Bunga di batu karang VII Bag 3
Bunga di batu karang VII Bag 3
“Sama sekali bukan tidak percaya” berkata Buntal, “Tetapi selain restu, itu adalah kewajiban kami sesuai dengan tata kesopanan kita”
“Pergilah, pergilah” Tetapi Arum masih berdiri di muka pintu. Bahkan kemudian ia berpegangan tiang-tiang pintu sambil berkata lebih lanjut, “Agaknya kau ingin mendapat bekal uang dari ayah”
“Kami tidak memerlukan uang”
“Jika demikian buat apa kalian menghadap?”
“Sudah aku katakan, itu adalah kuwajiban dan tata kesopanan”
Arum menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tanpa berkata sesuatu ia pun pergi meninggalkan kedua saudara angkatnya.
“Apakah ia benar-benar sudah mendapat ijin dari ayah?” bertanya Buntal.
“Itulah yang kita sangsikan”
“Tetapi kenapa ia tahu betul tugas yang harus kita lakukan?”
“Mungkin ia kemarin mengintip di balik dinding dan mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Kiai Danatirta”
Keduanya termenung sejenak. Namun kemudian keduanya pun tersenyum.
“Memang, boleh jadi. Dan itulah kemungkinan yang terbesar”
Demikianlah maka kedua anak-anak muda itu pun pergi menghadap Kiai Danatirta untuk minta diri karena langit sudah menjadi semakin terang. Sebentar lagi matahari akan merayap naik ke atas bukit. Dan hari pun akan menjadi semakin siang karenanya.
Setelah mereka mohon diri, maka Juwiring pun kemudian bertanya, “Apakah ayah memerintahkan Arum untuk pergi bersama dengan kami?”
“Arum” kening Kiai Danatirta menjadi berkerut-merut.
“Ya ayah”
“Tidak. Aku tidak menyuruhnya pergi. Tentu tidak. Ia seorang gadis meskipun ia mampu menjaga dirinya. Apalagi dalam keadaan yang gawat dan panas ini”
Kedua anak muda itu saling berpandangan. Sebelum salah seorang dari mereka menjawab, Kiai Danatirta sudah bertanya, “Apakah Arum mengatakan demikian?”
“Ya ayah. Bahkan Arum sudah siap dengan pakaian yang sering dipergunakan untuk berlatih”
Kiai Danatirta merenung sejenak, lalu, “Dimana anak itu sekarang?”
“Ia masih ada di dalam” jawab Juwiring. “Panggillah ia kemari”
Juwiring pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Sejenak kemudian ia telah kembali bersama Arum.
“Duduklah Arum” berkata Kiai Danatirta kemudian dengan nada yang datar.
Arum pun kemudian duduk sambil menundukkan kepalanya. Tetapi sekilas tampak bahwa wajahnya menjadi buram.
“Arum” berkata ayahnya kemudian, “Apakah kau akan mengikuti kedua kakakmu pergi ke Sukawati?”
Arum mengangkat wajahnya sejenak. Tetapi wajah itu kemudian tertunduk lagi.
“Kedua kakakmu mengatakan bahwa kau justru sudah siap untuk berangkat dan apakah aku telah menyuruhmu?”
Wajah Arum menjadi semakin muram. Sambil bersungut-sungut ia berkata, “Ayah tidak adil. Kenapa hanya anak laki-laki saja yang boleh pergi ke Sukawati? Ayah tidak memanggil aku dan menyuruh aku pergi bersama dengan kakang Juwiring dan Buntal”
“Untunglah bahwa kakakmu datang memberitahukan kepada-ku bahwa kau akan ikut serta, bahkan katamu, akulah yang menyuruhnya” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Arum. Jika ayah tidak menyuruhmu, tentu ayah mempunyai alasan. Bukan ayah membedakan murid-muridnya di dalam olah kanuragan, tetapi menurut kodratmu kau adalah seorang gadis. Adalah tidak pantas jika kau ikut menempuh perjalanan ini. Selain jalan yang akan dilalui oleh kedua kakakmu itu masih merupakan sebuah daerah yang gelap karena kita tidak tahu apa yang akan mereka jumpai, adalah juga tidak pantas jika kau pergi bersama mereka. Setiap orang di padepokan dan padukuhan ini mengetahui, bahwa kedua anak muda itu sebenarnya bukan saudaramu yang sesungguhnya”
“Ah apakah salahnya aku berjalan bersama kedua saudara angkatku? Aku menganggap mereka seperti saudaraku sendiri. Benar-benar seperti saudara kandung” Arum memandang ayahnya sejenak, namun kemudian kepalanya tertunduk lagi. Namun ia masih berkata, “Dan seandainya jalan yang akan dilalui itu gawat, apakah jalan itu dapat membedakan antara seorang laki-laki dan perempuan? Jika jalan itu gawat bagiku, maka jalan itu gawat juga bagi kedua kakakku. Atau barangkali ayah menganggap bahwa kemampuanku lebih rendah dari kemampuan kedua kakakku? Jika demikian, ayah pun tidak adil pula”
“Ah, pikiranmu selalu bergeser jauh dari persoalan yang sebenarnya sedang kita bicarakan. Bagaimanapun juga bahaya bagi seorang gadis menurut kodratnya adalah lebih besar bagi seorang laki-laki. Jika seorang laki-laki batas bencana bagi dirinya adalah mati, maka bagi seorang gadis masih ada lagi bencana yang lebih jahat dari itu, bencana yang akan menyiksa sepanjang umurnya”
“Aku mengerti ayah, tetapi aku tidak akan menyerahkan diriku untuk mengalaminya, karena aku akan memilih mati”
“Kadang-kadang yang terjadi bukan yang kita pilih Arum”
“Apakah aku harus menyerah sebelum berbuat sesuatu?”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Anaknya memang keras hati. Jika ia sudah mempunyai niat yang mantap, maka sulitlah untuk menahannya. Jika karena terpaksa Arum dapat dicegah, namun ia akan mencari arah pelarian dari kekecewa-annya. Kadang-kadang dengan tingkah laku yang berbahaya.
“Jadi, bagaimanakah sebenarnya niatmu Arum?” bertanya Kiai Danatirta kemudian.
“Sudah jelas ayah. Aku akan ikut pergi ke Sukawati”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hatimu terlalu keras Arum. Sekeras batu karang”
“Aku hidup disela-sela batu karang yang keras ayah. Karena itulah jiwaku terbentuk sesuai dengan lingkunganku”
“He, siapakah yang mengatakan kepadamu?”
Arum tidak menjawab. Tetapi tampak di wajahnya, bahwa ia sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya.
“Arum” berkata ayahnya kemudian, “Apaboleh buat, jika kau memang berkeras untuk pergi. Tetapi aku mempunyai beberapa syarat”
“Apakah syarat itu ayah?”
“Kau tidak boleh mengganggu tugas kakak-kakakmu”
“Apakah aku sering mengganggu mereka?”
“Aku belum selesai Arum, Maksudku, karena kau seorang gadis yang hampir tidak pernah melihat daerah yang agak jauh, kau jangan memburu kesenanganmu sendiri. Kau jangan membiarkan kedua kakakmu mengikuti keinginanmu untuk melihat-melihat daerah yang baru bagimu. Mungkin tanah pegunungan yang hijau, sungai yang bening dan hutan-hutan perburuan dengan binatang-binatangnya yang liar tetapi memikat”
Arum menganggukkan kepalanya.
“Dan masih ada syarat lagi, “
Arum mengangkat wajahnya yang menjadi tegang.
“Sebaiknya kau memakai pakaian seorang laki-laki sepenuhnya. Itu lebih baik bagimu dan bagi perjalananmu. Hindarilah sejauh mungkin orang-orang padukuhan ini meskipun kita mengharap, agar mereka tidak mengenalmu dalam pakaian yang tidak pernah kau pergunakan keluar rumah itu”
Arum menarik nafas dalam-dalam.
“Masih ada lagi. Sebaiknya kau tidak berbicara di antara orang banyak, agar mereka tidak segera mengenalmu sebagai seorang gadis”
Arum menjadi bersungut-sungut. Katanya seperti kepada diri sendiri, “Ternyata bahwa laki-laki mempunyai kesempatan lebih banyak dari seorang perempuan”
“Tidak Arum. Bukan itu maksudku”
“Ternyata aku harus menjadi seorang laki-laki. Kenapa aku tidak boleh bersikap dalam keadaanku yang sebenarnya?”
“Jangan sekarang. Mungkin dalam keadaan yang lain”
Arum masih saja bersungut-sungut. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Jika demikian kehendak ayah, apaboleh buat. Tetapi aku akan ikut serta”
“Bagus” gumam Kiai Danatirta, namun kemudian, “Tetapi ambillah jalan yang lain dari jalan yang biasa kalian lalui. Kalian dapat mengambil jalan belakang padepokan ini dan menyusur jalan sempit itu sehingga kalian akan turun ke bulak panjang. Mudah-mudahan tidak banyak orang yang berada di sawah di musim begini”
Demikianlah maka Arum pun segera berkemas dan berpakaian sepenuhnya seperti seorang laki-laki. Dengan ikat kepalanya menutup rambutnya yang panjang, yang dilipatnya di bawah ikat kepalanya itu.
Juwiring dan Buntal tersenyum-senyum melihat Arum dalam pakaian laki-laki itu. Namun mereka terpaksa menyembunyikan senyumnya ketika Arum bergeremang, “Aku tidak mau. Jika kakang berdua mentertawakan aku, aku tidak jadi”
“Itu lebih baik” sahut Juwiring.
“Maksudku, aku tidak jadi memakai pakaian ini. Aku akan memakai pakaianku yang paling baik, yang aku terima dari Surakarta. Biar saja ayah marah. Aku tidak peduli”
“Ah, jangan merajuk. Cepatlah. Hari sudah semakin siang. Kita akan kepanasan di perjalanan”
“Aku tidak takut kepanasan. Nah, ini suatu bukti bahwa tidak selalu seorang perempuan lebih lemah dari laki-laki”
Juwiring dan Buntal menahan senyum di bibir mereka. Namun Juwiring lah yang kemudian berkata, “Sudahlah Arum. Marilah. Aku tidak mentertawakan kau lagi”
Ketiganya pun kemudian sekali lagi minta diri. Kiai Danatirta hanya dapat mengusap dadanya melihat anak perempuannya itu berjalan di antara kedua saudara angkatnya. Sikap Arum memang lebih mirip seorang anak laki-laki dalam pakaiannya itu, sehingga tentu banyak orang yang tidak dapat mengenalnya lagi. Bahkan mungkin gadis-gadis kawannya bermain pun tidak akan dapat segera mengenalnya.
Ketika matahari hinggap di punggung perbukitan, ketiga anak-anak muda itu keluar dari regol butulan padepokannya diantar oleh Kiai Danatirta sampai ke jalan sempit di sebelah luar dinding halaman, sambil memberikan pesan-pesannya.
Dengan langkah yang tetap ketiganya pun kemudian berjalan semakin lama semakin jauh, menyusup di bawah bayangan dedaunan yang tumbuh di sebelah menyebelah jalan.
