Bunga di batu karang X bag 3

Bunga di batu karang X bag 3

“Ibunya terkejut” berkata Pangeran Ranakusuma, “Agaknya ia tidak dapat menahan perasaannya sehingga menjadi pingsan karenanya. Aku ingin menyingkirkannya agar ia tidak selalu dicengkam oleh suasana kematian anaknya. Mungkin di sini ia akan menjadi agak tenang”
“Tetapi, apakah ia akan segera sadar kembali?”
“Mudah-mudahan. Menurut tabib itu, ia akan segera sadar kembali. Suasana di rumah ini akan berbeda sekali”
“Tetapi ia tentu ingin melihat anaknya”
“Sebaiknya ia tetap berada di sini”
Pangeran Sindurata berpikir sejenak, lalu, “Bagaimana dengan Warih”
“Aku ingin membawanya”
“Biarlah ia di sini menunggui ibunya”
“Aku akan segera membawanya kemari jika semuanya sudah selesai”
Pangeran Sindurata berpikir sejenak, lalu, “Baiklah. Tetapi biarlah tabib itu berada di sini untuk menungguinya”
Pangeran Ranakusuma menjadi termangu-mangu karenanya. Namun kemudian ia berkata, “Ia berada di rumahku. Ia harus mengatur jenazah Rudira pada saat diberangkatkan. Tetapi jika sesuatu terjadi atas Galihwarit, ia dapat dipanggil dengan segera”
Pangeran Sindurata mengangguk-angguk. Peristiwa yang tidak terduga-duga itu telah mencengkamnya sehingga untuk beberapa lamanya ia hanya dapat merenung memandang kekejauhan. Rudira adalah cucunya yang menyenangkan baginya, meskipun anak itu agak bengal. Namun tiba-tiba saja ia mati terbunuh oleh peluru kumpeni.
Dan tiba-tiba saja Pangeran Sindurata itu menggeram, “Siapa yang sudah menembak Rudira?”
Pangeran Ranakusuma termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu”
“Jika aku tahu” desis Pangeran Sindurata, “tanpa merubah sikapku kepada kumpeni, namun aku dapat berurusan dengan orang yang menembak cucuku secara pribadi”
Pangeran Ranakusuma tidak menyahut. Jika ia mengetahui persoalan Galihwarit yang sebenarnya, tentu ia akan berpikir lain.
“Biarlah ia mengetahui dengan sendirinya. Yang berhak membuat persoalan ini menjadi persoalan pribadi tanpa merubah sikap dan hubungan dengan kumpeni adalah aku” berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hatinya, “Mungkin aku memang seorang pengkhianat bagi Surakarta. Mungkin aku telah menjual harga diri bangsaku. Tetapi harga diri pribadiku akan aku selesaikan dengan Dungkur, Panderpol, Setepen atau siapa lagi”
Demikianlah, maka sejenak kemudian. Pangeran Sindurata telah memanggil cucu perempuannya. Dengan hati-hati ayahandanya, Pangeran Ranakusuma, memberitahukan apa yang telah terjadi dengan kakaknya, Raden Rudira.
“Kamas Rudira terbunuh?” mata gadis itu terbeliak.
“Warih” berkata Pangeran Ranakusuma, “Tentu tidak seorang pun yang menghendaki hal itu terjadi. Tetapi memang kadang-kadang yang terjadi itu berada di luar kehendak kita. Dan kita sama sekali tidak berkuasa untuk menolaknya”
“Jadi, kangmas Rudira sudah meninggal?”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi semakin pedih ketika anak gadisnya itu berlari dan menjatuhkan kepalanya di pangkuannya.
“Kenapa hal itu terjadi ayahanda. Kenapa?”
Pangeran Ranakusuma mengusap rambut anak gadisnya. Beberapa orang keluarga yang lain pun kemudian mengerumuninya dan mencoba menghiburnya. Tetapi Rara Warih masih saja berteriak.
“Sudahlah Warih. Ibumu pingsan karena kejutan perasaan. Jika ia sadar, dan ia mendengar kau berteriak-teriak, ia akan menjadi pingsan lagi. Bukan saja ibundamu, tetapi aku pun dapat menjadi pingsan pula.
Kata-kata ayahnya agaknya dapat memberikan sedikit kesadaran kepadanya, bahwa ia pun harus berusaha mengekang perasaannya. Itulah sebabnya maka tangisnya menjadi sedikit mereda.
“Kenapa ayahanda, kenapa kangmas Rudira meninggal?”
“Suatu kecelakaan yang tidak dapat dihindari lagi Warih”
Tangis gadis itu pun semakin lama menjadi semakin surut. Tetapi ia masih saja terisak-isak sehingga rasa-rasanya ia tidak dapat menarik nafas lagi.
“Berkemaslah Warih” berkata ayahnya, “Kau pergi bersama ayahanda mendahului eyang dan keluarga yang lain”
Rara Warih pun menganggukkan kepalanya. Dilepaskannya ayahnya dan ia pun kemudian berdiri untuk berkemas.
“Aku akan segera menyusul jika Galihwarit telah sadar” berkata Pangeran Sindurata.
Demikianlah maka setelah Rara Warih selesai, ia pun segera pergi mengikut ayahandanya kembali pulang. Sementara Pangeran Sindurata dan keluarganya sibuk mencoba menyadar-kan Raden Ayu Galihwarit.
“Tetapi” berkata Pangeran Sindurata, “pada saatnya ia akan sadar dengan sendirinya seperti yang dikatakan tabib yang merawatnya sebelum ia dibawa kemari. Ia akan sadar, dan ia akan mendapatkan suasana yang lain dari suasana di rumahnya”
Meskipun demikian, masih saja seseorang tua mencoba menggosok daun telinganya dengan berambang dan telapak kakinya dengan minyak kelapa.
