Bunga di batu karang VIII Bag 2

Bunga di batu karang VIII bag 2

“Siapakah Raden Mas Said itu?” bertanya Buntal.

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak yakin, apakah aku benar. Tetapi jika benar ia Raden Mas Said, maka ia adalah puteranda paman Aria Mangku Negara”

“Tetapi apakah yang dilakukannya dengan perempuan dan anak-anak itu?”

“Aku tidak tahu pasti. Tetapi menilik sikapnya, apabila ia benar-benar Raden Mas Said, maka ia pasti sedang menyingkir dari Surakarta. Laki-laki bersenjata itu adalah pasukannya dan perempuan itu pasti keluarga mereka. Sikap pamanda Aria Mangku Negara pun sudah jelas bagi Surakarta”

Buntal menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ternyata bahwa Surakarta benar-benar terbelah. Bahkan keluarga Ranakusuma pun terbelah”

“Lebih dari itu Buntal. Banyak di antara para bangsawan yang hatinya sendiri terbelah. Penuh keragu-raguan dan tidak menentu. Bahkan tidak tahu apa yang sedang dilakukannya”

Buntal mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat membayangkan betapa kacaunya sikap para bangsawan dan pimpinan pemerintahan di Surakarta. Prasangka, curiga mencurigai, dan saling memfitnah. Setiap orang dapat menanggapi keadaan sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Tetapi bahwa api mulai berkorbar di Surakarta, agaknya sudah tidak dapat diingkari lagi.

Dalam pada itu Arum pun kemudian bertanya, “Lalu apa yang harus kita lakukan?”

“Sementara ini tidak berbuat apa-apa” berkata Raden Juwiring, “Kita melanjutkan perjalanan. Malam ini kita akan menemukan rumah Kiai Sarpasrana. Ternyata banyak ceritera yang dapat kita katakan kepadanya. Mungkin ia tahu agak banyak tentang pasukan yang baru saja lewat”

“Marilah” sahut Arum” Kita jangan terlampau lama berdiri saja di sini sambil berbicara tanpa ujung pangkal”

“Ya. Kita melanjutkan perjalanan. Mungkin kita harus segera berbuat sesuatu apabila kita sudah bertemu dengan Kiai Sarpasrana”

Ketiga anak-anak muda itu pun kemudian meneruskan perjalanan mereka ke Sukawati. Meskipun mereka telah menempuh perjalanan yang cukup panjang, namun karena kemauan yang mantap di dalam hati, maka tampaknya mereka sama sekali tidak menjadi lelah. Apalagi tubuh mereka telah cukup terlatih, sehingga mereka mampu mengatur tenaga yang ada di dalam diri mereka sebaik-baiknya.

Di sepanjang perjalanan mereka kemudian, hampir tidak seorang pun yang berbicara. Mereka berjalan saja dengan langkah yang cepat. Angan-angan mereka ternyata telah dipengaruhi oleh bayangan mereka masing-masing tentang iring-iringan yang baru saja mereka lihat.

“Ada yang membawa senjata api” berkata Juwiring di dalam hatinya, karena secara kebetulan pula ia melihat seseorang di dalam iring-iringan itu membawanya, “Tentu didapatnya dari orang asing-asing itu dengan kekerasan” Tetapi Raden Juwiring tidak mengatakannya kepada kedua adik seperguruannya.

Demikianlah, tanpa beristirahat lagi, mereka pun memasuki tlatah Sukawati. Karena itu, mereka menjadi semakin berhati-hati. Sukawati agak berbeda dari padukuhannya. Meskipun Sukawati pun termasuk daerah yang tidak banyak diganggu oleh penjahat, namun agaknya Sukawati mempunyai persiapan yang khusus menghadapi keadaan yang semakin memuncak di Surakarta.

Apalagi mereka pun sadar, bahwa banyak orang-orang di Sukawati yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, sehingga apabila mereka kurang berhati-hati, maka mereka akan terjerumus ke dalam kesulitan.

Karena itu, agar mereka tidak membuat salah paham, maka mereka berkeputusan untuk langsung pergi ke gardu yang pertama-tama akan mereka temui dan langsung bertanya, dimanakah rumah Kiai Sarpasrana yang juga sering disebut Kiai Sarpa Ireng.

“Belum tengah malam” bisik Buntal ketika ia menengadahkan kepalanya melihat bintang-bintang yang bersinar di langit

“Ya” sahut Juwiring, “bintang Gubug Penceng sudah hampir tegak lurus. Sebentar lagi kita akan menginjak tengah malam. Dan mudah-mudahan kita sudah sampai pada Kiai Sarpasrana”

Arum mengangguk-anggukkan kepalanya meskipun ia tidak menyahut sama sekali.

Demikianlah, ketika mereka melihat cahaya obor di gardu perondan, maka mereka pun langsung menghampirinya. Lebih baik mereka bertanya lebih dahulu daripada mereka dicurigai oleh para peronda itu.

Para peronda yang ada di dalam gardu itu pun terkejut. Mereka segera berloncatan turun ketika mereka melihat tiga orang anak muda yang belum mereka kenal mendekati gardu mereka.

“Siapakah kalian?” bertanya pemimpin peronda itu.

“Kami datang dari Jati Sari Ki Sanak” Juwiring lah yang menyahut.

“Siapa?”

“Namaku Juwiring. Keduanya adalah adikku”

Peronda itu termangu-mangu sejenak, sedang Juwiring menjadi berdebar-debar. Ia tidak sempat menyembunyikan namanya, apalagi membuat nama buat Arum jika ia dipaksa untuk menyebutnya.

“Mudah-mudahan mereka tidak mengenal Raden Juwiring dari Ranakusuman” berkata Juwiring di dalam hatinya.

Untunglah bahwa peronda itu sama sekali tidak mempersoalkan namanya dan tidak bertanya pula nama kedua adik seperguruannya.

Yang ditanyakan kemudian adalah, “Kemanakah kalian akan pergi di malam begini?”

“Kami kemalaman di jalan. Ki Sanak. Tetapi kami tidak berani berhenti dan bermalam di jalan. Karena itulah kami memaksa diri untuk meneruskan perjalanan”

“Kalian akan pergi kemana?” desak peronda itu.