Ketika ketiga anak-anak muda itu telah hilang di balik kelokan jalan, maka Kiai Danatirta pun menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia bergumam, “Anak yang keras hati, sekeras hati ibunya. Mudah-mudahan ia tidak memilih jalan yang sesat seperti jalan yang dilalui ibunya itu, sehingga yang terjadi adalah sebuah malapetaka”
Namun seperti yang pernah terjadi, dada Kiai Danatirta menjadi berdebar-debar jika ia mengenangkan dua orang anak muda yang tinggal bersama di padepokannya. Dua anak muda yang memiliki sifat yang berbeda justru karena atas tempat mereka berpijak pun berbeda pula. Tetapi kedua-duanya memiliki kelebihan mereka masing-masing di samping kelemahan yang wajar terdapat pada setiap orang.
“Mudah-mudahan tidak akan pernah timbul persoalan di antara mereka bertiga justru karena salah seorang dari mereka adalah seorang gadis” gumam Kiai Danatirta di dalam hatinya.
Dengan kepala tunduk orang tua itu pun masuk kembali ke halaman samping padepokannya dan berjalan melintasi sebuah petamanan yang sempit. Akhirnya segalanya harus dipasrahkan kepada Tuhan Yang Suci.
“Kemanakah mereka pergi Kiai?” bertanya seorang cantrik.
Kiai Danatirta berpaling. Dilihatnya cantriknya yang setia berdiri di belakangnya. Seorang yang telah mendekati usia setengah abad.
“O” sahut Kiai Danatirta, “Mereka pergi melihat-lihat daerah di luar padepokan ini. Mereka harus mempunyai gambaran tentang kehidupan di alam yang luas. Bukan selalu hidup dan melihat kehidupan yang sempit di padepokan ini saja”
Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Memang pengalaman itu sangat perlu. Tetapi kenapa justru saat ini?”
“Kenapa dengan saat ini?” bertanya Kiai Danatirta.
“Kiai” jawab Cantrik itu, “hampir setiap orang mempersoalkan keadaan yang berkembang masa kini. Rasa-rasanya kota Surakarta telah dipanggang diatas bara yang semakin lama menjadi semakin panas”
“Tetapi mereka tidak akan pergi ke kota cantrik. Mereka akan menyelusuri desa yang satu ke desa yang lain. Aku sudah menunjukkan kepada siapa mereka harus datang dan apakah yang harus dikatakannya”
Cantrik itu mengangguk-angguk pula. Namun ia masih menjawab, “Tetapi udara yang panas itu telah memanasi padesan dan padukuhan di daerah ini, Kiai, jalan yang semula aman dan tenteram, semakin lama menjadi semakin gelisah karena hal-hal yang tidak jelas”
Kiai Danatirta tersenyum, katanya, “Itulah yang sedang dilihat oleh anak-anak itu cantrik?”
Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya hal itu terlampau berbahaya bagi mereka Kiai. Mereka masih terlampau muda dan belum berpengalaman”
Sambil menepuk bahu cantrik itu Kiai Danatirta berkata, “Terima kasih cantrik. Kau sangat memperhatikan mereka. Mudah-mudahan mereka selamat. Tetapi sekali-sekali mereka memang harus berlatih menjelajahi daerah ini. Mengenal lingkungan di sekitarnya dan menghayati perjalanan yang kadang-kadang sulit”
Cantrik itu masih mengangguk-angguk.
“Nah, kembalilah kepada pekerjaanmu. Aku pun akan pergi ke sawah. Karena kedua anak-anakku itu tidak ada di rumah, akulah yang harus membuka pematang untuk mendapatkan air”
“Bukankah aku dapat juga pergi Kiai?”
“Kau mempunyai tugasmu sendiri”
Cantrik itu pun kemudian pergi ke belakang. Digapainya kapaknya dan ia pun melanjutkan kerjanya, membelah kayu bakar.
Dalam pada itu, ketiga anak muda dari padepokan Jati Aking itu pun telah melintasi parit dan turun ke jalan yang lebih besar. Untunglah tidak banyak orang yang mereka jumpai, sehingga mereka tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, karena semua orang di Jati Sari dan sekitarnya sudah mengenal mereka sebagai anak-anak angkat Kiai Danatirta. Apalagi mereka pun mengetahui, bahwa Raden Juwiring adalah putera seorang Pangeran. Seorang yang masih harus diagungkan dan dihormati meskipun Juwiring sendiri sama sekali tidak menghendakinya. Ternyata pula bahwa Arum tidak menarik perhatian mereka justru karena mereka tidak menyangka sama sekali.
Perjalanan itu pun kemudian menjadi semakin laju ketika mereka keluar dari daerah yang telah mengenal mereka. Daerah yang telah mengenal mereka. Daerah yang masih agak asing bagi Arum, meskipun kadang-kadang ia ikut ayahnya pergi ke kenalan-kenalannya di padesan di sekitar Kademangan Jati Sari.
Orang-orang yang berpapasan dengan ketiga anak-anak muda itu sama sekali tidak mengira, bahwa seorang dari mereka adalah seorang gadis. Dalam pakaian laki-laki Arum memang benar-benar seperti seorang laki-laki. Langkahnya yang tegap dan tandang geraknya yang cekatan. Hanya apabila ia berbicara, maka suaranya lah yang terutama memperkenalkannya bahwa ia adalah seorang gadis. Kadang-kadang juga kemanjaannya dan wajahnya yang berubah-ubah. Kadang-kadang ia tersenyum, bahkan tertawa. Tetapi hampir tanpa sebab ia memberengut dan bersungut-sungut.
Tetapi Juwiring dan Buntal yang sudah bergaul lama dengan Arum, sudah mengenalnya dengan baik. Karena itu, mereka hampir tidak terpengaruh karenanya. Dibiarkannya Arum bersungut-sungut ketika ia melintasi parit yang kotor dan melemparkan bau yang tidak sedap di hidungnya. Tetapi ia tertawa karena ia melihat seorang anak kecil yang duduk diatas punggung kerbau yang digembalakannya.
Ketika mereka kemudian melintasi jalan sempit di sebelah sebuah hutan perburuan yang tidak begitu lebat, maka Arum pun bertanya, “Apakah kita tidak dapat menyusup lewat hutan ini?”
“Mungkin kita akan dapat sampai pula. Tetapi aku masih menyangsikannya” sahut Juwiring.
“Marilah kita coba. Kita masuk ke dalam hutan ini. Jika kita mengetahui arahnya, kita akan dapat menyelusur sampai ke tepi di sebelah lain”
“Ah” Buntal lah yang kemudian menjawab, “Bukankah ayah sudah berpesan, jangan menuruti kesenangan sendiri”
“Tetapi aku tidak berbelok dari tugas yang aku bawa. Aku tetap pergi ke Sukawati. Aku hanya ingin berjalan di dalam hutan perburuan yang belum pernah aku lihat”
“Binatang buruan adalah binatang yang memikat” sela Juwiring.
“Tergantung kepada kita. Jika kita tidak terpikat, kita tidak akan terganggu karenanya”
“Lebih baik ia berjalan di luar hutan” berkata Buntal kemudian.
“Apakah kalian takut bertemu dengan seekor harimau?”
Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu ia pun kemudian bertanya, “Apakah kau pernah melihat seekor harimau, Arum?”
“Tentu sudah” jawab Arum dengan serta-merta, “di padang perdu, di sebelah padepokan kita, masih berkeliaran beberapa ekor harimau. Di pegunungan yang membujur ke Barat itu pun terdapat beberapa ekor yang sering mengganggu padukuhan di sekitarnya karena harimau-harimau itu sering mencuri kambing”
“Harimau tutul. Harimau yang agak kecil dibanding dengan harimau gembong yang berkulit loreng”
“Kau takut?”
“Bukan takut. Tetapi perjalanan kita dapat terganggu. Kita harus memanjat dan menunggu sampai harimau itu pergi”
“Ah, kita akan membunuhnya. Kita bunuh harimau itu dengan pisau-pisau kita. Kita melemparkan bersama-sama tiga buah pisau. Sebuah di pangkal pahanya yang depan, sebuah dikeningnya dan yang lain di arah jantung”
Juwiring dan Buntal mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya Juwiring bertanya, “Kenapa di pangkal pahanya yang depan?”
“Kau bertanya, atau sekedar ingin tahu apakah aku mengerti kata-kata yang aku ucapkan”
“Ah” Juwiring tersenyum, “kedua-duanya”
Arum memandangnya dengan tajam, lalu, “Baiklah. Menurut ayah ketika ia menangkap seekor harimau yang berwarna kehitam-hitaman, pangkal paha depan dapat melumpuhkannya. Harimau itu tidak akan dapat lari kencang lagi”
“Apakah Kiai Danatirta pernah membunuh seekor harimau?”
“Dahulu ketika aku masih kecil. Kalian belum ada di padepokan”
Juwiring dan Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi bagaimana dengan kita?” tiba-tiba saja Arum bertanya sambil berhenti.
“Kenapa kau berhenti?” bertanya Buntal.
“Aku akan menyusup hutan rindang ini”
“Ah”
“Jika kalian tidak mau, aku akan menembus hutan ini sendiri”
“Kau sudah mulai rewel Arum” desis Juwiring.
“Terserahlah kepada kalian”
Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka sadar, bahwa Arum memang keras kepala. Jika tidak, ia tentu tidak akan ikut serta bersama mereka.
“Jangankan kami” berkata kedua anak muda itu di dalam hatinya, “sedang Kiai Danatirta pun tidak dapat mencegahnya”
“Apakah kalian akan ikut?” tiba-tiba saja Arum bertanya sambil melangkah mendekati hutan perburuan itu.
Juwiring dan Buntal berpandangan sejenak. Keduanya pun kemudian mengangkat bahunya.
“Apaboleh buat” desis Juwiring.
Dengan demikian maka keduanya pun segera melangkah mengikutinya. Bagaimanapun juga hati mereka bergeremang, namun mereka tidak akan dapat mencegah gadis itu lagi. Apalagi sebenarnya keduanya pun mempunyai keinginan betapapun kecilnya, untuk sekali-sekali melihat-melihat daerah perburuan. Kadang-kadang beberapa orang bangsawan memasuki hutan itu dan berburu kijang atau rusa. Meskipun demikian kadang-kadang mereka bertemu juga dengan seekor harimau yang besar.
Adalah di luar pengetahuan ketiganya bahwa hutan perburuan itu merupakan hutan yang tertutup. Karena binatang buruan menjadi semakin berkurang, maka hanya para bangsawan sajalah yang kemudian diperkenankan berburu di hutan itu. Dan Juwiring yang pernah juga berburu, tidak mengetahui bahwa di saat terakhir telah dibuat peraturan serupa itu.
Dengan berlari-lari kecil Arum memasuki hutan yang tidak begitu lebat itu. Hutan yang baginya merupakan tempat bermain yang menyenangkan sekali.
Juwiring dan Buntal hanya mengikutinya saja. Jika kemudian Arum hilang dari pandangan mata mereka, mereka pun sekedar berteriak memanggil.
“Aku di sini” jawab Arum dari kejauhan.