Dalam pada itu kereta yang ditumpangi oleh Pangeran Ranakusuma bersama anak gadisnya, serta tabib yang mengikutinya itu pun berderap dengan kencangnya di jalan-jalan kota Surakarta. Beberapa orang yang lewat di pinggir jalan menjadi heran melihat kereta yang berlari kencang itu. Namun mereka tidak menyangka bahwa di dalamnya duduk Pangeran Ranakusuma dan puterinya yang sedang dicengkam oleh kepedihan hati.
Ketika kereta itu memasuki halaman istana Ranakusuman, ternyata pendapanya masih sepi. Yang tampak sibuk hanyalah para pelayan di ruang belakang dan di dapur. Meskipun demikian sebenarnyalah beberapa orang sebelah menyebelah istana itu telah mendengar bahwa Raden Rudira telah meninggal. Satu dua orang pelayan yang keluar istana sempat menceriterakan apa yang sudah terjadi di dalam istana itu, meskipun hanya sekedar yang dapat mereka lihat.
Maka demikian kereta itu berhenti, Rara Warih segera meloncat turun dan berlari ke ruang dalam. Ia tertegun ketika dilihatnya sesosok tubuh yang terbujur diam dikerudungi dengan sehelai kain.
“Ayahanda” Warih menjerit. Ia tidak berani memeluk tubuh yang sudah membeku itu, sehingga karena itu, maka ia pun berdiri saja beberapa langkah dengan tubuh gemetar.
Ayahandanya dengan tergopoh-gopoh mendekatinya. Dengan sareh ayahandanya bertanya, “Ada apa Warih?”
Rara Warih memandanginya sejenak. Kemudian ditatapnya tubuh yang terbujur diam itu. Tiba-tiba saja ia meloncat dan sekali lagi memeluk ayahanda sambil menangis sejadi-jadinya.
“Sudahlah Warih” berkata ayahandanya, “Jangan membuat hati ayahanda semakin bersedih”
Tetapi Warih masih tetap menangis.
Beberapa emban dan pemomongnya pun segera mengerumuninya dan mencoba menenangkannya.
“Bawalah ia ke pembaringannya” berkata Pangeran Ranakusuma kepada para pelayannya itu.
Beberapa emban pun kemudian memapah Rara Warih ke dalam biliknya. Dengan berbagai cara para emban itu mencoba meredakan tangisnya. Namun Warih masih saja menangis sehingga rasa-rasanya nafasnya menjadi sesak karenanya.
Dalam pada itu. ketika Pangeran Ranakusuma sudah tidak lagi bersama puterinya, Ki Dipanala pun kemudian memperingatkan-nya, bahwa sebaiknya Pangeran Ranakusuma memberitahukan kematian Raden Rudira kepada keluarga terdekat.
“Ya. Pergilah Dipanala. Atas namaku, beritahukan kepada saudara-saudara terdekat, dan panggillah lebih dahulu adinda Cahyaningprang. Aku akan menyuruhnya menghadap ke istana Kangjeng Susuhunan untuk menyampaikan peristiwa ini”
Ki Dipanala pun kemudian berangkat berkuda mengelilingi Surakarta, memberitahukan bencana yang telah menimpa Pangeran Ranakusuma, meskipun setiap kali ia selalu menjawab pertanyaan, “Hamba kurang tahu sebab-sebabnya Pangeran”
Dan para Pangeran yang terkejut itu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Seperti yang dipesankan oleh Pangeran Ranakusuma, maka Pangeran Cahyaningprang pun telah mendahului yang lain datang ke istana Ranakusuman. Tetapi ia pun segera memacu kudanya menghadap Kangjeng Susuhunan untuk menyampaikan peristiwa yang terjadi atas Pangeran Ranakusuma.
Dalam waktu yang singkat, maka tersebarlah berita kematian Raden Rudira ke segenap sudut kota Surakarta. Mula-mula para bangsawan, namun kemudian para abdinya pun mendengarnya juga, sehingga apabila mereka keluar ke jalan raya. maka mereka pun mempercakapkannya dengan kenalan-kenalan mereka dan keluarga mereka masing-masing.
Berita itu ternyata telah mengejutkan Pangeran Mangkubumi pula. Apalagi ketika ia mendengar bahwa kematian Raden Rudira disebabkan luka peluru kumpeni.
“Aneh” berkata Pangeran Mangkubumi di dalam hati, “keluarga Ranakusuman bukan keluarga yang memusuhi kumpeni. Tetapi puteranya ternyata telah terbunuh oleh peluru kumpeni”
Karena itulah, maka demikian berita itu sampai kepadanya, Pangeran Mangkubumi pun segera pergi ke Ranakusuman. Meskipun pada hari-hari yang lain, lewat pun Pangeran Mangkubumi rasa-rasanya sangat segan.
Pangeran Ranakusuma pun terkejut melihat kehadiran Pangeran Mangkubumi begitu cepat. Justru mendahului keluarganya yang terdekat. Baru beberapa orang saja yang ada di pendapa Ranakusuman.
“Tentu luka peluru kumpeni itulah yang menarik perhatiannya” berkata Pangeran Ranakusuma di dalam hatinya.
Dengan diantar oleh Pangeran Ranakusuma Pangeran Mangkubumi pun melihat jenazah Raden Rudira yang terbujur diam. Tetapi jenazah itu sudah terbungkus rapi dengan kain yang putih bersih.
“Sayang sekali” tiba-tiba Pangeran Mangkubumi bergumam.
Pangeran Ranakusuma memandang wajah Pangeran Mangkubumi sejenak. Wajah yang keras seperti hatinya yang membayang pada sorot matanya.