“Kami akan mengunjungi paman Sarpasrana yang juga disebut Sarpa Ireng. Karena kami belum pernah melihat rumahnya, maka kami sengaja datang ke gardu ini. Juga agar tidak timbul salah paham, karena kami memasuki padukuhan ini di tengah malam”

Peronda itu merenung sejenak. Kemudian ia pun berpaling kepada kawan-kawannya, tetapi tidak seorang pun yang mengatakan sesuatu.

“Apa hubungan kalian dengan Kiai Sarpasrana?” bertanya peronda itu.

“Ayahkulah yang mempunyai hubungan dengan Kiai Sarpasrana, tetapi tidak lebih dari seorang sahabat. Sekarang aku disuruh oleh ayahku untuk datang menemuinya. Tetapi kami belum pernah melihat rumahnya”

“Apakah kepentinganmu atau kepentingan ayahmu itu?”

“Tidak ada kepentingan apa-apa. Ayahku sudah lama tidak bertemu. Lalu disuruhnya aku menengoknya, apakah Ki Sarpasrana sehat-sehat saja”

Peronda itu menjadi ragu-ragu. Ditatapnya saja wajah Juwiring yang menjadi semakin kemerah-merahan oleh cahaya obor di gardu pemuda itu.

“Orang ini tentu tidak akan berani berbohong” berkata prajurit itu di dalam hatinya, “Kiai Sarpasrana bukanlah orang kebanyakan. Seandainya orang-orang ini berhasil menemuinya, tentu mereka tidak akan berani berbuat jahat. Seandainya mereka berani, maka mereka pun pasti akan segera dibinasakan oleh Kiai Sarpasrana dan murid-muridnya”

Dalam keragu-raguan itu, ia kemudian bertanya lagi, “Apakah benar kalian tidak bermaksud apa-apa?”

“Tentu” jawab Juwiring, “kami akan mengunjunginya. Hanya mengunjunginya saja. Tentu kami tidak akan dapat berbuat apa-apa di hadapan Kiai Sarpasrana”

Peronda itu menarik nafas dalam-dalam- Anak muda itu seolah-olah dapat membaca isi hatinya. Dan sejenak kemudian ia berkata, “Baiklah. Tetapi jangan mencoba mencelakai dirimu sendiri dengan perbuatan yang aneh-aneh di hadapan Kiai Sarpasrana. Jika kalian berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya, maka kalian pasti akan menyesal, karena Kiai Sarpasrana adalah orang yang keras. Sangat keras”

Juwiring menganggukkan kepalanya sambil menyahut, “Tentu. Kami tidak akan mencelakai diri kami sendiri”

Peronda itu pun kemudian menyuruh dua orang kawannya untuk mengantar Juwiring dan adik-adik seperguruannya ke rumah Kiai Sarpasrana yang juga disebut Kiai Sarpa Ireng. Namun di sepanjang jalan para peronda itu pun cukup berhati-hati. Dipersilahkannya Juwiring dan kedua adik seperguruannya itu berjalan di depan.

Ternyata untuk mencapai rumah Kiai Sarpasrana mereka masih harus berjalan beberapa lamanya. Mereka masih melalui beberapa gardu peronda dan sebuah bulak kecil, karena Kiai Sarpasrana itu terletak di sebuah padukuhan kecil yang terpisah dari padukuhan induk Sukawati.

“Itulah rumahnya” berkata peronda yang mengantar ketiga anak-anak muda itu, “berhati-hati1ah. Kiai Sarpasrana adalah orang yang dihormati. Meskipun tampaknya ia agak kasar, tetapi ia adalah orang yang baik. Ia mengerti perasaan orang-orang Sukawati sehingga karena itulah maka ia pun dekat dengan Pangeran Mangkubumi”

“O” Juwiring menganggukkan kepalanya.

“Di dalam olah kanuragan, ia pun memiliki beberapa kelebihan meskipun agaknya ia belum mendekati Pangeran Mangkubumi”

Ketiga anak muda itu masih mengangguk-angguk. Sekilas terbayang wajah seorang tua yang keras hati. Namun melintas juga bayangan seorang Pangeran yang luar biasa, yang pilih tanding. Bahkan menurut beberapa orang, Pangeran Mangkubumi memiliki beberapa macam ilmu yang jarang dikuasai oleh orang lain.

“Tetapi apakah Kiai Sarpasrana tidak menjadi marah karena kedatangan kami di tengah malam begini?” tiba-tiba saja Buntal bertanya.

“Jika kau mempunyai alasan yang kuat, maka Kiai Sarpasrana tentu tidak akan marah. Bagi orang yang belum mengenalnya, sikapnya memang seperti orang yang sedang marah. Tetapi kemudian sikap itu akan berubah. Apakah kau sudah sering bertemu dengan orang itu?”

Juwiring menggelengkan kepalanya.

“Apakah ayahmu juga berpesan kepadamu. tentang sifat dan kebiasaan Kiai Sarpasrana itu?”

Juwiring ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Hanya sedikit. Tetapi kami sudah mempunyai gambaran tentang orang itu”

“Jadi kalian sama sekali belum pernah menemuinya? Maksud-ku jika sekali-sekali Kiai Sarpasrana itu berkunjung kepada ayahmu yang katamu adalah sahabatnya?”

“Belum. Kami memang belum pernah bertemu dengan Kiai Sarpasrana. Tetapi menurut pesan ayahku, jika aku menyebut bahwa aku adalah anak-anaknya, maka Kiai Sarpasrana pasti akan segera mengenal aku”

Peronda itu mengangguk-angguk-

Dalam pada itu, mereka pun sudah berdiri di depan regol halaman rumah Kiai Sarpasrana. Halaman yang cukup luas dengan berbagai macam pepohonan. Di dalam gelapnya malam Juwiring tidak segera dapat mengenal, pohon apa sajalah yang tumbuh di halaman rumah itu.

“Masuklah” berkata peronda itu, “regol ini tidak pernah diselarak”

Juwiring ragu-ragu sejenak. Lalu ia pun bertanya, “Apakah kalian tidak masuk”

Peronda itu pun menjadi ragu-ragu pula. Namun salah seorang dari mereka berkata, “Baiklah. Marilah, kami antar kau mengetuk pintu pendapa”

Demikianlah dengan hati-hati mereka membuka pintu regol halaman. Perlahan-lahan mereka maju melintasi halaman menuju ke tangga pendapa.