“Jangan terlalu jauh. Kau dapat tersesat. Atau jika kita semuanya tersesat, kita tidak akan pernah bertemu lagi. Tetapi jika kita bersama-sama, tersesat atau tidak, kita tetap bersama-sama”
Arum pun agaknya dapat mengerti juga. Karena itu, ia pun tidak lagi berlari-lari terlalu jauh.
“Begitukah caramu berburu Arum” bertanya Juwiring, “Jika demikian maka binatang-binatang buruan akan berlari-larian menjauh sebelum kau sempat melihatnya”
“Ah, jangan memperbodoh aku” sahut Arum, “Bukankah kita tidak sedang berburu. Jika kita sedang berburu, kita harus mengetahui arah angin. Kita harus duduk di dahan beberapa lama, dan jika kita harus menyelusuri jejak binatang, kita pun harus berjalan sangat berhati-hati atau menunggunya didekat sumber air di tengah hari, menunggu saat binatang buruan menjadi haus dan minum di sumber itu”
Juwiring dan Buntal mengerutkan keningnya. Tetapi Juwiring segera menyahut, “Tentu Kiai Danatirta yang memberi tahukan kepadamu”
“Tentu. Jika bukan ayah, siapa lagi?” Kedua anak-anak muda itu tersenyum.
Namun dalam pada itu, ternyata suara mereka yang keras dan bergema di dalam hutan itu jika mereka saling memanggil, telah didengar oleh beberapa orang prajurit yang mendapat tugas merondai hutan itu. Prajurit-prajurit itu harus mencegah jika ada pemburu liar yang mereka sebut mencuri binatang di hutan itu.
Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian terdengar derap beberapa ekor kuda yang berlari-lari di hutan yang rindang itu.
Juwiring, Buntal dan Arum pun kemudian terkejut mendengar derap kaki kuda itu. Mereka menyangka bahwa ada seorang bangsawan yang sedang berburu. Karena itu, maka Juwiring pun berkata, “Marilah kita menghindarinya. Aku tidak mau menemui siapapun. Mungkin pemburu itu adalah adimas Rudira, mungkin adimas atau kangmas sepupuku atau barangkali pamanda Pangeran siapapun juga”
“Kenapa kita harus menghindar?” bertanya Arum, “Aku ingin melihat cara mereka berburu”
“Arum, kali ini aku minta dengan sangat. Cobalah mengerti perasaanku. Kau tidak boleh ingkar, bahwa kau mengetahui tentang diriku, bahwa aku adalah putera seorang Pangeran”
Arum mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun menjawab, “Apa salahnya jika kau putera seorang Pangeran. Justru mereka akan mengenalmu dan bahkan mungkin mengajak kita untuk ikut berburu”
“Ah, kau aneh Arum. Aku adalah seorang putera Pangeran yang seakan-akan telah tersisih. Maka lebih baik bagiku apabila aku tidak berhubungan lagi dengan para bangsawan. Setidak-tidaknya untuk sementara, karena aku merasa diriku telah terpisah dari mereka”
Bagaimanapun juga keras hati gadis itu, tetapi ia melihat kesungguhan membayang di wajah Juwiring. Karena itu maka ia pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Terserahlah kepadamu. Kau adalah saudara yang tertua di antara kami bertiga. Kaulah yang akan menentukannya”
“Baiklah” jawab Juwiring, “Terima kasih” Ia berhenti sejenak untuk mendengar langkah kaki-kaki kuda yang menjadi semakin dekat.
“Kita berhenti saja di sini” berkata Juwiring kemudian.
Ketiganya pun kemudian duduk di bawah sebatang kayu yang besar. Mereka seakan-akan tidak menghiraukan langkah kaki-kaki kuda itu. Biar saja orang-orang berkuda itu lewat. Mereka tidak akan mengganggu. Tidak akan menyapa dan sama sekali tidak akan memperhatikannya. Bahkan Juwiring mengharap agar orang-orang berkuda itu tidak melihatnya, agar mereka bertiga tidak usah menghormati mereka dengan tata cara yang tidak disukainya. Apalagi mereka bertiga memakai pakaian petani yang sederhana.
Tetapi ternyata derap kaki-kaki kuda itu menjadi kian dekat. Kadang-kadang berhenti dan kemudian terdengar lagi.
Dalam pada itu, orang-orang berkuda yang sedang mencari anak-anak muda itu berusaha untuk mengikuti jejak yang telah mereka ketemukan. Bekas-bekas kaki ketiga anak-anak muda itu tampak pada ranting-ranting perdu yang patah dan rerumputan yang roboh.
“Mereka masih berada Di tempat ini” berkata salah seorang dari mereka, “Suara mereka terdengar dari arah ini”
“Ya”
Suara itu bergema. Sangat sulit untuk menemukan arahnya”
“Tetapi kita menemukan jejak kaki yang baru di daerah ini. Kita dapat mengikuti jejak ini dan kemudian menemukan mereka. Ternyata menilik jejaknya, mereka tidak hanya seorang diri.
“Ya. Tentu, bukan hanya seorang, karena mereka saling memanggil”
Demikianlah mereka maju perlahan-lahan. Selangkah demi selangkah, sehingga para prajurit itu pun telah berloncatan dari punggung kuda mereka, agar mereka dapat mengikuti jejak itu dengan saksama.
“Kita berpencar” berkata pemimpin sekelompok prajurit yang sedang menyusuri jejak itu. Jika salah seorang dari kita menemukannya, kita akan memberikan tanda-tanda. Di sini jejak itu berpisah. Dan kita pun berpisah”
Maka sekelompok prajurit itu pun kemudian berpencar. Karena jejak yang mereka ikuti pun berpencar.
Jejak yang memisahkan diri itu adalah jejak Arum. Namun jejak itu tidak berpisah terlampau lama. Akhirnya jejak itu pun bergabung kembali sehingga para prajurit itu pun berkata di antara mereka, “Jejak ini menyatu lagi”
Pemimpin prajurit peronda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya mencoba memecahkan teka-teki itu Agaknya ia kehilangan binatang buruannya”
“Atau karena kawannya memanggilnya. Bukankah lamat-lamat kita mendengar suara mereka memanggil” sahut salah seorang prajurit.
Pemimpin kelompok peronda itu mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, “Baiklah, kita maju terus. Tetapi sebaiknya kita agak menebar”
Sambil menuntun kuda masing-masing maka beberapa orang prajurit itu pun maju terus. Semakin lama mereka memang menjadi semakin cepat dengan tempat Juwiring dan adik-adik angkatnya duduk di bawah sebatang pohon yang besar.
Seorang prajurit yang berada di paling depan akhirnya melihat ketiga anak-anak muda itu, sehingga karena itu, maka ia pun berhenti dan memberitahukannya kepada pemimpinnya.
Pemimpinnya pun kemudian maju di samping orang itu. Dan dilihatnya tiga orang duduk di bawah sebatang pohon sambil menundukkan kepala mereka.
“Hem, itulah mereka” gumam pemimpin kelompok itu.
“Ya. Tetapi mereka tidak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Mereka tidak membawa senjata untuk berburu” sahut seorang prajurit.
“Bagaimanapun juga mereka sudah melanggar peraturan. Marilah kita dekati dan kita bertanya kepada mereka, apakah yang mereka cari disini”
Maka beberapa orang prajurit itu pun kemudian mendekati mereka yang sedang duduk sambil menunduk itu.
Juwiring, Buntal dan Arum menyadari, bahwa beberapa orang sambil menuntun kuda mereka, telah berjalan mendekat. Menilik pakaian mereka, maka orang-orang itu adalah prajurit-prajurit Surakarta, sehingga karena itu, maka hati Juwiring pun menjadi semakin berdebar-debar.
Beberapa langkah dari tempat ketiga anak-anak muda itu duduk, para prajurit itu berhenti. Sementara itu Juwiring berbisik kepada Buntal, “jawablah pertanyaan mereka”
Buntal mengerutkan keningnya. Namun ia mengerti bahwa Juwiring benar-benar ingin menyembunyikan dirinya, agar ia tidak dikenal oleh para prajurit itu sebagai seorang bangsawan.
Karena itu, ketika orang-orang itu mendekatinya, maka Buntal lah yang kemudian mengangkat wajahnya.
“He, siapakah kalian?” bertanya pemimpin prajurit itu.
“Kami adalah anak-anak padepokan Jati Aking di Jati Sari tuan”
“Kenapa kalian ada di tengah-tengah hutan perburuan ini?”
“Tidak apa-apa tuan. Kami hanya sekedar lewat. Kami akan melintasi hutan ini dari sebelah sisi sampai ke sisi yang lain. Sebenarnyalah bahwa kami sedang mencari jalan yang memintas”
Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Kemudian maka ia pun bertanya, “Kemana kalian akan pergi?”
Buntal menjadi termangu-mangu sejenak. Sedang Juwiring pun menjadi berdebar-debar. Mereka sama sekali belum mengetahui sikap para prajurit itu. Apakah mereka termasuk orang yang berpihak kepada orang-orang asing itu dan membenci Pangeran Mangkubumi atau sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang bersikap memusuhi kumpeni dan sependapat dengan. Pangeran Mangkubumi
Karena itu Buntal tidak segera menjawab. Dipandanginya Juwiring sejenak, tetapi Juwiring masih menundukkan kepalanya.
“Kemana kalian akan pergi he?”
Buntal harus segera menjawab. Karena ia tidak mempunyai jawaban lain, maka ia pun akhirnya menyahut, “Kami akan pergi ke Sukawati tuan”
“Sukawati? Kenapa kau pergi ke Sukawati he?”
Dada Buntal menjadi kian berdebar-debar. Namun ia menyahut juga, “Kami akan menengok kakek kami yang tinggal di daerah Sukawati. Sudah lama kami tidak menengoknya dan kakek kami yang sering datang ke Jati Aking sudah lama pula tidak datang”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Meskipun ia sudah lama berada dan menjadi prajurit Surakarta, tetapi ia tidak mengetahui siapakah yang disebut penghuni-penghuni Jati Aking di Jati Sari, karena tugasnya yang berpindah-pindah. Karena itu nama-nama tempat itu sama sekali tidak menarik perhatiannya.
“He, kenapa kalian lewat hutan tertutup ini?” bertanya prajurit itu lebih lanjut.
Buntal terkejut mendengar pertanyaan itu, apalagi Juwiring. Namun Juwiring masih saja menundukkan kepalanya meskipun ia ingin bertanya beberapa hal kepada prajurit itu. Untunglah bahwa Buntal pun bertanya pula kepada prajurit itu, “Tetapi bukankah hutan ini hutan perburuan? Menurut pendengaranku hutan ini terbuka bagi siapapun juga yang ingin berburu binatang”
“Sekarang tidak lagi. Hutan ini hanya diperuntukkan bagi para bangsawan”
“O, kami tidak mengerti tuan. Kami mohon maaf. Kami akan segera keluar dari hutan ini. Kami berani memasuki hutan ini karena kami mengira bahwa hutan ini masih bukan hutan tertutup”
“Apa, begitu saja minta maaf dan akan pergi meninggalkan hutan ini?” bertanya prajurit itu.
