Bunga di batu karang X bag 2
Bunga di batu karang X bag 2
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Tetapi jika demikian, tentu akan merupakan kejutan yang dahsyat bagi ayahanda dan ibunda Raden Ayu Galih Warit. Apalagi kini puteri Pangeran ada di sana pula”
“Apaboleh buat” desis Pangeran Ranakusuma, “Tetapi jika aku masih saja selalu mendengar ia mengigau, aku selalu didorong oleh suatu keinginan untuk membunuhnya”
Ki Dipanala tidak segera menyahut. Teringat, sekilas pada saat ia menyebutnya untuk pertama kali di hadapan Kiai Danatirta tentang ketamakan Raden Ayu Galih Warit yang sudah berhasil mengusir madunya dari rumah Pangeran Ranakusuma sebagai seorang puteri dari seorang Pangeran yang kurang waras.
“Pangeran Sindurata memang kurang waras. Apakah memang ada semacam penyakit keturunan pada Raden Ayu Galih Warit, sehingga goncangan perasaan itu tidak tertanggungkan, dan penyakit yang semula masih tersembunyi itu tiba-tiba melonjak keluar?” bertanya Ki Dipanala kepada diri sendiri.
“Nah Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian, “siapkan kereta. Aku akan pergi mengantarkannya kepada Pangeran Sindurata”
“Pangeran Sindurata akan terkejut sekali Pangeran”
“Ia lah yang mewariskan sifat yang tidak waras itu kepada Galih Warit”
Ki Dipanala menjadi termangu-mangu. Dan tabib itu pun kemudian berkata, “Pangeran, sebaiknya Pangeran mengantar-kannya tidak di malam hari. Mungkin malam ini Pangeran dapat menjauhi Raden Ayu untuk beberapa lamanya sementara Pangeran dapat memerintahkan menyelenggarakan jenazah Raden Rudira.”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Apa yang dapat aku lakukan agar Galih Warit Tidak mengigau terus menerus. Apalagi jika ada orang lain di dalam bilik ini”
Tabib itu menarik nafas dalam-dalam.
“Katakan, apakah kau dapat melakukannya?”
“Hamba tidak berani mencoba tuan. Jika hamba berbuat kesalahan, maka akibatnya, hamba akan dapat menjadi seorang pembunuh”
“Persetan. Aku tidak minta kau membunuhnya. Tetapi jika itu terjadi, bukan salahmu”
“Ampun Pangeran, hamba tidak berani melakukannya”
“Lakukan, lakukanlah. Katakanlah kepada dirimu sendiri bahwa kau tidak berniat untuk membunuhnya. Kau membuatnya tertidur untuk beberapa lamanya, sementara itu, biarlah orang-orang membersihkan tubuh Rudira dan menyelenggarakan sebaik-baiknya. Usahakan agar Galih Warit tidak segera terbangun di pagi hari agar aku dapat mengantarkannya selagi ia masih tertidur nyenyak”
“Ampun Pangeran, tugas ini terlampau berat bagi hamba”
“Kau adalah seorang tabib. Jika kau tidak dapat memperguna-kan caramu, aku akan mempergunakan caraku. Aku dapat mematikan syaraf kesadarannya untuk beberapa saat dengan sebuah pukulan pada punggungnya bagian atas atau memijit tengkuknya. Tetapi itu adalah cara yang dilakukan oleh seorang prajurit. Bukan oleh seorang tabib. Karena di sini ada seorang tabib, maka lakukanlah. Kita sama-sama menghadapi kemungkinan yang serupa. Jika aku yang melakukannya, kemungkinan itu pun dapat terjadi, bahwa ia tidak akan bangun untuk selama-lamanya?”
Tabib itu menjadi ragu-ragu.
“Baiklah. Jika kau masih tetap pada pendirianmu, biarlah aku yang melakukannya. Mudah-mudahan tulang belakangnya tidak patah karenanya”
“Pangeran” Ki Dipanala bergeser setapak ketika Pangeran Ranakusuma melangkah maju mendekati isterinya yang sedang bermain-main dengan ujung bajunya tanpa menghiraukan persoalan yang sedang diperbincangkan oleh orang-orang yang ada di dalam bilik itu.
“Apakah kau yang ingin melakukannya?”
“Tidak Pangeran. Tetapi apakah Raden Ayu Galih Warit tidak terlalu lemah untuk mengalami perlakuan yang keras itu?”
“Karena itu, aku harapkan ada jalan lain. Jika tabib itu mau melakukannya, biarlah ia mencobanya”
“Tetapi, tetapi . . “ tabib itu ragu-ragu.
“Maksudmu, kau tidak mau bertanggung jawab jika Galih Warit tidak mau bangun lagi untuk selamanya?”
“Bukan tidak mau bertanggung jawab Pangeran. Tetapi hamba tidak berani melakukannya”
“Lakukanlah atas namaku. Aku akan bertanggung jawab apapun yang akan terjadi. Jika kemudian terjadi peristiwa yang tidak kau ingini itu, biarlah aku yang diseret ke depan pengadilan Istana Surakarta. Dipanala menjadi saksi”
“Bukan saja oleh pengadilan di Surakarta, Pangeran”
“Maksudmu jika ada dosa yang terjadi atas perbuatan itu? Kau tentu yakin, bahwa kau tidak berbuat salah. Aku pun tidak. Yang terjadi adalah kecelakaan”
“Mungkin kita dapat berkata demikian justru kepada pengadilan di Surakarta Pangeran. Tetapi tentu tidak kepada Yang Maha Kuasa”
“Yang Maha Kuasa tentu melihat, bahwa kita benar-benar tidak ingin membunuhnya”
Tabib itu masih tetap ragu-ragu. Namun tentu hal itu lebih baik daripada jika Pangeran Ranakusuma sendiri yang melakukan dengan sebuah hentakkan atau pukulan pada punggungnya.
Karena itu, betapapun juga beratnya, maka ia pun terpaksa mencobanya. Tetapi memang dengan niat di dalam hatinya, bahwa ia ingin membuat Raden Ayu Galih Warit itu tertidur sejenak. Bukan membunuhnya. Dan ia masih mengharap bahwa Raden Ayu Galih Warit itu akan terbangun.
