Bunga di batu karang VIII bag 3

Bunga di batu karang VIII bag 3

“Ya” “Tidak mungkin” sahut Buntal, “Kau tidak akan dapat membunuh Kiai Sarpasrana.

“Kau ingin melihat mayatnya?”

“Omong kosong” Juwiring pun hampir berteriak, “Jangan mengigau. Kiai Sarpasrana bukan anak ingusan. Dan kau tidak akan dapat lari dari ujung keris kami”

“Kau ingin melihat jenis senjataku?”

“Senjata apapun juga, kami tidak gentar”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengurai sehelai rantai baja yang dilingkarkan di lambungnya. Pada ujung rantai baja itu terdapat sebuah cakram bergerigi.

“Kalian akan digigit oleh senjataku ini. Kerismu sama sekali tidak akan berarti apa-apa”

Juwiring dan kedua adik seperguruannya termangu-mangu melihat senjata itu. Senjata itu memang lebih panjang dari kerisnya. Kemampuannya pun agaknya dapat dibanggakan.

Namun ketiga anak-anak muda itu tidak mau menyerah. Hampir berbareng pula mereka meraba pisau-pisau kecil mereka yang terselip diikat pinggang.

“Apakah kalian masih akan melawan?” bertanya orang yang berdiri diatas dinding batu itu.

“Ya. Kami akan melawan dan akan membunuhmu sama sekali”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia menjadi tegang ketika ia melihat tiba-tiba saja Juwiring pun telah meloncat naik diatas dinding itu pula disusul oleh Buntal, sedang Arum tetap berada di bawah orang yang berdiri diatas dinding itu.

“Kau tetap di situ Arum” berkata Juwiring, “Jika ia lari turun ke halaman itu, kau harus berbuat sesuatu. Kau dapat melemparnya dengan pisau-pisaumu. Jika ia lari keluar, Buntal lah yang harus mencegahnya. Aku akan mencoba berkelahi diatas dinding dengan pisau-pisau kecil ini”

Tanpa mendapat perintah lagi, maka Buntal pun bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ia tidak meloncat keluar. Ia masih berdiri diatas dinding batu, seberang menyeberang dengan Juwiring.

Sejenak mereka terpaku diam. Namun sejenak kemudian dengan herannya Juwiring, Buntal dan Arum melihat orang yang berdiri diatas dinding itu melipat senjatanya sambil berkata, “Aku menyerah”

Ketiga anak-anak muda itu menjadi heran. Orang itu sama sekali belum mencoba melakukan perlawanan dengan senjatanya. Bahkan ia seakan-akan merasa sangat yakin akan senjatanya itu. Namun tiba-tiba saja ia menyatakan dirinya menyerah.

“Apakah pisau-pisau kecil ini telah menggetarkan jantungnya?” bertanya ketiga anak muda itu di dalam hatinya.

Tanpa menghiraukan ketiga lawannya orang itu pun segera meloncat turun masuk ke halaman padepokan Kiai Sarpasrana, beberapa langkah di sebelah Arum.

Arum yang semula dicengkam keheranan, tiba-tiba saja telah bersiaga. Ia menduga, bahwa orang itu sedang mencari kesempatan selagi ia lengah. Dengan sigapnya, Arum telah menggenggam sehelai pisau di tangan kanannya, sedang kerisnya berpindah di tangan kiri. Jika orang itu mencoba menyerangnya, maka pisau itu siap untuk dilemparkannya.

Tetapi orang itu sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ia hanya berpaling saja ketika mereka mendengar Juwiring dan Buntal pun berloncatan turun.

“Aku sudah menyerah” berkata orang itu, “Aku benar-benar tidak akan berkelahi lagi”

“Siapakah kau sebenarnya?” desak Juwiring.

“Nanti kau akan mengetahuinya. Jika sekarang aku mengatakannya, maka kau pun tidak akan percaya”

Juwiring menjadi heran. Dan ia mencoba mendesak lagi, “Jangan mempermainkan kami”

“Tidak. Aku tidak mempermainkan kalian. Marilah dan duduklah di pendapa”

Keheranan di dalam dada ketiga anak-anak muda dari Jati Aking itu menjadi semakin mencengkam. Meskipun demikian mereka tidak kehilangan kewaspadaan. Ketiganya masih saja menggenggam senjata masing-masing, dan bahkan Arum masih juga menggenggam sebilah pisau selain kerisnya.

Orang itu naik ke pendapa tanpa segan-segan. Kemudian dipersilahkannya ketiga anak-anak muda itu naik pula. Katanya, “Duduklah. Aku akan masuk sebentar”

Juwiring dan kedua adik seperguruannya saling berpandangan sejenak. Mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika dengan suatu isyarat, seseorang yang bertubuh kekar, tinggi dan berwajah tenang berumur di pertengahan abad keluar dari ruang dalam.

“Temuilah mereka lebih dahulu”

Orang bertubuh tinggi kekar itu mengangguk hormat. Jawabnya, “Baik Kiai”

“Mereka datang dari Jati Aking. Mereka adalah murid-murid pamanmu Danatirta” lalu katanya kepada Juwiring dan kedua adik seperguruannya, “Inilah Putut Srigunting yang sebenarnya. Tubuhnya yang seperti raksasa itu sama sekali tidak pantas menamakan dirinya Srigunting, karena Srigunting adalah seekor burung yang ramping”

Ketiga anak-anak muda dari Jati Aking itu menjadi semakin bingung. Mereka tidak tahu apa yang sedang dihadapi sebenarnya.

Sejenak kemudian maka orang yang telah berkelahi itu pun masuk ke dalam, dan orang yang bertubuh tinggi kekar itu melangkah mendekat. Wajahnya yang tenang itu bagaikan air yang sama sekali tidak bergerak.

“Silahkan duduk Ki Sanak” suaranya pun dalam sekali, seakan-akan berputar di dalam dadanya saja”

Juwiring lah yang kemudian menjawab, “Terima kasih. Tetapi kami menjadi bingung. Kami tidak mengerti, apakah yang telah terjadi”

Wajah itu berkerut sejenak. Namun kemudian sebuah senyum yang lembut tampak di bibirnya. Berkata orang yang disebut bernama Putut Srigunting yang sebenarnya itu. “Jangan cemas. Duduklah”

“Tetapi siapakah sebenarnya orang yang mengaku bernama Putut Srigunting itu, dan kemudian menyebut Ki Sanak juga bernama Putut Srigunting”

“Di sini hanya ada seorang yang bernama Putut Srigunting. Benar akulah yang bernama Putut Srigunting itu”

“Dan orang itu?”