Buntal mengerutkan keningnya.
“Kau sudah berbuat kesalahan. Di dalam keadaan yang panas ini, kami tidak dapat berbuat terlalu baik terhadap siapapun. Dan aku tidak yakin jika kalian adalah anak-anak muda yang sekedar tidak mengetahui bahwa hutan ini adalah hutan tertutup”
“Tuan” berkata Buntal, “Kami adalah anak-anak padepokan. Kami sama sekali tidak mengetahui perkembangan keadaan. Kami tidak tahu apakah yang sedang terjadi saat ini dan kami pun tidak tahu bahwa hutan ini adalah hutan larangan. Sehari-hari kami bergulat saja dengan padepokan kami. Sawah dan ladang dan sedikit olah kajiwan”
“Aku tidak peduli. Kalian telah melanggar peraturan. Karena itu kalian harus ditangkap”
Dada Buntal menjadi semakin berdebar-debar. Demikian juga agaknya Juwiring dan Arum. Arum merasa bahwa ialah yang telah menjerumuskan mereka bertiga dalam persoalan yang tidak mereka sangka-sangka. Tetapi seperti pesan yang diterimanya, bahwa sebaiknya ia tidak berbicara kepada orang lain sehingga tidak segera menimbulkan kecurigaan. Setidak-tidaknya mereka pasti akan bertanya, kenapa berpakaian seperti seorang laki-laki.
“Tuan” berkata Buntal kemudian, “Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya tuan. Kami benar-benar tidak mengerti, bahwa hutan ini sekarang menjadi hutan tertutup. Menurut pengetahuan kami, hutan ini adalah hutan yang terbuka karena kami pernah juga melihat orang-orang berburu di hutan ini beberapa saat lampau tanpa kami sengaja, ketika kami dalam perjalanan seperti sekarang ini”
“Omong kosong” bentak prajurit itu, “ikut kami”
Buntal menjadi bingung. Karena itu, maka digamitnya Juwiring yang masih menunduk memeluk lututnya.
“Jangan membantah perintah kami. Jika di dalam pemeriksaan selanjutnya kalian tidak bersalah, kalian akan kami lepaskan”
“Apakah kami akan dibawa ke Surakarta?” bertanya Buntal.
“Tidak. Kalian akan kami bawa ke induk penjagaan hutan ini. Mereka, pemimpin kami yang lebih tinggi, akan menentukan apakah kalian boleh pergi atau tidak”
Buntal menjadi termangu sejenak. Jika mereka dibawa pergi ke induk penjagaan hutan ini, dan para prajurit menemukan senjata di dalam tubuh mereka, maka hal itu pasti akan menjadi persoalan yang berkepanjangan. Apalagi di saat-saat seperti sekarang, saat Surakarta dipanggang diatas bara api ketidak pastian. Setiap orang tidak mengerti dengan pasti apa yang sebaiknya dilakukan selain mereka yang sudah bersikap.
Karena itu, untuk menemui pemimpin prajurit yang bertugas di hutan perburuan itu pun Buntal menjadi ragu-ragu. Jika para prajurit menjadi curiga dengan senjata-senjata mereka, dengan pisau-pisau yang terselip pada ikat pinggang di bawah baju mereka, maka akan dapat timbul salah paham dengan para prajurit itu.
“Cepat” prajurit itu membentaknya, “berdiri dan berjalan ke induk penjagaan itu. Jika kalian memang merasa tidak bersalah, maka kalian tentu tidak akan berkeberatan. Tetapi jika kalian menolak, kami akan memaksa dengan kekerasan karena itu berarti bahwa kalian memang bersalah”
Debar di dada Buntal menjadi semakin keras, Sekali-sekali dipandanginya prajurit-prajurit yang berdiri di sekitarnya dengan sudut matanya, seakan-akan Buntal ingin menjajagi kemampuan para prajurit itu. Namun demikian ia masih sempat juga berpikir, bahwa akibatnya jika ia menolak akan berkepanjangan juga, karena ia sudah terlanjur berterus terang bahwa ia adalah penghuni padepokan Jati Aking di Jati Sari.
Selagi Buntal kebingungan, maka sambil menundukkan kepalanya Juwiring berkata, “Kita pergi bersama mereka”
Buntal termangu-mangu sejenak. Arum yang sudah mengangkat wajahnya, tidak jadi mengucapkan sepatah katapun, karena tiba-tiba-tiba saja ia teringat kepada pesan agar ia tidak berbicara.
Buntal menarik nafas dalam-dalam. Juwiring pun kemudian berdiri meskipun kepalanya masih tetap tunduk. Ditariknya lengan Arum sambil berkata, “Marilah”
Arum dan Buntal masih tampak ragu-ragu. Tetapi mereka pun kemudian mengangguk pula.
“Marilah” berkata Buntal kepada prajurit itu.
“Jangan berbuat sesuatu yang dapat membuat kalian menyesal” perintah pemimpin prajurit itu.
Ketiga anak-anak muda itu tidak menjawab.
“Ikutlah aku” perintah prajurit itu kemudian baik ke atas punggung kuda masing-masing.
Buntal, Juwiring dan Arum pun kemudian berjalan di belakangnya. Tetapi agaknya prajurit itu tidak mau melelahkan kakinya untuk berjalan. Ketika ketiga anak-anak muda itu sudah mengikutinya, maka ia pun kemudian meloncat ke atas punggung kudanya.
Para prajurit yang lain mengikuti di belakang ketiga anak muda dari Jati Aking itu. Tetapi mereka pun segera berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing.
Buntal memandang para prajurit itu dengan hati yang bergejolak. Namun ketika ia sadar, bahwa ia bersama kedua saudara angkatnya itu berpakaian seperti seorang petani yang sederhana, maka ia pun mencoba untuk menenangkan perasaannya.
“Betapa rendahnya martabat seorang petani, tetapi sikap itu adalah sikap yang deksura” berkata Buntal di dalam hatinya.
Namun ia masih juga berjalan terus bersama kedua saudara angkatnya mengikuti prajurit yang berkuda di hadapan mereka. Kadang-kadang mereka harus berlari-lari kecil dan bahkan berloncatan jika mereka sampai di bawah sebatang pohon tua dengan dahan-dahannya yang berpatahan.
Dalam pada itu selama mereka berjalan, Buntal sempat bertanya kepada Juwiring, “Bagaimanakah jika mereka menemukan senjata-senjata kita?”
“Biarlah kita mengatakannya, bahwa senjata-senjata itu sekedar untuk menjaga diri”
“Tetapi senjata-senjata kami bukannya senjata yang biasa dipergunakan oleh orang kebanyakan. Mereka tentu akan bertanya terus-menerus tentang senjata-senjata kita yang pasti mereka anggap aneh”
Juwiring mengerutkan keningnya. Ketika sekilas ia berpaling maka diketahuinya bahwa prajurit-prajurit yang membawanya itu belum mengenalnya atau jika ada yang pernah melihatnya, mereka tidak dapat mengenalinya karena pakaian yang dipakainya adalah pakaian seorang petani yang sederhana.
“Aku harap mereka percaya” berkata Juwiring kemudian, “Jika tidak, kita akan mencari jalan lain”
“Melarikan diri? Aku sudah terlanjur mengatakan, bahwa kita adalah anak-anak Jati Aking. Mereka pasti akan mencari kita dan jika mereka tidak menemukan kita, maka Kiai Danatirta lah yang harus bertanggung jawab. Aku yakin bahwa Kiai Danatirta tidak akan berbohong”
Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Memang agak sulit untuk memecahkan persoalan yang tiba-tiba saja harus mereka hadapi. Tetapi Juwiring dan Buntal tidak mau melemparkan kesalahan kepada Arum. Bagaimanapun juga mereka harus mempertanggung jawabkan bersama-sama. Hanya Arum sendirilah yang merasa di dalam hatinya, bahwa ia adalah sumber dari kesulitan ini.
Bahkan tiba-tiba saja ia berbisik perlahan sekali agar suaranya yang bernada tinggi itu tidak didengar oleh para prajurit, “Bagaimanakah jika kita nanti dibawa ke Surakarta?”
Juwiring memandanginya sejenak, namun ia pun kemudian tersenyum, “Tidak apa-apa. Bukankah sekali-sekali kau ingin juga bertamasya ke Surakarta”
“Ah kau” Arum bersungut-sungut. Namun sebelum ia meneruskan kata-katanya, Juwiring menyahut, “Bukan maksudku. Tetapi jika kita terpaksa dibawa ke Surakarta, maka aku mengharap bahwa ada satu dua orang perwira atasan yang mengenal aku, bahwa aku adalah putera ayahanda Ranakusuma. Dengan demikian, maka kita akan dapat bebas dari segala tuduhan, meskipun perjalanan kita terhambat”
“Tetapi dengan senjata-senjata kita yang aneh ini?”
“Kita memang ingin berburu” jawab Juwiring, “dan aku harap, mereka tidak akan memperpanjang persoalan lagi”
Arum mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Juwiring sendiri tidak yakin akan kata-katanya. Meskipun ia putera Pangeran Ranakusuma, maka kumpeni dan para bangsawan yang berpihak kepadanya akan dapat mencurigainya, karena ternyata banyak pula para bangsawan yang menentang mereka.
Dalam pada itu mereka pun menjadi semakin dekat dengan induk penjagaan hutan itu. Dari kejauhan telah tampak sebuah gardu yang agak besar. Beberapa ekor kuda masih tertambat di pepohonan. Dua tiga orang prajurit duduk di serambi gardu itu sambil berbicara dengan asyiknya.
Ketika mereka melihat prajurit berkuda yang di paling depan, maka mereka pun segera berdiri. Seorang yang sudah setengah umur memandang prajurit itu dengan sorot mata yang tajam.
“Kami membawa mereka” berkata prajurit itu sambil meloncat dari kudanya.
“Siapa?” bertanya prajurit yang sudah agak lanjut usia
“Anak muda yang sering mencuri binatang buruan”
“Kami tidak pernah mencuri“ Buntal menyahut.
“Diam” bentak prajurit itu.
“Dimana kau temukan anak-anak itu?” bertanya prajurit yang sudah ubanan.
“Di tengah-tengah hutan ini ketika aku meronda. Mereka mencoba mencuri binatang buruan”
“Tidak” sekali lagi Buntal menyahut. Namun Juwiring yang selalu menundukkan kepalanya itu pun menggamitnya.
Prajurit-prajurit yang lain pun telah berdiri di belakang ketiga anak-anak muda itu. Tetapi mereka masih belum berbuat apa-apa.
“Dimana Ki Lurah” bertanya pemimpin peronda itu kepada prajurit yang sudah setengah umur itu.
“Di dalam”
“Mari ikut aku” bentak pemimpin peronda itu kepada Buntal.
“Kemana?” beritanya Buntal.
“Ikutlah” desis Juwiring.