Demikianlah, maka tabib itu pun kemudian membuat reramuan yang sedikit lebih keras dari yang sudah dipergunakannya. Namun ia tidak dapat menentukan, berapa lamanya obatnya itu akan mem pengaruhi kesadaran Raden Ayu Galih Warit. Ia pernah mempergunakan obat serupa itu untuk seseorang yang karena suatu kecelakaan harus memotong kakinya. Tetapi begitu parah keadaannya, maka pada waktu itu tabib itu melakukannya dengan tanpa pilihan. Jika tidak, orang itu tentu akan mati, tetapi jika dilakukannya, maka masih ada harapan meskipun terlampau kecil. Tetapi waktu itu ia berhasil, dan orang itu kemudian dapat sadar kembali setelah beberapa lamanya ia tidak dapat mengingat sesuatu lagi.
Sejenis dedaunan yang seolah-olah dapat membius dicampur dengan serbuk sejenis kulit kayu telah dipergunakan. Dengan hati-hati obat yang sudah dicairkannya dengan air itu pun kemudian diberikannya kepada Raden Ayu Galih Warit.
“He, apakah ini?” bertanya Raden Ayu itu.
“Minuman Raden Ayu?”
“Minuman keras?”
“Bukan, bukan minuman keras”
Raden Ayu itu tertawa. Katanya, “Aku jera meneguk minuman keras. Aku jadi mabuk dan aku tidak ingat apa-apa lagi. Tidak ingat apa yang dilakukan oleh Setepen yang kasar itu”
“Gila” Pangeran Ranakusuma hampir berteriak, “bunuh saja perempuan itu”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apapun juga.
“Raden Ayu” berkata tabib itu, “ini adalah obat yang paling baik bagi Raden Ayu, agar Raden Ayu tetap awet muda”
“He” Raden Ayu Galih Warit itu tertawa. Tetapi suara tertawanya lepas seperti tertawa perempuan yang sering menyusuri jalanan. Bukan tertawa seorang perempuan bangsawan.
“Kau tahu bahwa aku ingin tetap awet muda? Dan aku ingin tetap awet muda sampai suamiku berhasil menjadi seorang Senapati Agung di Surakarta”
“Bungkam mulutnya, bungkam mulutnya” Pangeran Ranakusuma benar-benar tidak dapat menahan perasaannya.
“Siapakah orang itu? Kenapa ia berteriak-teriak?”
“Sudahlah Raden Ayu. Silahkan minum obat ini. Bukan saja obat ini akan membuat Raden Ayu awet muda, tetapi juga membuat Raden Ayu sehat dan tidak mudah menjadi sakit”
“Uh, kau tentu akan meracun aku. Kau tentu ingin membunuh aku karena kau iri hati?” Raden Ayu itu tertawa berkepanjangan sambil berkata, “Jangan berbuat begitu. Aku tidak mau kau racun”
“Tentu bukan racun Raden Ayu. Kenapa hamba harus meracun Raden Ayu? Bukankah hamba ini abdi yang paling setia?”
“He” Raden Ayu Galih Warit memandang tabib itu dengan tajamnya, namun Raden Ayu itu tidak dapat mengenalnya. Katanya, “Aku belum mengenalmu. Jangan berpura-pura. Pergi, pergi dari ruangan ini. Nanti jika Dungkur datang, kau tentu akan dibunuhnya”
“Persetan” Pangeran Ranakusuma menggeram. Namun Ki Dipanala segera mendekatinya sambil berkata, “Biarlah tabib itu berusaha Pangeran”
Dan tabib itu pun kemudian menjawab, “Raden Ayu, inilah obat yang dikirimkan oleh Dungkur itu. Tentu Raden Ayu akan senang sekali menerimanya. Obat ini memang khusus dibuat di negerinya untuk Raden Ayu, karena bagi Dungkur perempuan sebangsanya tidak ada yang secantik Raden Ayu”
“Benar begitu?”
“Hamba Raden Ayu, cobalah”
Raden Ayu itu tertawa, sementara dada Pangeran Ranakusuma serasa akan retak.
Namun Raden Ayu Galih Warit itu menerima mangkuk berisi cairan itu. Kemudian dipandanginya beberapa lamanya. Lalu ia pun bertanya, “Kau tidak bohong?”
“Silahkan minum”
Tetapi Raden Ayu itu pun masih juga ragu-ragu, sehingga Ki Dipanala maju beberapa langkah dan berkata, “Sebenarnyalah Raden Ayu”
Raden Ayu Galih Warit memandang Dipanala sejenak, lalu, “Kau siapa?”
“Dipanala. Dipanala Raden Ayu”
“O” Raden Ayu itu tertawa, “Kau Dipanala. Kau sudah tahu semua rahasiaku. Tetapi Dipanala siapa?”
Ki Dipanala menjadi termangu-mangu. Namun katanya, “Hambalah yang membawa obat itu bagi Raden Ayu. Tentu Raden Ayu akan meminumnya. Bukankah jika Raden Ayu awet muda, Pangeran Ranakusuma akan selalu mencintai Raden Ayu apapun yang terjadi”
“Gila” geram Pangeran Ranakusuma.
Raden Ayu itu tertawa. Kemudian dengan kedua tangannya ia memegangi mangkuk itu. Perlahan-lahan mangkuk itu diangkatnya dan perlahan-lahan pula dilekatkannya di mulutnya.
“Tidak mau” tiba-tiba saja ia bergumam.
“Tentu, silahkan, silahkanlah Raden Ayu. Adalah menjadi idaman setiap perempuan untuk mendapat obat seperti itu, dan kini Raden Ayu sudah mendapatkannya. Silahkan, silahkan” tabib itu bagaikan berbisik di telinga Raden Ayu Galih Warit.
Raden Ayu Galih Warit yang sedang dalam keadaan terganggu kesadarannya itu sejenak termangu-mangu. Tetapi kata-kata dukun itu seakan-akan langsung menghunjam ke hatiNya. Karena itu tanpa pengamatan pikiran, tangan Raden Ayu Galih Warit itu terangkat, dan obat itu pun diminumnya. Bukan sekedar obat yang membuatnya tidur sesaat. Tetapi obat itu adalah obat yang menghentikan segala kegiatan nalar dan perasaannya untuk beberapa lamanya, seperti yang dikehendaki oleh Pangeran Ranakusuma, sampai besok menjelang pagi karena Raden Ayu Galih Warit itu akan dibawa dalam keadaan tidak sadar ke rumah orang tuanya. Karena itu maka yang diberikan di dalam reramuan itu bukan sekedar kulit bagian dalam buah pala.