“Ia akan segera menemui kalian dan ia akan segera menyebut namanya yang sebenarnya”

Juwiring menjadi semakin bingung. Demikian pula Buntal dan Arum. Hampir di luar sadarnya Buntal bertanya, “Tetapi apakah orang itu juga penghuni Padepokan ini?”

“Ya. Ia juga penghuni padepokan ini”

“Ia menyebut dirinya Putut Srigunting, kemudian mengaku bahwa ia tidak berasal dari padepokan ini. Sekarang ia masuk ke dalam seakan-akan sudah menjadi kebiasaannya. Kami benar-benar menjadi bingung Ki Sanak”

“Sebentar lagi kalian akan meyakini apakah yang sebenarnya telah terjadi. Jangan cemas”

Juwiring dan kedua adik seperguruannya mengangguk. Ketika kemudian pintu bergerit, mereka melihat orang yang menyebut dirinya Putut Srigunting itu keluar. Tetapi rasa-rasanya kesan di wajahnya telah berbeda sekali dengan wajah itu pula, yang dilihatnya di dalam gelapnya malam.

Meskipun pada wajah itu masih tampak kekerasan hati dan sikap, tetapi wajah itu kini dihiasi oleh senyum yang ramah.

Orang yang mula-mula menyebut dirinya Putut Srigunting itu pun kemudian duduk pula di antara mereka. Rambutnya yang terjurai sedikit di luar ikat kepalanya, tampak sudah keputih-putihan di bawah cahaya obor di pendapa.

“Ia pun sudah berumur tidak kurang dari setengah abad” berkata Juwiring di dalam hati setelah ia dapat melihat wajah itu dengan jelas.

Orang yang mula-mula menyebut dirinya Putut Srigunting itu pun telah duduk di antara mereka. Dengan sorot mata yang tajam ia memandang ketiga anak muda itu berganti-ganti. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Kalian benar-benar anak-anak Danatirta”

Juwiring dan kedua adik seperguruannya tidak segera mengerti maksud orang itu. Sejenak mereka saling berpandangan, namun tidak seorang pun yang mengucapkan kata-kata”

“Anak-anakku” berkata orang itu, “Tentu tidak setiap orang dapat langsung mempercayai keterangan orang lain yang belum pernah dikenalnya. Aku pun tidak segera dapat mempercayai kalian, jika kalian mengatakan bahwa kalian adalah murid-murid Kiai Danatirta. Itulah sebabnya, aku harus meyakinkan”

“Tetapi” suara Juwiring sendat, “Siapakah Ki Sanak, maksudku, siapakah Kiai ini?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Akulah orang yang kau cari”

“Jadi, Kiai adalah yang bernama Kiai Sarpasrana?”

“Ya. Akulah Sarpasrana”

“O” hampir berbareng ketiga anak-anak muda itu berdesis.

“Jadi Kiai kah yang kami cari?” suara Juwiring terputus-putus, “Kami sama sekali tidak mengetahui, bahwa Kiai lah yang kami cari sehingga kami berani berbuat deksura, dan bahkan berani melawan Kiai. Jika kami tahu, kami tidak akan berani menyombongkan diri kami”

“Tidak apa-apa” berkata Kiai Sarpasrana, “Aku memang memancing perkelahian. Karena itu aku membuat kalian marah dengan segala macam cara. Jika tidak terjadi perkelahian, aku tidak akan tahu, apakah kalian benar-benar murid Kiai Danatirta”

Juwiring termenung sejenak. Dan Kiai Sarpasrana berkata terus, “Hanya dengan cara itu aku dapat mengetahui, bahwa kalian benar-benar murid Kiai Danatirta. Aku mengenalnya dengan baik. Dan bahkan aku mengenal ilmunya. Ketika kita bertempur, sejak mula-mula aku percaya, bahwa tata gerak dan sikap kalian adalah tata gerak dan sikap Kiai Danatirta, meskipun pada anak-anak muda yang dua ini sudah mendapat perkembangannya sendiri, sedang pada angger yang bernama Arum, ilmu Kiai Danatirta masih lebih murni, tetapi angger Arum ternyata memiliki kelincahan yang luar biasa”

“Maafkan kami Kiai” berkata Juwiring kemudian, “Aku adalah yang tertua dari kami bertiga. Akulah yang bertanggung Jawab atas kesalahan ini”

“Tidak. Kalian tidak bersalah. Jika kalian tidak berani berkelahi, kalian tentu bukan murid Kiai Danatirta”

Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Itulah sebabnya, meskipun ada hiruk pikuk di halaman, tidak seorang pun yang tampak terbangun dan apalagi keluar halaman. Ternyata yang berkelahi itu adalah Kiai Sarpasrana sendiri. Dan orang yang bertubuh tinggi, kekar dan bernama Putut Srigunting itu pasti mengetahui pula dan bahkan mungkin dari celah-celah dinding ia mengikuti perkelahian itu.

Betapa ketiga anak-anak muda itu kini dicengkam oleh perasaan yang aneh. Ternyata Kiai Sarpasrana mempunyai cara tersendiri untuk mengetahui kebenaran pengakuan mereka.

Ketiga anak muda itu mengangkat wajah mereka, ketika Kiai Sarpasrana kemudian berkata, “Aku bangga terhadap kalian seperti aku selalu kagum melihat Kiai Danatirta, apalagi di masa mudanya. Agaknya sifat-sifatnya menurun kepada kalian, dan bahkan kepada seorang gadis”

“Arum adalah puteri Kiai Danatirta Kiai”

“He?” Kiai Sarpasrana mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Jadi gadis ini puteri Kiai Danatirta?”