Agaknya Pangeran Mangkubumi merasakan pandangan itu, sehingga katanya kemudian, “Putera Kangmas Pangeran masih terlalu muda”
“Ya. Ia masih terlalu muda”
“Benar-benar perlakuan yang tidak adil. Apakah kangmas tidak berkeberatan mengatakan kepadaku, apakah sebabnya Rudira luka oleh peluru?”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan kemudian sambil merenungi jenazah anaknya ia berkata di dalam hati, “Jika aku dapat berdiri tegak di atas kedua kaki sendiri seperti adimas Pangeran Mangkubumi, maka tidak banyak persoalan lagi yang harus aku pertimbangkan. Tetapi sayang, bahwa Ranakusuma berdiri di atas yang berbeda dengan Pangeran Mangkubumi”
Karena Pangeran Ranakusuma tidak segera menjawab, maka Pangeran Mangkubumi pun mengulangi pertanyaannya, “Apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan Rudira?”
“Aku masih belum tahu pasti dimas. Aku sedang menyelidiki-nya” jawab Pangeran Ranakusuma kemudian, “Tentu adimas heran bahwa hal ini telah terjadi. Aku tidak dapat menyembunyi-kan kenyataanku di hadapan adimas, bahwa aku mempunyai hubungan yang baik dengan kumpeni. Namun yang terjadi adalah kematian Rudira oleh peluru kumpeni”
Pangeran Mangkubumi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ia pernah datang ke Sukawati. Orang yang aku percaya menunggui Pesanggrahan mengatakannya kepadaku”
Terasa dada Pangeran Ranakusuma berdesir. Lalu katanya, “Aku pernah juga mendengar ceriteranya tentang Petani di Sukawati. Sayang sekali, bahwa Rudira belum sempat mengenal siapakah sebenarnya orang yang menyebut dirinya Petani dari Sukawati itu”
Pangeran Mangkubumi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Sedang Pangeran Ranakusuma berkata selanjutnya, “Jika ia mengetahuinya, mungkin ia berpendapat lain tentang orang yang menyebut Petani dari Sukawati itu”
“Siapakah yang dimaksud oleh Rudira?” bertanya Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Ranakusuma memandang wajah Pangeran Mangkubumi sejenak. Tetapi ia tidak melihat perasaan apapun yang membayang di wajah yang keras itu. Tidak ada tanda-tanda bahwa ada hubungan apapun antara Pangeran Mangkubumi dan orang yang menyebut dirinya Petani dari Sukawati. Hubungan langsung atau tidak langsung. Karena itu, maka Pangeran Ranakusuma pun menjadi ragu-ragu untuk berbicara tentang Petani itu selanjutnya.
“Ia anak yang baik” tiba-tiba Pangeran Mangkubumi berkata, “orang-orangku di pesanggrahan mengatakan bahwa ia cukup ramah dan bahkan ia telah berbicara panjang lebar dengan para penunggu pesanggrahan. Hal yang jarang sekali dilakukan oleh orang yang merasa dirinya berdarah bangsawan di Surakarta ini. Biasanya para bangsawan merasa segan untuk memandang rakyat kecil dengan sebelah matanya. Apalagi berbicara dengan mereka”
Pangeran Ranakusuma menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu pasti, apakah Pangeran Mangkubumi berkata sebenarnya atau tidak. Tetapi menilik sikap dan sifat Rudira semasa hidupnya, tentu yang dikatakan itu sekedar pujian karena Rudira kini sudah meninggal. Namun demikian Pangeran Ranakusuma tidak segera menjawab.
“Kangmas Pangeran” berkata Pangeran Mangkubumi kemudian, “Apakah kangmas tidak dapat membayangkan, apakah yang sudah terjadi, atau Setidak-tidaknya dugaan, alasan apakah yang telah mendorong seseorang yang mungkin sekali orang-orang asing itu, untuk membunuh Rudira, anak yang masih terlampau muda ini?”
Pangeran Ranakusuma menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Tetapi aku ingin mengetahuinya dengan pasti”
Pangeran Mangkubumi hanya mengangguk-angguk saja. Ia tahu pasti bahwa tentu masih harus ada seribu macam pertimbangan untuk berbuat sesuatu atas kematian puteranya bagi Pangeran Ranakusuma. Tetapi Pangeran Mangkubumi tidak bertanya lebih banyak lagi.
Demikianlah, ketika Pangeran Mangkubumi itu dipersilahkan duduk di pendapa, justru ia malahan minta diri. Ia tidak dapat duduk lebih lama lagi di istana Ranakusuman.
“Maaf kangmas. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan hari ini. Terpaksa sekali aku tidak dapat menunggu sampai jenazah itu diberangkatkan”
“Sayang sekali” sahut Pangeran Ranakusuma, “Tetapi apaboleh buat”
“Apakah Kangjeng Susuhunan sudah tahu tentang peristiwa. ini”
“Adimas Cahyaningprang yang aku minta menghadap. Tetapi ia belum kembali”
Pangeran Mangkubumi hanya mengangguk-angguk saja. Dan ia pun benar-benar meninggalkan istana Ranakusuman sebelum orang lain. terutama para Pangeran berdatangan. Bahkan Pangeran Sindurata pun belum.
Ketika Pangeran Mangkubumi sudah keluar dari regol halaman, barulah wajahnya menjadi berkerut-merut. Kematian Rudira sangat menarik perhatiannya. Justru karena ia putera Pangeran. Ranakusuma yang berhubungan rapat sekali dengan kumpeni, tetapi puteranya telah terbunuh oleh sebutir peluru.
“Apakah ada orang lain yang membunuhnya dengan senjata api itu dengan maksud untuk menghilangkan jejak” berkata Pangeran Mangkubumi di dalam hatinya.
Namun selain perhatiannya yang besar terhadap kematian Rudira, sebenarnyalah ia ingin melihat, apakah putera Pangeran Ranakusuma yang seorang ada di istananya juga. Tetapi Pangeran. Mangkubumi tidak melihatnya sama sekali. Ia tidak melihat anak muda yang berada di padepokan Jati Aking itu.