Dengan tegang tabib itu menunggu apa yang akan terjadi pada Raden Ayu Galih Warit setelah minum obatnya itu. Demikian pula agaknya Ki Dipanala dan Pangeran Ranakusuma sendiri.
Sesaat Raden Ayu Galih Warit masih berdiri. Kemudian tampak keningnya berkerut merut. Agaknya pengaruh obat itu mulai terasa di kepalanya yang kosong.
Ketika Raden Ayu Galih Warit mulai terhuyung-huyung, maka tabib itu pun membimbingnya ke pembaringan.
“Siapa kau he?” suara Raden Ayu itu menjadi lambat, “Apakah kau Dungkur. He, jangan paksa aku ke pembaringan. Kepalaku agak pening. Oh” suaranya terputus.
Demikian Raden Ayu Galih Warit terbaring, maka matanya pun mulai terpejam. Tetapi masih terdengar ia bergumam, “Aku tidak minta apa-apa. Sekali ini aku minta senjata yang dapat meledak itu. Rudira harus mempunyainya. Dan ia harus membunuh musuh-musuhnya. Ia harus membunuh Dipanala yang mengetahui segala rahasiaku. Membunuh Juwiring supaya warisan ayahnya tidak terbagi, membunuh orang yang selalu membayanginya dengan rahasia yang gelap, petani dari Sukawati itu”
“O” Pangeran Ranakusuma menutup kedua belah telinganya dengan kedua telapak tangannya. Meskipun suara itu sudah sangat lemah, namun masih juga dapat didengar dengan jelas. Dipanala pun mendengarnya pula.
Tabib itu menarik nafas dalam-dalam. Itulah rahasia yang tersimpan di dalam diri Raden Ayu Galih Warit, yang semakin lama suaranya menjadi semakin lambat, dan akhirnya hilang sama sekali.
“Mudah-mudahan ia tidak akan bangun lagi” desis Pangeran Ranakusuma.
“Jangan Pangeran. Hamba masih mengharap bahwa hamba bukan pembunuh”
Pangeran Ranakusuma memandang tabib itu sejenak, lalu katanya, “Bawalah perempuan itu menyingkir dari bilik ini”
Tabib itu termangu-mangu sejenak, karena ia tidak begitu pasti pada perintah itu. Dan karena itulah maka Pangeran Ranakusuma mengulangi perintahnya, kali ini kepada Dipanala, “Bawa ia menyingkir Dipanala”
Ki Dipanala menelan ludahnya. Namun kemudian ia bertanya, “Hamba harus membawanya kemana Pangeran”
“Bawa ke bilik Warih. Tutup pintunya dan uruslah Rudira”
“Hamba tuanku. Tetapi apakah setelah Raden Ayu dibaringkan di pembaringan Raden Ajeng, hamba boleh memanggil para abdi yang lain untuk menyelenggarakan jenazah Raden Rudira”
“Lakukanlah mana yang baik menurut pikiranmu dan tabib itu”
Ki Dipanala pun kemudian bersama-sama tabib itu mengangkat tubuh Raden Ayu Galih Warit yang telah kehilangan kesadarannya sama sekali. Dengan hati-hati tubuh itu pun kemudian diletakkannya di pembaringan Rara Warih.
Dalam pada itu, Ki Dipanala sempat berbisik, “Kenapa kau ragu-ragu memberikan obat ini? Bukankah kau sudah mengatakan bahwa kau dapat memaksa Raden Ayu diam dengan semacam obat yang dapat membuatnya tidur, tetapi justru setelah Pangeran Ranakusuma memerintahkan kepadamu, kau berusaha menolak?”
“Aku ingin membagi tanggung jawab” jawab tabib itu, “Sebenarnyalah bahwa aku memang ragu-ragu. Apalagi yang diminta oleh Pangeran Ranakusuma bukan sekedar obat yang membuatnya tidur untuk beberapa saat. Tetapi benar-benar sejenis obat yang dapat membiusnya untuk waktu yang lama. Dan itu agak berbahaya bagi Raden Ayu”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian menyadari betapa keragu-raguan dan kegelisahan yang bergejolak di dalam hati tabib itu. Di satu pihak ia memang ingin membantu menenangkan hati Pangeran Ranakusuma dengan memaksa Raden Ayu Galih Warit untuk diam, namun di lain pihak ia selalu dibayangi oleh kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan yang dapat terjadi atas Raden Ayu itu.
Namun obat itu telah diminum oleh Raden Ayu Galih Warit. Dan kini Raden Ayu itu sudah terbaring diam.
Setelah menyelimutinya dan kemudian menutup pintu bilik itu, keduanya kembali menghadap Pangeran Ranakusuma yang masih berdiri termangu-mangu di bilik anak laki-lakinya. Sedang anak laki-lakinya itu kini sedang terbujur membeku di bilik isterinya.
Ketika ia melihat kedua orang itu, maka katanya, “Sekarang uruslah Rudira. Yang terjadi adalah akhir yang berlawanan dari yang aku harapkan selama ini. Dan aku memang harus menanggungkannya”
Kata-kata itu memuat penyesalan yang luar biasa di dalam hati
Pangeran Ranakusuma. Tetapi sebagai seorang laki-laki Pangeran Ranakusuma sadar, bahwa ia tidak boleh tenggelam terlalu dalam di genangan perasaannya saja. Semuanya harus diselesaikan. Jenazah anak laki-lakinya, mayat Mandra yang ternyata telah berkhianat dan isterinya yang terganggu jiwanya.