“Ya Kiai”

Sejenak Kiai Sarpasrana merenung. Ia memang pernah melihat seorang gadis puteri Kiai Danatirta. Tetapi menurut ingatannya, gadis itu tentu sudah jauh lebih tua dari gadis yang bernama Arum. Namun itu sudah lama lampau. Setelah itu, ia tidak sempat bertemu lagi dengan sahabatnya. Tetapi tanpa disangka-sangkanya, suatu ketika dijumpainya Danatirta itu di daerah Jati Sari. Namun sayang, bahwa saat itu ia tidak sempat menanyakan tentang seluruh keluarganya.

“Mungkin Kiai Danatirta mempunyai anak selain gadis yang pernah aku lihat itu” Kiai Sarpasrana bergumam di dalam hatinya. Namun agar tidak menumbuhkan salah paham, ia tidak bertanya lebih jauh lagi kepada anak-anak muda itu tentang Arum.

“Sekarang” berkata Kiai Sarpasrana, “Kalian masih mendapat waktu untuk beristirahat. Kalian dapat membersihkan diri di pakiwan, kemudian kalian dapat tidur nyenyak di gandok. Sedang Arum dapat menempati bilik di ruang dalam”

Arum mengerutkan keningnya. Dipandanginya kedua kakak seperguruannya berganti-ganti. Ia lebih senang tinggal bersama kedua kakak seperguruannya di gandok. Bukan karena ia tidak percaya kepada Kiai Sarpasrana. tetapi ia merasa lebih tenang berada di antara kedua saudaranya itu.

Agaknya Kiai Sarpasrana dapat membaca perasaan Arum, sehingga sambil tersenyum ia berkata, “Baiklah Arum. Jika kau berkeberatan, kau dapat berada di gandok bersama saudara-saudara seperguruanmu. Di sana ada sebuah ruangan yang cukup luas dan amben bambu yang besar, yang cukup untuk berbaring sepuluh orang sekaligus. Meskipun sebenarnya lebih baik bagimu untuk berada di dalam bilik yang lain”

Arum tidak menjawab. Hanya kepalanya sajalah yang tertunduk dalam-dalam.

“Baiklah. Saat ini kau bukan seorang gadis. Tetapi kau pun seorang laki-laki” Kiai Sarpasrana masih saja tersenyum, “sekarang kalian dapat pergi ke pakiwan. Aku tahu, banyak masalah yang akan kau katakan. Tetapi katakanlah besok pagi. Kalian tentu lelah dan barangkali kalian juga belum makan”

Ketiga anak-anak muda itu tidak segera menjawab.

“Nah. jika kalian memang belum makan, kalian dapat makan dahulu sebelum tidur”

“Kami sudah membawa bekal sekedarnya Kiai. Dan kami sekarang tidak lapar” jawab Juwiring.

Kiai Sarpasrana tertawa. Katanya, “Aku tahu. Meskipun seandainya kalian tidak membawa bekal sekalipun, murid Kiai Danatirta tidak akan kelaparan hanya karena sehari tidak makan. Tetapi dalam keadaan yang wajar, makan perlu untuk kekuatan jasmaniah. Karena itu, jangan menolak. Aku akan menjamu kalian makan setelah kalian membersihkan diri”

“Tetapi itu akan merepotkan Kiai”

“Tidak” Kiai Sarpasrana menggelengkan kepalanya, “bagi orang tua seperti aku, maka tempat nasiku dan tenong lauk pauk, tentu selalu terisi. Siang dan malam. Karena rumah ini menjadi sarana penghubung dari Surakarta, dan selain itu juga sanak kadangku sendiri yang datang dari jauh tanpa mengingat waktu” Kiai Sarpasrana berhenti sejenak, lalu, “Tetapi tidak semuanya mengalami sambutan seperti kalian. Selain aku memang belum mengenal kalian, juga karena kalian menyebut nama Kiai Danatirta, sehingga aku ingin meyakinkannya”

Ketiga anak-anak muda itu tidak menyahut.

“Nah, pergilah ke pakiwan”

Juwiring dan kedua adik seperguruannya pun kemudian pergi membersihkan dirinya. Kakinya, tangannya dan wajahnya. Mereka tidak sempat untuk mandi, karena mereka menyadari, bahwa Kiai Sarpasrana dan Putut Srigunting sedang menunggunya.

Demikianlah maka ketika mereka sudah selesai dengan membersihkan diri, mereka pun segera dijamu oleh Kiai Sarpasrana. Mereka duduk melingkar di pringgitan menghadapi hidangan yang meskipun sudah dingin, namun kelelahan dan gelisah yang sebelumnya mencengkam mereka, membuat mereka bernafsu untuk makan sebanyak-banyaknya. Apalagi Kiai Sarpasrana dan Putut Srigunting ikut makan pula bersama mereka.

Namun dalam pada itu, selagi mereka makan, Juwiring ingin Mempergunakan kesempatan yang sedikit itu. Meskipun agak ragu-ragu ia pun kemudian berkata, “Kiai, di perjalanan kami bertemu dengan iring-iringan orang bersenjata”

“He” Kiai Sarpasrana tertarik pada ceritera itu, “dimana dan apakah kau mengetahui iring-iringan itu?”

Juwiring menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Yang aku ketahui, di antara mereka terdapat Raden Mas Said. Tetapi mungkin aku keliru, karena aku tidak berani mendekati iring-iringan itu”

Kiai Sarpasrana menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung dan tanpa disadarinya kepalanya terangguk-angguk kecil. Dari sela-sela bibirnya ia berkata, “Api memang sudah mulai menyala di Surakarta”

Juwiring dan kedua adik seperguruannya saling berpandangan sejenak, lalu mereka mendengar Kiai Sarpasrana meneruskan, “Memang hal itu tidak akan dapat dihindari. Api itu pun akan berkobar di Sukawati”

Juwiring merasa mendapat kesempatan untuk mengatakan tentang gurunya. Karena itu maka ia pun berkata, “Kiai, sebenarnya dalam soal itu pulalah aku bertiga diutus oleh guru kami menghubungi Kiai”

Tetapi ketiga anak-anak muda itu menjadi heran ketika mereka melihat justru Kiai Sarpasrana tertawa, “Sudahlah. Makanlah. Jika kalian mengatakan tentang api semacam itu lebih panjang lagi, maka kalian tidak akan dapat menikmati nasi liwet dari Sukawati yang sudah dingin ini. Sekarang makanlah, dan kemudian kalian akan dapat, tidur nyenyak. Nanti pagi-pagi kalian tidak usah tergesa-gesa bangun. Kalian dapat tidur sampai tengah hari. Barulah kemudian kalian berceritera tentang padepokanmu, gurumu dan keperluanmu”

Juwiring tidak dapat meneruskan kata-katanya. Sambil memandangi kedua saudara seperguruannya, ia menyuapi mulutnya sehingga perutnya terasa kenyang.