Buntal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Juwiring berbisik, “Katakan bahwa kita memang ingin berburu”
Bersambung Bunga di batu karang VIII
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
“Sama sekali bukan tidak percaya” berkata Buntal, “Tetapi selain restu, itu adalah kewajiban kami sesuai dengan tata kesopanan kita”
“Pergilah, pergilah” Tetapi Arum masih berdiri di muka pintu. Bahkan kemudian ia berpegangan tiang-tiang pintu sambil berkata lebih lanjut, “Agaknya kau ingin mendapat bekal uang dari ayah”
“Kami tidak memerlukan uang”
“Jika demikian buat apa kalian menghadap?”
“Sudah aku katakan, itu adalah kuwajiban dan tata kesopanan”
Arum menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tanpa berkata sesuatu ia pun pergi meninggalkan kedua saudara angkatnya.
“Apakah ia benar-benar sudah mendapat ijin dari ayah?” bertanya Buntal.
“Itulah yang kita sangsikan”
“Tetapi kenapa ia tahu betul tugas yang harus kita lakukan?”
“Mungkin ia kemarin mengintip di balik dinding dan mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Kiai Danatirta”
Keduanya termenung sejenak. Namun kemudian keduanya pun tersenyum.
“Memang, boleh jadi. Dan itulah kemungkinan yang terbesar”
Demikianlah maka kedua anak-anak muda itu pun pergi menghadap Kiai Danatirta untuk minta diri karena langit sudah menjadi semakin terang. Sebentar lagi matahari akan merayap naik ke atas bukit. Dan hari pun akan menjadi semakin siang karenanya.
Setelah mereka mohon diri, maka Juwiring pun kemudian bertanya, “Apakah ayah memerintahkan Arum untuk pergi bersama dengan kami?”
“Arum” kening Kiai Danatirta menjadi berkerut-merut.
“Ya ayah”
“Tidak. Aku tidak menyuruhnya pergi. Tentu tidak. Ia seorang gadis meskipun ia mampu menjaga dirinya. Apalagi dalam keadaan yang gawat dan panas ini”
Kedua anak muda itu saling berpandangan. Sebelum salah seorang dari mereka menjawab, Kiai Danatirta sudah bertanya, “Apakah Arum mengatakan demikian?”
“Ya ayah. Bahkan Arum sudah siap dengan pakaian yang sering dipergunakan untuk berlatih”
Kiai Danatirta merenung sejenak, lalu, “Dimana anak itu sekarang?”
“Ia masih ada di dalam” jawab Juwiring. “Panggillah ia kemari”
Juwiring pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Sejenak kemudian ia telah kembali bersama Arum.
“Duduklah Arum” berkata Kiai Danatirta kemudian dengan nada yang datar.
Arum pun kemudian duduk sambil menundukkan kepalanya. Tetapi sekilas tampak bahwa wajahnya menjadi buram.
“Arum” berkata ayahnya kemudian, “Apakah kau akan mengikuti kedua kakakmu pergi ke Sukawati?”
Arum mengangkat wajahnya sejenak. Tetapi wajah itu kemudian tertunduk lagi.
“Kedua kakakmu mengatakan bahwa kau justru sudah siap untuk berangkat dan apakah aku telah menyuruhmu?”
Wajah Arum menjadi semakin muram. Sambil bersungut-sungut ia berkata, “Ayah tidak adil. Kenapa hanya anak laki-laki saja yang boleh pergi ke Sukawati? Ayah tidak memanggil aku dan menyuruh aku pergi bersama dengan kakang Juwiring dan Buntal”
“Untunglah bahwa kakakmu datang memberitahukan kepada-ku bahwa kau akan ikut serta, bahkan katamu, akulah yang menyuruhnya” Kiai Danatirta berhenti sejenak, lalu, “Arum. Jika ayah tidak menyuruhmu, tentu ayah mempunyai alasan. Bukan ayah membedakan murid-muridnya di dalam olah kanuragan, tetapi menurut kodratmu kau adalah seorang gadis. Adalah tidak pantas jika kau ikut menempuh perjalanan ini. Selain jalan yang akan dilalui oleh kedua kakakmu itu masih merupakan sebuah daerah yang gelap karena kita tidak tahu apa yang akan mereka jumpai, adalah juga tidak pantas jika kau pergi bersama mereka. Setiap orang di padepokan dan padukuhan ini mengetahui, bahwa kedua anak muda itu sebenarnya bukan saudaramu yang sesungguhnya”
“Ah apakah salahnya aku berjalan bersama kedua saudara angkatku? Aku menganggap mereka seperti saudaraku sendiri. Benar-benar seperti saudara kandung” Arum memandang ayahnya sejenak, namun kemudian kepalanya tertunduk lagi. Namun ia masih berkata, “Dan seandainya jalan yang akan dilalui itu gawat, apakah jalan itu dapat membedakan antara seorang laki-laki dan perempuan? Jika jalan itu gawat bagiku, maka jalan itu gawat juga bagi kedua kakakku. Atau barangkali ayah menganggap bahwa kemampuanku lebih rendah dari kemampuan kedua kakakku? Jika demikian, ayah pun tidak adil pula”
“Ah, pikiranmu selalu bergeser jauh dari persoalan yang sebenarnya sedang kita bicarakan. Bagaimanapun juga bahaya bagi seorang gadis menurut kodratnya adalah lebih besar bagi seorang laki-laki. Jika seorang laki-laki batas bencana bagi dirinya adalah mati, maka bagi seorang gadis masih ada lagi bencana yang lebih jahat dari itu, bencana yang akan menyiksa sepanjang umurnya”
“Aku mengerti ayah, tetapi aku tidak akan menyerahkan diriku untuk mengalaminya, karena aku akan memilih mati”
“Kadang-kadang yang terjadi bukan yang kita pilih Arum”
“Apakah aku harus menyerah sebelum berbuat sesuatu?”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Anaknya memang keras hati. Jika ia sudah mempunyai niat yang mantap, maka sulitlah untuk menahannya. Jika karena terpaksa Arum dapat dicegah, namun ia akan mencari arah pelarian dari kekecewa-annya. Kadang-kadang dengan tingkah laku yang berbahaya.
“Jadi, bagaimanakah sebenarnya niatmu Arum?” bertanya Kiai Danatirta kemudian.
“Sudah jelas ayah. Aku akan ikut pergi ke Sukawati”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hatimu terlalu keras Arum. Sekeras batu karang”
“Aku hidup disela-sela batu karang yang keras ayah. Karena itulah jiwaku terbentuk sesuai dengan lingkunganku”
“He, siapakah yang mengatakan kepadamu?”
Arum tidak menjawab. Tetapi tampak di wajahnya, bahwa ia sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya.
“Arum” berkata ayahnya kemudian, “Apaboleh buat, jika kau memang berkeras untuk pergi. Tetapi aku mempunyai beberapa syarat”
“Apakah syarat itu ayah?”
“Kau tidak boleh mengganggu tugas kakak-kakakmu”
“Apakah aku sering mengganggu mereka?”
“Aku belum selesai Arum, Maksudku, karena kau seorang gadis yang hampir tidak pernah melihat daerah yang agak jauh, kau jangan memburu kesenanganmu sendiri. Kau jangan membiarkan kedua kakakmu mengikuti keinginanmu untuk melihat-melihat daerah yang baru bagimu. Mungkin tanah pegunungan yang hijau, sungai yang bening dan hutan-hutan perburuan dengan binatang-binatangnya yang liar tetapi memikat”
Arum menganggukkan kepalanya.
“Dan masih ada syarat lagi, “
Arum mengangkat wajahnya yang menjadi tegang.
“Sebaiknya kau memakai pakaian seorang laki-laki sepenuhnya. Itu lebih baik bagimu dan bagi perjalananmu. Hindarilah sejauh mungkin orang-orang padukuhan ini meskipun kita mengharap, agar mereka tidak mengenalmu dalam pakaian yang tidak pernah kau pergunakan keluar rumah itu”
Arum menarik nafas dalam-dalam.
“Masih ada lagi. Sebaiknya kau tidak berbicara di antara orang banyak, agar mereka tidak segera mengenalmu sebagai seorang gadis”
Arum menjadi bersungut-sungut. Katanya seperti kepada diri sendiri, “Ternyata bahwa laki-laki mempunyai kesempatan lebih banyak dari seorang perempuan”
“Tidak Arum. Bukan itu maksudku”
“Ternyata aku harus menjadi seorang laki-laki. Kenapa aku tidak boleh bersikap dalam keadaanku yang sebenarnya?”
“Jangan sekarang. Mungkin dalam keadaan yang lain”
Arum masih saja bersungut-sungut. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Jika demikian kehendak ayah, apaboleh buat. Tetapi aku akan ikut serta”
“Bagus” gumam Kiai Danatirta, namun kemudian, “Tetapi ambillah jalan yang lain dari jalan yang biasa kalian lalui. Kalian dapat mengambil jalan belakang padepokan ini dan menyusur jalan sempit itu sehingga kalian akan turun ke bulak panjang. Mudah-mudahan tidak banyak orang yang berada di sawah di musim begini”
Demikianlah maka Arum pun segera berkemas dan berpakaian sepenuhnya seperti seorang laki-laki. Dengan ikat kepalanya menutup rambutnya yang panjang, yang dilipatnya di bawah ikat kepalanya itu.
Juwiring dan Buntal tersenyum-senyum melihat Arum dalam pakaian laki-laki itu. Namun mereka terpaksa menyembunyikan senyumnya ketika Arum bergeremang, “Aku tidak mau. Jika kakang berdua mentertawakan aku, aku tidak jadi”
“Itu lebih baik” sahut Juwiring.
“Maksudku, aku tidak jadi memakai pakaian ini. Aku akan memakai pakaianku yang paling baik, yang aku terima dari Surakarta. Biar saja ayah marah. Aku tidak peduli”
“Ah, jangan merajuk. Cepatlah. Hari sudah semakin siang. Kita akan kepanasan di perjalanan”
“Aku tidak takut kepanasan. Nah, ini suatu bukti bahwa tidak selalu seorang perempuan lebih lemah dari laki-laki”
Juwiring dan Buntal menahan senyum di bibir mereka. Namun Juwiring lah yang kemudian berkata, “Sudahlah Arum. Marilah. Aku tidak mentertawakan kau lagi”
Ketiganya pun kemudian sekali lagi minta diri. Kiai Danatirta hanya dapat mengusap dadanya melihat anak perempuannya itu berjalan di antara kedua saudara angkatnya. Sikap Arum memang lebih mirip seorang anak laki-laki dalam pakaiannya itu, sehingga tentu banyak orang yang tidak dapat mengenalnya lagi. Bahkan mungkin gadis-gadis kawannya bermain pun tidak akan dapat segera mengenalnya.
Ketika matahari hinggap di punggung perbukitan, ketiga anak-anak muda itu keluar dari regol butulan padepokannya diantar oleh Kiai Danatirta sampai ke jalan sempit di sebelah luar dinding halaman, sambil memberikan pesan-pesannya.
Dengan langkah yang tetap ketiganya pun kemudian berjalan semakin lama semakin jauh, menyusup di bawah bayangan dedaunan yang tumbuh di sebelah menyebelah jalan.
