
“Ya. Tetapi yang siap untuk melakukan segalanya barulah kita di padepokan ini, sedangkan rakyat Jati Sari masih memerlukan banyak persoalan”
“Jika Pangeran Mangkubumi menerima penyerahan kita, maka kita akan segera mulai. Tentu rakyat Jati Sari tidak akan dapat menyamai rakyat Sukawati. Tetapi persiapan yang sedikit itu tentu akan banyak membantu menghadapi arus kekuasaan asing di bumi Surakarta. Setidak-tidaknya kita dapat memberikan gambaran siapakah yang akan kita lawan, dan kemampuan yang ada pada mereka.
Senjata mereka yang ganas itu dan cara mereka menyerang lawan-lawannya”
“Aku kira Pangeran Mangkubumi tidak akan menolak meskipun tentu ada juga kecurigaannya terhadap kita dan padepokan Jati Aking”
Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Ya, karena di Jati Aking ada aku. Dan aku adalah Putera Pangeran Rana-kusuma. Setiap orang di Surakarta mengetahui, bagaimanakah sikap ayahanda terhadap orang asing itu”
Buntal tidak menyahut lagi. Ia tidak ingin mengorek luka itu lebih dalam lagi. Bagaimanapun juga ia dapat merasakan betapa berat persoalan yang dihadapi oleh Raden Juwiring. Di satu pihak, ia merasa ikut bertanggung jawab meskipun hanya seperti setitik air, bahwa Surakarta harus dipertahankan. Bukan hanya sekedar bentuk lahiriahnya saja, tetapi juga kekuasaan dan hakekat dari kekuasaan itu. Tetapi di pihak yang lain, ia merasa wajib juga berbakti kepada ayahandanya dan menurut perintahnya. Jika ayahandanya memerlukan untuk ikut berjalan diatas jalan yang dibuatnya, maka Raden Juwiring akan berdiri di simpang jalan. Jalan yang ditunjukkan oleh ayahnya dan jalan yang telah diyakininya.
Keduanya pun kemudian berdiam diri untuk sejenak. Dan yang mula-mula berkata adalah Juwiring, “Sebaliknya kita berkemas. Mungkin kita akan bermalam beberapa malam di Sukawati. Mungkin kita harus menunggu Pangeran Mangkubumi sehari dua hari”
Buntal menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baiklah. Apakah kita akan membawa pakaian beberapa potong?”
“Ya. Sepotong baju, sepotong celana dan sehelai kain panjang. Itu saja”
Buntal mengangguk-angguk. Tetapi seperti kata gurunya, ia harus menyiapkan bukan saja pakaian, tetapi juga senjata.
Karena itu, maka Buntal pun kemudian mempersiapkan pisau-pisaunya. Ia masih mempunyai kesempatan untuk mencobanya sekali lagi. Di dalam ruang latihannya Buntal mulai berlatih. Selain untuk membiasakan jari-jari tangannya, ia merasa perlu mengisi waktunya yang seakan-akan berjalan terlampau lambat. Hampir ia tidak sabar menunggu malam menjelang pagi.
Demikianlah maka akhirnya waktu yang ditunggunya itu datang juga. Malam itu Buntal hanya tertidur beberapa saat saja. Menjelang fajar ia sudah terbangun dan kemudian berwudhuk sebelum melakukan kewajibannya sebagai seseorang hamba yang mengakui adanya Tuhan. Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Ternyata Juwiring pun telah melakukannya pula dalam waktu yang hampir bersamaan, sehingga sejenak kemudian mereka pun segera bersiap untuk melakukan perjalanan yang tidak diketahui apakah yang akan terjadi di sepanjang jalan karena keadaan yang tidak menentu. Mungkin mereka tidak akan menjumpai apapun di perjalanan bahkan mungkin seseorang yang baik hati akan memberinya beberapa butir buah kelapa muda. Tetapi mungkin juga mereka akan bertemu dengan segerombolan perampok yang memanfaatkan setiap keadaan untuk kepentingan mereka sendiri, atau mereka akan berpapasan dengan sekelompok peronda yang di antaranya terdapat beberapa orang Kumpeni.
Tetapi betapa terkejut kedua anak-anak muda itu ketika tiba-tiba saja pintu bilik mereka itu terbuka. Ketika mereka serentak berpaling dilihatnya seseorang berdiri di muka pintu.
“Aku sudah siap. Bukankah kita akan berangkat pagi ini?”
“Arum” desis Juwiring dan Buntal hampir berbareng.
“Bukankah kita akan pergi ke Sukawati?” bertanya Arum.
“Kamilah yang akan pergi. Tetapi kau tidak”
“Aku juga. Ayah menyuruh kita bertiga pergi di pagi ini”
Juwiring dan Buntal saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Juwiring berkata, “Tidak Arum. Tentu ayahmu tidak akan membiarkan kau pergi”
“Ayah menyuruh aku pergi bersama kalian ke Sukawati meng-hadap Pangeran Mangkubumi. Aku tahu benar. Bukankah kita harus lebih dahulu menemui Kiai Sarpasrana dan mengatakan maksud kedatangan kita?”
Sekali lagi kedua anak muda itu saling berpandangan. Arum mengerti perincian tugas mereka, sehingga dengan demikian mereka menjadi ragu-ragu. Apakah benar Kiai Danatirta telah memerintahkan Arum untuk pergi bersama mereka.
“Kenapa kalian menjadi bingung. Ayah tidak membedakan aku dengan kalian. Meskipun aku seorang gadis, tetapi aku juga mendapat tuntunan dari ayah dalam olah kanuragan. Aku juga diajarinya melontarkan pisau-pisau kecil jika aku bertemu dengan Kumpeni yang mempunyai senjata yang dapat meledak dan melontarkan sebutir peluru api. Tetapi jika aku mendapat kesempatan, maka pisauku pun mampu membunuh mereka sebelum mereka berhasil meledakkan senjata mereka itu”
Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Dalam keragu-raguan ia pun berkata, “Baiklah Arum. Aku akan menemui Kiai Danatirta sejenak.
“Buat apa kau menemuinya? Aku sudah minta diri atas nama kalian”
“Ah, kau aneh” sahut Buntal, “Tentu kita harus mohon diri dan barangkali masih ada pesan-pesannya terakhir sebelum kita berangkat”
“Ah, kalian seperti seorang gadis yang mau ngunggah-unggahi. Akulah seorang gadis. Tetapi aku tidak cengeng seperti kalian”
“Kau memang aneh Arum. Minta diri dan mohon restu bukan suatu sikap yang cengeng” sahut Juwiring, “adalah wajar sekali jika kita menghadap ayah dan minta diri serta mohon restu agar perjalanan kita selamat. Juga barangkali pesan-pesan terakhir-nya, apakah yang sebaiknya kita lakukan dan kita sampaikan kepada Pangeran Mangkubumi agar Pangeran itu yakin bahwa niat kita adalah baik bagi Pangeran Mangkubumi dan bagi bumi Surakarta ini”
Arum tidak menyahut. Tetapi ia berdiri saja di muka pintu.
“Marilah Arum. Jika memang Kiai Danatirta menyuruh kita bertiga pergi, marilah kita bersama-sama mohon restunya”
Arum mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata sambil bersungut-sungut, “Pergilah menghadap. Aku sudah minta diri. Kalian agaknya tidak percaya kepadaku”
Bersambung keBagian 3
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
Komentar
Posting Komentar