Sebenarnyalah, baru di hari berikutnya, ia akan mendapat kesempatan untuk berbicara agak panjang dengan Kiai Sarpasrana, sehingga saat itu, Juwiring tidak berani memaksakannya lagi.

Setelah selesai makan, maka mereka pun segera diantar ke gandok oleh Putut Srigunting yang sebenarnya. Dipersilahkannya mereka tidur diatas sebuah amben yang besar di ruang yang terbuka.

Mula-mula mereka agak segan juga, karena meskipun tampaknya mereka sebagai tiga orang anak-anak muda, tetapi sebenarnyalah bahwa mereka mengetahui bahwa seorang dari mereka adalah seorang gadis.

Tanpa berjanji maka Arum pun memilih ujung amben yang besar itu, sedang kedua saudaranya dengan sendirinya berada di ujung yang lain.

Oleh sejuknya angin malam yang menyusup dinding gandok itu. mereka pun segera dipengaruhi oleh perasaan kantuk. Sehingga selelah makanan yang mereka makan tidak lagi terasa sesak di dada. mereka, maka mereka pun segera berbaring di ujung-ujung amben itu.

Oleh perasaan letih di perjalanan dan perkelahian yang mereka lakukan, maka mereka pun segera jatuh tertidur pula. Arum dan Juwiring yang tidak mempunyai perasaan apapun tidak menunggu terlalu lama, dan mereka pun segera tenggelam ke dalam mimpi yang segar.

Tetapi Buntal tidak dapat segera tertidur. Bahkan sekali-sekali ia memandang Arum dengan sudut matanya. Arum yang tidur dengan nyenyaknya di ujung lain.

Dalam sepinya malam, Buntal tidak dapat melawan perasaannya yang terasa mencengkam dadanya. Ia tidak dapat ingkar lagi, bahwa sebenarnyalah wajah yang sedang tenang di dalam tidurnya itu adalah wajah yang sangat cantik baginya.

Sekali-sekali Buntal menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya ia memejamkan matanya dan membelakangi Arum yang tidur di ujung lain menghadap Juwiring yang juga tertidur nyenyak. Tetapi setiap kali hampir di luar sadarnya ia pun menelentang menghadap atap yang Kehitam-hitaman. Namun setiap kali pula sudut matanya mencuri pandang ke wajah yang bening, bagaikan wajah anak-anak yang belum, mengetahui apapun juga.

“Hatikulah yang sangat kotor” berkata Buntal di dalami hatinya. Namun demikian, kadang-kadang timbul juga perasaan aneh di dalam dadanya, apalagi setiap kali ia sadar, bahwa Juwiring mempunyai kelebihan di dalam segala hal daripadanya.

“Ah” bahkan Buntal itu berdesah. Dicobanya untuk memejamkan matanya. Setelah lama ia berjuang, barulah ia berhasil pada saat ayam jantan berkokok menjelang fajar, terlena beberapa lama.

Sebenarnyalah bahwa Kiai Sarpasrana tidak mengganggu anak-anak muda yang sedang tidur nyenyak itu. Dibiarkannya saja mereka menikmati sejuknya pagi di pembaringan.

Tetapi kebiasaan ketiga anak-anak muda itu bangun pagi, telah membangunkan mereka. Yang mula-mula bangkit adalah Juwiring. Tetapi derit pembaringan yang besar itu seakan-akan telah membangunkan kedua adik seperguruannya.

“Matahari telah terbit” desis Juwiring.

“Kita agak terlambat bangun” sahut Buntal, “Marilah kita pergi ke Pakiwan”

“Pergilah kau dahulu Arum” berkata Juwiring kemudian.

Demikianlah ketiganya berganti-ganti membersihkan dirinya. Arum masih juga mengenakan pakaian laki-lakinya ketika mereka kemudian menghadap Kiai Sarpasrana di pringgitan.

Di pendapa Putut Srigunting sedang duduk bersama dua orang yang agaknya juga penghuni padepokan itu. Mereka sedang berbincang bersungguh-sungguh. Tetapi Juwiring dan kedua adik seperguruannya itu tidak mendengar, apa saja yang mereka percakapkan.

“Apakah kalian sudah tidak mengantuk?” bertanya Kiai Sarpasrana.

“Tidak Kiai. Kami sudah cukup lama tidur” jawab Juwiring, “dan perkenankanlah sekarang kami menyampaikan pesan-pesan dari guru kami”

“Tunggu, kalian belum makan pagi”

“Ah” Juwiring berdesah, “Kami tidak biasa makan pagi, Kiai”

“Tetapi kalian adalah tamuku. Kalian harus mengikuti kebiasaanku di sini”

Ketiga anak-anak muda itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam dan saling berpandangan. Mereka masih harus menyimpan pesan itu di dalam hatinya, sehingga mereka selesai makan pagi.

Baru setelah mereka selesai makan pagi, Kiai Sarpasrana berkata, “Nah, semuanya sudah selesai. Tidak ada lagi yang harus kalian kerjakan. Sekarang, katakanlah pesan gurumu itu”

Juwiring yang tertua dari ketiga murid Kiai Danatirta itu pun kemudian mengemukakan persoalan yang dibawanya. Hubungan yang mungkin dapat dijalin antara Jati Sari dan Sukawati di masa yang gawat ini.

“Apa yang diketahui oleh gurumu tentang Pangeran Mangkubumi, sehingga ia mengirimkan kalian kemari?”