Ki Dipanala dan tabib itu berdiri saja mematung. Dan Pangeran Ranakusuma berkata seterusnya, “Dipanala, mungkin kau menganggap bahwa keluarga kami selama ini bersikap pura-pura terhadapmu. Kami bersikap baik dan kadang-kadang harus mendengar kata-katamu bukan karena kami sependapat dengan kau, tetapi karena kami merasa tidak dapat menentang kehendakmu. Kami ternyata masing-masing mempunyai rahasia yang kau ketahui. Yang kami masing-masing menjadi cemas, jika kau pada suatu saat akan membuka rahasia itu. Sehingga pada puncak kebingungannya Galih Warit telah berusaha membunuh-mu dengan mempergunakan tangan Rudira dan orang-orangnya. Tetapi usaha itu ternyata gagal. Dan kau masih tetap hidup. Bahkan kau telah berbuat sesuatu yang justru membuat aku merasa terlalu kecil” Pangeran Ranakusuma terhenti sejenak, lalu, “Dipanala, sekarang aku berkata sebenarnya. Bukan karena kau mengetahui rahasia diriku karena aku tidak perlu lagi cemas bahwa Galih Warit akan mengetahuinya, atau bahkan Pangeran Sindurata sendiri. Tetapi aku berkata dengan jujur, bahwa aku menyerahkan semua persoalan tentang Rudira dan Mandra kepadamu. Kau dapat berbuat apa saja yang baik bagi penyelenggaraan jenazah itu. Jika kau membutuhkan sesuatu, kau dapat mengambil sendiri di dalam kotak di bilikku. Maksudku, beaya dari upacara pemakaman Rudira dan Mandra”
“Pangeran”
“Ternyata tidak ada orang lain yang dapat aku percaya kecuali kau. Barangkali aku sendiri tidak akan mampu memikirkan apakah yang sebaiknya aku lakukan”
“Tetapi Pangeran, sebenarnyalah hamba sudah merasa bahwa pada saat itu, seakan-akan hamba telah melakukan pemerasan terhadap Pangeran sehingga kadang-kadang pendapat hamba dengan terpaksa sekali tuan dengarkan. Namun demikian, terasa pula kebencian Raden Rudira terhadap hamba sehingga para abdi di istana ini pun sebagian terbesar tidak akan percaya kepada hamba”
“Aku yang akan memerintahkan kepada mereka tunduk kepadamu sebagai orang yang mendapat limpahan wewenang daripadaku sendiri”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam.
“Nah, lakukanlah. Kasihan tubuh Rudira yang sudah terlampau lama terbaring. Bagiku, kini tidak ada lagi yang ingin aku lakukan lagi kecuali mengubur Rudira sebaik-baiknya. Aku tidak akan bermimpi lagi menjadi orang terpenting di Surakarta karena justru keinginanku itulah yang telah merampas semuanya daripadaku. Aku tidak memerlukan lagi Galih Warit, aku tidak memerlukan lagi pengaruh dari kumpeni dan aku tidak memerlukan lagi kedudukan apapun”
Ki Dipanala menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut.
“Nah, panggillah beberapa orang pelayan dan kumpulkan mereka di ruang belakang. Aku akan berbicara kepada mereka” Pangeran Ranakusuma itu berhenti sejenak, lalu katanya kepada tabib yang masih berdiri mematung, “Kau tinggal di sini. Kau bantu aku besok pagi-pagi benar membawa Galih Warit kembali ke rumahnya. Jika terjadi sesuatu, mungkin kau dapat berusaha untuk menolongnya. Tetapi jika tidak berhasil, apaboleh buat. Aku tidak akan menyesal”
Tabib itu menarik nafas dalam-dalam. Hampir tidak terdengar ia menyahut, “Baik Pangeran. Hamba akan melakukannya”
“Sementara ini kau dapat membantu Dipanala”
“Ya Pangeran”
“Nah, sekarang, panggillah pelayan-pelayan itu”
Ki Dipanala pun kemudian pergi ke belakang istana Pangeran Ranakusuma. Dengan nada yang dalam, ia memberitahukan bahwa para pelayan dalam dipanggil menghadap di ruang belakang.
Para pelayan memandang Ki Dipanala dengan wajah yang aneh. Sebagian dari mereka sudah tidak dapat mempercayainya lagi karena Dipanala adalah orang yang tidak disenangi. Lebih-lebih lagi mereka tahu benar bahwa Raden Rudira membenci orang itu setengah mati.
Ki Dipanala yang memang merasa dirinya dibenci oleh orang-orang dalam, meskipun mereka tidak tahu persoalannya, mencoba menjelaskan, “Aku kali ini hanya menjalankan perintah”
Pelayan-pelayan itu termangu-mangu sejenak. Seorang yang mendengar ceritera emban dan pelayan yang memasuki bilik Raden Ayu Galih Warit tetapi tidak tahu persoalannya dengan pasti bertanya, “Apakah sebenarnya yang terjadi?”
“Masuklah, Pangeran Ranakusuma akan memberikan penjelasan kepada kalian”
“Apakah benar Raden Rudira telah meninggal?”
Ki Dipanala termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Biarlah Pangeran Ranakusuma saja yang mengabarkan hal itu kepadamu”
“Kami hanya ingin tahu, apakah Raden Rudira meninggal?” Ki Dipanala tidak dapat mengelak. Katanya, “Ya, Raden Rudira meninggal”
“Siapakah yang membunuhnya?” desak yang lain.
“Sudah aku katakan, biarlah Pangeran Ranakusuma mem-beritahukan kepada kalian. Aku pun tidak tahu pasti. Karena itu, agar tidak terjadi salah paham, maka Pangeran memanggil kalian memang untuk keperluan itu. Pangeran akan memberitahukan sebab kematian Raden Rudira dan Mandra”
“Kau membunuhnya” tiba-tiba seorang kawan Mandra yang paling akrab bertanya.
Ki Dipanala menggeleng, “Aku tidak dapat membunuh seseorang tanpa sebab”
“Jadi kau membunuhnya” tiga orang berbareng bertanya.
“Cepat, masuklah ke ruang belakang. Jika Pangeran marah karena kalian tidak segera menghadap, dalam keadaan yang pedih seperti sekarang, dapat saja ia mengambil tindakan yang tidak menguntungkan kalian”
“Jawab pertanyaan kami” teriak seseorang.
Ki Dipanala menjadi termangu-mangu. Orang-orang itu agaknya benar-benar telah mencurigainya. Namun agaknya, seandainya ia berkata sebenarnya pun mereka tidak akan percaya. Karena itu maka sekali lagi ia menjawab, “Jangan memaksa aku. Nanti Pangeran Ranakusuma akan menjawab pertanyaanmu itu”
“Jangan sombong Dipanala” teriak yang lain, “Kau memang pandai berbicara. Mungkin kau sekarang dapat juga membujuk Pangeran, sehingga kau mendapat kepercayaan. Setiap kali kau memang berhasil membujuknya, bahkan kadang-kadang kau berhasil merubah keputusan yang sudah dijatuhkan oleh Pangeran Ranakusuma. Tetapi kami sudah muak. Kau adalah seekor ular yang berkepala dua. Kau menggigit Raden Rudira, tetapi kau sempat menjilat untuk mendapatkan kepercayaan. Jika kau masih tetap seperti sekarang, kamilah yang akan membunuhmu”
Wajah Dipanala menjadi merah padam. Hampir saja ia kehilangan kesabaran. Namun ia masih mencoba untuk menahan diri dan berkata, “Kalian kehilangan nalar yang bening. Tetapi aku hanya mendapat perintah untuk memanggil kalian. Karena itu aku tidak berani melanggar perintah itu dan berbuat sesuatu melampaui tugas yang diberikan kepadaku”
“Bohong, bohong” teriak orang-orang itu sahut menyahut.