Ketika ketiga anak-anak muda itu telah hilang di balik kelokan jalan, maka Kiai Danatirta pun menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hatinya ia bergumam, “Anak yang keras hati, sekeras hati ibunya. Mudah-mudahan ia tidak memilih jalan yang sesat seperti jalan yang dilalui ibunya itu, sehingga yang terjadi adalah sebuah malapetaka”
Namun seperti yang pernah terjadi, dada Kiai Danatirta menjadi berdebar-debar jika ia mengenangkan dua orang anak muda yang tinggal bersama di padepokannya. Dua anak muda yang memiliki sifat yang berbeda justru karena atas tempat mereka berpijak pun berbeda pula. Tetapi kedua-duanya memiliki kelebihan mereka masing-masing di samping kelemahan yang wajar terdapat pada setiap orang.
“Mudah-mudahan tidak akan pernah timbul persoalan di antara mereka bertiga justru karena salah seorang dari mereka adalah seorang gadis” gumam Kiai Danatirta di dalam hatinya.
Dengan kepala tunduk orang tua itu pun masuk kembali ke halaman samping padepokannya dan berjalan melintasi sebuah petamanan yang sempit. Akhirnya segalanya harus dipasrahkan kepada Tuhan Yang Suci.
“Kemanakah mereka pergi Kiai?” bertanya seorang cantrik.
Kiai Danatirta berpaling. Dilihatnya cantriknya yang setia berdiri di belakangnya. Seorang yang telah mendekati usia setengah abad.
“O” sahut Kiai Danatirta, “Mereka pergi melihat-lihat daerah di luar padepokan ini. Mereka harus mempunyai gambaran tentang kehidupan di alam yang luas. Bukan selalu hidup dan melihat kehidupan yang sempit di padepokan ini saja”
Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Memang pengalaman itu sangat perlu. Tetapi kenapa justru saat ini?”
“Kenapa dengan saat ini?” bertanya Kiai Danatirta.
“Kiai” jawab Cantrik itu, “hampir setiap orang mempersoalkan keadaan yang berkembang masa kini. Rasa-rasanya kota Surakarta telah dipanggang diatas bara yang semakin lama menjadi semakin panas”
“Tetapi mereka tidak akan pergi ke kota cantrik. Mereka akan menyelusuri desa yang satu ke desa yang lain. Aku sudah menunjukkan kepada siapa mereka harus datang dan apakah yang harus dikatakannya”
Cantrik itu mengangguk-angguk pula. Namun ia masih menjawab, “Tetapi udara yang panas itu telah memanasi padesan dan padukuhan di daerah ini, Kiai, jalan yang semula aman dan tenteram, semakin lama menjadi semakin gelisah karena hal-hal yang tidak jelas”
Kiai Danatirta tersenyum, katanya, “Itulah yang sedang dilihat oleh anak-anak itu cantrik?”
Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya hal itu terlampau berbahaya bagi mereka Kiai. Mereka masih terlampau muda dan belum berpengalaman”
Sambil menepuk bahu cantrik itu Kiai Danatirta berkata, “Terima kasih cantrik. Kau sangat memperhatikan mereka. Mudah-mudahan mereka selamat. Tetapi sekali-sekali mereka memang harus berlatih menjelajahi daerah ini. Mengenal lingkungan di sekitarnya dan menghayati perjalanan yang kadang-kadang sulit”
Cantrik itu masih mengangguk-angguk.
“Nah, kembalilah kepada pekerjaanmu. Aku pun akan pergi ke sawah. Karena kedua anak-anakku itu tidak ada di rumah, akulah yang harus membuka pematang untuk mendapatkan air”
“Bukankah aku dapat juga pergi Kiai?”
“Kau mempunyai tugasmu sendiri”
Cantrik itu pun kemudian pergi ke belakang. Digapainya kapaknya dan ia pun melanjutkan kerjanya, membelah kayu bakar.
Dalam pada itu, ketiga anak muda dari padepokan Jati Aking itu pun telah melintasi parit dan turun ke jalan yang lebih besar. Untunglah tidak banyak orang yang mereka jumpai, sehingga mereka tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, karena semua orang di Jati Sari dan sekitarnya sudah mengenal mereka sebagai anak-anak angkat Kiai Danatirta. Apalagi mereka pun mengetahui, bahwa Raden Juwiring adalah putera seorang Pangeran. Seorang yang masih harus diagungkan dan dihormati meskipun Juwiring sendiri sama sekali tidak menghendakinya. Ternyata pula bahwa Arum tidak menarik perhatian mereka justru karena mereka tidak menyangka sama sekali.
Perjalanan itu pun kemudian menjadi semakin laju ketika mereka keluar dari daerah yang telah mengenal mereka. Daerah yang telah mengenal mereka. Daerah yang masih agak asing bagi Arum, meskipun kadang-kadang ia ikut ayahnya pergi ke kenalan-kenalannya di padesan di sekitar Kademangan Jati Sari.
Orang-orang yang berpapasan dengan ketiga anak-anak muda itu sama sekali tidak mengira, bahwa seorang dari mereka adalah seorang gadis. Dalam pakaian laki-laki Arum memang benar-benar seperti seorang laki-laki. Langkahnya yang tegap dan tandang geraknya yang cekatan. Hanya apabila ia berbicara, maka suaranya lah yang terutama memperkenalkannya bahwa ia adalah seorang gadis. Kadang-kadang juga kemanjaannya dan wajahnya yang berubah-ubah. Kadang-kadang ia tersenyum, bahkan tertawa. Tetapi hampir tanpa sebab ia memberengut dan bersungut-sungut.
Tetapi Juwiring dan Buntal yang sudah bergaul lama dengan Arum, sudah mengenalnya dengan baik. Karena itu, mereka hampir tidak terpengaruh karenanya. Dibiarkannya Arum bersungut-sungut ketika ia melintasi parit yang kotor dan melemparkan bau yang tidak sedap di hidungnya. Tetapi ia tertawa karena ia melihat seorang anak kecil yang duduk diatas punggung kerbau yang digembalakannya.
Ketika mereka kemudian melintasi jalan sempit di sebelah sebuah hutan perburuan yang tidak begitu lebat, maka Arum pun bertanya, “Apakah kita tidak dapat menyusup lewat hutan ini?”
“Mungkin kita akan dapat sampai pula. Tetapi aku masih menyangsikannya” sahut Juwiring.
“Marilah kita coba. Kita masuk ke dalam hutan ini. Jika kita mengetahui arahnya, kita akan dapat menyelusur sampai ke tepi di sebelah lain”
“Ah” Buntal lah yang kemudian menjawab, “Bukankah ayah sudah berpesan, jangan menuruti kesenangan sendiri”
“Tetapi aku tidak berbelok dari tugas yang aku bawa. Aku tetap pergi ke Sukawati. Aku hanya ingin berjalan di dalam hutan perburuan yang belum pernah aku lihat”
“Binatang buruan adalah binatang yang memikat” sela Juwiring.
“Tergantung kepada kita. Jika kita tidak terpikat, kita tidak akan terganggu karenanya”
“Lebih baik ia berjalan di luar hutan” berkata Buntal kemudian.
“Apakah kalian takut bertemu dengan seekor harimau?”
Juwiring mengerutkan keningnya. Lalu ia pun kemudian bertanya, “Apakah kau pernah melihat seekor harimau, Arum?”
“Tentu sudah” jawab Arum dengan serta-merta, “di padang perdu, di sebelah padepokan kita, masih berkeliaran beberapa ekor harimau. Di pegunungan yang membujur ke Barat itu pun terdapat beberapa ekor yang sering mengganggu padukuhan di sekitarnya karena harimau-harimau itu sering mencuri kambing”
“Harimau tutul. Harimau yang agak kecil dibanding dengan harimau gembong yang berkulit loreng”
“Kau takut?”
“Bukan takut. Tetapi perjalanan kita dapat terganggu. Kita harus memanjat dan menunggu sampai harimau itu pergi”
“Ah, kita akan membunuhnya. Kita bunuh harimau itu dengan pisau-pisau kita. Kita melemparkan bersama-sama tiga buah pisau. Sebuah di pangkal pahanya yang depan, sebuah dikeningnya dan yang lain di arah jantung”
Juwiring dan Buntal mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya Juwiring bertanya, “Kenapa di pangkal pahanya yang depan?”
“Kau bertanya, atau sekedar ingin tahu apakah aku mengerti kata-kata yang aku ucapkan”
“Ah” Juwiring tersenyum, “kedua-duanya”
Arum memandangnya dengan tajam, lalu, “Baiklah. Menurut ayah ketika ia menangkap seekor harimau yang berwarna kehitam-hitaman, pangkal paha depan dapat melumpuhkannya. Harimau itu tidak akan dapat lari kencang lagi”
“Apakah Kiai Danatirta pernah membunuh seekor harimau?”
“Dahulu ketika aku masih kecil. Kalian belum ada di padepokan”
Juwiring dan Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi bagaimana dengan kita?” tiba-tiba saja Arum bertanya sambil berhenti.
“Kenapa kau berhenti?” bertanya Buntal.
“Aku akan menyusup hutan rindang ini”
“Ah”
“Jika kalian tidak mau, aku akan menembus hutan ini sendiri”
“Kau sudah mulai rewel Arum” desis Juwiring.
“Terserahlah kepada kalian”
Kedua anak muda itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka sadar, bahwa Arum memang keras kepala. Jika tidak, ia tentu tidak akan ikut serta bersama mereka.
“Jangankan kami” berkata kedua anak muda itu di dalam hatinya, “sedang Kiai Danatirta pun tidak dapat mencegahnya”
“Apakah kalian akan ikut?” tiba-tiba saja Arum bertanya sambil melangkah mendekati hutan perburuan itu.
Juwiring dan Buntal berpandangan sejenak. Keduanya pun kemudian mengangkat bahunya.
“Apaboleh buat” desis Juwiring.
Dengan demikian maka keduanya pun segera melangkah mengikutinya. Bagaimanapun juga hati mereka bergeremang, namun mereka tidak akan dapat mencegah gadis itu lagi. Apalagi sebenarnya keduanya pun mempunyai keinginan betapapun kecilnya, untuk sekali-sekali melihat-melihat daerah perburuan. Kadang-kadang beberapa orang bangsawan memasuki hutan itu dan berburu kijang atau rusa. Meskipun demikian kadang-kadang mereka bertemu juga dengan seekor harimau yang besar.
Adalah di luar pengetahuan ketiganya bahwa hutan perburuan itu merupakan hutan yang tertutup. Karena binatang buruan menjadi semakin berkurang, maka hanya para bangsawan sajalah yang kemudian diperkenankan berburu di hutan itu. Dan Juwiring yang pernah juga berburu, tidak mengetahui bahwa di saat terakhir telah dibuat peraturan serupa itu.
Dengan berlari-lari kecil Arum memasuki hutan yang tidak begitu lebat itu. Hutan yang baginya merupakan tempat bermain yang menyenangkan sekali.
Juwiring dan Buntal hanya mengikutinya saja. Jika kemudian Arum hilang dari pandangan mata mereka, mereka pun sekedar berteriak memanggil.
“Aku di sini” jawab Arum dari kejauhan.