“Naiklah, dan ketuklah pintu pringgitan” berkata peronda itu. Tetapi agaknya peronda itu sendiri ragu-ragu pula.

“Apaboleh buat” berkata Juwiring, “Kami sama sekali tidak berniat jelek”

Tetapi ketika Juwiring baru menginjak anak tangga yang pertama, hampir saja mereka terlonjak karena terkejut. Peronda-peronda itu pun terkejut pula ketika mereka mendengar suara seseorang dari kegelapan, “Jangan mengetuk pintu”

Semua orang berpaling kearah suara itu. Di dalam kegelapan bayangan dedaunan mereka melihat seseorang yang berdiri tegak dengan kaki renggang.

“O” peronda itu hampir berbareng berdesis. Kemudian yang seorang melanjutkan, “Kami sekedar mengantar tiga anak muda ini ingin menghadap Kiai Sarpasrana”

“Di malam hari begini? Apakah kau sangka Kiai Sarpasrana itu sebangsa ular yang tidak pernah tidur? Dan apabila sudah mulai tidur sebulan sama sekali tidak terbangun?”

“Tetapi, tetapi anak-anak ini akan dapat memberikan penjelasan kenapa mereka baru sampai di sini di tengah malam”

“Penjelasan atau tidak dengan penjelasan, ternyata kalian datang tengah malam. Kalian sebenarnya mempunyai otak untuk berpikir bahwa di malam begini pada umumnya seseorang sedang tidur”

“Tetapi ada juga yang karena sesuatu hal belum tidur” Juwiring mencoba menyahut, “misalkan kami dan maaf, barangkali Ki Sanak juga”

“Persetan” geram orang itu, “itu bukan bicara seseorang yang cukup bijaksana. Sekarang kalian harus pergi sebelum Kiai Sarpasrana merasa terganggu”

“Tetapi” Juwiring masih ingin menjelaskan lebih lanjut. Agar ia segera mendapat perhatian, maka katanya, “Tetapi kami adalah putera-putera Kiai Danatirta di Jati Aking”

“He?” orang itu agaknya memang menaruh perhatian atas nama itu. Namun kemudian ia berkata, “Siapapun kalian, namun kalian tidak dapat mengganggu Kiai Sarpasrana”

“Ki Sanak” berkata Juwiring, “sebenarnya kami memang tidak ingin mengganggu. Tetapi kami terpaksa datang ke rumah Kiai Sarpasrana di tengah malam. Jika kami sempat menemuinya, kami akan dapat memberikan keterangan tentang perjalanan kami”

Orang itu diam sejenak. Lalu, “Pergilah. Sebaiknya kalian pergi saja dari halaman rumah ini. Sebaiknya para peronda itu kembali saja ke gardu kalian”

Para peronda itu termangu-mangu.

“Kembalilah. Kalian membawa orang-orang ini. Dan orang-orang ini sudah sampai kepadaku. Tinggalkan mereka. Aku akan memaksa mereka pergi. Tetapi tugasmu sudah selesai. Kalian tidak akan bersangkut paut lagi dengan anak-anak gila ini”

Para peronda itu pun kemudian melangkah surut sambil berkata, “Baiklah. Kami minta diri. Kami sekedar menunjukkan ketiga anak muda ini”

“Baiklah. Pergilah sebelum Kiai Sarpasrana bangun dan marah pula kepadamu”

Para peronda itu memandang Juwiring, Buntal dan Arum berganti-ganti. Namun mereka pun kemudian melangkah surut sambil berkata, “Kami sudah membawa kalian sampai ke tempat yang kalian cari”

“Terima kasih” sahut Juwiring.

Para peronda itu pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi. Ketika mereka sudah hilang di balik pintu regol, maka orang di dalam kegelapan itu berkata lagi, “Kalian pun harus cepat pergi. Jika Kiai Sarpasrana mengetahui bahwa dengan sangat bodoh kalian minta agar Kiai dibangunkan, maka ia pasti akan marah sekali. Bukan karena ia dibangunkan, karena meskipun tidak, tetapi jika ia mengetahui pikiran gilamu untuk membangunkan-nya di tengah malam, ia akan marah. Meskipun baru di dalam angan-anganmu sekalipun, jika itu dapat dimengertinya, ia pasti akan marah karena ada seseorang yang sama sekali tidak menghormatinya, yang berniat, jadi atau tidak jadi, untuk membangunkannya selagi ia tidur nyenyak”

Juwiring menjadi ragu-ragu sejenak. Ditatapnya wajah Buntal yang kemudian menjadi tegang.

“Bagaimana?” bertanya Juwiring kepada Buntal perlahan-lahan sekali.

“Memang membingungkan. Tetapi jika kita dapat bertemu dengan Kiai Sarpasrana sendiri, kita akan sempat mengatakan kepentingan kita, dan siapakah kita ini”

“He, kenapa kalian saling berbisik” bertanya orang di dalam kegelapan itu, “Cepat pergi”

“Tunggu Ki Sanak” Buntal lah yang kemudian berbicara, “Kami minta kesempatan untuk mengetuk pintu. Jika kemudian Kiai Sarpasrana marah, biarlah marah kepada kami. Apapun yang akan dilakukan atas kami, kami tidak akan mengelak. Tetapi jika kami berkesempatan mengatakan bahwa kami adalah anak-anak Kiai Danatirta, mudah-mudahan Kiai Sarpasrana tidak menolak kehadiran kami di sini”

“Persetan” geram orang itu, “Aku mempunyai wewenang menerima atau menolak setiap orang yang akan menemui Kiai Sarpasrana”

“Tetapi siapakah Ki Sanak sebenarnya?”

“Aku adalah Putut Srigunting. Aku mempunyai kekuasaan seperti Kiai Sarpasrana di halaman rumah ini”

Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ditatapnya wajah Buntal yang tegang. Sementara Arum memandang kedua anak-anak muda itu berganti-ganti.

“Cepat pergi sebelum aku menjadi marah” berkata orang yang menyebut dirinya Putut Srigunting.