Ki Dipanala tidak mau melayaninya lagi. Jika demikian maka keadaannya tentu akan menjadi kacau. Karena itu, maka ia tidak menghiraukannya lagi. Ditinggalkannya orang-orang itu sambil berkata, “Terserah kepada kalian, apakah kalian masih mau mematuhi perintah Pangeran Ranakusuma atau tidak”
Ketika Ki Dipanala memasuki pintu masih terdengar beberapa orang berteriak, “Berhenti, berhenti. Jawab pertanyaan kami”
Tetapi Ki Dipanala tidak menghiraukannya lagi.
Sepeninggal Ki Dipanala para pelayan itu menjadi termangu-mangu. Di antara mereka adalah beberapa orang pengiring Raden Rudira jika Raden Rudira pergi berburu atau pergi kemanapun yang agak berbahaya baginya.
“Orang itu benar-benar gila. Ia berhasil menjilat melampaui orang lain meskipun tampaknya ia tidak disukai. Agaknya Raden Rudira merupakan penghalang baginya, sehingga dengan licik Raden Rudira dan Mandra sekaligus dibinasakan. Kita tidak tahu, alasan apakah yang dikatakannya kepada Pangeran, sehingga ia justru mendapat kepercayaan”
“Marilah kita menghadap. Kita akan mendengar penjelasan itu, dan agar Pangeran tidak marah kepada kita. Mungkin Ki Dipanala dapat membumbuinya, dan mengatakan yang tidak sebenarnya, bahkan berlawanan. Gagak disebutnya bangau dan bangau dikatakannya gagak”
“Ya, lebih baik kita menghadap. Mudah-mudahan Pangeran mendengarkan suara kita”
“Kita bersama-sama akan menyampaikan kebenaran tentang orang itu”
“Ya. Orang itu memang harus digantung karena ia telah membunuh dua orang sekaligus”
Demikianlah para pelayan dan pengawal Raden Rudira itu pun kemudian memasuki ruang belakang dan duduk berdesak-desakan di lantai menunggu kehadiran Pangeran Ranakusuma.
Namun dalam pada itu, selagi mereka sedang mereka-reka tuduhan yang paling baik untuk menggantung Ki Dipanala. beberapa orang di antaranya bertanya kepada diri sendiri, “Apakah benar Dipanala telah melakukannya? Dan apakah benar-benar Ki Dipanala pantas melakukannya? Sebelum peristiwa akhir-akhir ini, Ki Dipanala adalah orang yang berpikir bening. Ia bukan sejenis orang yang dapat berbuat licik”
Meskipun demikian orang-orang yang masih dapat membedakan sikap dan perbuatan seseorang itu tidak mengatakannya kepada orang lain, karena suasananya memang tidak menguntungkan.
Sejenak kemudian Pangeran Ranakusuma pun memasuki ruangan belakang diiringi oleh Ki Dipanala dan tabib yang telah gagal mencoba menyelamatkan jiwa Raden Rudira, serta telah mengetahui serba sedikit rahasia yang tidak dapat dikekang meloncat dari mulut Raden Ayu Galihwarit.
Para abdi itu pun kemudian menundukkan kepala mereka dalam-dalam ketika Pangeran Ranakusuma sudah duduk di hadapan mereka. Mereka hanya dapat menunggu apa yang akan dikatakannya.
Pangeran Ranakusuma memandang mereka sejenak. Para abdi itu adalah para abdi yang setia. Tetapi tentu ada di antara mereka sekedar mengabdi karena ingin mendapat nafkah dan bahkan tentu ada orang yang mempunyai pertimbangan seperti Mandra meskipun dalam bentuk yang lebih kecil, yang tidak segan-segan meninggalkan pekerjaannya di istana ini jika ada kesempatan yang lebih baik baginya.
Baru sejenak kemudian Pangeran Ranakusuma itu berkata langsung pada persoalannya, “Rudira telah meninggal”
Beberapa orang di antara para abdi itu mengangkat wajahnya. Namun wajah-wajah itu pun segera tertunduk kembali.
“Seperti kalian mengetahui, Mandra pun sudah mati”
Kepala para abdi itu pun terangguk-angguk.
“Tentu kalian bertanya, kenapa mereka mati”
Kepala itu pun terangguk-angguk lagi.
“Mandra telah dibunuh oleh Dipanala”
Serentak orang-orang itu mengangkat wajah mereka. Bahkan beberapa di antara mereka bergeser sejengkal. Kemudian dengan mata yang bagaikan menyala mereka memandang wajah Dipanala yang berkerut-merut.
“Apakah kalian tidak bertanya kenapa Mandra telah dibunuh oleh Ki Dipanala?”
Hampir serentak para pelayan itu menjawab, “Hamba Pangeran. Hamba ingin tahu, apakah sebabnya”
Pangeran Ranakusuma memandang Ki Dipanala sejenak. Lalu katanya, “Mereka bertempur di tengah jalan”
Terdengar suara bergeramang. Lalu mereka terdiam ketika Pangeran Ranakusuma melanjutkan, “Ternyata bahwa Mandra tidak dapat memenangkan pertempuran itu sehingga ia justru terbunuh”
Wajah-wajah itu menjadi tegang. Pangeran Ranakusuma belum menjawab, kenapa Ki Dipanala bertempur dan membunuh Mandra. Tetapi mereka sudah menetapkan, bahwa Ki Dipanala memang akan membunuh Raden Rudira, sedangkan Mandra mencoba menyelamatkannya.