“Jangan terlalu jauh. Kau dapat tersesat. Atau jika kita semuanya tersesat, kita tidak akan pernah bertemu lagi. Tetapi jika kita bersama-sama, tersesat atau tidak, kita tetap bersama-sama”
Arum pun agaknya dapat mengerti juga. Karena itu, ia pun tidak lagi berlari-lari terlalu jauh.
“Begitukah caramu berburu Arum” bertanya Juwiring, “Jika demikian maka binatang-binatang buruan akan berlari-larian menjauh sebelum kau sempat melihatnya”
“Ah, jangan memperbodoh aku” sahut Arum, “Bukankah kita tidak sedang berburu. Jika kita sedang berburu, kita harus mengetahui arah angin. Kita harus duduk di dahan beberapa lama, dan jika kita harus menyelusuri jejak binatang, kita pun harus berjalan sangat berhati-hati atau menunggunya didekat sumber air di tengah hari, menunggu saat binatang buruan menjadi haus dan minum di sumber itu”
Juwiring dan Buntal mengerutkan keningnya. Tetapi Juwiring segera menyahut, “Tentu Kiai Danatirta yang memberi tahukan kepadamu”
“Tentu. Jika bukan ayah, siapa lagi?” Kedua anak-anak muda itu tersenyum.
Namun dalam pada itu, ternyata suara mereka yang keras dan bergema di dalam hutan itu jika mereka saling memanggil, telah didengar oleh beberapa orang prajurit yang mendapat tugas merondai hutan itu. Prajurit-prajurit itu harus mencegah jika ada pemburu liar yang mereka sebut mencuri binatang di hutan itu.
Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian terdengar derap beberapa ekor kuda yang berlari-lari di hutan yang rindang itu.
Juwiring, Buntal dan Arum pun kemudian terkejut mendengar derap kaki kuda itu. Mereka menyangka bahwa ada seorang bangsawan yang sedang berburu. Karena itu, maka Juwiring pun berkata, “Marilah kita menghindarinya. Aku tidak mau menemui siapapun. Mungkin pemburu itu adalah adimas Rudira, mungkin adimas atau kangmas sepupuku atau barangkali pamanda Pangeran siapapun juga”
“Kenapa kita harus menghindar?” bertanya Arum, “Aku ingin melihat cara mereka berburu”
“Arum, kali ini aku minta dengan sangat. Cobalah mengerti perasaanku. Kau tidak boleh ingkar, bahwa kau mengetahui tentang diriku, bahwa aku adalah putera seorang Pangeran”
Arum mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun menjawab, “Apa salahnya jika kau putera seorang Pangeran. Justru mereka akan mengenalmu dan bahkan mungkin mengajak kita untuk ikut berburu”
“Ah, kau aneh Arum. Aku adalah seorang putera Pangeran yang seakan-akan telah tersisih. Maka lebih baik bagiku apabila aku tidak berhubungan lagi dengan para bangsawan. Setidak-tidaknya untuk sementara, karena aku merasa diriku telah terpisah dari mereka”
Bagaimanapun juga keras hati gadis itu, tetapi ia melihat kesungguhan membayang di wajah Juwiring. Karena itu maka ia pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Terserahlah kepadamu. Kau adalah saudara yang tertua di antara kami bertiga. Kaulah yang akan menentukannya”
“Baiklah” jawab Juwiring, “Terima kasih” Ia berhenti sejenak untuk mendengar langkah kaki-kaki kuda yang menjadi semakin dekat.
“Kita berhenti saja di sini” berkata Juwiring kemudian.
Ketiganya pun kemudian duduk di bawah sebatang kayu yang besar. Mereka seakan-akan tidak menghiraukan langkah kaki-kaki kuda itu. Biar saja orang-orang berkuda itu lewat. Mereka tidak akan mengganggu. Tidak akan menyapa dan sama sekali tidak akan memperhatikannya. Bahkan Juwiring mengharap agar orang-orang berkuda itu tidak melihatnya, agar mereka bertiga tidak usah menghormati mereka dengan tata cara yang tidak disukainya. Apalagi mereka bertiga memakai pakaian petani yang sederhana.
Tetapi ternyata derap kaki-kaki kuda itu menjadi kian dekat. Kadang-kadang berhenti dan kemudian terdengar lagi.
Dalam pada itu, orang-orang berkuda yang sedang mencari anak-anak muda itu berusaha untuk mengikuti jejak yang telah mereka ketemukan. Bekas-bekas kaki ketiga anak-anak muda itu tampak pada ranting-ranting perdu yang patah dan rerumputan yang roboh.
“Mereka masih berada Di tempat ini” berkata salah seorang dari mereka, “Suara mereka terdengar dari arah ini”
“Ya”
Suara itu bergema. Sangat sulit untuk menemukan arahnya”
“Tetapi kita menemukan jejak kaki yang baru di daerah ini. Kita dapat mengikuti jejak ini dan kemudian menemukan mereka. Ternyata menilik jejaknya, mereka tidak hanya seorang diri.
“Ya. Tentu, bukan hanya seorang, karena mereka saling memanggil”
Demikianlah mereka maju perlahan-lahan. Selangkah demi selangkah, sehingga para prajurit itu pun telah berloncatan dari punggung kuda mereka, agar mereka dapat mengikuti jejak itu dengan saksama.
“Kita berpencar” berkata pemimpin sekelompok prajurit yang sedang menyusuri jejak itu. Jika salah seorang dari kita menemukannya, kita akan memberikan tanda-tanda. Di sini jejak itu berpisah. Dan kita pun berpisah”
Maka sekelompok prajurit itu pun kemudian berpencar. Karena jejak yang mereka ikuti pun berpencar.
Jejak yang memisahkan diri itu adalah jejak Arum. Namun jejak itu tidak berpisah terlampau lama. Akhirnya jejak itu pun bergabung kembali sehingga para prajurit itu pun berkata di antara mereka, “Jejak ini menyatu lagi”
Pemimpin prajurit peronda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya mencoba memecahkan teka-teki itu Agaknya ia kehilangan binatang buruannya”
“Atau karena kawannya memanggilnya. Bukankah lamat-lamat kita mendengar suara mereka memanggil” sahut salah seorang prajurit.
Pemimpin kelompok peronda itu mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, “Baiklah, kita maju terus. Tetapi sebaiknya kita agak menebar”
Sambil menuntun kuda masing-masing maka beberapa orang prajurit itu pun maju terus. Semakin lama mereka memang menjadi semakin cepat dengan tempat Juwiring dan adik-adik angkatnya duduk di bawah sebatang pohon yang besar.
Seorang prajurit yang berada di paling depan akhirnya melihat ketiga anak-anak muda itu, sehingga karena itu, maka ia pun berhenti dan memberitahukannya kepada pemimpinnya.
Pemimpinnya pun kemudian maju di samping orang itu. Dan dilihatnya tiga orang duduk di bawah sebatang pohon sambil menundukkan kepala mereka.
“Hem, itulah mereka” gumam pemimpin kelompok itu.
“Ya. Tetapi mereka tidak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Mereka tidak membawa senjata untuk berburu” sahut seorang prajurit.
“Bagaimanapun juga mereka sudah melanggar peraturan. Marilah kita dekati dan kita bertanya kepada mereka, apakah yang mereka cari disini”
Maka beberapa orang prajurit itu pun kemudian mendekati mereka yang sedang duduk sambil menunduk itu.
Juwiring, Buntal dan Arum menyadari, bahwa beberapa orang sambil menuntun kuda mereka, telah berjalan mendekat. Menilik pakaian mereka, maka orang-orang itu adalah prajurit-prajurit Surakarta, sehingga karena itu, maka hati Juwiring pun menjadi semakin berdebar-debar.
Beberapa langkah dari tempat ketiga anak-anak muda itu duduk, para prajurit itu berhenti. Sementara itu Juwiring berbisik kepada Buntal, “jawablah pertanyaan mereka”
Buntal mengerutkan keningnya. Namun ia mengerti bahwa Juwiring benar-benar ingin menyembunyikan dirinya, agar ia tidak dikenal oleh para prajurit itu sebagai seorang bangsawan.
Karena itu, ketika orang-orang itu mendekatinya, maka Buntal lah yang kemudian mengangkat wajahnya.
“He, siapakah kalian?” bertanya pemimpin prajurit itu.
“Kami adalah anak-anak padepokan Jati Aking di Jati Sari tuan”
“Kenapa kalian ada di tengah-tengah hutan perburuan ini?”
“Tidak apa-apa tuan. Kami hanya sekedar lewat. Kami akan melintasi hutan ini dari sebelah sisi sampai ke sisi yang lain. Sebenarnyalah bahwa kami sedang mencari jalan yang memintas”
Pemimpin prajurit itu mengangguk-angguk. Kemudian maka ia pun bertanya, “Kemana kalian akan pergi?”
Buntal menjadi termangu-mangu sejenak. Sedang Juwiring pun menjadi berdebar-debar. Mereka sama sekali belum mengetahui sikap para prajurit itu. Apakah mereka termasuk orang yang berpihak kepada orang-orang asing itu dan membenci Pangeran Mangkubumi atau sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang bersikap memusuhi kumpeni dan sependapat dengan. Pangeran Mangkubumi
Karena itu Buntal tidak segera menjawab. Dipandanginya Juwiring sejenak, tetapi Juwiring masih menundukkan kepalanya.
“Kemana kalian akan pergi he?”
Buntal harus segera menjawab. Karena ia tidak mempunyai jawaban lain, maka ia pun akhirnya menyahut, “Kami akan pergi ke Sukawati tuan”
“Sukawati? Kenapa kau pergi ke Sukawati he?”
Dada Buntal menjadi kian berdebar-debar. Namun ia menyahut juga, “Kami akan menengok kakek kami yang tinggal di daerah Sukawati. Sudah lama kami tidak menengoknya dan kakek kami yang sering datang ke Jati Aking sudah lama pula tidak datang”
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Meskipun ia sudah lama berada dan menjadi prajurit Surakarta, tetapi ia tidak mengetahui siapakah yang disebut penghuni-penghuni Jati Aking di Jati Sari, karena tugasnya yang berpindah-pindah. Karena itu nama-nama tempat itu sama sekali tidak menarik perhatiannya.
“He, kenapa kalian lewat hutan tertutup ini?” bertanya prajurit itu lebih lanjut.
Buntal terkejut mendengar pertanyaan itu, apalagi Juwiring. Namun Juwiring masih saja menundukkan kepalanya meskipun ia ingin bertanya beberapa hal kepada prajurit itu. Untunglah bahwa Buntal pun bertanya pula kepada prajurit itu, “Tetapi bukankah hutan ini hutan perburuan? Menurut pendengaranku hutan ini terbuka bagi siapapun juga yang ingin berburu binatang”
“Sekarang tidak lagi. Hutan ini hanya diperuntukkan bagi para bangsawan”
“O, kami tidak mengerti tuan. Kami mohon maaf. Kami akan segera keluar dari hutan ini. Kami berani memasuki hutan ini karena kami mengira bahwa hutan ini masih bukan hutan tertutup”
“Apa, begitu saja minta maaf dan akan pergi meninggalkan hutan ini?” bertanya prajurit itu.