“Ki Sanak” berkata Juwiring, “Apakah salahnya jika kami mencoba menemui Kiai Sarpasrana”

“Kalian benar-benar tidak tahu sopan santun. Kau lihat bintang Gubug Penceng yang sudah bergeser ke Barat itu? Kini tengah malam sudah lewat. Dan kalian akan mengejutkan Kiai Sarpasrana yang sedang tidur nyenyak?”

Juwiring tidak segera menjawab. Ia memang mengharap agar perbantahan itu menjadi semakin keras dan dapat membangun-kan Kiai Sarpasrana. Jika Kiai Sarpasrana menengoknya keluar, dan bertanya tentang dirinya dan kedua adik seperguruannya, maka mereka tentu akan diterima, meskipun mungkin Kiai Sarpasrana akan membentak-bentaknya dengan kasar karena sifatnya.

“He, kenapa kalian masih saja berdiri di situ?” bertanya Putut itu.

“Ki Sanak. Baiklah. Jika kami tidak dapat diterima malam ini. biarlah kami menunggunya sampai fajar. Kami akan duduk saja di pendapa ini tanpa mengganggunya” berkata Juwiring kemudian. Baginya itu lebih baik daripada pergi meninggalkan halaman rumah ini dan berkeliaran di sepanjang jalan.

Tetapi jawab Putut itu, “Tidak. Kalian harus pergi. Aku tidak mau melihat kalian berkeliaran di halaman rumah ini. Kalian telah membuat halaman ini menjadi kotor. Kami tidak biasa menerima tamu semacam kalian, apalagi memaksa untuk menemui Kiai Sarpasrana di malam hari. Hanya orang-orang besar sajalah yang dapat menemuinya. Bukan petani-petani miskin seperti kalian”

Terasa dada ketiga anak-anak muda itu berdesir. Ternyata ada alasan lain dari Putut Srigunting itu untuk menolaknya. Dan penolakan itu benar-benar telah menyakitkan hati. Karena itu maka Juwiring pun berkata, “Ki Sanak. Jangan menghinakan kami petani-petani miskin. Apakah di Sukawati ini tidak ada petani miskin? Dan apakah Pangeran Mangkubumi juga membenci petani-petani miskin”

“Aku tidak peduli orang-orang Sukawati. Aku tidak peduli sikap Pangeran Mangkubumi. Tetapi aku tidak dapat membiar-kan kalian, petani-petani miskin dari Jati Sari untuk menemui-nya. Bukankah Danatirta tinggal di padukuhan Jati Aking di Kademangan Jati Sari?”

“Ya Ki Sanak”

“Nah, pergi kepada Danatirta. Beritahukan bahwa ia tidak berhak membuat hubungan dengan Kiai Sarpasrana. Martabat keduanya tidak sama. Danatirta adalah seorang petani miskin yang tinggal di padepokan kecil, kotor dan buruk. Tetapi Kiai Sarpasrana tinggal di sebuah padukuhan tersendiri. Besar dan berpengaruh”

Kata-kata itu benar-benar menyakitkan bati ketiga anak-anak muda itu.

Hampir saja Arum menjawabnya dengan marah. Tetapi ketika ia melangkah maju, Buntal sempat menggamitnya.

“Ki Sanak” berkata Juwiring, “Kami tidak menyangka, bahwa kami akan mendapat sambutan yang begini hangat. Menurut Kiai Danatirta, kami akan diterima dengan baik oleh Kiai Sarpasrana, karena Kiai Danatirta adalah sahabat baik Kiai Sarpasrana. Tetapi yang kami jumpai justru sebaliknya”

“Danatirta lah yang tidak tahu diri. Ia membayangkan dirinya sejajar dengan Kiai Sarpasrana” orang itu berhenti sejenak, lalu, “sekarang pergi. Cepat pergi”

“Baik” suara Juwiring menjadi bergetar, “Tetapi aku masih ingin mengatakan kepadamu Putut. Jika aku sempat bertemu dengan Kiai Sarpasrana sendiri, tentu kami tidak akan menjumpai sikap sekasar sikapmu. Mungkin Kiai Sarpasrana akan marah kepada kami. Tetapi ia memang berhak marah. Dan kami pun tidak akan sakit hati karenanya. Tetapi kau, apa hakmu marah kepada kami. Kau adalah seorang Putut. Seharusnya kau menyampaikan persoalan ini kepada Kiai Sarpasrana. Jika kau tidak berani membangunkan, aku sendiri akan mengetuk pintu. Dan jika kau mendapat pesan agar Kiai Sarpasrana tidak diganggu, kau tidak usah bersikap begitu bodoh terhadap kami. Betapa rendahnya martabat Kiai Danatirta, tetapi ia adalah ayahku, guruku dan aku menghormatinya. Jika kau hinakan ayahku dan sekaligus guruku itu, maka adalah wajar sekali apabila aku merasa tersinggung karenanya”

“O, kau merasa tersinggung. Danatirta-memang orang yang bodoh, yang mengirimkan anak-anak ingusan itu untuk datang kemari. Jangan kau sangka bahwa Kiai Sarpasrana akan menundukkan kepalanya jika ia mendengar nama Danatirta. Aku pun mengenal orang yang bernama Danatirta itu. Nah, kalian mau apa?”

Juwiring yang masih muda seperti juga Buntal dan Arum itu ternyata sulit untuk menguasai perasaannya. Bagi Juwiring dan kedua adik-adik angkatnya itu. Kiai Danatirta adalah orang yang paling dihormati. Karena itu, maka Juwiring pun berkata, “Putut Srigunting. Aku tetap menghormati Kiai Sarpasrana, karena guruku pun menghormatinya. Tetapi maaf, aku sama sekali tidak dapat menghormatimu. Seharusnya kau masih belum pantas untuk menjadi seorang Putut. Kau masih harus magang untuk beberapa tahun lagi sebelum kau menjadi seorang cantrik. Apalagi Putut atau Jejanggan”

Orang di dalam kegelapan itu menggeram. Selangkah ia maju sambil berkata, “Kau memang gila. Aku adalah Putut Srigunting murid terpercaya dari Kiai Sarpasrana. Kau ternyata berani menghinakan aku. Apakah kau sudah jemu hidup”

“Ternyata kau bukan murid yang baik. Kepercayaan Kiai Sarpasrana telah kau sia-siakan. Mungkin Kiai Sarpasrana tidak pernah melihat sikap sombongmu itu” Juwiring berhenti sejenak, lalu, “Memang seorang budak yang bodoh kadang-kadang ingin bersikap garang melampaui tuannya. Tetapi dengan demikian setiap orang tahu, bahwa sebenarnyalah ia belum pantas mendapat sedikit kekuasaan yang sudah mulai di salah gunakan”

“Diam, diam” Orang itu berteriak.