Namun dalam pada itu, kedatangan Pangeran Mangkubumi yang justru mendahului para bangsawan yang lain itu, kemudian bahkan menambah keyakinan Pangeran Ranakusuma. Petani di Sukawati itu benar-benar Pangeran Mangkubumi dalam bentuknya yang lain.
Tetapi Pangeran Ranakusuma tidak sempat memikirkannya dalam keadaannya itu, karena sepeninggal Pangeran Mangku-bumi, maka keluarga Pangeran Ranakusuma yang terdekat mulai berdatangan Beberapa di antara mereka langsung pergi ke ruang dalam melihat jenazah Raden Rudira yang terbujur diam, sedang beberapa orang yang lain pergi ke bilik Warih yang masih saja menangis.
Kepada setiap orang yang menanyakan Raden Ayu Galihwarit maka Pangeran Ranakusuma, maupun Warih yang menjawab disela-sela isaknya, mengatakan, bahwa ibu Raden Rudira itu terpaksa diungsikan karena kejutan perasaan yang amat sangat.
Dengan demikian, semakin tinggi matahari, pendapa Ranakusuma pun menjadi semakin penuh, sedang para pelayan di belakangpun menjadi semakin sibuk. Beberapa orang perempuan bangsawan berkumpul di ruang tengah merangkai bunga mawar dan melati untuk menghiasi usungan yang akan membawa Raden Rudira ke makam keluarga para bangsawan.
Namun demikian, meskipun pendapa Ranakusuman itu sudah, menjadi penuh, namun ternyata masih ada seorang yang ditunggu oleh Pangeran Ranakusuma. Seorang yang selama ini seakan-akan telah tersisih dari hatinya. Seorang yang selama ini seakan-akan telah disingkirkannya dari istananya meskipun ia adalah puteranya sendiri. Dan kini, tiba-tiba saja ia menunggu dengan hati yang gelisah kedatangan anak laki-lakinya yang seorang itu, Juwiring, yang lahir bukan dari seorang perempuan bangsawan yang setingkat dengan Raden Ayu Galihwarit.
Tetapi yang ditunggunya itu tidak juga segera datang.
Sementara istana Ranakusuman menjadi semakin sibuk, maka utusan yang berpacu ke Jati Sari sejak sebelum fajar telah melintasi bulak panjang. Jarak yang akan dicapainya sudah tidak begitu jauh lagi. Apalagi kuda yang dipergunakannya adalah seekor kuda yang tegar dan kuat.
Beberapa orang petani yang ada di sawahnya terkejut melihat kuda yang berpacu dengan kecepatan yang tinggi. Menilik pakaian yang dikenakan oleh penunggangnya, orang itu tentu bukan petani biasa yang sedang bepergian jauh. Tetapi orang itu tentu seorang piyayi dari kota, atau seorang abdi dalem di keraton Surakarta.
“Tentu orang itu akan pergi ke Jati Aking” desis seseorang.
Yang lain pun menganggukkan kepalanya. Mereka tahu bahwa di Jati Aking ada seorang putera bangsawan yang tinggal bersama dengan Kiai Danatirta sekeluarga.
Ternyata utusan itu tidak memerlukan waktu yang lama lagi untuk mencapai Jati Aking. Sejenak kemudian kudanya sudah berderap memasuki jalan yang menuju ke regol padepokan Kiai Danatirta.
Derap kaki kuda itu ternyata telah mengejutkan penghuni padepokan kecil itu. Beberapa orang dengan dada yang berdebar-debar menengok ke halaman.
Ketika yang dilihatnya hanyalah seorang penunggang kuda, dan sikapnya pun agaknya tidak mencurigakan, maka seorang di antara mereka pun mendekatinya dan bertanya apakah yang dicarinya di padepokan itu.
“Aku akan bertemu dengan Raden Juwiring” berkata utusan itu.
“Siapakah Ki Sanak?”
“Aku adalah salah seorang abdi Ranakusuman”
“O” Orang itu mengangguk-angguk, “Silahkan. Silahkan duduk di pendapa. Aku akan menyampaikannya kepada Kiai Danatirta.
“Raden Juwiring sendiri kini sedang berada di sawah”
Utusan itu pun kemudian duduk di pendapa ditemui oleh Kiai Danatirta, sementara seorang cantrik dengan tergesa-gesa pergi ke sawah memanggil Juwiring dan saudara-saudara seperguruannya.
“Kedatangan Ki Sanak telah mengejutkan kami” berkata Kiai Danatirta kemudian.
“Aku mendapat perintah dari Pangeran Ranakusuma untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Raden Juwiring”
“O” Kiai Danatirta mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Kenapa bukan Ki Dipanala? Biasanya Ki Dipanala lah yang diutusnya kemari. Bahkan pernah Ki Dipanala hampir saja terbunuh oleh beberapa orang penyamun di bulak Jati Aking”
Utusan itu terdiam sejenak. Ia pun mengetahui bahwa biasanya Ki Dipanala lah yang mendapat tugas untuk menghubungi Raden Juwiring. Tetapi agaknya kini Ki Dipanala sedang sibuk di istana Ranakusuman sehingga ialah yang mendapat tugas pergi ke Jati Aking.
Karena utusan itu tidak menjawab, maka Kiai Danatirta pun kemudian bertanya pula, “Tetapi bukankah Ki Dipanala tidak-mengalami sesuatu?”
Utusan itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak Kiai. Ki Dipanala selamat-selamat saja. Tetapi ia sedang terlalu sibuk sehingga ia tidak dapat datang ke padepokan ini. Karena itu, maka kali ini akulah yang mendapat tugas itu”
Kiai Danatirta tidak mendesak lagi. Meskipun ada semacam kecemasan yang menyentuh hatinya, karena orang tua itu mengetahui bahwa seisi istana Ranakusuman telah membenci Ki Dipanala, dan bahkan beberapa orang telah berusaha untuk membunuhnya.