“Menurut pendengaran kami, Pangeran Mangkubumi adalah, seorang yang dapat mengurai keadaan sekarang dengan sebaik-baiknya. Pangeran Mangkubumi bukan seorang yang begitu saja dapat ditakar oleh perasaannya, tetapi penilaiannya terhadap keadaan kini adalah yang paling sesuai bagi Kiai Danatirta”

“Coba katakan, apakah yang kira-kira akan dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi menurut dugaanmu atau dugaan gurumu”

“Kiai” Juwiring menarik nafas dalam-dalam, “Agaknya guru sesuai dengan sikap Pangeran Mangkubumi, bahwa Pangeran Mangkubumi tidak ingin mengorbankan harga diri kita sebagai bangsa dan merunduk di bawah kekuasaan bangsa lain”

Kiai Sarpasrana mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Gurumu dapat menilai dengan tepat. Dengan demikian maka ia tidak sekedar sedang menjajagi. Tetapi apakah gurumu sudah mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya dan Jati Aking?”

“Guru sudah menyebutnya”

Kiai Sarpasrana mengangguk-angguk pula. Tetapi agaknya masih ada yang belum memuaskan baginya, la masih merasakan sesuatu yang kurang mapan.

Setelah merenung sejenak, maka dengan hati-hati orang tua itu pun bertanya, “Menurut keteranganmu Arum adalah puteri Kiai Danatirta Tetapi siapakah kalian berdua? Maksudku, sebelum kalian menjadi murid Kiai Danatirta. Aku melihat secara lahiriah, perbedaan yang jauh dari kedua anak-anak muda ini”

Juwiring mengerutkan keningnya, sedang dada Buntal menjadi berdebaran. Pertanyaan itu seakan-akan menghadapkan dirinya pada sebuah cermin sehingga ia melihat kekurangan yang jauh pada dirinya dari Juwiring.

Namun dalam pada itu. Kiai Sarpasrana melanjutkan, “Maksudku, aku tidak membedakan siapakah kalian, karena kedua-duanya adalah murid Kiai Danatirta. Dan aku percaya bahwa Kiai Danatirta bukan anak-anak, sehingga pilihannya pun dapat dipercaya pula. Tetapi jika aku bertanya tentang kalian, justru karena aku melihat pada yang seorang ini, tetesan darah seorang bangsawan. Aku justru minta maaf, bahwa aku ingin tahu tentang hal itu, karena sikap para bangsawan yang berbeda-beda”

Juwiring lah yang kemudian menjadi berdebar-debar. Ternyata Kiai Sarpasrana adalah seorang yang teliti menghadapi persoalan ini. Namun Juwiring tidak ingin berbohong. Ia ingin mengatakan tentang dirinya dengan jujur.

“Kiai” katanya kemudian, “Aku adalah putera Pangeran Ranakusuma”

Tersirat sesuatu di wajah orang tua itu. Kiai Sarpasrana tahu benar siapakah Pangeran Ranakusuma. Meskipun ia belum pernah berhubungan secara pribadi, tetapi nama Pangeran Ranakusuma telah termasuk di dalam urutan nama para Pangeran yang tidak disukainya.

Ternyata Juwiring cukup cerdas menangkap siratan di wajah orang tua itu. Maka katanya, “Kiai, tentu Kiai sudah pernah mendengar nama ayahanda. Aku adalah puteranya yang sulung yang disingkirkan dari istana kapangeranan”

“O” Kiai Sarpasrana terkejut, “Kenapa?”

“Persoalannya adalah persoalan keluarga saja”

“Dan kau mendendam?”

“Tidak. Aku tidak menyangkutkan persoalan pribadiku dengan persoalan yang berkembang di Surakarta sekarang. Pendirianku banyak dipengaruhi oleh sikap dan pendirian guruku”

“Kenapa kau dapat berada di padepokan Jati Aking?”

“Maksud ayahanda, aku harus berguru kepada seorang yang dianggapnya mengerti masalah-masalah kajiwan. Bukan kanuragan. Paman Dipanala lah yang menunjukkan tempat itu bagiku”

Kiai Sarpasrana menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Juwiring sejenak. Lalu dipandanginya Buntal tajam-tajam. Dari sela-sela bibirnya terdengar orang tua itu berdesis, “Dan kau?”.

Buntal bergeser sejengkal. Katanya ragu-ragu, “Aku adalah anak kabur kanginan Kiai. Aku terlempar ke Jati Aking tanpa sengaja”

“O” Kiai Sarpasrana mengerutkan keningnya, dan dengan singkat Buntal pun berceritera tentang dirinya.

Kiai Sarpasrana mengangguk-anggukkan kepalanya. Kesannya memang lain dengan anak muda yang pertama. Buntal adalah anak yang seakan-akan terbuang karena ia memang kehilangan orang tuanya, tetapi Juwiring terbuang karena persoalan yang timbul di dalam keluarganya dan menyangkut orang tuanya.

Namun yang meragukan Kiai Sarpasrana adalah justru karena Juwiring adalah putra Pangeran Ranakusuma.

Juwiring agaknya dapat merasakan keragu-raguan itu. Karena itu ia mencoba untuk meyakinkan sikapnya. Katanya, “Kiai, persoalanku dengan keluargaku sudah lama aku lupakan. Aku sudah pasrah pada keadaanku, pada kemungkinan yang dapat aku capai di Jati Aking. Tetapi jika kemudian timbul sikap yang berbeda dengan ayahanda Pangeran Ranakusuma di dalam persoalan yang sedang kemelut, sama sekali tidak ada sangkut pautnya lagi dengan dendam dan tuntutan pribadi atas keluargaku”

Kiai Sarpasrana mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat kesungguhan pada wajah Juwiring, sehingga karena itu, ia pun dapat mempercayainya. Meskipun demikian ia masih juga harus bersikap hati-hati. Jika ia salah hitung, maka ia akan menyesal. Persoalan yang dihadapinya bukannya sekedar persoalan dirinya sendiri, bukan sekedar padepokan kecilnya atau bahkan Kademangan Sukawati. Tetapi persoalannya adalah persoalan kelangsungan hidup Surakarta.

Adalah jauh berbeda sikap dan pendirian Pangeran Mangkubumi dengan Pangeran Ranakusuma.

“Tetapi tentu bukannya tanpa alasan jika Kiai Danatirta telah mengirimkannya kemari” berkata Kiai Sarpasrana di dalam hatinya. Karena Kiai Danatirta tahu benar akibat yang dapat timbul jika ia salah pilih.