Juwiring terdiam. Tetapi ia menjadi heran. Tidak seorang pun yang terbangun di padepokan itu.

“Apakah Kiai Sarpasrana tidak ada di padepokan?” Ia bertanya di dalam hatinya.

Namun yang terdengar adalah orang itu berkata lebih lanjut, “Kau membuat aku marah. Jika sekali lagi kau menghina aku, aku akan membunuhmu”

“Aku tidak pernah berhasrat untuk menyombongkan diri. Aku sama sekali tidak pernah berniat untuk memamerkan ilmu Jati Aking. Tetapi sudah sepantasnya kalau aku harus mempertahan-kan diriku, mempertahankan martabatku dan martabat guruku”

“O, kau memang ingin mati. Jika aku membunuh orang di padepokan ini, tidak ada orang yang berani mengurusnya, karena tidak ada orang yang berani menentang Kiai Sarpasrana. Bahkan Pangeran Mangkubumi pun tidak”

“Dan hal itu bagimu merupakan alasan yang paling baik untuk berbuat sewenang-wenang” Juwiring yang marah menjadi gemetar karenanya. Bahkan Buntal merasa seakan-akan dadanya sudah retak oleh kemarahan yang menghentak-hentak. Sedang Arum, yang merasa dirinya anak Kiai Danatirta mengatupkan giginya rapat-rapat.

Dalam pada itu orang di dalam kegelapan itu pun telah menggertakkan giginya. Dengan suara gemetar karena marah ia berkata, “Aku tidak pernah berbuat sewenang-wenang. Tetapi aku dapat berbuat apa saja yang aku kehendaki di halaman padepokan Kiai Sarpasrana selama Kiai Sarpasrana tidak melarang. Dan kini kau harus menyadari, bahwa Kiai Sarpasrana tidak mencoba mencegah aku meskipun aku yakin bahwa Kiai Sarpasrana mendengar perbantahan ini. Dengan demikian, maka berarti bahwa umurmu tidak akan sampai besok pagi”

“Dan kau pun jangan mengharap dapat melihat matahari terbit besok”

Putut Srigunting tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba ia berkata lantang sambil meloncat menyerang, “Kau memang sombong sekali. Mulutmu memang harus diremas sampai lumat”

Tetapi Juwiring pun sudah siap. Karena itu. ketika serangan itu meluncur ke dadanya. ia masih sempat menghindar. Bahkan dengan putaran diatas tumitnya, kakinya terayun mendatar menebas lambung.

Namun Purut Srigunting pun lincah sekali. Dengan loncatan ganda ia berhasil menghindari serangan Juwiring. Bahkan yang paling menyakitkan hati, ternyata bahwa ia tidak saja menghindari serangan Juwiring, tetapi sekaligus ia menyerang Buntal yang berdiri termangu-mangu.

Buntal terperanjat menerima serangan itu. Untunglah bahwa loncatan Putut itu tidak begitu cepat, sehingga Buntal masih sempat menjatuhkan dirinya dan menghindarkan serangan yang langsung mengarah ke dadanya. Dengan cekatan ia meloncat bangkit dan siap untuk menyerang Srigunting pula.

Tetapi Srigunting itu sudah meloncat menjauh. Sejauh ia mengamati lawan-lawannya. Kemudian sambil merendahkan dirinya ia merentangkan tangannya.

Juwiring yang sudah mapan, mendahuluinya menyerang. Serangannya datang bagaikan hentakkan tenaga angin yang dahsyat. Namun Putut Srigunting masih mampu menghindar dengan lincahnya bahkan sekaligus ia pun mencoba untuk menyerang sasaran ketiga seorang anak muda yang sejak semula hanya berdiri sambil mengatupkan giginya rapat-rapat.

Juwiring terkejut melihat serangan itu. Hampir bersamaan dengan Buntal ia berteriak, “Arum hati-hati”

Arum menyadari serangan itu. berbahaya baginya. Karena itu, ia pun segera meloncat ke samping.

Tetapi Putut itu masih akan menyerangnya. Ketika Putut itu menggerakkan tangannya, maka datanglah serangan bersama-sama dari jurusan yang berbeda. Buntal meloncat dengan kaki mendatar mengarah ke dada Putut itu. sedang Juwiring mempergunakan sisi telapak tangannya menghantam tengkuk.

Serangan Putut Srigunting itu pun diurungkan karena ia terpaksa menghindari serangan Juwiring dan Buntal yang hampir bersamaan itu. Namun ternyata bahwa Putut Srigunting benar-benar lincah dan mampu bergerak secepat angin.

“Bagus” katanya, “Kalian bertiga harus terlibat dalam perkelahian ini supaya ada alasanku untuk membunuh kalian. Jika yang lain tidak, maka sulitlah bagiku untuk mempertanggung jawabkan pembunuhan ini terhadap Kiai Sarpasrana.

Ketiga anak-anak muda itu tidak menyahut. Namun mereka pun bertempur semakin sengit. Sedang Putut Srigunting pun bergerak semakin cepat pula.

Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Ketiga anak-anak muda itu mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bukan saja untuk mempertahankan hidup mereka, tetapi juga martabat perguruan Jati Aking.

“Inilah murid-murid Jati Aking” berkata Putut itu, “kalian bertiga tidak dapat mengalahkan aku”

“Kami bukan murid yang paling baik di Jati Aking” sahut Buntal, “Jika kami bertiga tidak dapat segera membunuhmu, bukanlah salah perguruan Jati Aking. Tetapi itu adalah karena kebodohan kami. Tetapi dengan demikian. Jati Aking akan mengirimkan muridnya yang terbaik untuk membunuhmu pula pada suatu saat”

“O” Putut itu tertawa, “jangankan muridnya terbaik. Aku ingin Danatirta sendiri datang kemari”

“Persetan” Arum tidak dapat menahan diri lagi, sehingga ia pun menggeram sambil menyerang.