Karena itu, maka pembicaraan mereka pun tidak lagi berkisar kepada Ki Dipanala dan surat yang dibawa oleh utusan itu. Mereka menunggu kedatangan Juwiring, karena surat itu ditujukan kepadanya.
Yang mereka bicarakan kemudian adalah keadaan padepokan itu. Tanah yang subur, pepohonan yang hijau dan petani yang rajin bekerja menggarap sawah mereka.
Sejenak kemudian, ketika seorang pelayan telah menghidangkan semangkuk minuman dan beberapa potong makanan, barulah Juwiring datang diiringi oleh Buntal dan Arum yang juga sedang berada di sawah menyampaikan makan kakak-kakak seperguruannya. Dengan dada yang berdebar-debar Juwiring yang masih dilekati lumpur itu langsung naik ke pendapa. Seakan-akan ia tidak sabar lagi mendengar kabar apakah yang dibawa oleh orang itu, sehingga ia tidak sempat pergi ke pakiwan mencuci kaki dan tangannya. Demikian juga Buntal dan Arum. Meskipun mereka tidak mendekat, tetapi mereka pun duduk di bibir lantai pendapa itu.
“Kau tidak mencuci kakimu dahulu?” bertanya Kiai Danatirta.
“Aku ingin segera tahu, kabar apakah yang dibawa oleh utusan ini” jawab Juwiring.
Utusan itu pun menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya kemudian, “Raden, aku hanya seorang utusan. Aku persilahkan Raden menerima surat ayahanda. Segala sesuatu sudah tercantum di dalam surat itu. Dan barangkali Raden bertanya di dalam hati, kenapa bukan Ki Dipanala yang datang, dapatlah aku beritahukan bahwa Ki Dipanala sedang sibuk di istana ayahanda Raden. Itulah sebabnya aku yang datang kemari membawa surat ayahanda Raden itu”
Dada Juwiring menjadi semakin berdebar-debar. Dengan jari-jari yang gemetar maka disobeknya surat yang dibawa oleh utusan itu. Huruf demi huruf dibacanya dengan saksama.
Kiai Danatirta hanya memandanginya saja dengan tegang. Ia tidak dapat ikut membaca surat itu, meskipun dari tempatnya ia dapat melibat huruf yang tidak jelas, dengan sandangannya. Suku, wulu, layar, pepet dan sebagainya. Namun di dalam keseluruhannya Kiai Danatirta tidak dapat mengikuti bunyi tulisan itu.
Orang tua itu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat dahi Juwiring yang berkerut merut. Kemudian wajah anak muda itu menjadi tegang dan sorot matanya memancarkan kegelisahan yang sangat.
Tiba-tiba Raden Juwiring memandang utusan itu dengan tajamnya. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Jadi terjadi kecelakaan atas adimas Rudira?”
Utusan itu menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya Raden”
“Apakah yang terjadi?” Kiai Danatirta bertanya.
Buntal dan Arum pun tertarik pada pertanyaan Juwiring itu sehingga mereka bergeser setapak maju.
“Juwiring” berkata Kiai Danatirta kemudian, “Coba, katakan, apakah yang telah terjadi dengan adikmu itu?”
Dengan suara yang bergetar, Juwiring pun mengatakan isi surat yang dengan serba singkat menceriterakan peristiwa yang telah menimpa Raden Rudira.
“O” wajah Kiai Danatirta pun menjadi tegang, “Jadi apakah benar pendengaranku, bahwa Raden Rudira terbunuh?”
“Ya ayah. Begitulah bunyi surat ini. Karena itulah maka aku telah dipanggil oleh ayahanda untuk segera kembali sekarang juga”
“Apakah benar begitu?” bertanya Kiai Danatirta kepada utusan itu.
“Ya Kiai. Demikianlah yang telah terjadi. Itulah sebabnya Ki Dipanala menjadi terlampau sibuk, karena tidak ada orang lain yang dapat membantu kesibukan bukan saja penyelenggaraan jenazah Raden Rudira, tetapi juga kesibukan batin Pangeran Ranakusuma”
“Bagaimana dengan ibunda Galihwarit?”
“Ibunda Raden Rudira telah menjadi pingsan untuk waktu yang sangat lama. Menurut pertimbangan ayahanda Raden, ibunda Raden Rudira telah diungsikan ke istana Pangeran Sindurata”
Raden Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Namun yang tampak di wajahnya ternyata bukan saja kejutan perasaannya, tetapi juga kebimbangan dan bahkan kecurigaan. Terkilas di kepalanya apa yang pernah terjadi atas Ki Dipanala di bulak Jati Sari. Namun jika ia menyadari bahwa surat itu ternyata telah ditanda tangani oleh ayahandanya sendiri, maka ia pun mulai mempercayainya.
“Apakah bukan sekedar sebuah tanda tangan palsu?” pertanyaan itu masih juga membersit di hatinya.
Beberapa saat lamanya Juwiring merenungi surat itu. Ia terombang-ambing di antara percaya dan tidak. Dicobanya untuk meneliti tanda tangan yang tercantum di surat itu. Dan ia menganggap bahwa surat itu benar-benar telah dibuat oleh ayahandanya.
“Apakah ayahanda sekedar diperalat oleh ibunda Galihwarit. Atau sebenarnyalah yang terjadi demikian?” Juwiring selalu diganggu oleh berbagai pertanyaan, “Tetapi aneh jika Rudira terbunuh oleh peluru kumpeni. Namun bahwa itu suatu kecelakaan memang mungkin saja terjadi”
Juwiring masih saja bimbang, sehingga ia tidak segera dapat mengambil keputusan.