Tetapi orang-orang itu terkejut bukan buatan, dan bahkan mereka tidak percaya Kepada pendengarannya ketika Pangeran Ranakusuma berkata, “Mandra dibunuh oleh Dipanala karena Mandra berkhianat dan membunuh Rudira dengan meminjam tangan orang lain”
Wajah-wajah yang tegang itu menjadi bertambah tegang. Dengan mulut ternganga mereka saling berpandangan sejenak. Lalu mereka mendengar Pangeran Ranakusuma berkata selanjutnya, “Ternyata Mandra telah menjual Rudira kepada orang asing. Kalian tidak usah bertanya apakah sebabnya, namun Mandra ingin mendapat hadiah yang banyak dan kedudukan yang baik di dalam lingkungan orang asing itu”
Sejenak mereka merenungi kata-kata itu. Namun beberapa orang di antara mereka segera berkata di dalam hatinya, “Nah, bukankah Dipanala telah memutar balik keadaan. Gagak dikatakan bangau dan bangau dikatakannya gagak. Yang hitam dikatakan putih dan yang putih dikatakannya hitam”
Dalam pada itu Pangeran Ranakusuma berkata terus, “Dalam usaha itulah, Dipanala dapat mengetahuinya meskipun agak terlambat, sehingga akhirnya Mandra terbunuh olehnya. Tetapi Rudira pun tidak lagi dapat diselamatkan”
Beberapa orang abdi mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di antara mereka, terutama para pengiring Raden Rudira menganggap bahwa Ki Dipanala lah yang sudah memfitnah Mandra. Karena itu maka mereka menjadi gelisah karenanya.
Agaknya Pangeran Ranakusuma melihat kegelisahan itu, sehingga ia pun bertanya, “Apakah ada yang akan mengatakan sesuatu?”
Untuk beberapa saat tidak ada seorang pun yang berbicara. Namun kemudian salah seorang yang tidak dapat menahan perasaannya bergeser sedikit sambil berkata, “Ampun Pangeran. Apakah yang dikatakan oleh Ki Dipanala itu dapat dipercaya sepenuhnya?”
“Apa yang dikatakan oleh Dipanala?”
“Bahwa Mandra telah berkhianat?”
“Siapakah yang mengatakan bahwa hal itu diceriterakan oleh Dipanala?”
Orang itu menjadi tergagap. Namun ia pun menjawab, “Ampun Gusti. Bukankah Gusti mengatakan, bahwa Dipanala melihat usaha pengkhianatan itu”
“Ya”
“Dan, apakah hal itu dapat hamba artikan bahwa Ki Dipanala yang kemudian membawa jenazah Raden Rudira dan mayat Mandra, telah menceriterakan peristiwa itu”
“Kau tahu bahwa Rudira masih hidup waktu dibawa pulang. Dan aku telah memanggil tabib untuk mengobatinya”
“Hamba Pangeran”
“Nah, kenapa kau memastikan bahwa Ki Dipanala lah yang telah menceriterakan hal itu kepadaku”
“Ampun Gusti”
“Yang mengatakan semuanya itu adalah Rudira. Rudira sendiri”
Orang-orang itu tercenung sejenak. Mereka benar-benar diombang-ambingkan oleh kebimbangan dan keragu-raguan untuk mempercayai pendengaran mereka sendiri.
“Kenapa kalian menjadi bingung. Dengar. Mandra telah berkhianat dengan menjerumuskan Rudira, sehingga seorang asing telah menembaknya. Tetapi ternyata Rudira tidak mati seketika. Ia masih mempunyai kesempatan untuk berusaha menyelamatkan dirinya. Ternyata bahwa Mandra tidak membiarkannya. Mandra berusaha untuk membunuh Rudira dengan pedang, kemudian menghilangkan bekas luka peluru dengan pedangnya pula. Setelah itu, ia akan melemparkan tubuh Rudira ke tempat yang sepi, atau jika. mungkin di sepanjang bulak Jati Sari sehingga dapat menimbulkan kesan bahwa Juwiring telah terlibat. Nah, apakah kalian percaya? Rudira sendiri mengatakannya. Dipanala lah yang menyelamatkan Rudira dari pedang Mandra dan membunuhnya. Kemudian membawa tubuh Rudira yang terluka parah itu kembali” Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak lalu, “Siapa yang tidak percaya? Siapa yang menganggap bahwa Mandra tidak bersalah?”
Wajah-wajah itu menjadi tertunduk dalam-dalam. Terlebih-lebih orang yang sudah memberanikan diri bertanya tentang kebenaran ceritera itu.
“Nah, siapa yang tidak percaya kepada ceriteraku, aku beri kesempatan untuk meninggalkan rumah ini. Aku beri kesempatan untuk membawa mayat Mandra yang dianggapnya sebagai seorang pahlawan. Siapa, ayo siapa?”
Wajah-wajah yang tunduk itu menjadi semakin tunduk.
Dan Pangeran Ranakusuma pun kemudian berkata, “Jika tidak ada, maka kalian sudah mengetahui persoalannya dengan pasti. Nah, sekarang kalian akan menyelenggarakan jenazah Rudira. Semuanya aku serahkan kepada Dipanala dan tabib ini. Aku menjadi terlampau bingung untuk berbuat sesuatu” Pangeran Ranakusuma berhenti sejenak, lalu, “Terserahlah kepada kalian apakah yang akan kalian lakukan terhadap mayat Mandra”
Tidak seorang pun yang kemudian berani mengangkat wajahnya. Mereka mengerti, di balik kata-kata yang keras itu sebenarnya tersembunyi perasaan yang pedih. Sangat pedih.
Pangeran Ranakusuma pun terdiam pula sesaat. Beberapa kali ia menelan ludahnya. Disekanya keringatnya yang membasah di kening.
“Aku akan berada di pendapa. Jika kau memerlukan aku, aku ada di sana Dipanala” berkata Pangeran Ranakusuma kemudian.
Pangeran Ranakusuma tidak menunggu jawaban Ki Dipanala. Ia pun kemudian berdiri dan meninggalkan ruang belakang itu kembali ke pendapa dan duduk di tempatnya semula merenungi malam yang gelap.
“Nah, marilah. Kita harus menyelenggarakan tubuh Raden Rudira. Lukanya tidak begitu besar, tetapi agaknya justru karena ia terbanting dari punggung kudanya yang lari kencang dan darah yang mengalir dari lukanya itu, nyawanya tidak tertolong lagi”
Para pelayan itu pun tiba-tiba menyadari keadaan yang sebenarnya. Merekapun kemudian berebut dahulu menyediakan kelengkapan untuk jenazah Raden Rudira. Mereka seakan-akan tidak mau mengingat lagi, bahwa di samping Raden Rudira, masih ada juga. Mandra.