Putut Srigunting sempat menghindari serangan Arum. Bahkan ia masih juga tertawa dan berkata, “Nah, aku sudah menduga, seorang dari kalian bukannya seorang laki-laki. Bukankah yang bernama Arum ini seorang perempuan. Bagus, perguruan Kiai Sarpasrana tidak mempunyai murid seorang gadis. Kau harus tinggal di sini dan menjadi seorang endang”

“Tutup mulutmu” geram Buntal Serangannya menjadi semakin dahsyat disusul oleh serangan-serangan Juwiring dan Arum berurutan seperti datangnya banjir bandang.

Tetapi ternyata bahwa Putut itu benar-benar lincah dengan cekatan. Ia masih saja mampu menghindarkan dirinya dari serangan-serangan yang datang beruntun itu. Bahkan sekali-sekali ia masih juga sempat menyerang sambil berbicara, “Jika aku membunuh kedua laki-laki ini, maka kiai Sarpasrana tentu akan menghadiahkan gadis ini kepadaku”

“Jangan mengigau” bentak Juwiring. Namun betapa ia mengerahkan tenaganya, namun Putut itu masih juga mampu menghindarkan dirinya”

Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin cepat. Serangan anak Jati Aking itu pun menjadi semakin dahsyat pula. Namun Putut Srigunting memang mampu bergerak seperti seekor burung Srigunting. Cepat dan serangan-serangannya benar-benar berbahaya

Juwiring yang paling tua dari ketiga anak-anak muda itu mulai menilai keadaan. Sebenarnyalah bahwa Putut Srigunting mempunyai banyak kelebihan dari mereka bertiga bersama-sama. Serangan-serangan yang dilancarkannya, sepenuh tenaga dan kemampuan, sama sekali tidak berhasil menyentuhnya. Bahkan sekali-sekali tubuh mereka justru telah mulai disentuh oleh tangan Putut Srigunting itu.

Namun demikian, untuk menjunjung nama perguruan mereka, Juwiring tidak akan meninggalkan gelanggang. Apalagi Putut itu tahu benar, bahwa ketiganya datang dari Jati Aking, murid-murid Kiai Danatirta. Karena itu. Juwiring telah membulatkan tekadnya, ia akan berkelahi sampai kemungkinan yang terakhir, meskipun benar-benar seperti yang dikatakan oleh Putut itu, bahwa ia tidak akan dapat lagi melihat esok pagi.

Ternyata Buntal pun telah berpendirian demikian pula. Dikerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk mempertahankan dirinya dan martabat perguruannya. Karena itu maka ia pun sama sekali tidak menghiraukan lagi, apakah yang akan terjadi atas dirinya di akhir perkelahian ini.

Tetapi yang paling gelisah adalah Arum. Ia mulai menyadari kebenaran yang dikatakan oleh ayahnya. Ketika ia berada di hutan perburuan yang tertutup itu, ia masih dapat mengelakkan peristiwa itu sebagai suatu ketidak-sengajaan. Tetapi kini ia pasti, bahwa Putut Srigunting bukan sekedar tidak sengaja, tetapi justru dirinyalah yang menjadi sasaran setelah Putut itu mengetahui bahwa ia adalah seorang gadis.

Namun dengan demikian, Arum menjadi semakin muak. Ia pun bertempur semakin cepat. Serangan-serangannya datang beruntun isi mengisi dengan kedua kakak seperguruannya.

Tetapi serangan-serangan itu seakan-akan tidak berarti sama sekali bagi Putut Srigunting. Ia mampu bergerak lebih cepat lagi. Serangan ketiga orang bergantian yang datang kepadanya, sama sekali tidak dapat mengenai sasarannya.

Juwiring mulai menjadi gelisah. Bukan karena dirinya sendiri. Ia sadar, bahwa ia tidak perlu mempertanggung jawabkan dirinya sendiri apabila ia terbunuh di perkelahian ini. Tetapi bagaimana dengan Arum. Jika Arum benar-benar akan dipaksa untuk tinggal di padepokan ini, maka pertentangan ini pun akan menjalar menjadi semakin besar. Kiai Danatirta tentu tidak akan tinggal diam. Dan ia pasti akan berjuang untuk mengambil anaknya.

“Alangkah bodohnya aku” berkata Juwiring di dalam hati, “ternyata aku tidak dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Jika hal ini dapat ditebus dengan mati, persoalannya akan segera selesai. Tetapi bagaimana dengan Arum”

Bukan saja Juwiring yang digelisahkan oleh pikiran itu. Tetapi juga Buntal. Hatinya serasa terbakar mendengar kata-kata Putut Srigunting itu. Seakan-akan Putut itu dengan sengaja menghina-nya.

Tetapi semuanya itu harus diselesaikan dengan kekerasan. Tidak ada jalan penyelesaian lain kecuali bertempur mati-matian.

Dengan demikian, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Juwiring, Buntal dan Arum adalah murid-murid Kiai Danatirta yang sudah diberinya bekal yang cukup. Namun menghadapi Putut Srigunting, ketiganya seakan-akan tidak berdaya. Mereka sama sekali tidak mampu berbuat apa-apa, selain menghindari serangan-serangan Putut itu. Bahkan kadang-kadang mereka bertiga menjadi bingung dan yang dapat mereka lakukan hanyalah menghindarkan diri jauh-jauh, sebelum mereka dapat menyusun diri mereka kembali.

Setiap kali terdengar Putut itu tertawa nyaring. Suara tertawa yang sangat menyakitkan hati. Suara tertawa yang seakan-akan dengan sengaja diperdengarkan untuk memanaskan hati ketiga anak-anak muda. dari Jati Aking itu.

Akhirnya Juwiring pun sampai kepada puncak usahanya. Tidak ada jalan lain baginya untuk menyelamatkan Arum selain dengan terpaksa sekali mempergunakan senjata-senjata mereka. Apabila mungkin tanpa membunuh seseorang, tetapi jika itu harus terjadi, apaboleh buat.

Karena itu, ketika Juwiring sudah tidak lagi dapat berbuat lain, maha betapapun beratnya dan betapa semula keragu-raguan membelit hatinya, akhirnya Juwiring telah menggenggam kerisnya.