“Jika aku berkemas sekarang, dan kemudian berangkat maka jika benar-benar Rudira terbunuh, aku pun sudah terlambat untuk dapat menunggui keberangkatan jenazahnya, karena perjalananku tentu akan memakan waktu. Aku akan sampai di kota setelah gelap. Dan menjelang gerbang kota. di dalam kegelapan itu banyak peristiwa yang dapat terjadi atasku. Seperti yang pernah terjadi atas Ki Dipanala” Juwiring ternyata telah dilanda oleh kebimbangan yang tajam. Kemudian katanya pula di dalam hati, “Tetapi jika aku tidak pergi, dan sebenarnyalah yang terjadi demikian, maka ayahanda akan menunggu kedatanganku pula, sehingga baru besok akan dikuburkannya”
Dalam pada itu, selagi Juwiring dicengkam oleh kebimbangan, maka Kiai Danatirta pun berkata kepadanya, “Juwiring. Sebaiknya kau membersihkan dirimu lebih dahulu sambil mempertimbangkan apakah sebaiknya yang akan kau lakukan”
Juwiring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah ayah. Aku akan pergi ke pakiwan lebih dahulu” Lalu katanya kepada utusan itu, “Tunggulah sebentar di sini. Aku akan berkemas”
Demikianlah ketika kemudian Juwiring pergi ke belakang, tenyata Kiai Danatirta dan kedua muridnya yang lain pun segera menyusul, sehingga mereka sempat mengadakan pembicaraan sebentar.
“Juwiring” bertanya gurunya, “Apakah kau yakin bahwa surat itu adalah surat ayahandamu Pangeran Ranakusuma?”
“Ya ayah”
“Jika demikian, pergilah. Betapapun juga, seorang ayah tentu tidak akan berbuat sejauh yang kau ragukan, meskipun pengaruh Raden Ayu Galihwarit cukup besar. Apalagi kecelakaan itu memang mungkin terjadi atas Raden Rudira. karena. . . . “ kata-kata Kiai Danatirta terputus. Ia sadar, bahwa tidak seharusnya Juwiring mengetahui kelemahan ibu tirinya. Menurut perhitungannya, tentu Raden Rudira pada suatu saat mengetahui apa yang dilakukan oleh ibunya. Dan kemungkinan yang parah itu terjadi karena agaknya Raden Rudira menaruh dendam kepada kumpeni yang telah melanggar pagar ayu itu.
Juwiring menunggu Kiai Danatirta menyelesaikan kata-katanya, tetapi ternyata gurunya itu berkata, “Jika tulisan itu benar-benar tulisan tangan ayahandamu, aku percaya Juwiring. Karena itu pergilah. Tetapi jangan sendiri. Bawalah Buntal bersamamu”
“Aku akan ikut serta ayah”
“Ah, kau bersama ayah di padepokan ini. Jika kau juga pergi, siapakah yang akan membantu ayah dan ayah tentu akan menjadi kesepian, karena Juwiring tidak akan kembali besok atau lusa. Tentu ia memerlukan waktu sedikitnya sepekan”
Tetapi seperti biasanya, Arum tidak mau merubah keinginannya. Dengan wajah yang berkerut-merut ia berkata, “Aku akan ikut bersama kakang Juwiring dan kakang Buntal”
Kiai Danatirta menarik nafas dalam-dalam. Anak perempuan-nya itu memang berhati keras. Namun demikian ia masih berusaha mencegahnya, “Arum. Apakah yang akan kau lakukan di istana Ranakusuman. Kau tidak dikenal orang. Kau tentu akan tersisih saja dan bahkan kau akan merasa dirimu terlampau kecil karena kau anak padepokan. Kau tidak akan mempunyai arti apa-apa di sana. Berbeda dengan puteri-puteri bangsawan yang masih mempunyai saluran keluarga dekat atau jauh”
Tetapi Arum tetap pada pendiriannya. Sambil bermain-main dengan ujung kain panjangnya ia berkata dalam nada yang rendah, “Aku dapat tinggal di rumah paman Dipanala. Katanya rumah itu dekat sekali dengan istana Ranakusuman”
Kiai Danatirta yang sudah mengenal sifat Arum tidak berusaha melarangnya lagi. Semakin ia dilarang, keinginannya rasa-rasanya menjadi semakin melonjak. Meskipun ia dapat memaksa anak itu agar tidak pergi, tetapi anak itu akan menjadi kecewa dan selama beberapa hari ia akan selalu dibayangi oleh kekecewaannya itu. Wajahnya akan menjadi gelap dan kadang-kadang berbuat sesuatu yang tidak sewajarnya.
“Ada juga kebengalan ibunya yang tampak pada Arum” berkata Kiai Danatirta di dalam hatinya. Dan karena itu, maka katanya kemudian, “Arum. Jika kau memang ingin pergi bersama mereka, jagalah dirimu baik-baik. Kau akan berada di dalam suatu lingkungan yang belum kau kenal. Berbeda sekali dengan pergaulan di padepokan ini”
“Kakang Buntal juga akan memasuki pergaulan yang asing”
“Tetapi semasa kecilnya Buntal pernah tinggal di rumah seorang bangsawan, sehingga ia sudah mengenal unggah-ungguh dan tata pergaulan di istana Ranakusuman kau tidak dapat memanggil Juwiring dengan sebutan sehari-hari yang kau pakai di padepokan ini. Kau harus memanggil seperti seharusnya”
“Bagaimana aku harus memanggil”
“Seperti pada saat Juwiring datang kemari”
“O” Arum mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku mengerti. Aku harus memanggilnya Raden Juwiring. Begitu”
“Ah” Juwiring berdesah. Tetapi Kiai Danatirta menyahut, “Demikian memang seharusnya. di dalam istana Ranakusuman semuanya harus berlaku seperti seharusnya. Buntal pun harus memanggil sebutan itu selengkapnya. Kalian mengerti?”
Ketiga anak muda itu mengangguk, meskipun terbayang sepercik warna merah di wajah Juwiring.