Namun sepercik keragu-raguan masih saja membayang di hatinya, “Bagaimanakah jika justru Kiai Danatirta itu sekarang sudah terpengaruh oleh Pangeran Ranakusuma?” Ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi pertanyaan itu dibantahnya sendiri, “Tentu tidak mungkin. Aku mengenal Kiai Danatirta dengan baik”

Juwiring pun dapat melihat keragu-raguan yang membayang pada sorot mata Kiai Sarpasrana. Tetapi ia pun dapat mengerti. Bahkan kadang-kadang ia menyesali dirinya sendiri, bahwa ia telah dilahirkan di dalam lingkungan keluarga yang tidak memberi kebanggaan sama sekali bagi tanah kelahirannya.

Dalam pada itu. Kiai Sarpasrana pun kemudian berkata, “Baiklah anak-anak. Tinggallah kalian hari ini di sini. Aku akan mempersoalkan pesan gurumu dengan orang-orang yang berkepentingan di sini. Tentu kami di sini akan menyambut dengan gembira sikap gurumu itu. Tetapi kami di sini pun harus memperhitungkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Kami tidak ingin menghambur-hamburkan korban terlampau banyak dengan hasil yang terlampau sedikit. Itulah sebabnya kami berbuat dengan hati-hati. Memang kadang-kadang anak-anak muda tidak dapat mengikuti sikap kami. Bahkan ada di antara mereka yang sudah langsung bertindak dengan kekerasan. Aku dan kami di sini menghargai sikap itu. Tetapi kami di sini ingin berbuat seperlunya dengan korban yang sekecil-kecilnya”

Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah Kiai. Kami akan tinggal di sini menunggu Kiai”

Kiai Sarpasrana tidak mengatakan kemana ia akan pergi. Dan ketiga anak-anak muda itu pun tidak akan berani bertanya kemana ia akan pergi.

Dengan demikian, maka Juwiring dan adik seperguruannya itu berada di padepokan Kiai Sarpasrana bersama Putut Srigunting dan beberapa orang murid Kiai Sarpasrana yang lain. Berbeda dengan Kiai Danatirta. maka Kiai Sarpasrana mempunyai beberapa orang murid yang berlatih dalam olah kanuragan. Tetapi mereka mempunyai kedudukan yang lain dari murid-muridnya yang sebenarnya, seperti Putut Srigunting, meskipun umurnya hampir sebaya dengan Kiai Sarpasrana sendiri.

Yang berlatih di padepokan Kiai Sarpasrana adalah beberapa orang anak muda. Mereka sekedar mempelajari tata gerak dasar secukupnya, sebagai bekal apabila mereka menghadapi bahaya. Mereka sekedar mengetahui bagaimana mereka membela diri, dan mempunyai sedikit kelebihan dari anak-anak muda yang lain. Jika mereka sudah cukup, maka mereka pun segera kembali ke rumah masing-masing dan disusul dengan serombongan anak-anak muda yang lain.

“Darimana saja mereka itu datang?” bertanya Juwiring kepada Putut Srigunting yang setiap kali mewakili Kiai Sarpasrana apabila ia berhalangan.

“Mereka adalah anak-anak muda Sukawati dan sekitarnya” jawab Srigunting.

Juwiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar bahwa Sukawati benar-benar telah mempersiapkan dirinya. Sehingga apabila benar-benar terjadi sesuatu, maka Sukawati bukannya sekedar berbuat tanpa perhitungan, tetapi Sukawati benar-benar sudah siap.

“Orang-orang asing dan prajurit Surakarta pun mengalami latihan-latihan sebelum mereka menjadi prajurit” berkata Putut Srigunting, “bahkan selama mereka bertugas, mereka masih selalu berusaha meningkatkan bekal mereka”

Juwiring dan kedua adik seperguruannya mengangguk-angguk. Dengan tidak langsung Putut Srigunting sudah memperbandingkan kekuatan anak-anak muda Sukawati dengan orang-orang asing yang berada di Surakarta.

“Menurut pendengaranku” berkata Putut Srigunting, “orang-orang asing itu mengalami penempaan yang berat sebelum mereka dikirim ke tanah ini. Itulah sebabnya, maka kita pun harus berusaha mengimbanginya, agar kita tidak sekedar mengumpankan diri pada senjata-senjata mereka yang meledak itu”

Murid-murid Jati Aking itu masih saja mengangguk-angguk.

“Dari padepokan ini, anak-anak muda itu pun masih selalu berlatih. Kami mengirimkan cantrik-cantrik terbaik dari padepokan ini untuk membantu mereka. Bahkan ada di antara mereka yang dengan tekun mesu diri di tempat yang terasing agar latihan-latihannya tidak terganggu. Dengan ilmu dasar yang mereka kuasai, kadang-kadang mereka berhasil mencapai tingkat yang mengagumkan.

“Inilah Sukawati” berkata Buntal di dalam hatinya, “yang terjadi adalah jeritan hati rakyat Surakarta yang sebenarnya karena tingkah laku orang asing”

Buntal dapat membayangkan, apa saja yang mereka lakukan ketika ia masih tinggal menghambakan diri di rumah seorang Tumenggung yang sering menerima kehadiran orang-orang asing itu di malam hari dalam kemewahan yang melimpah-limpah. Dan kini ia menyadari kemaksiatan apa saja yang sudah terjadi apabila orang-orang asing itu menjadi mabuk. Dan yang paling memuakkan adalah kesediaan sebagian bangsa sendiri untuk melayaninya.

Tetapi suasana di Sukawati adalah jauh berbeda, Di sini ia serasa hidup dalam nafas yang penuh dengan perjuangan untuk merebut masa depan yang baik. Bukan masa kini yang melimpah-limpah buat diri sendiri, tetapi sama sekali menutup kemungkinan bagi anak cucu. Di sini justru rakyat Surakarta memikirkan hari depan yang jauh. Memikirkan anak cucu yang akan merupakan kelanjutan dari hidup mereka. Jika kini mereka gagal membina masa depan itu, maka masa depan itu akan menjadi sangat suram.