“Ha” Putut Srigunting tertawa pula, “Kau sekarang bersenjata”

“Apaboleh buat” berkata Juwiring, “kegilaanmu memang harus dihentikan. Kau tentu berbuat serupa dengan orang-orang lain yang bermaksud baik. Orang-orang yang tidak sempat menghadap Kiai Sarpasrana karena pokalmu”

“Jangan banyak bicara. Ayo, kalau kau ingin berkelahi dengan senjata, lakukanlah”

Juwiring tidak menjawab lagi. Dengan hati-hati ia mendekati lawannya dengan senjata di tangannya. Ia sadar, bahwa dengan demikian ia dapat memaksa Putut Srigunting itu untuk mempergunakan senjatanya pula, namun ia memang harus berkelahi mati-matian. Apapun yang akan terjadi. Bahkan ia sadar sepenuhnya bahwa jika ia harus menyelamatkan Arum dengan melukai atau membunuh Putut itu, maka tanggapan Kiai Sarpasrana tentu tidak akan sebaik yang diharapkan.

“Mudah-mudahan Kiai Sarpasrana benar-benar berjiwa besar. Dan dapat mendengar dan mengerti apa yang telah terjadi”

Dalam pada itu, karena Juwiring telah menggenggam kerisnya, maka hampir di luar sadarnya, Buntal dan Arum pun telah bersenjata pula. Dengan dada yang bergelora mereka mengepung Putut Sri gunting dari tiga arah.

Putut Srigunting memperhatikan ketiga lawannya yang kini telah bersenjata itu dengan saksama. Kini ia benar-benar harus berhati-hati. Tiga ujung keris dari Jati Aking itu dapat benar-benar membunuhnya apabila ia tergores meskipun hanya seujung rambut.

Sejenak kemudian, Juwiring yang memimpin kedua adik seperguruannya itu mulai menyerang kembali disusul oleh Buntal dan Arum. Meskipun tampak ketiga anak-anak muda itu masih ragu-ragu mempergunakan senjatanya, namun dengan keris di tangan, Putut Srigunting tidak dapat lagi dengan leluasa bergerak.

Bahkan ketika mereka sudah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit, tampaklah Putut Srigunting mulai terdesak. Tiga ujung keris di tangan ketiga anak-anak muda itu benar-benar berbahaya baginya.

Juwiring pun melihat hal itu. Setapak demi setapak ketiga anak-anak muda itu dapat mendorong Putut Srigunting ke sudut halaman.

“Kau akan mati” berkata Juwiring, “kecuali jika kau bersedia menyampaikan kedatanganku kepada Kiai Sarpasrana”

Putut Srigunting tidak menjawab. Tetapi ia masih saja bertempur terus dengan sekuat tenaganya. Namun ia masih tetap lincah dan cekatan menghindari serangan-serangan ketiga anak-anak muda itu. Bahkan sekali-sekali ia masih mampu menyerang, menembus putaran ketiga ujung keris anak-anak muda itu.

Tetapi lambat laun, semakin jelas, bahwa Putut Srigunting tidak akan dapat melawan ketiga anak-anak muda yang bersenjata itu.

Meskipun demikian Juwiring dan kedua adik-adiknya menyadari bahwa Putut Srigunting masih belum mempergunakan senjata. Agaknya ia benar-benar seorang yang sangat sombong, yang ingin menghadapi ketiga lawannya dengan tanpa senjata.

Tetapi Putut Srigunting tidak dapat bertahan terus. Karena ia selalu terdesak, dan bahkan akhirnya ia sudah tersudut pada dinding halaman, ia tidak dapat berbuat lain daripada melawan juga. dengan senjata.

Dalam keadaan yang sulit, tiba-tiba saja Putut Srigunting itu berbuat sesuatu yang mengejutkan sekali. Ketika ia berdiri tersandar dinding halaman yang tinggi, sedang ketiga ujung keris anak-anak muda yang melawannya itu teracu kepadanya, Putut Srigunting tampaknya tidak akan lagi dapat berbuat apapun. Dalam keadaan itu Juwiring masih sempat berkata, “Putut Srigunting. Sejak semula kami tidak ingin berkelahi. Kamipun tidak ingin mencelakai siapapun, apalagi membunuh. Satu-satunya keinginan kami adalah bertemu dengan Kiai Sarpasrana. Karena memang itulah tujuan kedatangan kami”

Putut Srigunting tidak menjawab.

“Karena itu, Putut Srigunting. Meskipun kami akan dapat membunuhmu sekarang, namun kami masih tetap ingin menghindarinya. Berjanjilah bahwa kau akan menyampaikan kedatangan kami kepada Kiai Sarpasrana”

Putut Srigunting itu memandang ketiga lawannya dengan wajah yang tegang. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Anak-anak yang bodoh. Jika Kiai Sarpasrana bersedia menerima kedatangan kalian, aku tentu tidak usah menyampaikan kepadanya sekarang. Ia tentu mendengar apa yang terjadi. Karena itu, jangan berbuat sia-sia. Pergilah dan katakan kepada Danatirta bahwa ia tidak berhak berhubungan dengan Kiai Sarpasrana sekarang”

“Jangan menghina lagi” Juwiring membentak, “tangan kami sudah gemetar. Kami akan mengalami kesulitan untuk menahan perasaan kami”

“Jangan berbuat bodoh. Pergi sajalah dari halaman ini”

“Tidak” Buntal lah yang menjawab, “Kita harus membuat sebuah perjanjian. Perjanjian jantan yang harus kita tepati. Kita akan melepaskan kau jika kau berjanji untuk membawa kami menghadap. Apapun yang akan dilakukan oleh Kiai Sarpasrana atas kami, sama sekali bukan urusanmu lagi”

“Persetan. Kalian tidak dapat memaksa aku. Biarlah aku mengalami apapun juga, tetapi aku akan tetap pada pendirianku. Dan aku sudah bertekad untuk membunuh kalian”

“Kau tidak akan mendapat kesempatan lagi. Ujung keris kami telah siap untuk menerkam dadamu. Apakah kau akan mengingkari kenyataan ini?”

“Kenyataan apakah yang sedang aku hadapi sekarang? Kalian benar-benar anak-anak yang bodoh. Apa yang dapat kau lakukan atasku sekarang?”