Tetapi mereka tidak dapat membiarkan mayat Mandra terbaring di tempatnya. Merekapun harus menyediakan sepotong kain putih untuknya.
Dalam pada itu, malam pun menjadi semakin dekat menjelang fajar. Pangeran Ranakusuma masih saja duduk di pendapa, seakan-akan tidak ada lagi niatnya untuk berdiri, dan masuk ke dalam istananya yang megah itu. Seakan-akan dunianya sudah menjadi buram dan lampu-lampu tidak dapat menyala lagi dengan terang.
Setelah semuanya selesai, maka jenazah Raden Rudira pun dibaringkannya di ruang tengah, diselimuti dengan sehelai kain putih yang baru, dikelilingi oleh para pengiringnya dan abdi-abdinya yang lain. Sedang di belakang, mayat Mandra pun sudah diselimutinya pula. Hanya satu dua orang kawan dekatnya sajalah yang menungguinya dengan penuh penyesalan, bahwa Mandra sudah berkhianat.
Dengan dada yang berdebar-debar Ki Dipanala pun kemudian pergi menghadap Pangeran Ranakusuma untuk menyampaikan bahwa semuanya sudah selesai. Bahkan perempuan-perempuan pun sudah mulai menyediakan keperluan yang lain. Sebagian dari mereka telah menyediakan masakan untuk menjamu tamu-tamu yang tentu akan berdatangan, dan menyediakan selamatan, sedang yang lain sudah sibuk mengatur kelengkapan penguburan jenazah yang sudah dibaringkan itu. Alat-alat upacara, dan apabila matahari telah terbit, mereka harus membeli bunga terutama melati dan mawar.
“Jangan memberitahukan kepada siapapun sebelum semuanya selesai” desis Pangeran Ranakusuma.
“Semuanya sebenarnya sudah selesai Pangeran” jawab Ki Dipanala, “Tetapi apakah tidak sebaiknya ayahanda Raden Ayu Galihwarit diberi tahu sekaligus adinda Raden Rudira yang ada di sana”
“Aku sendiri akan memberitahukan kepadanya dengan membawa Galihwarit”
Ki Dipanala hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. la tidak dapat mencegahnya lagi. Agaknya dorongan untuk menyerahkan kembali Raden Ayu Galihwarit sudah tidak tertahankan lagi. Seandainya perempuan itu tidak berkhianat, mungkin sakitnya akan justru menimbulkan iba yang dalam. Tetapi kini bagi Pangeran Ranakusuma, Raden Ayu Galihwarit adalah duri yang menusuk jantungnya.
Tanpa mempersoalkan Raden Ayu Galihwarit, Ki Dipanala. bertanya pula, “Jadi, siapakah yang sebaiknya hamba beritahu tentang Raden Rudira?”
Pangeran Ranakusuma tidak segera menjawab. Ditatapnya kedelapan malam yang justru berangsur menjadi kemerah-merahan.
Ki Dipanala sama sekali tidak berani mendesaknya. Ia hanya dapat menunggu sambil menundukkan kepalanya.
“Panggil Juwiring” tiba-tiba saja terloncat dari mulut Pangeran Ranakusuma sehingga Ki Dipanala pun terkejut karenanya.
“Maksud Pangeran, hamba harus pergi ke Jati Aking”
“Kau dapat menyuruh orang lain. Kau di sini mewakili aku”
“Tetapi keadaan Raden Juwiring yang selama ini seakan-akan selalu diintip oleh bahaya, membuatnya selalu bercuriga kepada siapapun juga. Hamba kurang yakin, apakah Raden Juwiring mempercayai orang lain kecuali aku”
“Jika begitu, orang yang akan pergi itu akan membawa sepucuk surat yang akan aku tanda tangani”
Ki Dipanala menarik nafas. Meskipun orang itu membawa surat yang ditanda-tangani oleh Pangeran Ranakusuma, namun sebenarnyalah bahwa kepada ayahandanya sendiri Raden Juwiring sudah menaruh curiga. Namun demikian tanda tangan itu memang merupakan kemungkinan terbesar untuk memanggil Raden Juwiring.
Demikianlah seorang utusan telah berpacu ke Jati Aking tanpa menunggu fajar. Meskipun kemungkinan untuk menghadiri penguburan jenazah adiknya, terlampau kecil bagi Juwiring. Ia tidak akan dapat sampai di istana Ranakusuman dekat setelah tengah hari.
Dalam pada itu, setelah semuanya selesai, maka Pangeran Ranakusuma pun segera memerintahkan untuk mempersiapkan kereta.
Di pagi-pagi benar ia ingin pergi sendiri ke rumah mertuanya mengantarkan Galihwarit yang masih belum sadar.
“Kau di rumah” berkata Pangeran Ranakusuma kepada Ki Dipanala, “Aku akan pergi membawa Galihwarit bersama tabib itu. Ia akan dapat menolongku jika tiba-tiba saja Galihwarit sadar di perjalanan”
“Hamba Pangeran”
“Suruhlah para pelayan menyiapkan tempat bagi mereka yang akan datang melawat. Aku tidak dapat menolak jika orang-orang asing itu datang. Tetapi aku juga tidak akan merahasiakan, siapakah yang telah membunuh anakku, meskipun aku tidak dapat mengatakan seluruh peristiwanya”
“Hamba Pangeran”
Rasa-rasanya fajar datang terlampau lambat. Pangeran Ranakusuma hampir tidak sabar lagi menunggu. Ia ingin segera menyingkirkan Galihwarit dan menyerahkannya kembali kepada ayahnya.
Demikian fajar menyingsing dan dedaunan yang hijau mulai tampak kemerah-merahan, maka Raden Ayu Galihwarit yang masih belum sadar itu pun diangkat dan dimasukkannya ke dalam kereta. Sejenak kemudian maka kereta itu pun mulai bergerak membawa Raden Ayu itu kembali ke istana orang tuanya.
Ketika kereta itu sampai di regol halaman, maka Pangeran Ranakusuma menjenguk sejenak sambil berkata kepada Dipanala, “Aku tidak lama. Persilahkan para tamu lebih dahulu. Katakan, bahwa aku pergi menjemput Warih. Jangan sebut-sebut tentang Galihwarit”
“Hamba Pangeran” jawab Ki Dipanala.