Buntal mengerutkan keningnya.
“Kau sudah berbuat kesalahan. Di dalam keadaan yang panas ini, kami tidak dapat berbuat terlalu baik terhadap siapapun. Dan aku tidak yakin jika kalian adalah anak-anak muda yang sekedar tidak mengetahui bahwa hutan ini adalah hutan tertutup”
“Tuan” berkata Buntal, “Kami adalah anak-anak padepokan. Kami sama sekali tidak mengetahui perkembangan keadaan. Kami tidak tahu apakah yang sedang terjadi saat ini dan kami pun tidak tahu bahwa hutan ini adalah hutan larangan. Sehari-hari kami bergulat saja dengan padepokan kami. Sawah dan ladang dan sedikit olah kajiwan”
“Aku tidak peduli. Kalian telah melanggar peraturan. Karena itu kalian harus ditangkap”
Dada Buntal menjadi semakin berdebar-debar. Demikian juga agaknya Juwiring dan Arum. Arum merasa bahwa ialah yang telah menjerumuskan mereka bertiga dalam persoalan yang tidak mereka sangka-sangka. Tetapi seperti pesan yang diterimanya, bahwa sebaiknya ia tidak berbicara kepada orang lain sehingga tidak segera menimbulkan kecurigaan. Setidak-tidaknya mereka pasti akan bertanya, kenapa berpakaian seperti seorang laki-laki.
“Tuan” berkata Buntal kemudian, “Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya tuan. Kami benar-benar tidak mengerti, bahwa hutan ini sekarang menjadi hutan tertutup. Menurut pengetahuan kami, hutan ini adalah hutan yang terbuka karena kami pernah juga melihat orang-orang berburu di hutan ini beberapa saat lampau tanpa kami sengaja, ketika kami dalam perjalanan seperti sekarang ini”
“Omong kosong” bentak prajurit itu, “ikut kami”
Buntal menjadi bingung. Karena itu, maka digamitnya Juwiring yang masih menunduk memeluk lututnya.
“Jangan membantah perintah kami. Jika di dalam pemeriksaan selanjutnya kalian tidak bersalah, kalian akan kami lepaskan”
“Apakah kami akan dibawa ke Surakarta?” bertanya Buntal.
“Tidak. Kalian akan kami bawa ke induk penjagaan hutan ini. Mereka, pemimpin kami yang lebih tinggi, akan menentukan apakah kalian boleh pergi atau tidak”
Buntal menjadi termangu sejenak. Jika mereka dibawa pergi ke induk penjagaan hutan ini, dan para prajurit menemukan senjata di dalam tubuh mereka, maka hal itu pasti akan menjadi persoalan yang berkepanjangan. Apalagi di saat-saat seperti sekarang, saat Surakarta dipanggang diatas bara api ketidak pastian. Setiap orang tidak mengerti dengan pasti apa yang sebaiknya dilakukan selain mereka yang sudah bersikap.
Karena itu, untuk menemui pemimpin prajurit yang bertugas di hutan perburuan itu pun Buntal menjadi ragu-ragu. Jika para prajurit menjadi curiga dengan senjata-senjata mereka, dengan pisau-pisau yang terselip pada ikat pinggang di bawah baju mereka, maka akan dapat timbul salah paham dengan para prajurit itu.
“Cepat” prajurit itu membentaknya, “berdiri dan berjalan ke induk penjagaan itu. Jika kalian memang merasa tidak bersalah, maka kalian tentu tidak akan berkeberatan. Tetapi jika kalian menolak, kami akan memaksa dengan kekerasan karena itu berarti bahwa kalian memang bersalah”
Debar di dada Buntal menjadi semakin keras, Sekali-sekali dipandanginya prajurit-prajurit yang berdiri di sekitarnya dengan sudut matanya, seakan-akan Buntal ingin menjajagi kemampuan para prajurit itu. Namun demikian ia masih sempat juga berpikir, bahwa akibatnya jika ia menolak akan berkepanjangan juga, karena ia sudah terlanjur berterus terang bahwa ia adalah penghuni padepokan Jati Aking di Jati Sari.
Selagi Buntal kebingungan, maka sambil menundukkan kepalanya Juwiring berkata, “Kita pergi bersama mereka”
Buntal termangu-mangu sejenak. Arum yang sudah mengangkat wajahnya, tidak jadi mengucapkan sepatah katapun, karena tiba-tiba-tiba saja ia teringat kepada pesan agar ia tidak berbicara.
Buntal menarik nafas dalam-dalam. Juwiring pun kemudian berdiri meskipun kepalanya masih tetap tunduk. Ditariknya lengan Arum sambil berkata, “Marilah”
Arum dan Buntal masih tampak ragu-ragu. Tetapi mereka pun kemudian mengangguk pula.
“Marilah” berkata Buntal kepada prajurit itu.
“Jangan berbuat sesuatu yang dapat membuat kalian menyesal” perintah pemimpin prajurit itu.
Ketiga anak-anak muda itu tidak menjawab.
“Ikutlah aku” perintah prajurit itu kemudian baik ke atas punggung kuda masing-masing.
Buntal, Juwiring dan Arum pun kemudian berjalan di belakangnya. Tetapi agaknya prajurit itu tidak mau melelahkan kakinya untuk berjalan. Ketika ketiga anak-anak muda itu sudah mengikutinya, maka ia pun kemudian meloncat ke atas punggung kudanya.
Para prajurit yang lain mengikuti di belakang ketiga anak muda dari Jati Aking itu. Tetapi mereka pun segera berloncatan ke atas punggung kuda masing-masing.
Buntal memandang para prajurit itu dengan hati yang bergejolak. Namun ketika ia sadar, bahwa ia bersama kedua saudara angkatnya itu berpakaian seperti seorang petani yang sederhana, maka ia pun mencoba untuk menenangkan perasaannya.
“Betapa rendahnya martabat seorang petani, tetapi sikap itu adalah sikap yang deksura” berkata Buntal di dalam hatinya.
Namun ia masih juga berjalan terus bersama kedua saudara angkatnya mengikuti prajurit yang berkuda di hadapan mereka. Kadang-kadang mereka harus berlari-lari kecil dan bahkan berloncatan jika mereka sampai di bawah sebatang pohon tua dengan dahan-dahannya yang berpatahan.
Dalam pada itu selama mereka berjalan, Buntal sempat bertanya kepada Juwiring, “Bagaimanakah jika mereka menemukan senjata-senjata kita?”
“Biarlah kita mengatakannya, bahwa senjata-senjata itu sekedar untuk menjaga diri”
“Tetapi senjata-senjata kami bukannya senjata yang biasa dipergunakan oleh orang kebanyakan. Mereka tentu akan bertanya terus-menerus tentang senjata-senjata kita yang pasti mereka anggap aneh”
Juwiring mengerutkan keningnya. Ketika sekilas ia berpaling maka diketahuinya bahwa prajurit-prajurit yang membawanya itu belum mengenalnya atau jika ada yang pernah melihatnya, mereka tidak dapat mengenalinya karena pakaian yang dipakainya adalah pakaian seorang petani yang sederhana.
“Aku harap mereka percaya” berkata Juwiring kemudian, “Jika tidak, kita akan mencari jalan lain”
“Melarikan diri? Aku sudah terlanjur mengatakan, bahwa kita adalah anak-anak Jati Aking. Mereka pasti akan mencari kita dan jika mereka tidak menemukan kita, maka Kiai Danatirta lah yang harus bertanggung jawab. Aku yakin bahwa Kiai Danatirta tidak akan berbohong”
Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Memang agak sulit untuk memecahkan persoalan yang tiba-tiba saja harus mereka hadapi. Tetapi Juwiring dan Buntal tidak mau melemparkan kesalahan kepada Arum. Bagaimanapun juga mereka harus mempertanggung jawabkan bersama-sama. Hanya Arum sendirilah yang merasa di dalam hatinya, bahwa ia adalah sumber dari kesulitan ini.
Bahkan tiba-tiba saja ia berbisik perlahan sekali agar suaranya yang bernada tinggi itu tidak didengar oleh para prajurit, “Bagaimanakah jika kita nanti dibawa ke Surakarta?”
Juwiring memandanginya sejenak, namun ia pun kemudian tersenyum, “Tidak apa-apa. Bukankah sekali-sekali kau ingin juga bertamasya ke Surakarta”
“Ah kau” Arum bersungut-sungut. Namun sebelum ia meneruskan kata-katanya, Juwiring menyahut, “Bukan maksudku. Tetapi jika kita terpaksa dibawa ke Surakarta, maka aku mengharap bahwa ada satu dua orang perwira atasan yang mengenal aku, bahwa aku adalah putera ayahanda Ranakusuma. Dengan demikian, maka kita akan dapat bebas dari segala tuduhan, meskipun perjalanan kita terhambat”
“Tetapi dengan senjata-senjata kita yang aneh ini?”
“Kita memang ingin berburu” jawab Juwiring, “dan aku harap, mereka tidak akan memperpanjang persoalan lagi”
Arum mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Juwiring sendiri tidak yakin akan kata-katanya. Meskipun ia putera Pangeran Ranakusuma, maka kumpeni dan para bangsawan yang berpihak kepadanya akan dapat mencurigainya, karena ternyata banyak pula para bangsawan yang menentang mereka.
Dalam pada itu mereka pun menjadi semakin dekat dengan induk penjagaan hutan itu. Dari kejauhan telah tampak sebuah gardu yang agak besar. Beberapa ekor kuda masih tertambat di pepohonan. Dua tiga orang prajurit duduk di serambi gardu itu sambil berbicara dengan asyiknya.
Ketika mereka melihat prajurit berkuda yang di paling depan, maka mereka pun segera berdiri. Seorang yang sudah setengah umur memandang prajurit itu dengan sorot mata yang tajam.
“Kami membawa mereka” berkata prajurit itu sambil meloncat dari kudanya.
“Siapa?” bertanya prajurit yang sudah agak lanjut usia
“Anak muda yang sering mencuri binatang buruan”
“Kami tidak pernah mencuri“ Buntal menyahut.
“Diam” bentak prajurit itu.
“Dimana kau temukan anak-anak itu?” bertanya prajurit yang sudah ubanan.
“Di tengah-tengah hutan ini ketika aku meronda. Mereka mencoba mencuri binatang buruan”
“Tidak” sekali lagi Buntal menyahut. Namun Juwiring yang selalu menundukkan kepalanya itu pun menggamitnya.
Prajurit-prajurit yang lain pun telah berdiri di belakang ketiga anak-anak muda itu. Tetapi mereka masih belum berbuat apa-apa.
“Dimana Ki Lurah” bertanya pemimpin peronda itu kepada prajurit yang sudah setengah umur itu.
“Di dalam”
“Mari ikut aku” bentak pemimpin peronda itu kepada Buntal.
“Kemana?” beritanya Buntal.
“Ikutlah” desis Juwiring.
Buntal termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Juwiring berbisik, “Katakan bahwa kita memang ingin berburu”
Bersambung Bunga di batu karang VIII
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
Komentar
Posting Komentar