“Apakah kau tidak melihat kenyataan ini” Buntal menjadi tidak sabar lagi. Dan bahkan Arum menambahkan, “Agaknya kau ingin memilih mati”

Orang itu masih dapat tertawa. Katanya, “Apa artinya mati bagiku? Tetapi kalian tidak dapat membunuh aku. Aku adalah Putut Srigunting. Cobalah jika kalian memang dapat melakukannya”

Suara tertawanya memang benar-benar menyakitkan hati. Karena itu, maka Juwiring ingin membungkam suaranya itu meskipun ia tidak benar-benar ingin membunuhnya, karena ia masih mempertimbangkan kemungkinan yang dapat terjadi jika Kiai Sarpasrana kehilangan Putut yang agaknya paling dipercayainya.

Dengan sebuah gerakan mendatar Juwiring mengayunkan kerisnya. Ia memang tidak ingin menggoreskan keris itu di tubuh Putut Srigunting, sehingga karena itu, keris itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Namun Putut itu benar-benar telah membakar hati ketiga anak muda itu. Ia masih saja tertawa dan berkata, “Kalian tidak akan berani menyentuh tubuhku. Sentuhan kerismu berarti mati. Dan kalian tidak akan berani membunuhku di halaman padepokan ini karena kalian tidak akan dapat mempertanggung jawabkannya kepada siapapun. Kepada Kiai Sarpasrana dan kepada Ki Demang di Sukawati. Kalian adalah penjahat-penjahat yang membunuh orang di rumahnya sendiri”

“Kau memang gila” Juwiring menggeram, “Tetapi aku dapat membuatmu jera tanpa membunuhmu”

Dengan kemarahan yang serasa menghentak dadanya, Juwiring pun kemudian meloncat menyerang orang itu dengan kakinya. Serangan yang cepat dan keras sekali, sambil mengerahkan ilmu dan kekuatan yang ada padanya.

Tetapi orang itu sempat menghindar ke samping sehingga kaki Juwiring justru mengenai dinding batu yang kuat itu. Karena itulah maka Juwiring mengeluh tertahan. Rasa-rasanya kakinya akan retak karenanya. Ternyata dinding itu tidak roboh karenanya, meskipun kekuatan Juwiring yang mengagumkan itu mampu mengguncang dan membuat sebuah retak kecil membujur ke bibir atas.

“Bukan main” Putut itu masih sempat berkata, “kekuatanmu adalah kekuatan raksasa”

Tetapi Putut itu terpaksa menutup mulutnya, karena serangan Buntal telah menyusul pula. Buntal tidak menyerang dengan kakinya, tetapi dengan tangan kirinya mengarah ke pelipis Putut itu. Tetapi Buntal sempat memperhitungkan jarak jangkaunya sehingga ketika Putut itu membungkukkan dirinya, tangannya tidak menghantam dinding. Namun demikian Putut itu membungkukkan kepalanya, kaki Arum lah yang terayun mengarah ke keningnya. Bahkan hampir berbareng serangan Juwiring pun telah meluncur pula. Sisi telapak tangannya terayun dengan derasnya mengarah ke tengkuk Putut itu.

Ternyata Putut itu benar lincah. Ia masih sempat menghindar ke samping sambil semakin merendahkan tubuhnya condong hampir rata dengan tanah.

Buntal tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia pun segera meloncat dengan garangnya. Meskipun ia masih tetap sadar, bahwa ia tidak akan mempergunakan kerisnya jika tidak terpaksa sekali. Dengan kakinya ia berusaha menyerang Putut yang seakan-akan telah terbaring di tanah. Disusul dengan serangan Arum dan Juwiring sekaligus.

Dan yang terjadi itulah yang hampir tidak masuk akal bagi ketiga anak-anak muda itu. Putut itu sempat membuat suatu gerakan yang tidak dapat dimengerti.

Ketiga serangan-serangan itu meluncur, Putut itu sempat meloncat, tidak dengan kakinya, tetapi justru dengan tangannya. Kakinyalah yang terlempar ke atas. Dan dengan kekuatan lontar tangannya Putut itu melenting tinggi.

Ketiga anak-anak muda yang kehilangan sasaran itu menjadi bingung sejenak. Dan ketika mereka menyadari keadaannya, maka mereka melihat Putut itu telah bertengger, berjongkok diatas dinding halaman itu.

Yang terdengar adalah suara tertawanya. Tertawa berke-panjangan sehingga tubuhnya terguncang-guncang.

Ketiga anak-anak muda itu menggertakkan giginya. Hampir saja ketiganya meloncat menyusulnya, meskipun hati mereka dicengkam oleh keheranan yang tiada taranya. Kemampuan yang diperlihatkan oleh Putut itu benar-benar telah membuat mereka sangat kagum.

Tetapi sebelum ketiga anak-anak muda itu berloncatan naik, maka terdengar Putut itu berkata, “Jangan meloncat naik. Tidak ada gunanya”

Ketiganya termangu-mangu sejenak. Dan Juwiring pun berkata, “Jangan mencoba melarikan diri”

“Aku tidak akan lari meskipun aku dapat melakukannya dengan leluasa. Aku dapat meloncat keluar dari halaman ini dan pergi kemanapun aku mau. Tetapi aku masih akan membunuh kalian”

Tiba-tiba saja timbul sebuah pikiran di kepala Juwiring sehingga ia pun bertanya, “He, apakah kau bukan Putut dari padepokan ini?”

Sekali lagi orang itu tertawa. Katanya, “Aku memang bukan Putut dari perguruan Ki Sarpasrana”

“Gila. Seharusnya aku membunuhmu” sahut Buntal.

“Aku sudah mencoba mencegah kalian, tetapi kalian tidak mendengarkan”

“Siapa kau he? Apakah kau pencuri? Pencuri yang justru sedang mencuri di padepokan ini?”

Orang itu masih saja tertawa. Katanya kemudian, “Jika kau mendengarkan aku, kau tidak akan terlibat dalam kesulitan dengan aku. Tetapi kau memang keras kepala. Dan jangan menyesal, aku tidak akan membiarkan kau hidup dan meninggalkan padepokan ini. Sebenarnyalah bahwa Kiai Sarpasrana tidak akan dapat menemui kalian, karena aku sudah membunuhnya”

“He” serentak ketiga anak-anak muda itu bergeser, “Kau membunuh Kiai Sarpasrana”

Bersambung ke Bagian 3

Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/

Komentar

Postingan Populer