Di padepokan Kiai Sarpasrana ketiga murid dari Jati Aking itu mendapat pengalaman baru. Kiai Sarpasrana dan murid-muridnya sama sekali tidak membatasi dinding padepokannya. Mereka tidak berlatih sambil bersembunyi di dalam bangsal tertutup, bahkan para cantrik dari padepokan sendiri pun hampir tidak mengetahuinya. Tetapi bangsal latihan Kiai Sarpasrana selalu terbuka. Dan itulah kelainan yang pokok dari kedua padepokan itu, dan pengaruh lingkungannya.

Sukawati seakan-akan telah mempunyai bentuk yang mantap karena daerah ini adalah daerah Palenggahan Pangeran Mangkubumi, sehingga sikap dan pendirian Pangeran Mangku-bumi merupakan sikap dan pendirian seluruh rakyat Sukawati.

“Apakah salahnya jika padepokan Jati Aking itu pun dibuka pula seperti padepokan ini?” pertanyaan itu. telah. Mem-pengaruhi hati mereka. Namun mereka pun menyadari, bahwa Jati Sari dalam keseluruhan sangat berbeda dengan Sukawati. Meskipun demikian, masih dapat. diusahakan, agar sikap dan pendirian padepokan Jati Aking dapat menjalar ke seluruh Jati Sari Apalagi apabila anak-anak mudanya berhasil dipengaruhinya menghadapi keadaan yaag bagaikan hampir meledak ini.

Demikianlah sehari-harian ketiga anak-anak muda dari Jati Aking itu sempat melihat bagaimana Putut Srigunting melatih anak-anak muda Sukawati. Mereka dikumpulkan di halaman belakang bersama-sama tidak kurang dari duapuluh orang. Mereka berlatih berpasangan ditunggui oleh empat orang murid Kiai Sarpasrana di bawah pimpinan Putut Srigunting.

“Bagaimana latihan ini dimulai?” bertanya Juwiring.

“Mereka bersama-sama harus menirukan unsur gerak pokok dari ilmu yang diturunkan oleh Kiai Sarpasrana. Jika unsur-unsur gerak itu telah mereka kuasai dengan baik, meskipun hanya pokok-pokoknya saja, maka mulailah mereka mendapat petunjuk penggunaannya dan hubungan yang dapat dijalin antara unsur gerak yang satu dengan yang lain. Dengan demikian, maka mereka mendapatkan bentuk yang mengalir dari unsur-unsur itu untuk membela diri, bukan sekedar unsur-unsur gerak yang dengan urut dapat ditirukan tanpa mengerti maknanya, karena unsur-unsur gerak ini sama sekali bukan unsur-unsur gerak tari”

Juwiring mengangguk-angguk, sedang Buntal bertanya, “Berapa lama mereka berlatih di padepokan ini?”

“Tidak tentu, tergantung dari ketekunan dan kemauan mereka masing-masing”

Ketiga murid dari Jati Aking itu masih saja mengangguk-angguk Dan Putut Srigunting itu berkata selanjutnya, “Tetapi rata-rata mereka berada di padepokan ini selama tiga bulan.

“Tiga bulan” Buntal mengulang.

“Ya. Selama tiga bulan mereka mendapatkan tuntunan pokok-pokok tata gerak dan cara mempergunakan senjata. Berkelahi seorang lawan seorang dan bertempur dalam kelompok-kelompok besar dan kecil”

“Mereka adalah prajurit-prajurit” gumam Juwiring.

“Ya. Prajurit-prajurit memang mendapat latihan selama tiga bulan sebelum mereka ditetapkan. Tetapi pada umumnya mereka sudah memiliki kemampuan dasar sebelumnya. Sedangkan anak-anak muda ini baru di sini mendapatkan pengetahuan olah kanuragan. Selebihnya mereka harus berusaha sendiri”

“Jadi bagaimana dengan mereka kemudian?” bertanya Buntal pula, “Apakah mereka puas dengan ilmu mereka yang tiga bulan ini?”

“Tidak. Seperti sudah aku katakan. Mereka memperdalam ilmu mereka di luar padepokan. Kadang-kadang kami mengirimkan seorang dua orang murid yang sebenarnya dari padepokan ini untuk berlatih bersama mereka. Ternyata bahwa tekad mereka tidak mereda. Justru semakin panas udara di Surakarta, mereka menjadi semakin keras berlatih”

Buntal mengangguk-angguk. Terbayang di dalam angan-angannya, bahwa Jati Sari pun harus berbuat seperti yang dilakukan oleh Sukawati meskipun tidak dapat menyamainya. Tetapi bahwa rakyat Surakarta harus mempersiapkan diri, semakin lama semakin diyakini oleh Buntal.

Ketika matahari kemudian menjadi semakin rendah dan langit menjadi redup, maka ketiga anak-anak muda dari Jati Aking itu pun duduk di pendapa bersama Putut Srigunting. Mereka berbicara mengenai banyak persoalan yang terjadi di padepokan itu. Namun setiap kali Juwiring atau Buntal bertanya tentang persiapan yang telah dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi, Putut Srigunting selalu mengelakkan diri. Ia selalu memutar pembicaraan kearah yang tidak menyinggung nama Pangeran itu, meskipun juga mengenai Sukawati.

Sebelum sinar matahari lenyap dari wajah langit yang suram, maka Kiai Sarpasrana telah kembali ke padepokannya. Ternyata ia tidak pergi ke tempat yang jauh. Agaknya ia hanya mengunjungi orang-orang yang dianggapnya perlu di padukuhan Sukawati.

Juwiring Hampir tidak sabar menunggu. Ketika Kiai Sarpasrana telah duduk di antara mereka, dan setelah ia meneguk semangkuk air, maka Juwiring pun segera bertanya, “Kiai, apakah Kiai bertemu dengan Pangeran Mangkubumi?”

“Pangeran Mangkubumi?” Kiai Sarpasrana mengerutkan keningnya, “Aku tidak menemui Pangeran Mangkubumi. Seandainya aku pergi menghadap pula, belum tentu Pangeran Mangkubumi ada di Sukawati”

“O, maksudku, jika bukan Pangeran Mangkubumi, tentu orang-orang penting lainnya di Sukawati”

Kiai Sarpasrana mengangguk.