“Jangan sebut tentang Mandra. Ia akan dikubur setelah para tamu yang melawat Rudira pulang”
“Hamba tuanku”
Demikianlah maka kereta itu pun segera berderap meninggalkan halaman Ranakusuman menuju ke Istana Pangeran Sindurata.
Dipanala yang ditinggalkan menjadi berdebar-debar. Pangeran Ranakusuma yang kematian anaknya itu tentu tidak dapat berpikir bening, sedang Pangeran Sindurata adalah seorang Pangeran yang lebih suka menuruti keinginan sendiri tanpa menghiraukan kepentingan orang lain, sehingga ada beberapa orang yang menganggapnya agak kurang waras. Jika mereka terlibat dalam perselisihan maka akan dapat timbul hal-hal yang kurang baik.
“Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu pada keduanya” berkata Ki Dipanala di dalam hatinya.
Demikianlah ketika kereta itu sudah lenyap di tikungan, maka Ki Dipanala pun kembali masuk ke ruang dalam. Dari pintu ia melihat tubuh Raden Rudira yang terbujur diam, ditunggui oleh beberapa orang. Masih belum tampak kesibukan di istana itu, selain perempuan yang sedang memasak dan beberapa orang lainnya menyiapkan benang rangkaian kembang melati dan mawar. Yang lain pergi ke pasar membeli bunga yang akan dirangkai itu, dan kebutuhan-kebutuhan lain. Tetapi bagi orang luar, istana Ranakusuman masih tetap sepi. Belum ada seorang tetangga pun yang mengetahui apa yang telah terjadi, dan tidak seorang tetangga pun yang mendengar suara-suara yang keras di malam hari, bahkan pekik nyaring Raden Ayu Galih Warit, karena halaman istana Pangeran Ranakusuma yang cukup luas itu.
Namun sudah barang tentu bahwa Ki Dipanala tidak berani atas kehendaknya sendiri memberitahukan kematian Raden Rudira itu kepada para bangsawan sanak keluarga Pangeran Ranakusuma. Untuk itu ia harus menunggu setelah Pangeran Ranakusuma memberikan perintah kepadanya.
Dalam pada itu, Pangeran Ranakusuma yang sedang dibelit oleh berbagai macam persoalan itu tidak sempat memikirkan ha1 itu sebelum ia menyerahkan isterinya kepada mertuanya. Di sepanjang jalan Pangeran Ranakusuma mencoba untuk mengendapkan segala macam pergolakan yang ada di dalam dadanya. Bagaimanapun juga ia masih mencoba untuk mempergunakan nalarnya, justru setelah ia tahu bahwa jenazah Raden Rudira telah diselenggarakan sebaik-baiknya.
“Aku harus sempat mengubur jenazah anakku” katanya di dalam hati. Dan niat itulah yang telah mengekang perasaannya agar tidak timbul persoalan yang tajam dengan Pangeran Sindurata.
Kedatangan Pangeran Ranakusuma memang mengejutkan sekali. Apalagi ketika ternyata ia membawa tubuh Raden Ayu Galih Warit yang bagaikan tidak bernafas lagi.
“Kenapa? Kenapa anakku?” bertanya Pangeran Sindurata
“Pingsan” jawab Pangeran Ranakusuma pendek.
“O” Pangeran Sindurata pun menjadi bingung. Karena itulah maka diperintahkannya pelayan-pelayannya untuk menyiapkan pembaringan bagi Raden Ayu Galihwarit.
Rara Warih yang memang sedang berada di rumah kakeknya itu pun terkejut bukan buatan. Hampir saja ia tidak dapat menahan jeritnya, jika ayahnya tidak berbisik kepadanya, “Jangan gelisah. Ibumu hanya pingsan”
Demikianlah maka Raden Ayu Galihwarit pun segera dibaringkannya di pembaringan di dalam bilik ibundanya. Seluruh keluarga menjadi bingung dan gelisah. Wajah Raden Ayu Galihwarit yang cantik itu tampak pucat seperti kapas.
“Kenapa dia he??” bertanya Pangeran Sindurata pula.
Pangeran Ranakusuma mencoba untuk menahan hatinya dan berbicara dengan nalarnya. Katanya, “Ada beberapa persoalan yang akan aku sampaikan”
“Tetapi bagaimana dengan isterimu?”
“Tidak apa. Aku membawa seorang tabib”
Pangeran Sindurata memandang tabib yang masih muda yang masih berdiri di halaman itu sejenak. Lalu, “Apakah ia tabib yang baik?”
“Ya. Ia adalah seorang tabib yang baik”
“Jadi bagaimana dengan Galihwarit”
“Apakah aku boleh duduk?”
“Ya, duduklah”
Keduanya pun kemudian duduk di pendapa istana Pangeran Sindurata yang tidak kalah luasnya dari pendapa istana Ranakusuman.
“Duduklah di situ” berkata Pangeran Sindurata kepada tabib yang masih berdiri.
“Ya duduklah” ulang Pangeran Ranakusuma.
Tabib itu pun kemudian duduk di sudut pendapa dengan kepala tunduk.
“Katakan sekarang” desak Pangeran Sindurata, “Kenapa dengan anakku?”
“Suatu kejutan telah membuatnya pingsan” jawab Pangeran Ranakusuma yang meskipun di dalam hubungan keluarga termasuk lebih muda, tetapi ia mempunyai kedudukan yang lebih baik di istana Kangjeng Susuhunan.
“Apa yang terjadi?”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ia sedang berusaha untuk menenangkan dirinya.
“Apa yang terjadi?” Pangeran Sindurata mendesak.
“Rudira meninggal”
“He” Pangeran Sindurata terbelalak karenanya. Terasa seakan-akan darahnya berhenti mengalir. Pemberitahuan yang tiba-tiba itu membuatnya terperanjat bukan buatan.
Dengan singkat Pangeran Ranakusuma menceriterakan sebab kematian Rudira, meskipun ia tidak mengatakan sama sekali apa yang sudah dilakukan oleh Raden Ayu Galihwarit.
Bersambung ke Bagian 3
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
Bersambung ke Bagian 3
Sumber https://serialshmintardja.wordpress.com/
Komentar
Posting Komentar