“Jika demikian bersiaplah. Kalian dapat segera berangkat meskipun kalian akan sampai ke kota sesudah gelap. Sebaiknya kalian makan dahulu bersama utusan itu. Bagaimanapun juga kalian tidak akan dapat mencapai saat keberangkatan jenazah itu jika memang hari ini jenazah itu akan dimakamkan”
Demikianlah ketiga anak-anak muda itu pun segera berkemas, sementara seorang pelayan telah menyediakan makan bagi utusan yang duduk di pendapa.
“Ah, seharusnya kami segera berangkat” berkata utusan itu.
“Makanlah dahulu” berkata Kiai Danatirta kepada utusan itu pula, “Jika benar hari ini jenazah itu dimakamkan, tentu kalian akan terlambat datang, makan atau tidak makan”
Dan utusan itu pun kemudian tidak dapat menolak lagi.
Baru setelah mereka selesai, dan setelah Kiai Danatirta memberikan beberapa pesan kepada murid-muridnya, maka mereka pun segera berangkat meninggalkan Jati Aking. Karena mereka harus berkuda maka Arum pun terpaksa mengenakan pakaian seorang laki-laki.
“Sebaiknya kau tinggal di rumah pamanmu Ki Dipanala” sekali lagi ayahnya berpesan ketika ia melepaskan anaknya di regol halaman.
Sementara itu, ketika Raden Juwiring bersama kedua saudara seperguruannya dan utusan ayahandanya itu berpacu di sepanjang bulak Jati Sari, maka di istana Ranakusuman pun menjadi semakin sibuk. Ki Dipanala menasehatkan agar Pangeran Ranakusuma mengambil keputusan, apakah ia akan menunggu Raden Juwiring atau tidak.
“Tetapi” berkata Ki Dipanala, “jika Pangeran menunggu maka mereka yang sudah berada di sini akan menjadi gelisah, karena tentu baru besok jenazah itu dimakamkan”
“Jadi bagaimanakah sebaiknya menurut pertimbanganmu?”
“Sebaiknya jenazah itu dimakamkan hari ini Pangeran”
Pangeran Ranakusuma mengangguk-angguk. Ia pun kemudian menemui beberapa orang tua, termasuk pangeran Sindurata yang sudah ada di pendapa itu pula.
“Buat apa kau mempertimbangkan anak itu” berkata Pangeran Sindurata, “lupakan saja anak itu. Kau masih mempunyai seorang anak perempuan yang kelak tentu akan mendapatkan jodohnya. Dan kau akan mendapatkan ganti Rudira yang malang itu”
Terasa sesuatu bergejolak di dalam hati Pangeran Rana-kusuma. di dalam keadaan yang demikian, Juwiring terasa sangat penting artinya bagi dirinya. Namun karena ia sadar, bahwa para tamu sudah menjadi semakin banyak, ditahankannya saja hatinya. Meskipun di dalam hati ia berkata, “Jika Galihwarit sadar dan mulai berceritera tentang dirinya, baru kau tahu, kenapa aku membawanya kembali kepadamu”
Dalam pada itu, kebanyakan dari orang-orang yang dianggap lebih tua berpendapat bahwa jenazah sebaiknya dimakamkan pada hari itu.
Demikianlah selagi semua persiapan dilakukan untuk melakukan upacara pemakaman, para tamu telah dikejutkan oleh derap roda kereta yang memasuki halaman. Ternyata kereta itu adalah kereta perwira kumpeni. Agaknya beberapa orang kumpeni pun telah memerlukan hadir di dalam upacara pemakaman itu.
Pangeran Ranakusuma pun kemudian menyongsong perwira-perwira kumpeni itu. Namun ia tidak dapat menahan gejolak di dalam hatinya. Jika ia melihat orang yang disangkanya menembak Rudira, apakah ia dapat menahan hati?
Namun ternyata yang turun dari kereta itu adalah seorang perwira yang jarang sekali berada di Surakarta. Perwira yang justru mondar-mandir antara Semarang dan Surakarta.
“Kenapa Dorep ini yang datang?” bertanya Pangeran Ranakusuma di dalam hatinya.
Terasa dada Pangeran Ranakusuma menjadi sesak. Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikan gejolak perasaannya. Dipersilahkannya Dorep dan seorang perwira yang lain naik ke pendapa dan duduk di antara para bangsawan.
“Kenapa orang yang jarang berada di Surakarta inilah yang mewakili kawan-kawannya?” pertanyaan itu selalu mengganggu perasaan Pangeran Ranakusuma, “Agaknya kumpeni menyadari bahwa sesuatu telah terjadi. Perwira yang menembak Rudira itu tentu menyadari, bahwa pelurunya ternyata telah mengenai justru anak laki-laki Galihwarit sendiri. Karena itulah maka mereka mengirimkan orang yang jarang sekali tampak di Surakarta”
Namun kemudian Pangeran Ranakusuma menganggap bahwa agaknya memang lebih baik demikian, agar ia tidak dibakar oleh goncangan perasaan yang sukar terkendali.
Seperti yang kemudian diputuskan, maka jenazah Raden Rudira pun dimakamkan pada hari itu juga tanpa menunggu Raden Juwiring. Diiringi oleh para bangsawan dan bahkan utusan resmi dari Kangjeng Susuhunan Pakubuwana, jenazah Raden Rudira dengan kereta telah dibawa ke makam untuk dibaringkan selama-lamanya.
Ketika matahari kemudian turun di sisi Barat dari wajah langit yang kemerah-merahan, makam itu telah menjadi sepi. Yang tinggal hanyalah beberapa orang yang masih menyelesaikan pemasangan nisan batu yang besar yang berwarna hitam kelam.