“Aku sudah bertemu dengan beberapa orang dari mereka.

“Lalu, keputusan apakah yang dapat kami sampaikan kepada Kiai Danatirta”

“Keputusan? Kenapa kau bertanya tentang keputusan?”

Juwiring menjadi heran. Buntal dan Arum pun memandang wajah Kiai Sarpasrana dengan sorot mata yang mengandung pertanyaan.

“Kiai” berkata Juwiring, “Bukankah sudah kami sampaikan keinginan Jati Aking untuk ikut serta di dalam setiap gerak dan kegiatan Sukawati, karena Kiai Danatirta menyadari apakah yang sebenarnya berkembang di daerah Surakarta sekarang”

“Sudah aku katakan, kami tentu akan senang sekali. Dan ternyata bahwa orang-orang yang mendengar keinginan itu pun menyatakan kegembiraan hati”

“Jika demikian, apakah yang harus kami lakukan di Jati Aking Kiai, dan apakah yang diperintahkan oleh Pangeran Mangkubumi kepada kami atau oleh orang yang dikuasakannya”

“O, tentu Pangeran Mangkubumi atau orang-orang yang dikuasakannya tidak akan memberikan perintah apapun kepada kalian. Kalian memang harus mempersiapkan diri. Tetapi kami di sini belum dapat berbuat apa-apa atas kalian sekarang ini”

Ketiga anak-anak muda dari Jati Aking itu masih saja terheran-heran. Dan bahkan Kiai Sarpasrana itu pun berkata, “Sampaikan kepada Kiai Danatirta, agar ia sering mengirimkan utusannya kemari”

“Baiklah Kiai. Kami akan menyampaikannya kepada guru. Dan tentu kami akan sering datang ke Sukawati. Tetapi perintah apakah yang segera dapat kami lakukan?”

Kiai Sarpasrana lah yang menjadi heran. Lalu katanya, “Tentu tidak ada perintah apa-apa. Seperti yang aku katakan, satu-satunya pesan, sering datanglah kemari”

“Hanya itu?” bertanya Buntal dengan herannya.

“Itulah perintah yang kau maksud”

Ketiga anak-anak muda itu tidak mengerti. Kenapa mereka hanya sekedar harus datang setiap kali ke Sukawati. Meskipun mereka mengerti bahwa hal itu penting bagi Kiai Danatirta untuk mengetahui perkembangan keadaan. Tetapi kenapa tidak ada pesan-pesan lain yang penting bagi Jati Aking di dalam keadaan yang gawat ini.

“Sudahlah” berkata Kiai Sarpasrana, “Jangan menjadi bingung. Sampaikan saja pesanku besok jika kau kembali kepada Kiai Danatirta. Sering-sering sajalah menyuruh kalian datang kemari”

Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Ternyata memang tidak ada perintah lain. Kiai Sarpasrana tidak memberitahukan kepada mereka, apa saja yang sudah dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi di Surakarta. Dimana persiapan untuk melakukan perlawanan bersenjata jika diperlukan dan apa saja yang harus dilakukan jika Surakarta benar-benar telah dibakar oleh api pertentangan yang tidak teratasi lagi.

“Ternyata yang dipesankan oleh Kiai Sarpasrana hanyalah agar kami sering datang ke Sukawati. Hanya itu”

Tetapi ketiga anak-anak muda itu tidak dapat memaksa agar Kiai Sarpasrana berkata lebih jauh, atau memaksa untuk membawa mereka menemui orang-orang terpenting di Sukawati. Mereka harus puas dengan sekedar pesan itu. Namun hasil yang telah mereka peroleh, adalah jalan yang datar untuk melakukan hubungan selanjutnya.

Demikianlah ketiga anak-anak muda Jati Aking itu bermalam semalam lagi di padepokan Kiai Sarpasrana. Di pagi hari berikutnya mereka mohon diri untuk segera kembali ke Jati Sari. Tetapi seperti di hari sebelumnya. Kiai Sarpasrana telah memaksa mereka untuk makan pagi lebih dahulu.

“Itu adalah kebiasaan kami di sini” katanya.

Ketiga anak-anak muda itu tidak dapat menolak. Apalagi mereka sadar, bahwa perjalanan kembali akan memakan waktu sehari penuh, sehingga ada juga baiknya mereka makan pagi lebih dahulu.

Baru setelah makan, mereka meninggalkan padepokan Kiai Sarpasrana. Mereka berjalan dengan tergesa-gesa, agar mereka segera dapat menyampaikan hasil hubungan mereka dengan orang tua itu. Meskipun tidak mendapat pesan-pesan seperti yang mereka harapkan, namun mereka telah berhasil menemuinya.

Dalam pada itu, di Surakarta, para Pangeran sedang sibuk dengan hati mereka masing-masing. Beberapa orang di antara mereka telah menemukan keputusan. Namun ada di antara mereka yang terombang-ambing tidak menentu, seperti daun ilalang yang dihembus angin pusaran.

Bahkan ada yang mencoba berkayuh di dua perahu. Sebelah kakinya di sebuah perahu dan kaki yang lain berpijak pada perahu yang lain pula. Selama kedua perahu itu masih dapat meluncur searah, maka tidak akan banyak dijumpai kesulitan, tetapi jika perahu itu mulai berbeda tujuan, maka alangkah sakitnya.

Dalam suasana yang panas itu. Kumpeni seakan-akan dengan sengaja memancing persoalan. Para perwira jika berada di Surakarta, menunjukkan kelakuan yang menyakitkan hati. Mereka mengadakan bujana makan yang berlebih-lebihan. Membagi barang berharga dan memikat hati para bangsawan. Sedang terhadap rakyat kecil sikap mereka menjadi semakin angkuh dan sombong, seakan-akan rakyat Surakarta adalah penghuni rimba belantara yang tidak diperhitungkannya.

Namun sikap itulah yang mematangkan suasana. Rakyat menjadi semakin benci kepada mereka. Tetapi di antara beberapa orang Pangeran justru semakin lekat pada Kumpeni karena terdorong oleh nafsu kepentingan diri mereka sendiri semata-mata.

Bersambung Bunga di batu karang IX

Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/

Komentar

Postingan Populer