Orang-orang yang tinggal itu pun segera menyelesaikan pekerjaannya. Sekali-sekali mereka menengadahkan wajahnya memandang langit yang kemerah-merahan. Kemudian mengusap keringat di badannya dengan tangannya. Namun dengan demikian punggungnya justru menjadi kotor oleh tanah yang melekat pada jari-jarinya yang basah itu.
Sejenak kemudian mereka pun mengemasi alat-alat mereka. Sebentar lagi mereka akan meninggalkan batu nisan yang diam membeku di antara batu-batu nisan yang lain.
Namun mereka mengerutkan keningnya ketika mereka melihat seorang menghampiri makam yang masih baru itu.
“Ki Sanak” berkata orang itu, “Apakah ini makam Raden Rudira yang baru saja meninggal itu?”
“Ya” jawab salah seorang dari mereka yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya itu.
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Kenapa Raden Rudira ditembak oleh kumpeni?”
“Ah, tentu kami tidak mengetahuinya” jawab orang yang sudah siap untuk meninggalkan batu nisan itu, “Tidak seorang pun yang mengetahuinya”
“Selama pemakaman apakah kau tidak mendengar salah seorang membicarakannya?”
“Semua orang bertanya-tanya. Para bangsawan itu pun bertanya-tanya. Apalagi aku”
Orang itu mengangguk-angguk pula. Perlahan-lahan ia mendekati makam itu. Dirabanya batu nisan yang masih baru itu.
“Siapakah kau?” bertanya salah seorang pekerja makam itu.
“Aku datang dari jauh”
“Siapa? Dan apa hubunganmu dengan Raden Rudira?”
“Tidak ada hubungan apa-apa. Tetapi Raden Rudira pernah mengunjungi padukuhanku, bahkan singgah di rumahku”
“Dimana rumahmu?”
“Sukawati. Aku seorang petani dari Sukawati”
“Sukawati? Begitu jauh?”
“Ya. Begitu jauh. Tetapi Raden Rudira pernah datang ke rumahku yang jauh itu. Sayang, bahwa aku hanya dapat mengunjungi makamnya”
Para pekerja di kuburan itu memandanginya sejenak. Petani dari Sukawati itu berdiri tepekur di sisi makam yang masih baru itu.
“Orang asing itu memang sewenang-wenang” terdengar ia berdesis.
Sejenak kuburan itu menjadi sepi. Para pekerja saling berpandangan sejenak. Kemudian mereka pun memandang orang yang menyebut dirinya petani dari Sukawati itu. Tetapi petani itu sama sekali tidak menggeser pandangan matanya dari nisan yang masih baru itu.
“Raden Rudira adalah anak yang baik. Kenapa ia harus mati muda? Kumpeni sama sekali tidak mempertimbangkan akibat yang dapat merusak hati dan jantung orang tuanya. Terlebih-lebih ibundanya. Dan sekarang Raden Ayu Galihwarit itu menderita. Bahkan mungkin untuk selama sisa hidupnya”
Para pekerja itu masih mendengarkannya.
“Ki Sanak” berkata petani itu kemudian sambil berpaling, “perbuatan ini bukan saja menyakiti hati ayahanda dan ibundanya. Tetapi menyakiti hati kita semuanya. Apakah itu terasa di hati Ki Sanak?”
Tidak seorang pun yang segera menjawab.
“Kita merasakan betapa pahitnya bekerja untuk sesuap nasi. Kau menggali kubur, dan aku setiap hari berjemur diterik matahari. Apakah yang kita dapatkan? Sedang orang-orang asing di sini hidup mewah dan lebih dari itu mengangkut segala macam hasil tanah ini atas dasar perjanjian dengan para bangsawan”
Petani itu berhenti sejenak. Ditatapnya wajah para pekerja tanah pekuburan itu seorang demi seorang. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Aku tidak tahu apa-apa Ki Sanak”
Petani dari Sukawati itu menganggukkan kepalanya, “Aku juga tidak berani berkata begitu jika di antara kita ada orang-orang yang sudah dapat mengenyam kenikmatan hidup sekarang ini, apapun caranya. Tetapi kematian seorang anak muda bangsawan yang baik ini, tentu tidak akan dapat kita biarkan begitu saja. Jika terhadap anak-anak muda bangsawan kumpeni sudah berani berbuat demikian, apalagi terhadap kita jika kita membiarkan kepala kita di injaknya”
Tiba-tiba saja para pekerja itu menganggukkan kepak. Bahkan salah seorang dari mereka, pekerja yang paling muda berkata, “Ya. Mereka menganggap bangsa kita sebagai bangsa yang rendah. Kakekku adalah seorang bebahu Kademangan yang dihormati oleh tetangga-tetangganya. Tetapi pada suatu ketika, seorang asing meludahinya di muka umum karena kakekku berbuat sesuatu yang dianggapnya salah”
“Kita memang sudah dihinakan” berkata petani itu.
Tetapi pekerja yang lain berkata, “Aku tidak tahu apa-apa. Aku bekerja untuk mencari nafkah. Jika aku berbuat sesuatu di luar urusanku, maka aku akan mengalami bencana sehingga anak isteriku tidak akan dapat makan. Mereka akan menjadi kelaparan dan barangkali mengalami nasib yang lebih jelek lagi”
“Itu adalah suatu contoh kesewenang-wenangan yang baik sekali” sahut petani itu, “meskipun kau tidak ikut apa-apa, tetapi pernyataanmu itu justru suatu bukti dari sikap mereka terhadap kita”
“Sudahlah Ki Sanak” berkata pekerja kuburan itu, “Aku minta diri untuk beristirahat sejenak. Malam nanti aku harus pergi meronda untuk mendapat tambahan upah buat hidup sehari-hari.
Petani dari Sukawati itu tidak dapat menahan mereka. Seorang demi seorang mereka minta diri sehingga akhirnya kuburan itu menjadi semakin sepi.

Komentar

Postingan Populer